(Dimuat di Republika, Minggu, 1 November 2015)
Duduk di jembatan
penyeberangan, kakek itu bersikap bagai pertapa; tak bergeser, tak bicara,
tenang, terpejam, dan terus berzikir. Kemeja dan sarung lusuhnya, yang
berlubang di banyak bagian, mengingatkanku pada almarhum Bapak di kampung. Dulu
Bapak sering bersila seperti itu, duduk tenang, tak bicara, mata terus
terpejam, dan bibir tak henti zikir. Bedanya, almarhum Bapak tidak melakukan di
jembatan penyeberangan, jadi tontonan orang, apalagi dengan sebuah mangkuk seng
yang terus gemerincing di depan kaki.
Ya, kakek itu pengemis yang
sering kulihat sewaktu menyeberang jembatan ini. Sejak sebulan lalu aku
menjajal rute baru, mencari hal-hal baru yang menyenangkan sepanjang mengamen
di ibu kota. Maka aku tak tahu sejak kapan kakek itu duduk di sana, tak bergeser,
berzikir dengan suara lembut dan pelan, hingga membuat pengguna jembatan
penyeberangan iba dan memberinya sedikit uang.
Aku juga iba melihat kerut
kemerut di wajahnya yang kurus dan lemah. Sesekali gerakan di luar zikir
hanyalah telapak tangan mengelus dada, karena mungkin kakek itu punya masalah
dengan sistem pernapasan. Aku pernah melihatnya batuk beberapa kali ketika
tepat melintas di depannya. Aku tidak jarang ikut menaruh uang, meski tak
banyak, di mangkuknya. Sekadar mengobati rasa iba.
Sejak itu aku tak tenang.
Barangkali orang itu tidak punya anak dan tempat tinggal, sehingga terpaksa
mengemis karena tak kuat bekerja. Atau malah ia punya anak, tetapi anaknya
durhaka dan ia diusir dengan kejam, lalu terpaksa jadi pengemis karena
sakit-sakitan. Aku berusaha menepis pikiran itu. Tapi, apa lagi kemungkinan
yang bisa terjadi pada kakek itu, sehingga ia mengemis? Aku sama sekali tak
tahu.
Aku ingat Bapak dulu keras
mendidikku. Rotan dan sapu jadi santapan sehari-hari. Aku pikir Bapak makhluk
paling sadis di muka bumi, tetapi ketika aku sakit, ia amat perhatian dan
berusaha sebisa mungkin agar anaknya yang tak berguna ini cepat sembuh. Kukira
seburuk-buruk seorang bapak, tidak ada bapak yang sejahat iblis hingga tega
menjerumuskan anaknya.
Aku percaya hukum mutlak
ini berlaku pada si kakek pezikir yang mungkin mempunyai anak tapi
ditelantarkan karena sang anak sangat muak. Apa yang membuat seorang anak muak
kepada orangtua kandungnya? Aku terus kepikiran tentang bagaimana pengemis
malang itu makan, di mana ia tinggal, serta seperti apa keadaannya andai ia
sakit?
Pertanyaan itu sulit
kutemukan jawabnya, karena setiap melintas di depannya, dan mendengar zikirnya,
aku terbius dan lupa bahwa tujuanku menemui si kakek itu adalah untuk
menanyakan beberapa hal penting padanya. Aku sendiri bahkan suatu hari mulai
cemas, kalau-kalau kusampaikan sebuah ide gemilang pada sang pezikir:
"Maukah Anda menjadi bapak angkat saya?"
Aku tahu ide itu aneh.
Mungkin kakek itu mengira aku bercanda, atau barangkali ia menganggapku
sinting; anak kandungnya sendiri saja tega membuangnya, bagaimana mungkin ada
seorang pengamen miskin mau mengangkatnya sebagai bapak?
Alasanku simpel: karena
almarhum Bapak, yang kemudian kucintai dan kuhormati, meninggal di kala aku
belum sempat membuatnya bahagia. Aku masih badung dan tidak berguna, sampah
masyarakat yang menyusahkan orangtua dan orang lain. Maka dengan mengangkat pengemis
itu menjadi bapakku, mungkin kesedihanku tersembuhkan dan aku bisa berubah
menjadi manusia yang lebih baik. Aku akan menjaga dan merawatnya sebagaimana
bapak kandungku sendiri, karena pengemis itu tampaknya pintar beribadah. Aku
juga bisa memperdalam agama padanya.
Dari yang kudengar di
ceramah keagamaan, bahwa mengemis perbuatan pemalas dan tidak baik, aku ingin
mengentas kakek itu dari kekeliruan, mengingatkannya, lalu sama-sama kembali
pada-Nya. Aku tahu ia mengemis karena terpaksa, dan memakai metode zikir
sebagai cara untuk mengemis, sangat aneh dan kurang berkenan di hati sebagian
orang.
Meski Nabi menganjurkan
tidak mengusir atau mencaci maki pengemis, melainkan tetap memberinya uang,
mengemis tetap bukan pekerjaan. Adakah suatu hal yang bisa disebut pekerjaan
ketika tidak ada setetes pun keringat keluar dari tubuh kita? Maka aku percaya,
kakek yang selalu berzikir itu, mulanya tidak berniat mengemis, tetapi karena
tiba-tiba ada yang iba memberinya uang, dimulailah kebiasaan itu.
Untuk itu, suatu pagi
tiba-tiba sesuatu menggerakkan hatiku untuk melewati rute baru. Aku tahu-tahu
ingin melihat hal lain yang belum kutemukan di kota ini. Secara aneh,
perasaanku berkata aku harus melihat segala hal yang belum kulihat. Mungkin
Tuhan sengaja menyetel pikiranku, agar aku bertemu kakek pengemis yang ahli
zikir di sebuah jembatan penyeberangan yang sebelumnya tak pernah kulewati, dan
kami pun nanti sama-sama bisa berubah lebih baik.
Aku bersyukur. Kubayangkan
sesudah kakek pezikir resmi jadi bapak angkatku, aku menabung lebih banyak agar
kami bisa beli tanah untuk dibangun rumah. Tidak apa walau kecil, yang penting
nyaman dan kami tidak perlu mengontrak rumah lagi.
Tapi persoalannya bagaimana
membujuk si kakek agar ia mau? Lagi pula, begitu aku tiba di hadapannya,
mengambil beberapa receh uang dari kantung, tiba-tiba mulutku terkunci dan tak
sanggup berkata-kata. Aku tak tahu bagaimana memulainya, dan aku tak tahu
apakah kakek itu nanti tersinggung atau tidak dengan maksud baikku.
Setelah berpikir,
kuputuskan mengintainya dari jauh hingga malam. Dengan begitu, aku bisa tahu di
mana pezikir misterius itu tinggal. Aku akan basa-basi dengan dalih tidak
sengaja melihatnya, lalu aku akan berkata, "Loh, ini Mbah yang di jembatan
itu, 'kan?" Sesudah itu si kakek mengizinkanku mengantarnya pulang, karena
beralasan tidak tega membiarkannya jalan tertatih-tatih sendiri dengan hanya
sebatang tongkat.
Kurasa itu ide brilian. Aku
bisa tahu di mana ia tinggal, aku juga bisa tahu apa ia punya keluarga, apa ia
tinggal bersama istri dan anak-anaknya, atau bersama istrinya saja, karena
tidak mempunyai anak sejak pernikahan mereka? Atau boleh jadi seperti
ketakutanku: mungkin si kakek ini sebatang kara dan tinggal di gubuk tua yang
nyaris roboh.
Dadaku bergetar oleh
kemungkinan itu, tapi lega karena menemukan solusi. Kalau kuperhatikan, si
kakek tak ada di jembatan tempat ia bersila dengan tenang, tanpa geser, tanpa
kedip, selain berzikir dan terus berzikir, jika hari sedang hujan atau lewat
jam dua belas malam. Mungkin kakek itu pulang sekitar pukul sepuluh atau
sebelas malam, di mana arus kendaraan mulai sepi. Mungkin di suatu sudut kota
ia harus menyeberangi jalan tanpa jembatan di atasnya sehingga harus berangkat
dan pulang mengemis dalam keadaan jalanan sudah sepi. Aku tidak mungkin
mengintainya subuh-subuh karena dengan begitu aku tidak akan tahu di mana ia
tinggal.
Maka malam itu aku
mengintainya. Jam sembilan malam kakek itu masih di sana. Aku melewatinya dua
kali dan menaruh uang dua ribu rupiah sebanyak dua kali selama bolak-balik dan
nyaris tergoda menyapa. Tetapi, ketika kata-kataku mau keluar, aku tidak bisa
meneruskan karena takut melukai perasaannya sebagai seorang pezikir yang
terpaksa mengemis.
Mungkin kakek itu akan
terharu karena ada pemuda baik sepertiku, tapi bisa saja ia marah dan menolak
aku mengantarnya. Jadi aku harus menunggu lebih sabar agar bisa mengantarnya
pulang. Barangkali sesudah itu aku bisa mengantarnya lagi selama tiga atau
empat kali. Pada kelima kalinya aku akan membawa baju dan sarung yang kubeli di
pasar, yang layak pakai dan tidak berlubang. Ia tidak butuh baju semacam itu,
karena ia bukan lagi pengemis. Lalu kukatakan aku siap menjadi anak angkatnya,
dan biar aku saja yang bekerja. Ia tak usah khawatir.
Betapa indah bayanganku
akan itu. Sempurna. Aku akan punya pengganti Bapak yang tinggi ilmu agamanya,
sehingga ketika berzikir saja bisa membuat orang tersentuh. Kubayangkan aku
bisa menariknya dari jurang keburukan dalam tindakan mengemis yang dibalut
kesucian agama. Bagaimanapun mengemis dan zikir adalah hal yang sama sekali
lain dan tidak bisa dikolaborasikan. Aku bangga andai nanti bisa membujuknya
menjadi bapak angkatku. Ia bisa berzikir di jalan lurus sebagaimana mestinya.
Waktu menunjukkan pukul
sebelas ketika kakek itu berhenti berzikir. Aku yang sedari tadi duduk di ujung
anak tangga jembatan, ikut berdiri memeluk gitarku. Dadaku berdentuman ketika
si kakek membenahi buntalan kain dan membereskan mangkuknya yang penuh uang. Ia
masukkan uang itu ke buntalan dan tersenyum. Ia ambil tongkatnya lantas
berjalan ke arahku.
Aku sudah siap membuka
obrolan dengan pura-pura tak sengaja bertemu dengan kakek itu lagi—meski
terdengar aneh, karena bukankah kami selama ini hanya bertemu di atas jembatan
ini? Tetapi pezikir itu melangkah buru-buru dengan ayunan tongkat yang nyaris
tak menyentuh lantai jembatan. Lalu ia berkata dengan lantang, "Mobil lu
taruh di mane?"
Pria setengah baya, yang
entah datang dari mana, menubrukku dari belakang, minta maaf sekilas, lalu
menjawab pertanyaan si kakek, "Di bawah, Be. Buruan. Gak usah
tongkat!"
Aku batal menyapa, selain
berdiri termangu. Kakek itu sempat melirikku, namun segera pergi begitu tahu
aku cuma pengamen yang tidak mungkin membuatnya merugi. Entah kenapa pikiran
semacam itu lewat di kepalaku. Kukira pria tadi anak kandung si kakek. Mereka
membawa tongkat dan buntalan uang, menuruni jembatan buru-buru sehingga bunyi
berdebum keras terdengar di seluruh anak tangga. Mereka tertawa sebelum masuk
mobil mewah yang terparkir di tepi trotoar.
Aku tidak peduli mobil itu
pulang ke arah mana, karena hatiku terluka malam itu.
Gempol, 31 Juli 2015
astaga endingnya :0
ReplyDeleteMateri tentang pengemisnya oke. Sudah menduga kalau Kakek itu bukan pengemis 'sejati'. Soalnya tren 'pengemis palsu' sedang marak saat ini. Tapi kalimat paling akhir benar-benar berkesan. 'hatiku terluka malam itu'. Top dah. :V
ReplyDeleteDuh. Pengemis elit.
ReplyDelete