Judul buku:
Laki-laki yang Tidak Memakai Batu Cincin
Penulis:
Badaruddin Amir
Kategori:
Kumcer
Penerbit: FAM
Publishing
ISBN :
978-602-3350-23-0
Terbit: Maret
2015
Tebal : 176
halaman
Menulis cerpen
memang tidak harus selalu dimulai dengan gagasan-gagasan super. Bahkan dengan
ide sederhana yang bertebaran di sekitar pun, seorang penulis bisa membuat
karya cerpen yang bagus dan bermutu.Badaruddin
Amir membuktikan itu di sini. Saya hitung, dari 17 cerpen di buku ini,
sekurang-kurangnya ada 8 cerpen yang berhasil mengangkat gagasan yang
"biasa saja" menjadi lebih dari sekadar biasa.
Cerpen
pertama, "Laki-laki yang Tidak Memakai Batu Cincin" (hal. 40), yang
juga dijadikan sebagai judul buku ini, berisi kecenderungan manusia Indonesia
yang senang meniru-niru, ikut-ikutan, musim-musiman. Cerpen ini semacam
sindiran sekaligus mengangkat fenomena batu akik yang lagi ngetrend.
Dikisahkan ada seorang lelaki yang merasa terkucil akibat hanya dia yang tidak
memakai batu akik. Pada suatu waktu dia hilang entah ke mana. Di tempat itu,
tanpa lelaki itu tahu, ternyata semua orang perlahan meninggalkan batu akik.
Dan saat si lelaki kembali, ternyata hanya dia seorang pemakai batu akik.
"Dia
Berenang Terus" (hal. 63) bicara tentang desakan hidup seorang nelayan
serta skandal perselingkuhan yang sudah banyak terjadi di negeri ini. Kejutan
yang dibawa memang tidak benar-benar menghentak, namun cerpen ini cukup
menghibur karena ending yang sungguh nakal.
"Dia
Memanjat Terus" (hal. 70) tentang orang bunuh diri yang gagal mati, hanya
karena melihat orang berhubungan badan di sebuah balkon. Bayangkan, untuk
sekadar bunuh diri saja bisa menjadi "seribet" tokoh utama cerpen
ini. Padahal bisa saja ia mati dengan banyak cara yang tidak menyusahkan.
Uniknya, ia batal bunuh diri karena peduli pada nasib si wanita yang sedang
berhubungan seks seperti di film biru itu.
Cerpen
"Kucing" (hal. 78) mengingatkan agar jangan gampang berburuk sangka.
Kita memang mudah memvonis orang lain tanpa merasa perlu mencari tahu duduk
perkara terlebih dulu. Hal yang sama juga terjadi pada "Ayahku Seorang
Lelaki Malam" (hal 111). Cerpen ini seolah menggiring si tokoh pada
kesimpulan "buruk sangka", hanya karena keburukan sudah ada di
sekitar mereka sejak awal.
"Kandang
Ayam" (hal 117) dan "Iseng" (hal. 126) bisa jadi bentuk yang
paling sederhana namun sukses dalam kumpulan cerpen ini. "Kandang
Ayam" memang tidak jelas si penulis "membela" pihak mana; apakah
tukang "reparasi" kandang yang sudah tua itu, ataukah si penyewa jasa
yang notabene adalah keluarga dengan banyak keperluan sehari-hari yang mesti
dipenuhi dengan gaji pas-pasan. "Iseng" adalah diri kita saat sedang
nakal-nakalnya dulu. Bagi remaja putra yang suka menggoda wanita di pinggir
jalan, cerpen ini barangkali akan membuat mereka "insyaf".
Dan, cerpen
terakhir yang menurut saya sukses adalah "Tak Ada Eufimisme untuk
Tahi" (hal. 136). Muatan cerpen yang ditulis dengan gaya bercerita ringan
ini amat padat, meski hanya berisi perdebatan siapa pemilik seonggok tahi
misterius. Penulis berusaha membangun jalinan antara kejujuran, pembelaan,
keadilan, kesetaraan, serta kemuakan pada masyarakat kita yang terkadang sibuk
memperdebatkan sebuah masalah tanpa segera mencari jalan keluar. Cerpen ini
ringan karena tokoh-tokohnya anak sekolahan, dan tentu saja ada unsur
komedinya.
Sementara, 9
cerpen lain saya rasa kurang berhasil memikat hati. Beberapa malah, saking
sederhananya, terkesan lebih mirip berita (terutama cerpen "Menghitung
Batu-batu yang Lepas dari Aspal Jalanan"). Atau, bila tidak mirip tulisan
berita, cerpen seperti "Kemiri (1)" dan "Kemiri (2)",
misalnya, terlalu sederhana pesan yang dibawa, sementara penyampaiannya
bertele-tele. Cerpen "Emilia" (hal. 55) bisa saja sukses andaikata
sudut pandang yang diambil penulis unik, namun itu tidak terjadi. Saya hanya
terkesan pada ending yang sayang sekali ada dalam cerpen ini. Mungkin
kalau saja cerpen itu ditulis lebih baik, bakal menyamai keseksian cerita
"Dia Terus Memanjat".
Setidaknya, di
balik kekurangan buku ini, kita bisa terhibur. Dan tentu saja bisa belajar
bagaimana membuat cerpen dari ide sederhana. Pastinya dengan gaya dan teknik
kita masing-masing. Badaruddin Amir setidaknya "memberitahu" bahwa
menulis cerpen tidak selalu harus didasari gagasan super.
Comments
Post a Comment