Skip to main content

Seks Bukanlah Segala-galanya

   
    Judul buku: Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas
    Penulis: Eka Kurniawan
    Kategori: Novel
    Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
    ISBN : 978-602-03-0393-2
    Terbit: Mei 2014
    Tebal : 243 halaman
   
    Ajo Kawir bersahabat dengan Si Tokek. Mereka remaja nakal yang mengerti soal seks di usia belia, karena suka mengintip Pak Lurah saat berhubungan badan dengan istri ketiga. Suatu malam, Si Tokek mengajak Ajo Kawir mengintip di rumah perempuan gila bernama Rona Merah. Si Tokek sering mengintip perempuan itu mandi dan ternyata ia lebih suka tubuh seksi Rona Merah ketimbang istri ketiga Pak Lurah. Maka Ajo Kawir pun, sebagai sahabat dekatnya, langsung diajak.
   
    Celakanya malam itu datang dua orang polisi ke sana, hendak memperkosa Rona Merah. Rupanya dua polisi itu sudah biasa, hanya Si Tokek yang belum tahu. Maka, Ajo Kawir--yang tengah mengintip bersama Si Tokek--tidak sengaja terjatuh, karena gugup melihat dua polisi itu menelanjangi Rona Merah.

    Si Tokek berhasil kabur, tapi Ajo Kawir tertangkap. Di bawah todongan pistol, anak itu dipaksa melihat pemerkosaan yang dilakukan dua polisi itu tepat di depan mata. Masih dengan ancaman pistol, ia ditelanjangi dan disuruh menggarap Rona Merah. Sayang, Ajo Kawir yang ketakutan, entah kenapa, merasa kemaluannya tak bisa berdiri lagi. Padahal dulu saat mengintip Pak Lurah dan istri, semua baik-baik saja. Sejak itulah, Ajo Kawir memulai petualangan panjang di dunia yang keras dan brutal sebagai pemuda impoten yang memanggil kemaluannya sendiri dengan julukan Burung Tidur.
   
    Buku ini berisi banyak kalimat dan adegan vulgar. Dan, di hampir setiap bagiannya, yang dibahas seputar kehidupan jalanan dan perilaku seks menyimpang. Pada bagian awal, buku ini rasanya tidak berguna dan hampir saya tutup, karena banyak kata-kata berbau porno. Kita dibuat tertawa atau geleng-geleng kepala, namun sebagai pembaca saya bertanya: "Buku seperti ini kok bisa terbit di Gramedia Pustaka Utama yang notabene penerbit besar di Indonesia?" Jadi, saya pikir tidak ada salahnya membaca ini sampai selesai, karena saya penasaran: kualitas apa yang dibawa buku ini?
   
    Keputusan ini membuat saya harus meraba-raba, karena jujur saya kesulitan menemukan makna, selain ngeri membayangkan ada kehidupan sesuram Ajo Kawir. Tak sekadar impotensi, dunia yang dijalani Ajo Kawir selalu pahit: dari mulai pelampiasan sesal dalam perkelahian, sampai dikhianati kekasih, yang pada akhirnya membawanya terjun ke dunia jalanan yang penuh lika-liku.
   
    Baru setelah lembar terakhir terbaca, saya bisa mengerti kenapa buku ini layak: ia tidak hanya berisi hal-hal berbau porno (kalau dipersentasekan barangkali sekitar 30-40 %). Mungkin di depan kita tertipu dan mengira ini hanya soal porno yang tidak berguna. Namun di akhir ada tiga hal yang saya tangkap. Pertama, alangkah baik menjauhi hal menyimpang, selama ada banyak hal normal yang bisa kita kerjakan. Kedua, nafsu buta akan sesuatu, meski tujuannya baik, cenderung meraih capaian yang buruk. Dan ketiga, seks bukan segala-galanya.
   
    Tentu saya tidak sarankan siapa pun membaca buku ini. Bacalah kalau penasaran, dan jangan baca kalau tidak suka. Itu saja. Karena saya yakin, sebagaimana yang terjadi pada seorang teman; baru halaman-halaman awal ia marah dan mengumpat penulisnya. Yah, saya memahami, lalu tidak bisa bicara lain selain Eka Kurniawan memang beda! :D

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri