Skip to main content

Penguasa Mimpi Para Gadis


    Judul buku: Beautiful Nightmares
    Penulis: Farrahnanda
    Kategori: Novel
    Penerbit : de Teens
    ISBN : 978-602-255-283-3
    Terbit : September 2013
    Tebal : 183 halaman
   
    Sosok incubus bernama Lucian datang meneror mimpi gadis-gadis di Venice. Ia yang baru bebas dari belenggunya masih kehilangan kekuatan, sehingga beberapa korbannya hanya mengalami cacat fisik dan mental, bukan meninggal, akibat kedatangannya ke mimpi mereka.
   
    Lucian berkuasa di dunia mimpi dan suka mengambil jiwa para gadis untuk dibawa ke haremnya. Kebiasaan itu juga dimiliki saudaranya, Michaela, sesosok succubus wanita yang gemar "mengoleksi" pria-pria tampan di haremnya sendiri.

    Lepas dari belenggunya, Lucian mencari Michaela yang terus bereinkarnasi dalam tubuh manusia selama ratusan tahun. Michaela saat ini ada dalam diri Beatrice, salah satu gadis yang temannya meninggal akibat Lucian. Bersama Linz, Franz, dan Francesco, Beatrice yang tidak ingat dirinya adalah succubus, sempat ingin menghentikan Lucian. Tapi tentunya rencana itu sia-sia.
   
    Kematian demi kematian terus terjadi di Venice. Dunia internasional gempar. Tidak ada yang menduga atau percaya itu perbuatan incubus yang selama ini hanya ada dalam dongeng. Di akhir cerita, Michaela kembali mengingat siapa dirinya setelah segel Belial dilepas. Dua bersaudara itu terus membunuh dan tidak akan berhenti sampai kapan pun.
   
    Bagi saya ide cerita ini bagus. Sayangnya, ada banyak bagian yang mestinya tidak perlu diulang, seperti adegan pembunuhan beberapa gadis oleh Lucian lewat mimpi. Saya rasa beberapa mimpi, meskipun tidak diceritakan, tidak akan berpengaruh banyak pada bangunan novel. Malah hanya tampak bagai tempelan yang menunjukkan bahwa penulisnya berpengetahuan cukup luas, mengingat para korban berasal dari beberapa negara di Eropa dengan bahasa dan budaya yang tidak semuanya sama. Saya rasa hal itu tidak terlalu penting.
   
    Konflik yang dibangun sudah apik. Kita terbawa arus ketegangan, terlebih saat para remaja itu berencana mengalahkan sang incubus. Saya pun terpikir dan tak sabar menanti seperti apa cerita ini berlanjut? Bagaimana mereka mengalahkan Lucian? Saya hampir membayangkan akan ada pertarungan seru penuh darah, atau setidaknya mantra sihir dan semacamnya. Tapi ternyata harapan itu tidak terjadi. Ending terkesan dipaksa. Setidaknya saya berharap ada perlawanan Linx dan Franz, meskipun akhirnya mereka mati. Tapi itu tidak terjadi.
   
    Maka kesimpulan saya: novel ini kurang dari segi ending. Andai mengakhirinya sedikit lebih baik, novel ini akan membuat saya berkata: "Saya puas sudah membaca ini." Namun, di luar segala ekspektasi yang tidak terpenuhi itu, novel ini layak diacungi jempol berkat pengetahuan penulisnya yang cukup luas tentang Venice, salah satu kota di Italia itu. Rasanya kita seperti berada di sana. Paling tidak buku ini juga menghibur dan membuat kita seolah menonton film horor.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri