Skip to main content

Cerpen: "Bayi Berbalut Kain Gorden Warna Krem" karya Ken Hanggara

"Bayi Berbalut Kain Gorden Warna Krem"


cerpen Ken Hanggara di Radar Mojokerto
Ilustrasi cerpen "Bayi Berbalut Kain Gorden Warna Krem" oleh Ken Hanggara
(Dimuat di Radar Mojokerto, Minggu, 20 September 2015)
Seonggok bayi berbaring di tumpukan sampah. Entah bayi siapa. Dia menangis karena pagi begitu dingin. Dia menjerit karena lapar. Dia bergetar karena ingin tahu siapa yang menaruhnya di situ sehingga kulitnya jadi gatal-gatal, atau ingin tahu siapa ibu-bapaknya yang dengan tega menelantarkannya.
Bayi itu berbalut kain gorden warna krem. Dibungkus begitu saja bagaikan lemper, lalu diletakkan di atas kardus bekas wadah Indomie yang sudah ditata sedemikian rupa. Tak ada yang tahu ada bayi di situ, karena tumpukan sampah ada di tepi kampung, dekat rawa-rawa, dekat tanah kosong yang dirimbuni pepohonan bambu.
Bayi itu menangis dan menangis, sehingga misal ada yang dengar dan orang itu membawa dendam, bisa sirna saking kuatnya getaran kemanusiaan yang terkandung dalam suara si bayi. Orang itu bisa batal dendam atau tidak jadi membunuh lawan yang entah di mana, gara-gara tangisan bayi itu mengundang iba.
Rumah terdekat berjarak sekitar 70 meter, tetapi penghuninya nenek tua yang tuli. Jadi percuma si bayi menangis makin keras akibat kedinginan, juga kelaparan. Toh tidak ada yang mendengar, kecuali nanti kalau ada orang yang masuk ke tanah kosong itu untuk berbuat mesum, atau sekadar mencari tempat sunyi untuk merenung.
Mendung bergelayut di langit sana. Hawa makin dingin dan si bayi tidak tahan. Walaupun kain gorden warna krem itu, yang tampak usang, membalutnya rapi dari leher hingga ujung jemari kaki, tetap saja bayi itu menjerit-jerit. Mungkin tidak tahan oleh bau jejalan sampah. Atau tidak tahan ingin pergi mencari tempat baru yang hangat entah di mana. Atau tidak tahan ingin bertemu sang ibu dan membuat perhitungan karena ibunya kejam dan tega.
Tapi bayi itu tetap di sana, berbaring dengan balutan kain gorden warna krem tanpa bisa ke mana-mana, karena dia cuma bayi. Dia cuma bisa menangis dan bergetar-getar sehingga pecinta bayi dipastikan mengutuk perbuatan orangtua yang membuang anak kandungnya seperti ini.
Sayangnya di sini tak ada pecinta bayi. Adanya rimbun pohon-pohon bambu dan pagar berkawat duri, serta tumpukan sampah yang baunya busuk minta ampun. Sang bayi terus menangis, meski lelah, lapar, kesal, bingung, heran, dan mungkin bertanya-tanya tempat busuk macam apa ini?
Ketika mendung menebal, angin berembus dari satu arah. Daun-daun bambu luruh, puncak pohon doyong ke satu sisi dan berkibar bagai wanita raksasa berrambut keriting mengerikan. Andai pepohonan bambu itu wanita, meski raksasa, jauh lebih baik karena akan ada yang menenangkan si bayi atau meninabobokan, juga menyuapinya buah pisang yang pohonnya tumbuh tidak jauh dari tanah kosong agar si bayi berhenti menangis.
Tapi bisa juga malah lebih buruk: wanita raksasa itu kira si bayi yang menangis dengan suara bergetar adalah makanan. Camilan pagi hari. Maka dengan sekali gerakan, hap... bayi itu hilang dari muka bumi. Pindah ke lambung monster yang entah datang dari dunia mana. Begitu sampai di lambung, bayi itu mulai tenang, karena rasa hangat menjalari badan. Ia tidak menangis lagi, kecuali nanti ketika asam lambung mulai melumatnya dan ia sudah tidak bisa berpikir untuk mencari ibu kandungnya.
Syukurlah pohon bambu adalah pohon, bukan wanita raksasa, sehingga betapapun butuhnya bayi itu akan kehadiran sosok wanita, tetaplah kejam kalau sampai ia ditelan dan dicerna begitu saja. Karena bayi itu bukan camilan. Bayi itu juga bukan permen. Bayi itu anak manusia, hasil hubungan badan di suatu tempat. Entah dengan atau tanpa cinta, entah dengan atau tanpa restu. Bayi itu hasil persatuan sel telur dan sperma dalam perut seseorang.
Kenapa Tuhan menciptakan bayi dari nafsu? Bayi itu mungkin tidak tahu ia hadir karena adanya nafsu di suatu hari yang lama, setidaknya lewat dari tujuh bulan lalu. Ia hadir karena hasrat seseorang yang sifatnya amat sementara. Dan kini, begitu lahir, ia ditelantarkan. Wajar bayi itu menangis. Mungkin kesal karena tidak tahu siapa ibunya. Mungkin jengkel karena lahir dari rahim wanita bernasib jelek. Kalau wanita yang mengandung dirinya tidak bernasib jelek, sekarang dia ada di gendongan seseorang, jadi rebutan dicium, ditimang bergiliran di sebuah keluarga. Semua memujanya. Semua merindunya. Dan ia punya rencana masa depan yang disusun seapik-apiknya.
Tapi bisa juga yang terjadi tak semanis itu. Bisa juga ia digendong dengan muka cemberut oleh seorang ibu. Lalu seorang lelaki datang dan memaki-maki istrinya. Bayi itu ingin pergi ke tempat jauh karena rumahnya sangat berisik. Ia tidak bisa tidur tenang karena bapak ibunya bertengkar setiap hari. Dan ia mulai lapar karena ternyata di rumah itu ada banyak bayi, yang berwajah lebih tua dari dirinya.
Nasib tidak bisa ditebak. Begitu pula si bayi berbalut kain gorden warna krem ini; yang tergeletak tanpa daya, dan cuma bisa menangis di atas kardus bekas wadah Indomie yang ditata sedemikian rupa. Sesekali sebelah tangannya menepis wajah karena satu dua ekor lalat terbang di sekitar. Barangsiapa melihat dan mendengar suara sang bayi pasti langsung datang dan ada seribu satu kemungkinan yang terjadi. Mungkin ia dipungut dan dianggap anak. Dirawat dan dibesarkan penuh kasih sayang. Disekolahkan dan dididik dengan benar. Diajari agama biar kelak masuk surga. Diarahkan sehingga masa depannya jelas, tidak seperti ibu dan bapak kandungnya yang bejat dan entah di mana.
Tapi, lagi-lagi, bisa saja nasib buruk terjadi. Misal ia diambil lantas dijual untuk mendapat sejumlah uang. Di tempat baru itu, si bayi dirawat seadanya oleh sekelompok preman. Dibesarkan seenak udel. Tidak disekolahkan. Tidak dikirim ke guru ngaji. Hidup dengan mengamen dari satu bus ke bus lain, mengemis dari satu rumah makan ke rumah makan lain. Ia juga dipaksa mencuri. Jalanan membuatnya lupa bahwa dulu ia pernah mencari ibunya sendiri di suatu pagi yang dingin di tepi kampung, dalam balutan kain gorden warna krem, di atas kardus bekas wadah Indomie. Ia tidak diarahkan sehingga kalau besar nanti jadi bajingan persis bapak atau ibunya.
Betapa malang dan kasihan bayi itu. Mendung tebal menjatuhkan satu dua tetes air. Kalau bukan karena rimbun pohon bambu di dekatnya, ia sudah basah dalam waktu dua menit. Tapi, bayi itu pelan-pelan merasakan tetes air menyentuh kening, lalu turun ke alis, ke hidung, ke pipi, ke dagu. Ada yang masuk mulut, ada yang membuat mata pedih secara tiba-tiba dan ia menangis makin kencang.
Sungguh ajaib. Bayi itu menangis tiada henti tanpa kehabisan suara. Barangkali Tuhan memberinya stok suara seperti penyanyi level internasional yang bisa bernyanyi dan bernyanyi sampai dua jam tanpa putus. Bayi yang tangguh. Ia bisa punya masa depan kalau tidak mati. Mungkin jadi penyanyi. Mungkin jadi tentara. Tapi siapa yang memungutnya dari tempat terpencil?
Hujan mulai deras dan bayi itu jelas tidak bisa menghindar. Ia bergetar-getar dan menggigil. Ia menangis dan tidak bisa berpikir lagi soal ibunya. Ia sangat lapar.
Kalau saja ada malaikat lewat, yang memang sengaja diutus Tuhan, sehingga bayi itu terkejut dan senang, lalu berkata dalam hati, "Wah, kamu malaikat, ya?" Malaikat itu mengangguk dan menyuapinya sepiring bubur. Minumya sebotol susu hangat, bukan teh botol, karena malaikat tidak tahu teh macam itu. Si bayi pun diajak ke rumah besar dengan kamar yang nyaman dan hangat. Di sana ia tidur dengan tenang tanpa pusing memikirkan hari esok.
Entah dari mana bayi itu tahu arti kata malaikat. Yang ia tahu orang itu berwajah cahaya dan sangat mulia. Dan yang ia tahu, ibu dan bapak yang membuangnya tidak sebaik itu, sehingga mungkin suatu saat sesudah bayi itu tumbuh dewasa, ia anggap sepasang manusia itu adalah setan.
Tapi, tentu, sang bayi berbalut kain gorden warna krem ini masih menangis bergetar. Hujan belum akan reda dalam waktu dekat. Seseorang yang membuang bayi ini tidak terpikir kalau sebentar lagi turun hujan, sehingga siapa pun itu tidak membuatkan naungan bagi si bayi. Kalau saja bayi ini bisa berdiri, lalu menggunakan tangannya sebagaimana fungsi tangan manusia dewasa; ia bisa membangun tenda dari kardus bekas wadah Indomie dan tidak perlu kedinginan. Sayangnya, dia cuma bayi yang bisa menangis dan menangis, serta lapar. Tidak bisa bikin kerajinan tangan.
Saat hujan jatuh, lalat-lalat berhamburan dan menyebar tak tentu arah. Tumpukan sampah busuk dan menyengat hidung siapa saja, termasuk hidung si bayi yang suci dan mungil. Berbagai sampah bercampur baur. Tidak dipisah antara yang basah dan yang kering, sehingga kuman penyakit dan segala jenis binatang kecil yang mungkin ada di sana tidak pilih-pilih tempat.
Tapi bayi itu tidak bisa menutup hidung dari bau. Dan ia juga tidak bisa menggaruk leher yang tiba-tiba gatal dan panas. Dua ekor semut merayap dan melekat di sana. Bayi itu menjerit kencang. Air matanya deras bercampur hujan. Semut-semut lain mendapat undangan dari kawannya. Semut-semut berbaris. Semut-semut masuk kuping, mulut, dan balutan kain gorden warna krem.
Bayi itu mengejang-ngejang dan tangisnya kian keras. Pada saat itu seseorang datang dan tahu betapa malang kondisi bayi mungil yang belum satu hari dilahirkan. Orang itu mendekat dan mengusir semut-semut nakal. Diraihnya sang bayi, dipeluknya, diciuminya sampai puas. Ia beri nama Adam, karena selama ini tidak pernah punya anak.
Adam anak pertama, manusia kecil pertama yang ia miliki. Dan ia melenggang diiringi olok-olok: "Bayine sopo, Tin? Genderuwo tah?"[1] Wanita itu tak menggubris selain mengusap daster yang bolong-bolong untuk dijadikan selendang.
Para warga tak berani mengambil sang bayi, yang entah milik siapa, karena takut dilempar batu sebagaimana kebiasaan Tini melempar jendela tetangga. Tapi setidaknya dia berjasa, menyelamatkan Adam dari kemungkinan mati dirubung semut, sehingga cerita ini bisa sampai ke telinga Anda dari satu-satunya orang yang ada di tumpukan sampah pagi itu.
Gempol, Juli - September 2015

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Juara 2 wakil Indonesia di ASEAN Young Writer Award 2014 dan 4 besar Siwa Nataraja Award 2015 kategori cerpen. Menjabat Unsa Ambassador 2015.




[1] Bayinya siapa, Tin? Genderuwokah?

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri