Skip to main content

Salao yang Tak Kenal Menyerah




Judul buku: The Old Man and The Sea
Penulis: Ernest Hemingway
Kategori: Novel
Penerbit : Narasi
ISBN : 978-979-168-435-4
Cetakan 1: 2015
Tebal : 164 halaman

Santiago, nelayan tua yang nasibnya malang. Ia disebut salao, bentuk terburuk dari ketidakberuntungan. Setelah delapan puluh empat hari melaut, tak satu pun ikan berhasil ia dapat. Manolin, bocah lelaki yang pernah ikut dengannya, terpaksa harus pindah perahu setelah empat puluh hari pertama. Orangtuanya tidak berkenan kesialan pada diri Santiago menular pada anak itu.

Sebagai nelayan, kegagalan mendapat ikan berkaitan dengan jatuhnya harga diri. Tapi Santiago yakin, hari esok selalu baru. Maka, pada hari ke-85, ia menolak Manolin yang ingin ikut. Ia melaut sendiri. Tengah hari, umpannya disambar ikan marlin raksasa. Karena tangannya terlalu tua, ia tidak bisa melawan ikan besar itu dengan menariknya. Yang bisa ia lakukan adalah bertahan dengan tali kail sementara ikan itu terus berenang membawanya menjauh ke Samudra Atlantik.
 
Tiga hari ia bertahan sekuat tenaga agar tali kail tidak putus, sementara ikan marlin itu berenang. Santiago terluka dan kelaparan, tapi ia menjaga keyakinan dalam hatinya dan rela kesakitan demi membawa pulang tangkapan pertama setelah 84 hari pulang tanpa hasil.

Santiago sedikit tidur dan makan daging ikan yang didapatnya selagi marlin itu menyeret sampannya. Pada hari ketiga, ia berhasil mengontrol ikan itu mendekat ke sisi sampan sehingga ia bisa menombaknya dengan harpun. Santiago menang atas ikan raksasa itu. Kebanggaannya sebagai nelayan kembali. Tapi ia ada di tengah samudera dan belum seorang pun nelayan tahu keberhasilannya. Ia harus pulang agar ikan kesayangannya itu bisa segera dijual.

Sayang, di tengah perjalanan, beberapa ikan hiu menyerangnya. Marlin itu dimakan sepotong demi sepotong sementara Santiago berusaha membunuhi hiu-hiu yang datang hingga tak ada senjata lagi yang bisa ia gunakan untuk mempertahankan diri. Dengan bantuan angin pasat, ia bisa pulang lebih cepat. Namun, setiba di pantai, marlin itu hanya tinggal tulang belulang. Yang tersisa dari ikan hebat itu hanya moncong lancipnya, serta ekornya yang besar dan indah.

Buku ini begitu menyentuh. Bukan dari gaya tulisan yang terkesan simpel, tanpa bertele-tele, melainkan karena muatan yang tersirat dalam cerita ini. Santiago tak menyerah dan terus percaya, meski ia tak berdaya sebagai nelayan yang sudah tua, bahwa marlin itu akan kalah olehnya. Dan memang ia menang, meski harus pulang tanpa hasil.

Santiago mengaku dirinya kalah oleh hiu-hiu itu, tapi sesungguhnya dialah yang menang, karena sejatinya kemenangan itu letaknya bukan pada hasil, tapi bagaimana segala proses terjadi. Santiago melalui proses itu dengan tabah dan sabar. Delapan puluh empat hari dijuluki salao tidak membuatnya gentar untuk selalu percaya bahwa ada hari esok yang baik baginya. Kepercayaan itulah, atau yang kita sebut iman, yang membawa Santiago dalam perjalanan panjang menakjubkan tanpa kenal kata menyerah.

Dari Santiago, kita belajar untuk selalu yakin bahwa Tuhan menyediakan rezeki bagi setiap hamba-Nya. Dari Santiago, kita belajar untuk selalu yakin bahwa cita-cita tidak akan pernah tercapai jika tidak ada usaha. Bahkan bila memang perlu berdarah-darah, itulah yang harus kita lakukan.

Sayangnya buku ini agak cacat dari segi editing. Ada banyak kata yang terlewat koreksi, atau salah penempatan, misal pada halaman 134 ada kalimat: "rasa sakit tak yang tertahankan". Juga beberapa tanda baca dan pemilihan kata penerjemah. Namun sekiranya kecacatan ini, kalau dipersentasikan dalam buku terbitan Narasi yang saya baca ini, kira-kira 10 %. Dan untungnya itu tidak terlalu mengganggu saat saya membaca kisah hebat ini.

Bagi yang belum membaca buku ini, sayang sekali. Kamu berarti melewatkan kesempatan bagus untuk belajar pantang menyerah dari sebuah novel. Bacalah buku ini, maka mata hati akan melihat bahwa setiap kesulitan selalu ada jalan keluarnya.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri