Judul Asli:
The Adventures of Pinocchio
Judul buku:
Petualangan Pinocchio
Penulis: Carlo
Collodi
Kategori:
Novel
Penerbit:
Gramedia Pustaka Utama
ISBN :
978-602-03-0466-3
Cetakan 1:
2014
Tebal : 203
halaman
Bongkahan kayu
itu sudah hidup sebelum jatuh ke tangan Geppeto, pemahat kayu di sebuah desa di
Italia. Tidak dijelaskan bagaimana dia hidup, yang pasti, sesampai ke tangan
Geppeto dan dipahat menjadi boneka tali, kayu hidup bernama Pinocchio itu
langsung berbuat onar. Ia membuat keributan di tengah kota sehingga Geppeto,
yang dipanggilnya 'ayah' kena masalah dan ditangkap polisi.
Pinocchio
lapar malam itu, tapi dia mengalami kesialan sehingga esok paginya kakinya
hilang terbakar. Geppeto yang sudah pulang pun merasa kasihan melihat boneka
tali, yang ia panggil 'anakku', menderita. Maka ia buatkan kaki baru untuk si
boneka, dan ia menjual mantel jeleknya untuk membeli buku alfabet agar
Pinocchio bisa sekolah.
Di perjalanan
menuju sekolah inilah Pinocchio termakan tipu daya Rubah dan Kucing jahat.
Akhirnya ia berpetualang ke banyak tempat, mulai dari Teater Boneka Tali, hutan
belantara, Negeri Orang Dungu, Pulau Lebah Sibuk, Negeri Mainan, hingga perut
Hiu Ganas. Semua itu terjadi akibat kenakalannya yang suka berbohong dan tidak
bisa memegang janji.
Pinocchio
sebetulnya anak baik hati, hanya saja ia mudah termakan rayuan dan kurang
pintar, sehingga mudah ditipu. Ia mengalami banyak kesialan sampai belajar dari
semua kejadian itu menjadi lebih menghargai perasaan orang lain dan menghormati
orangtua. Berkat kesadarannya inilah, Pinocchio mendapat hadiah istimewa dari
Peri Berambut Biru, yakni menjadi anak sungguhan, bukan lagi boneka tali.
Petualangan
Pinocchio ini mengandung banyak pesan positif bagi anak-anak, karena memang Collodi
menulis ini sebagai dongeng untuk anak-anak. Gaya bercerita dia bagus dan
mengalir, serta tentu seru. Meski di beberapa bagian kita seolah diajak bicara
si pencerita dengan panggilan "anak-anakku", "anak-anak yang
manis", dll, lalu disisipi nasihat secara langsung, saya rasa novel ini
tetap tidak berkurang daya tariknya. Malah justru di sanalah poin lebihnya.
Carlo seakan "menggurui", tetapi kita tidak sedang
"digurui".
Kekuragan
novel ini saya rasa hanya ada pada satu dua bagian adegan, di mana ketika
Pinocchio berpikir soal nasihat sang ayah. Kadang kita membaca "dulu
ayahnya sering bilang", atau "ayahnya sering menasihatinya",
padahal pada kenyataannya, sebelum berpetualang panjang itu, Pinocchio hanya
bertemu dua kali dengan ayahnya, Geppeto, yakni ketika ia pertama kali bangun
sebagai boneka tali, serta saat pagi hari mendapati kedua kakinya hilang
terbakar. Sesudah itu ia pergi ke sekolah hingga bertemu Rubah dan Kucing.
Namun di luar
itu, buku ini tetap menarik dan layak dibacakan untuk anak-anak kita. Tentunya
membaca buku ini mesti didampingi orangtua, sebab ada beberapa bagian yang
berisi kata-kata lumayan kasar seperti "berotak sedikit", dan
sekitarnya. Bagi saya pribadi, yang sejak kecil dulu sudah menonton banyak
sekali versi cerita Pinocchio dalam wujud visual (film maupun kartun), buku ini
jadi ajang yang tepat untuk nostalgia. Dan, yah, adegan paling legendaris yang
saya ingat ketika menonton semua tayangan tersebut kala itu adalah: Pinocchio
dan Geppeto saling melempar tanya jawab dalam perut Hiu Ganas agar Pinocchio
berbohong, sehingga dengan begitu hidungnya bisa memanjang dan memanjang guna
menggelitik kerongkongan si ikan. Padahal di buku aslinya ini, adegan tersebut
tidak ada.
Mulanya saya
salah duga. Saya kira karya klasik yang satu ini tidak begitu bagus. Mungkin
karena pengaruh sesudah membaca Alice in Wonderland karya Lewis Carrol, yang
ditulis di era yang sama. Nyatanya buku ini jauh lebih bagus dari perkiraan
saya.
Comments
Post a Comment