Skip to main content

Mencari Kebebasan di Dunia Gelap

    
    Judul buku: Malam Terakhir (Edisi Baru)
    Penulis: Leila S Chudori
    Kategori: Kumpulan cerpen
    Penerbit: KPG
    ISBN : 978-979-91-0215-7
    Cetakan 1: November 2009
    Tebal : xviii + 117 halaman
   
    Kumpulan cerpen ini sebagian besar melukis pergolakan dan pemberontakan dalam diri anak manusia. Cerita-cerita yang gelap dan suram. Di "Adila" (hal 19) dikisahkan seorang anak yang terkekang oleh dinding besar yang dibangun oleh sang ibu. Hingga, demi membongkar kekangan itu, cara yang bisa ia lakukan cuma satu: memanggil teman-teman imajiner yang dikenalnya di berbagai buku. Ini upaya anak kecil yang tak berdaya oleh keinginan keras orangtua. Menyentil dan mencerahkan.
   
    Hal yang sama bisa kita temui pada "Ilona" (hal 83). Hanya saja, kuasa anak hampir menyetarai, atau malah mengalahkan, wewenang orangtua. Dinding itu dibentuk oleh penolakan sang anak pada aturan dunia pada diri perempuan. Sementara "Malam Terakhir" (hal 105) punya bentuk yang hampir sama dengan "Adila", hanya saja si anak terlalu lemah untuk melawan. Menariknya, cerpen yang dijadikan judul buku ini dilatarbelakangi suatu rezim berdarah yang begitu dinikmati oleh kaum pejabat. Ini yang membuatnya berbeda. Si anak tidak sekadar bertemu dinding yang membelenggunya dalam label "ningrat", tetapi juga menjauhkannya dari realitas yang mestinya melebur dalam diri setiap manusia, tak terkecuali dirinya sebagai anak seorang pejabat.
  
    Kemunafikan digambarkan begitu lugas di "Sehelai Pakaian Hitam" (Hal. 49) dan "Keats" (Hal. 71). Keduanya nyaris berbentuk sama. Namun, saudara "hampir" kembar ini--meski mengambil latar belakang yang sama (dunia penyair/pengarang)--membuka kemungkinan berbeda lewat akibat yang terjadi. "Sehelai Pakaian Hitam" seperti sengaja menohok ulu hati mereka yang selalu ingin terlihat tanpa noda. Sementara, "Keats" justru sengaja memamerkan bahwa beginilah hidup yang seharusnya: tidak menutupi bintik-bintik noda pada diri sendiri. Tidak cuma itu, "Keats" juga mengandung unsur pemberontakan pada diri perempuan yang selalu dikekang.
   
    Sementara itu, cerita-cerita bernada sosial bisa dijumpai pada "Paris, Juni 1988" (hal. 1) dan "Sepasang Mata Menatap Rain" (hal 93). Keduanya mengambil sudut pandang berbeda. Dalam "Paris, Juni 1988", individualisme ditonjolkan, lalu diolok-olok, meski dengan cara yang agak samar. Sedangkan "Sepasang Mata Rain" berusaha menolak indovidualisme itu dengan cara yang amat menyentuh.
   
    Secara keseluruhan, buku yang berisi 9 cerpen karya Leila S Chudori ini membawa gagasan-gagasan cemerlang. Hanya saja, ada beberapa cerpen yang dirasa kurang enak untuk dinikmati karena terkesan bertele-tele, atau kadang mengambil "scene-scene" tak penting andaikan sebuah cerita kita anggap film.
   
    Namun, kumpulan cerpen ini setidaknya membuat saya "lega". Dua cerpen: "Malam Terakhir" dan "Sepasang Mata Menatap Rain", saya anggap yang terbaik, karena meski jumlah halamannya panjang, tidak terkesan mengulur waktu, karena setiap bagian menjadi potongan puzzle. Memang begitulah sebuah cerpen seharusnya. Ia tidak sekadar bercerita, tetapi juga membawa pembaca menyelam ke dalamnya.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri