Judul buku:
Menanti Lelaki dari Surga
Penulis: Eko
Hartono
Kategori:
Kumcer
Penerbit: UNSA
Press
ISBN :
978-602-711-764-8
Terbit: Feb
2015
Tebal : vi+116
halaman
Harga: Rp.
25.000,-
Suatu waktu
seorang gadis bernama Raisya berharap mendapat jodoh lelaki dari surga. Tapi,
tidak ada yang percaya hal itu bisa terjadi. Meski begitu, ia tetap percaya
mimpinya. Suatu saat lelaki dari surga datang, begitu hatinya berkeyakinan.
Keteguhan sang gadis, mulanya terasa ganjil dan tak masuk akal. Banyak lelaki
baik-baik datang melamar tapi ia tolak. Tentunya ini membuat Raisya jadi bahan
gunjingan. Beruntung sang nenek hadir dan mendukung keyakinan ini, hingga hari
yang mustahil itu benar-benar tiba.
Begitulah
ringkasan "Menanti Lelaki dari Surga" (hal. 51), salah satu cerita
yang dijadikan judul kumcer ini. Namun, cerita ini tidak bisa disebut yang
terbaik. Bagi saya, predikat itu lebih layak disandang "Permen dan
Lukisan" (hal 1) yang berkisah tentang pasutri penjual air mata dan
serpihan hati dalam wujud kerajinan permen dan lukisan. Dalam cerpen ini,
penulis tidak cuma menyoroti fenomena betapa mudah masyarakat mengumbar
kesedihan di depan umum (melalui media sosial, misalnya), hingga peluang
memanfaatkan kesusahan orang lain bagi para politisi picik.
Cerita yang
tak kalah baik bisa kita dapat pada "Bayi di Dalam Masjid" (hal. 17)
dan "Misteri Hutan" (hal 7). Cerita pertama tentang ditemukannya bayi
dalam masjid sehingga membuat warga geger. Tak ada yang tahu siapa orangtua bayi
itu, tetapi ibu-ibu yang juga istri beberapa orang terpandang di kampung saling
berebut ingin mengadopsi si bayi. Diam-diam di tengah keributan ada flash
back bagaimana semua ini bermula: perawan ayu bisu dengan jalan hidup
menggiriskan diperkosa beberapa kali oleh beberapa pria. Cerita mengalir begitu
saja, nyaris klise, namun di akhir kejutan itu seolah menampar kita. Ternyata
ayah bayi itu sendiri justru ada di antara para suami ibu-ibu yang berharap
bisa mengadopsi si bayi.
"Misteri
Hutan" nyaris sama dalam karakterisasi, yakni kehidupan miris seorang ibu
dan anaknya. Sang anak dianggap setengah gila karena bapaknya pergi ke hutan
suatu hari dan tidak pulang-pulang. Si anak terus berharap ayahnya datang dan
percaya sesuatu yang "tidak beres" terjadi. Tapi warga terlanjur
percaya hutan itu memiliki kekuatan gaib yang bisa "menelan" siapa
pun. Suatu hari, seorang lelaki dibunuh oleh sang anak karena kebejatannya.
Ibunya takut dan memutuskan membuang mayat itu diam-diam ke hutan. Sampai di sini
kisah misteri hutan belum tertebak, termasuk soal ayah yang hilang. Hingga
akhirnya terungkap kenyataan bahwa lelaki bejat tadi adalah pembunuh ayahnya
setahun lalu, yang juga dibuang ke hutan itu. Misteri gaib yang sama sekali
tidak benar membuat mayat kedua pria itu tidak akan pernah ditemukan.
Cerpen-cerpen
senada bisa kita temukan di "Laki-laki Penyendiri" (hal. 35),
"Bisikan" (hal. 27), dan "Benalu" (105). Satu garis besar
dari buku ini adalah cara penulis menyajikan realita, menguburnya dalam-dalam
lewat permainan alur, perlahan menarik ulur "pesan" yang ia bawa, dan
terakhir, selayaknya seorang pesulap: membuka tirai kejutan bagi pembaca.
Meski ada
beberapa judul yang kurang berkesan, kumpulan cerpen ini cukup menghibur. Kita
tidak dipuaskan oleh gagasan-gagasan "serba-wah", tetapi kita
dilegakan oleh misi positif dari setiap cerita. Kesederhaan gaya bahasa, bahkan
kadang-kadang keklisean ide, tidak membuat penulis buntu jalan dan berputar di
eksplorasi yang itu-itu saja. Perpaduan gaya bahasa, teknik mumpuni, dan ide
simpel justru menguatkan pesan yang diusung dan membuat buku ini layak diacungi
jempol. Selamat untuk penulisnya!
Comments
Post a Comment