Judul buku: Catatan Seorang Demonstran
Penulis: Soe Hok Gie
Kategori: Non-fiksi
Penerbit : LP3ES
ISBN : 978-979-3330-33-3
Cetakan 14: Oktober 2014
Tebal : xxx + 385 halaman
Saya kenal sosok Soe Hok Gie pertama kali dari film "Gie" garapan Riri Riza yang dibintangi oleh Nicholas Saputra dan diproduseri oleh Mira Lesmana. Tidak banyak yang saya tahu tentang Gie, karena pada saat film itu rilis, saya masih SMP (usia yang sama ketika Gie mulai "mendokumentasikan" kegiatan sehari-harinya ke dalam buku harian).
Saya pikir film itu bagus, meski ada banyak point yang membuat saya tersesat; siapa sosok Gie sepenuhnya, di mana dia berdiri, bagaimana dia berpikir, dan seterusnya. Semua itu hanya menjadi pertanyaan selama bertahun-tahun di otak saya, yang hanya bisa terjawab dengan saya mencari informasi tentang sosok ini di internet.
Pelan-pelan, saya tahu siapa Soe Hok Gie ini, serta setidaknya peran dia dalam beberapa babak sejarah bangsa ini. Saya kagum tidak lain pada keberanian dan ketegasan Gie berprinsip. Satu hal itu menginspirasi kita, bahwa sebagai kaum muda, kita harus selalu belajar untuk maju dan tidak boleh mundur oleh rasa takut. Satu yang saya ingat tentang cita-citanya adalah setiap manusia mestinya hidup sebagai warga negara yang baik dan maju tanpa dasar kepentingan golongan, ras, maupun agama. Saya lupa-lupa ingat, namun begitulah yang bisa saya ingat.
Adanya buku ini membuka celah baru bagi saya untuk menguak sisi lain Gie lebih dalam. Saya kira dulu saat saya masih SMP, saya tidak mungkin "seberani" dia menentang gurunya sendiri. Saya kira, semasa SMA, saya juga tak mungkin bisa menulis catatan harian sedalam itu. Barangkali karena "ketularan" sifat alamiah sang ayah yang memang penulis, Gie mahir mengolah kata-kata yang keluar dari otaknya menjadi susunan kalimat yang punya daya persuasif bagi pembaca.
Sayangnya, seperti "keluhan" salah satu pengulas di bagian akhir buku ini, "Catatan Harian Seorang Demonstran" hanya berisi sekadar catatan harian Gie yang bersifat pribadi saja, bukan dilengkapi dengan sekian banyak karyanya yang pernah terbit di koran-koran. Maka kita hanya melihat sisi lain Gie, tanpa tahu seutuhnya bentuk pikiran dia tentang bagaimana sebuah negara yang ideal harus berjalan dan lain sebagainya. Gie begitu membenci kemunafikan, membenci kesewenang-wenangan, dan merindukan kata "sejahtera" untuk banyak orang. Tapi, spirit itu kurang disampaikan secara lengkap dan terkesan hanya setengah-setengah.
Ada pula masa-masa penting (1965) ketika Indonesia sedang bergejolak, catatan pada saat itu tidak tercantum. Entah hilang atau ada maksud menyembunyikan sesuatu, saya tidak tahu. Bukan berprasangka, hanya saya jadi berpikir, apa yang perlu ditutup dari seorang Gie yang dikenal baik di mata, bahkan mungkin: hati, setiap orang yang juga rindu kata itu: sejahtera tanpa kepentigan golongan, ras, dan agama.
Jujur saja, oleh karena alasan itu, saya sering mengantuk membaca buku ini, karena sebagian besar berisi kegiatan sehari-hari yang agaknya tidak lebih penting ketimbang tulisan-tulisan Gie di koran yang "konon" berani itu. Saya sebut "konon", karena tidak semua generasi muda saat ini berkesempatan untuk setidaknya mencari tahu apa yang dia tulis pada saat itu, lalu mempelajari, dan mungkin, kalau tidak mustahil: melanjutkan apa yang dia cita-citakan secara mulia.
Namun demikian, usaha menyaring bagian-bagian tertentu dari catatan harian Gie tetap patut kita hargai. Saudara dan para sahabatnya yang punya inisiatif menghimpun dan menyalin catatan ini, dengan mengedit banyak nama orang agar tidak terjadi pencemaran nama baik, hingga terbit dalam bentuk buku. Sekurang-kurangnya, kita tahu bahwa bagaimanapun "ketidaklengkapan" catatan Gie, kita tahu sosok ini adalah orang yang berani dan tegas. Dan, di balik itu dia juga pribadi lembut yang rela "dijauhi" demi kebenaran yang ia yakini.
Comments
Post a Comment