Judul buku: Kitab Epos Mahabharata
Penulis: C. Rajagopalachari
Kategori: Epik
Penerbit : IRCiSoD
ISBN : 978-602-7640-50-4
Cetakan 2: Februari 2013
Tebal : 482 halaman
Siapa tak tahu Mahabharata? Karya "tua" dari India ini mengandung pelajaran tentang hidup, filsafat, hubungan sosial, dan etika. Tidak sekadar berkisah tentang keluarga besar Pandawa dan Kurawa, ada pula banyak kisah-kisah pencerah budi pekerti dari jauh sebelum Perang Kurusetra berlangsung.
Saya pribadi tidak begitu suka hal-hal berbau India, apalagi lagu dan film India. Namun, membaca karya yang melegenda ini, tidak ada salahnya, 'kan? Di ulasan singkat ini saya tidak menuturkan secara rinci (itu tidak mungkin) tentang semua yang ada di buku ini. Namun, saya cukup mengatakan bahwa karya ini bagus. Kita akan temukan tiap watak manusia, lalu membanding-bandingkan dengan diri sendiri. Meski Pandawa adalah gambaran putih, sementara Kurawa hitam, kita pun tak lepas dari melihat cela itu ada pada sang putih. Ternyata tidak semua orang sepenuhnya suci, alias setiap manusia pasti punya dosa, sekecil apa pun.
Ada bagian-bagian tertentu dari kisah ini yang menurut saya sulit atau malah tidak mungkin diterima pada zaman kini. Seperti pernikahan Pandawa dengan Drupadi, atau seperti hal-hal yang harusnya bisa menjadi solusi namun justru malah menjadi masalah: katakanlah seseorang bisa lahir kembali menjadi apa yang dia mau, yang memang bisa terjadi pada cerita "ajaib" di sini dengan bantuan dewa atau ilmu, namun justru tidak diadakan pada "tokoh tertentu" tanpa alasan yang jelas. Juga, seorang manusia bisa mengalahkan dewa dengan mudah. Logika benar-benar dijungkirbalik dalam cerita ini dan kenapa ia (tetap) disebut mahakarya tiada tertandingi?
Mulanya saya ragu, dan berpikir: ah, ini dongeng, jadi apa saja akan dibuat harus seolah masuk akal dan mudah, biar cepat selesai. Lagi pula, pada saat itu, hal mustahil barangkali dianggap sesuatu yang memang lumrah, meski orang-orang yang hidup di zaman dulu tidak selalu bisa membuktikannya. Tapi, setelah membaca dan membaca sampai akhir, baru saya tahu, bahwa di balik "omong kosong" semacam dongeng ini, ada intisari yang bisa kita petik. Setidaknya saya menemukan tiga. Pertama, ketamakan membuat hidup kita rusak. Kedua, kebodohan membuat kita kalah. Ketiga, tidak bersyukur sama dengan bunuh diri.
Bahwa kacamata saya yang kecil sebagai pembaca ini melihat banyak keganjilan atau ketidaklogisan hubungan antar manusia dalam Mahabharata (ingat: antar manusia, bukan lagi manusia kepada dewa atau hal-hal di luar nalar), itu hanya sekadar cara menangkap. Dan hasilnya belum tentu buruk. Sekurang-kurangnya, meski tidak semua pembaca menyukai buku/kitab besar ini, apa yang terkandung (bukan tertulis) dapat menjadi pelajaran agar bisa menjalani hidup sebaik-baiknya sebagai manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan makhluk hidup lainnya.
Comments
Post a Comment