Skip to main content

Nasib Eks-"Jugun Ianfu" di Pulau Buru

   
    Judul buku: Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer
    Penulis: Pramoedya Ananta Toer
    Kategori: Non-fiksi
    Penerbit: KPG
    ISBN : 978-9023-48-3
    Cetakan 2: April 2002
    Tebal : ix + 218 halaman
   
    Zaman penjajahan Jepang di Indonesia dahulu banyak gadis perawan dari tanah Nusantara yang dibawa pergi untuk dijanjikan disekolahkan di Tokyo dan Singapura. Namun, itu hanya sebatas ucapan. Ada ribuan gadis yang bernasib sial karena nyatanya balatentara Jepang hanya menjadikan mereka jugun ianfu (wanita penghibur) di tempat yang jauh dari kampung halaman mereka.
   
    Di bagian awal buku dijelaskan kronologis bagaimana para gadis itu "terjerat". Sebagian besar karena terpaksa dan takut oleh ancaman Jepang. Orangtua mereka tidak bisa melawan bilamana Jepang memutuskan seorang gadis harus ikut. Kriterianya hanya dua: cantik dan sehat.
   
    Tentu saja, nafsu bejat para penjajah Jepang menghendaki wajah cantik, juga badan sehat, karena saat itu wabah kelaparan banyak terjadi di berbagai tempat di Indonesia. Otomatis, gadis perawan yang tinggal di desa tidak ikut terjaring sebab kebanyakan dari mereka sakit-sakitan. Yang terjaring hanya mereka yang tinggal di pusat atau pinggiran kota.
  
    Kebanyakan korban "penipuan" ini putri-putri dari para pejabat setempat. Mereka harus memberi contoh bahwa sebuah kebijakan memang benar dan patut untuk berjalan; anak-anak gadis tidak bisa melawan, karena orangtua pun juga tak berdaya oleh ancaman Jepang. Akhirnya kapal-kapal berangkat ke berbagai tempat, di dalam maupun luar Indonesia, membawa para gadis menuju "bencana".
   
    Buku ini berisi catatan yang sebagian besar mengungkap pertemuan para tahanan politik di Pulau Buru dengan para wanita yang dulunya korban jugun ianfu. Pertemuan itu terjadi pada tahun 70-an, puluhan tahun semenjak para gadis itu terpisah dari orangtua mereka. Begitu Jepang terdesak dan keluar dari Indonesia, para gadis mulai berpencar dan melarikan diri. Namun sungguh dilematis. Mereka tidak tahu cara pulang ke kampung halaman dalam kondisi terjebak di pulau yang dihuni warga primitif. Lagi pula, mereka juga malu bertemu keluarga dan para kerabat, andaikan nanti berhasil pulang; kenangan menjadi "wanita pelepas nafsu" tidak bisa mereka tepis begitu saja.
   
    Buku ini bisa jadi bahan yang bagus andai ada movie maker yang hendak mencipta sebuah film berdasarkan satu babak sejarah negeri ini. Buku ini juga jadi petunjuk yang baik bagi mereka yang belum tahu sekurang-kurangnya detail--walaupun belum cukup jelas--tentang bagaimana para gadis itu dibawa oleh Jepang untuk dijadikan jugun ianfu, serta nasib mereka di masa yang akan datang.
   
    Memang benar, tidak semua yang nasibnya selalu buruk seperti mereka yang terjebak di Pulau Buru sampai akhir hayatnya, namun tentu saja jauh lebih banyak yang dianggap "hilang" dan tidak lagi diingat, kalaupun seseorang sanggup mengingat itu tanpa perlu merasa sakit.
   
    Sangat menyentuh dan emosional. Saya rasa buku ini membangkitkan rasa marah dan nasionalisme, namun sekaligus miris. Sebab, pada satu bab buku ini disebutkan: salah satu nasib yang dialami para korban adalah tidak adanya penindaklanjutan dari pemerintah RI.
   
    Sayangnya setengah bagian buku ini, tepatnya bab 8 yang berjumlah 100 halaman lebih, dirasa terlalu bertele-tele. Pertama karena isinya lebih banyak soal kehidupan pribumi di Buru Utara, ketimbang apa yang harusnya menjadi fokus utama: pertemuan dengan salah satu korban yang bernama Bu Mulyati.
   
    Secara keseluruhan buku ini membuka wawasan baru bagi saya. Sebab selama ini yang saya baca soal Pulau Buru hanyalah tentang tempat para tahanan politik pada suatu masa diasingkan. Yah, itu tandanya saya harus menambah bahan bacaan. :)

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri