Skip to main content

Cerpen: "Tipu Daya" karya Ken Hanggara

"Tipu Daya"

cerpen Ken Hanggara di Radar Banyuwangi
Ilustrasi cerpen "Tipu Daya" oleh Ken Hanggara
(Dimuat di Radar Banyuwangi, Minggu, 6 September 2015)
 

Kali kesekian eranganmu mencabik gendang telingaku. Darah melukis sungai pada dingin wajah bidadari setengah iblis, tapi kau belum puas. Kau lepaskan dan hempaskan kesal dari balik bukit kembarmu lewat sebilah pisau. Ya, pernah kutanam cinta dan rasa nafsu di kedua bukit itu, dulu. Lalu kamu pasrah dan diam, bahkan menikmati hari-hari terakhir keberadaan suamimu yang sama sekali tak kau cintai. Kepadaku waktu itu kau berkata penuh tekanan, "Segera kerjakan!"
Dalam gemingku, kenangan terpancar dari bening bola matamu. Seakan Tuhan dan iblis bersatu padu dalam suatu rekayasa imajinatif. Suatu hal yang mustahil. Kau duduk di bangku pusat kerumunan kru dan perkakas shooting. Dari balik topi lebar, kau titah segala-galanya dengan telunjuk berkuku merah. Kau bersandar angkuh sebagaimana sutradara bekerja.
Alangkah manis dan patut diincar, pikirku. Dulu dan sekarang sama saja. Prinsipku tak berubah andai sekarang kita tidak dalam kondisi ini. Kau dan aku membangun layar rekayasa dan membuat orang-orang tercengang; bagaimana mungkin perempuan mungil mengatur semesta di sekelilingku yang amat luas? Bagaimana mungkin ia sulap akalku seakan Tuhan yang disembah olehku sejak bayi tidak lagi berlaku di mata bejatku?
Harapanku iblis menikahimu, bahkan menjadikan tubuhmu boneka yang dikendali dengan tali-temali, sehingga yang terjadi memang suatu bencana. Tak ada tipu daya. Tak ada halusinasi. Aku dengan badan lebam dan lumpuh kini, megap-megap dalam kuasa tak seberapamu—yang menjadi begitu luar biasa oleh bantuan Iblis. Aku lebih suka, bila saatnya tiba, habisi saja sehabis-habisnya.
"Kau yakin kenyataan bahwa iblis dan Tuhan yang berseberangan membuat dirimu selamat?" tanyamu sinis.
"Ya!"
"Bagaimana kalau sebaliknya?"
"Maksudmu?"
"Tak bisa dibedakan antara hitam dan putih. Samar-samar antara neraka dan surga, antara iblis dan Tuhan. Apa yang kau lakukan?"
"Enyah kau jalang!"
Darah kembali mengalir ketika kau, dengan segala upaya picikmu, memperdayaku sekali lagi. Sebilah pisau menari mengikuti lentur tubuh sintalmu. Kau bergoyang dalam situasi ganjil. Dikepung aroma kematian, dirimu semakin liar tak terkendali.
Kenangan itu kau tempel permanen di otakku, seakan kedua bola matamu punya sihir, sehingga arsip kita terkuak dalam suatu layar. Tontonan barbar dengan kau sebagai sutradara dan penulis skenario. Tubuhku nyasar di ruang kosong dengan sebutir kepala manusia menggelinding ke kolong meja. Bau amis terdeteksi. Tapi harum tubuhmu merayapi badanku, menutup amis, merajai keadaan, sehingga lalat yang berlompatan di sekitar hidung dan rambutku tak ada artinya.
Kita pernah menikah dalam persekutuan laknat. Tubuh mungilmu dan gempalku menyatu sebagaimana iblis memperdaya bidadari di pojok surga dan mereka diam-diam kawin tanpa sepengetahuan Tuhan. Adakah yang begitu? Tidak. Tuhan pasti tahu meski kau bilang 'tidak'. Tapi katamu, kita memang seharusnya begini dan apa pun ceritanya, setidak-masuk-akal apa pun, toh segalanya telah terjadi. Iblis dan bidadari menikah di taman surga!
"Kau iblis... dan aku bidadarinya," katamu.
Sejak itu, tradisi dan aturan lama jebol. Berkali-kali bukit kembar kita singgahi dan kita merayap dari satu titik ke titik lain, sembunyi dari kejaran orang bayaran keluarga. Jika suatu waktu tak seorang pun mencium keberadaanmu, kita bisa tinggal di suatu gua sampai berhari-hari. Bercumbu, makan, bercumbu lagi, makan lagi. Persis binatang! Pergi dari pasungan untuk kepuasan, kau terjang tembok diskriminasi pendosa. Kau terabas tatanan yang ditegakkan bapak kandungmu dengan susah payah sampai harus berkorban harga diri.
"Dulu saja," kataku padamu usai menanam cinta di antara kedua bukit kembarmu, "kau begitu lemah dan tanpa harapan. Sekarang, kau berbeda."
"Kurasa kau suka dengan diriku yang baru?" tanyamu kecewa sambil meraba-raba kolong tempat tidur dan mengambil sepotong lengan pucat. Dari jari manis lengan tak bertuan itu, kau ambil sebuah cincin berlumur darah. Lalu kau katakan bahwa cincin ini lebih pas untukku, meski aku amat kurus. Kau paksa aku memakainya. Aku takut, tetapi aku memasangnya juga dengan penuh rasa jijik.
"Seharusnya kita tidak tidur di atas potongan-potongan tubuh ini!"
Tapi kau, dengan kesan baru yang kenes sekaligus sinting, melirik manja dengan bibir menipis dan kepala direbahkan ke ketiakku. Mengelus-elus dadaku dengan telapak tangan berlumuran darah. "Apa pun katamu, toh segala rencana terlaksana."
"Sempurna! Dan kita bercinta di tengah koloni lalat!"
Sekali waktu kita pindah ruang lain, ke gua lain, dalam pengembaraan penuh risiko. Semua itu hanya demi tidak tertangkap basah atau sekadar pergi dari rasa muak mau muntah akibat bau-bau anyir—yang kini menjadi busuk, mengganggu tidur dan selera makan.
Katamu, aku makan saja dengan lahap. Tak usah memusingkan soal bau atau selera. Karena potongan-potongan tubuh dan kepala itu sudah tertinggal jauh di belakang. Tapi kubilang, selera makan berbanding lurus dengan perasaan. Kau tersinggung. "Perasaan," katamu, "tidak selalu begitu. Aku dari tahun ke tahun sudah muak, tapi toh rela menjadi kasur bagi lelaki gembrot."
"Kita beda."
"Bagaimana?"
"Kau diciptakan untuk menjadi kasur. Dan lelakimu memang babi."
"Kau yang babi!"
"Babi lebih polos dari iblis, 'kan?"
"Kukira kau bukan iblis, bukan juga babi. Baiklah, kau yang malaikat dan akulah iblisnya. Gimana?"
Kujawab bahwa sebaiknya kita tidak usah bermetafora. Iblis dan malaikat amat susah dibedakan dalam kasus ini. Kerumitan yang kau rancang membuatku setengah gila menjalani hidup baru. Buanglah bayang-bayang surga, dan sebut sejujurnya dengan sekadar tempat tidur perkawinan tanpa restu. Lalu kita anggap perbuatan dosa tempo hari adalah harga yang harus dibayar.
Namun, kamu dengan kemampuan menitah lewat telunjuk berkuku merahmu, dari waktu ke waktu semakin berubah. Suatu malam kukutuki diri karena merasa jadi bagian dari skenariomu. Seekor iblis menggerayangimu suatu malam karena aku tidak bisa lagi menambal pintu dan jendela-jendela di kamar tempat kita berlindung dari perpisahan. Ide berpisah adalah mimpi buruk dan kau amat phobia. Untuk itulah, katamu, kita harus menambal setiap pintu dan jendela dengan uang kalau tetap mau bersama.
"Kita beli minyak kesturi dan gumpalan kain untuk menambal pengetahuan dunia luar, sekaligus mengusir sisa-sisa bau dari potongan tubuh masa lalu."
Tapi aku tak bisa melakukannya. Bayang-bayang itu terekam jelas dalam pikiran: seorang lelaki meronta-ronta. Kau pekikkan semangat juang padaku seolah-olah kita bermain di sore pada musim libur sekolah, seolah ada tradisi mengepung seekor babi di kampungmu. Tugasku menjebak binatang jelek itu, lalu menjeratnya, mengerat lehernya hingga mati kehabisan darah. Dan kau bersorak-sorai menyiapkan bumbu-bumbu guna memasak daging babi itu untuk dimakan bersama.
Ketika kepala itu lepas, kau jambak rambutnya dan kau pandangi penuh rasa puas. "Sate? Tidak, tidak bisa! Gulai? Tidak juga. Dibuang saja!" Lalu sebutir kepala penuh darah menggelinding ke kolong meja!
Yang berikutnya kuingat adalah: kau dengan jari telunjukmu menitah ini-itu, yang entah kenapa begitu mudah kululuskan, tanpa sedikit pun berpikir menolak, seakan aku budak yang tunduk pada bukit kembar menggiurkan itu. Tunduk setunduk-tunduknya pada nafsu hewani di luar akal sehat.
Dengan riang kau sodorkan sehelai karung, lalu melepas penutup tubuh dan melompat ke surga ciptaanmu. Alangkah jauh kau yang dulu dan kau yang sekarang. Kecantikanmu tak berubah, walau seribu tahun sekalipun. Namun, kau dengan perangai lembutmu, tidak lagi ada di wajah dingin ini.
Kurindukan tutur bahasa priayimu ketika itu, "Kita kawin lari, Mas. Bapak lho utang-utangnya banyak banget. Aku sedih." Percakapan itu lekat di ingatanku, meski tak sekuat pembunuhan berencana yang kita lakukan terhadap suami yang kau kawini dengan terpaksa sebulan kemudian akibat utang-utang bapakmu. Lelaki babi, katamu.
Sejauh ini para hidung belang senang menyaru bagai bidadara-bidadara dan kamu dengan bangga melantik dirimu sebagai iblis wanita termanis. Sejujurnya aku tak suka. Akhirnya kukutuki diri karena tak bisa menghujanimu uang. Iblis menggerayangimu malam demi malam karena aku tidak bisa lagi menambal pintu dan jendela-jendela di kamar tempat kita berlindung dari perpisahan. Hanya Iblis yang bisa menambalnya.
Kau lepaskan dan hempaskan kesal dari balik bukit kembarmu lewat sebilah pisau, saat kubunuh iblis kesayanganmu dengan tangan kosong. Sembelih saja, katamu. Tapi kubilang, aku tak sudi mengotori tangan atas titahmu.
"Tentu saja. Babi dan iblis itu beda. Tapi, aku tak pernah tahu kamu ini sebetulnya apa, Mas! Kukira salah besar kusebut dirimu malaikat!"
"Terserah saja kau sebut aku apa."
"Ya baguslah. Akhirnya kita mati. Tanpa tambalan di pintu dan jendela ruangan ini, aku dan kamu tidak akan melanjutkan hubungan."
Maka, tertawalah kau, Iblis, dengan segala tipu dayamu! [ ]
Gempol, 30 Agustus 2015

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, resensi. Freelance editor yang belajar jadi wiraswasta. Juara 2 kategori bahasa Indonesia di ASEAN Young Writer Award 2014 dan nominator (4 besar) ajang Siwa Nataraja Award 2015 kategori cerpen. Kini menjabat Unsa Ambassador 2015.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri