Skip to main content

Risiko di Balik Profesi dan Status Sosial


    Judul buku: Kisah Abrukuwah
    Penulis: Sori Siregar
    Kategori: Kumpulan Cerpen
    Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
    ISBN : 978-979-22-0564-0
    Terbit: September 2003
    Tebal : 138 halaman
   
    Secara garis besar, cerpen-cerpen Sori Siregar di buku ini fokus ke satu persoalan, yakni profesi dan risiko yang mungkin dihadapi, juga situasi sosial yang dihadapi oleh profesi tertentu. Kondisi sosial telah lama menjadi bahan mentah untuk sebuah tulisan, termasuk cerpen. Tapi, tidak semua pengarang berhasil, atau setidaknya memberi efek yang membekas di hati pembaca.
   
    Dalam kumpulan cerpen ini, Sori Siregar berhasil membuat efek itu. Dari sepuluh cerpen, cuma dua di antaranya yang ingin memberi efek itu, namun "terengah-engah" dari awal hingga akhir, yakni yang berjudul "Bram" (hal. 11) dan "Makam" (hal. 53). Pesan yang disampaikan kedua cerita ini bagus, namun saya rasa eksekusinya kurang sempurna--meski tidak bisa dibilang buruk, karena semua cerpen di buku ini pernah dimuat di beberapa media nasional.

    Yang menarik, profesi wartawan seperti mendapat tempat tersendiri di buku ini, karena terangkum di lebih dari satu kisah: "Kisah Abrukuwah" (hal 1), "Bram", dan "Medioker" (hal. 79). Ketiga cerita ini, meski mengambil sudut berbeda, punya misi yang sama. Satu di antaranya, misalnya "Kisah Abrukuwah", menunjukkan keganjilan para interogator yang menanyai wartawan yang dituduh terlibat kegiatan terlarang. Di akhir cerita kita tahu, semua itu seperti lelucon. Cerita semacam ini mengajak kita tertawa, bahwa memang ada "hal-hal di balik layar"--sebagaimana yang terjadi di masa Orde Baru di Indonesia, meski cerita ini mengisahkan wartawan dari benua Afrika--yang diatur demi kepentingan tertentu pihak berkuasa.
   
    Hal-hal menggiriskan juga diangkat dengan sudut pandang unik namun sederhana dan menyentil. Di cerpen "Makati" (hal 67), yang berisi tentang pustawakan "karbitan", yang bertugas di sebuah perpustakaan baru di sebuah kota yang orang-orangnya sangat jarang menyukai buku. Sementara "Mitos" (hal. 89) menggambarkan kepasrahan, atau barangkali kemalasan manusia modern untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi di sekeliling mereka. Ini mengingatkan kita betapa manusia sering tidak peduli karena status sosial yang disandang. Cerpen "Mitos" ini juga menekankan betapa segala sesuatu pasti memiliki risiko. Kondisi yang sama ada pada "Setelah Pensiun" (hal. 113); kebiasaan lama dalam pekerjaan bisa terbawa-bawa sampai kita tua.
   
    Tentang status sosial disinggung dengan apik dalam "Gobzadeh" (hal 39). Lelaki yang memuja betapa martabat adalah harga mati untuk sebuah cara hidup, tidak pernah menemui akhir manis pada perjalanannya. Namun, berbanding terbalik dengan "Gobzadeh", cerpen "Pistol" justru menginjak-injak martabat dengan cara yang wajar, hingga pada akhirnya ada pelajaran manis yang mencerahkan.
   
    Buku kumpulan cerpen ini tipis. Ukurannya lumayan kecil (lebih kecil dari buku catatan saya). Desain sampul juga kurang menarik. Tapi, tampilan sederhana dan serba "mini" ini bertolak belakang dari isinya yang berbobot. Buku ini mengupas sisi lain dari sebuah profesi dengan pesan moral yang diantar dengan cara halus namun telak. Tidak rugi saya membeli buku terbitan lama ini. Bagi kamu yang belum baca, cari dan bacalah. Dijamin tidak rugi.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri