Judul buku: 1874
Penulis: Tamara Geraldine
Kategori: Kumpulan Cerpen
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 978-602-03-0518-9
Terbit: Juni 2014
Tebal : 356 halaman
Secara garis besar, cerpen-cerpen Tamara di buku ini menonjolkan sosok wanita. Wanita selalu punya banyak cerita. Di balik "bungkus" lemah lembut, wanita tidak hanya hadir sebagai simbol keanggunan dan cinta, melainkan juga keberanian, ketegaran, kejujuran, dan kegigihan.
Dari 16 cerpen dalam buku ini, ada tujuh cerpen yang berhasil, setidaknya menurut penilaian saya. "(Punggung) Caska dan Berto" (hal. 17) ditulis dengan sudut pandang unik, yakni dua punggung pasangan suami istri yang sedang bertengkar. Perselingkuhan sang suami tidak membuat si istri kalah. Malah justru dia pemenangnya, menang telak berkat kebesaran hati, sekaligus kegilaan.
"Bahasa yang Dimengerti Hati" (hal. 33) soal basa-basi dua muda-mudi penganut seks bebas. Unik sekali, di balik karakter macam apa pun, manusia terbejat sekalipun bakal sadar bahwa jarang sekali manusia mengakui kejujuran dalam hati. Saya rasa, meskipun cerita ini agak "nakal", pesan moralnya bagus.
Lebih gila lagi cerpen "Maaf, Kita Harus Berkenalan dengan Cara Seperti Ini" (hal. 49). Dikisahkan dua wanita sedang duduk di ruang tunggu menuju akhirat. Keduanya mati dengan cara sama-sama tidak wajar. Keduanya bertanya-tanya tentang surga dan neraka; manakah yang mereka tuju? Masing-masing punya cerita tentang pengkhianatan serta kebahagiaan hubungan pria-wanita. Dan keduanya, sesungguhnya, adalah musuh, meski tidak satu pun berharap begitu.
"Ibuku Tak Mau Tahu" (hal 67) semacam kutukan yang ingin dienyahkan begitu saja oleh seorang ibu. Sementara sang anak kian terjerumus dalam jurang gelap pergaulan dengan pemahaman salah soal ibunya. Tema semacam ini sudah banyak dipakai. Meski terasa agak klise, Tamara membuatnya cukup apik, karena cerpen ini dibangun oleh dua sudut pandang: antara si salah paham dengan penerima kutukan.
"Toilet Shower, Good Idea!" (hal. 141) menghadirkan kejutan di akhir. Nyatanya persoalan rumah tangga bisa menjadi rumit karena tidak adanya pengertian "biologis" pada pasangan. Itu yang harus ditelan Punta, tokoh wanita di cerita ini, hingga akhirnya ia sendiri tak tahan.
Cerpen "Mengajari Tuhan" (hal 181) tidak membawa kesan lain selain gambaran hati seorang pendosa. Ia tidak pernah hidup bahagia sepanjang hidupnya. Sejak kecil ia disiksa kedua orangtuanya. Masa remaja ia dikekang oleh sang pacar dengan perlakuan seks menyimpang, dan ketika menikah ia tidak bahagia. Ia berbincang dengan Tuhan dan Tuhan bilang semua itu punya alasan. Sayang, ia tidak mau tahu. Ia menuntut Tuhan agar tidak lagi mengatur hidupnya. Ini tidak masuk akal. Bahkan setan pun hidupnya ada karena Tuhan. Bagaimana mungkin manusia yang punya kesempatan menjadi baik tidak mau diatur penciptanya?
"U Turn" (hal. 131) saya rasa jadi cerpen terpendek di buku ini. Ia padat dan baik dari segi ide dan penceritaan. Sebuah keluarga yang tidak harmonis tengah "mengakhiri" hidup secara perlahan. Suami dan istri yang hendak bercerai (di buku ini terlalu banyak soal perselingkuhan dan semacamnya), namun si anak tidak menghendaki. Pada akhirnya mereka semua mati. Cara mati di ending agak "memaksa" memang, tapi cukup bisa diterima.
Di luar ketujuh cerpen di atas sebetulnya ada beberapa yang baik. Hanya saja, terlalu "kepayahan" jika saja diandaikan sebuah cerpen adalah atlet lari jarak jauh. Sebut saja cerpen "Nobody Knows..." (hal. 85) yang terlalu sering memasukkan fragmen tak penting dalam bangunan cerita. Malah menurut saya ada satu fragmen yang membuat cerita ini agak sulit dimengerti, meskipun kita tahu bahwa di akhir cerita tokoh utama punya orientasi seks menyimpang.
"Perempuan yang Berteman dengan Hantu" (hal 161) sebenarnya sudah baik dari segi penceritaan. Idenya juga segar. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana seorang ibu setengah gila menyayat payudaranya sendiri untuk mengalirkan darah ke dalam gelas dengan maksud memberi hantu anak-anaknya susu rasa stroberi. Sayangnya cerita ini jadi timpang setiba di ending. Bagian pengusiran hantu oleh pemuka agama dan kyai-kyai, saya kurang suka. Juga soal hantu-hantu yang menderita itu; mengingatkan saya pada film vampir Hongkong penuh drama yang terlalu manis untuk terjadi, bahkan bagi cerita fantasi sekalipun.
Pemborosan terjadi pada "Hafla" (hal 245). Ide cerita sederhana dan tidak rumit. Tapi eksekusi terlalu dipaksa agar tampak rumit dan detil. Jika saja berhasil, saya setuju memberi jempol sebagaimana yang saya lakukan pada "Ibuku Tak Mau Tahu". Hanya saja, "Hafla" justru membawa kita ke tujuan lewat jalan keliru; sebuah jalan yang justru memutar jauh, walau seharusnya bisa lewat jalan (yang lebih) pintas.
Kekurangan lain yang lebih mengganggu adalah adanya banyak sekali ejaan salah di buku ini, misalnya: "sekedar", "nafas", kesalahan partikel "pun", dan beberapa yang tidak bisa saya sebut satu per satu. Setidaknya di setiap cerpen selalu ada ejaan yang salah atau terlewat koreksi editor.
Namun secara keseluruhan, ide Tamara di buku ini segar. Dalam bio disebutkan dua belas cerpen di antaranya ada di buku pertamanya. Di buku (ketiga) ini, ada empat cerpen baru. Melihat tanggal yang tercantum di bawah, serta cerpen-cerpen (tak bertanggal) dengan detail penanda perbedaan zaman dari yang bertanggal, saya rasa cerpen terbaik sebagian besar layak disandang oleh cerpen-cerpen lama di halaman-halaman awal.
Maka buku ini tentunya layak Anda miliki. Selain gaya bercerita "tanpa basa-basi", pesan-pesan yang dibawa juga kuat. Bagaimanapun wanita, selembut apa pun mereka, hendaknya kita jangan menilainya sejajar dengan air mata. Bahwa darah dan keringat juang bisa berbanjir-banjir di kehidupan seorang wanita, itu benar adanya. Buktinya kita dilahirkan oleh Ibu. Itu membuktikan wanita tidak selemah yang sering kali divoniskan dunia pada mereka.
Comments
Post a Comment