Skip to main content

Skandal di Balik Insiden Anjing di Tengah Malam




Judul buku: Insiden Anjing di Tengah Malam yang Bikin Penasaran
Judul asli: The Curious Insident of the Dog in the Night-time
Penulis: Mark Haddon
Kategori: Novel
Penerbit: KPG
ISBN : 978-979-91-0477-9
Cetakan keempat: Juli 2012
Tebal : viii + 336 halaman

Christopher Boone, bocah 15 tahun penyandang sindrom asperges (sejenis autisme), menemukan anjing pudel milik Nyonya Shears mati tertusuk garpu kebun pada tengah malam. Kejadian itu membuatnya penasaran ingin mencari siapa pembunuh Wellington, begitu anjing itu dinamai.

Tapi Ayah melarang Christopher melakukan hal macam-macam, seperti misalnya menyelidiki kematian anjing itu, karena itu bukan urusan mereka, dan itu tidak penting. Tapi Christopher penasaran, sehingga sekeras apa pun Ayah melarang, ia tetap berangkat, walau sembunyi-sembunyi. Dimulailah permainan detektif Christopher.

Shioban, guru Christopher di sekolah untuk anak berkebutuhan khusus, seperti jadi teman curhat dalam buku ini, meskipun Christopher tidak mengatakan guru itu sebagai teman dekat. Shioban memberi tahu banyak hal tentang apa saja yang perlu dan tidak perlu dilakukan, salah satunya, bagi seorang penulis novel. Sebab Christopher ingin kisah penyelidikannya atas kematian Wellington ini ditulis dalam bentuk novel.

Suatu hari Ayah menemukan buku itu dan tahu apa yang Christopher temukan lebih dari sekadar soal kematian anjing tidak penting itu. Ada skandal yang bertahun lamanya ia tutupi agar Christopher tetap hidup sebagaimana mestinya. Ayah tak ingin Christopher tahu masalah perselingkuhan sang ibu dengan Tuan Shears, suami sah pemilik anjing pudel yang terbunuh itu.

Karena keteguhan dan kekerasankepalaannya, Christopher terus mencari buku itu sampai menemukannya. Ia juga menemukan bertumpuk surat kiriman Ibu, yang sejak dua tahun lalu ia tahu sudah mati akibat serangan jantung. Ternyata Ibu masih hidup dan kini tinggal di kota London. Ayah berbohong karena sakit hati pada ibunya, meski ia amat menyayangi Christopher.

Masalah utama novel ini, kematian anjing pudel bernama Wellington, justru tidak lebih menonjol ketimbang kekuatan karakter Christopher sebagai tokoh utama. Mark Haddon dengan sukses (saya yakin ia melakukan riset mendalam) menampilkan sosok fiksi sebagaimana keadaan penyandang sindrom asperges pada umumnya. Terlihat dari cara bertutur Christopher yang kaku dan tanpa emosi, serta suka terhadap segala sesuatu yang teratur dan terpola. Misalnya saja terlalu banyak kata “dan” pada kalimatnya. Ciri penyandang sindrom ini kemampuan komunikasi dan sosialisasi yang terbatas, namun mereka bisa mempunyai kecerdasan di atas rata-rata yang lebih dari manusia umumnya. Christopher percaya ia bisa melakukan apa yang ingin ia lakukan, meski itu mustahil. Tapi ia lebih sering berhasil.

Membaca buku ini terasa lucu, penuh emosi (meski Christopher tidak “mengenal” emosi), namun tidak sedikit juga ada bagian  yang membuat saya geleng-geleng kepala, seperti saat Christopher menjelaskan segala pandangannya pada ilmu pengetahuan dan alam semesta. Ia bocah polos sekaligus cerdas. Ia kikuk sekaligus tajam. Karena rasa ingin tahunya soal kematian anjing inilah, skandal perselingkuhan sang ibu terbongkar. Ini bukan sekadar novel. Buku ini berisi beberapa pengetahuan tambahan bagi kita yang belum tahu bagaimana cara penyandang sindrom asperges melihat dunia.

Dari segi tata letak, novel ini baik. Huruf dan spasinya tidak terlalu kecil dan rapat. Rasa-rasanya kita seperti membaca ketikan komputer dari jemari si Christopher. Di banyak bagian juga diberi gambar (dan ini atas dasar inisiatif Christopher). Sayangnya, beberapa detail pada gambar itu terlihat kabur. Akan lebih baik mungkin jika ukuran gambar yang kabur diset lebih kecil. Yang sama sekali tidak menarik justru kovernya. Saya jadi berpikir, apa mungkin buku ini mengalami cetak ulang di Penerbit KPG (hanya) 4 kali dalam waktu delapan tahun karena alasan kovernya jelek? Namun, yang lebih penting dari tampilan tentulah isi. Saya jamin kamu tidak rugi membaca buku ini, meski mungkin akan banyak bagian yang membuatmu "jengkel" pada Christopher.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri