Judul buku: Maryam
Penulis: Okky Madasari
Kategori: Novel
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 978-979-22-9384-5
Cetakan 2: Februari 2013
Tebal : 280 halaman
Maryam lahir sebagai seorang "ahmadi", sebutan untuk penganut aliran Ahmadiyah. Ia lahir dan besar di desa pesisir bernama Gerupuk, di Lombok. Lepas SMA, Maryam hijrah ke Surabaya, kuliah di sana. Lulus kuliah, ia mendapat pekerjaan enak di Jakarta dengan gaji yang membanggakan.
Namun, hidup Maryam tak sesimpel itu. Sebagai seorang ahmadi, yang mengimani sesuatu yang berseberangan dengan Islam sejati, ia dan keluarganya terombang-ambing dalam berbagai masalah pelik selama bertahun lamanya. Ia sempat dijodohkan dengan Gamal dan Umar, pemuda baik yang juga lahir di keluarga ahmadi. Namun, ketika itu hati Maryam tertambat pada Alam, seorang muslim sejati yang tinggal di Jakarta.
Tentu saja orangtua kedua belah pihak menentang Alam dan Maryam; sama-sama meminta calon menantu untuk pindah "keyakinan". Alam tidak bisa, hingga akhirnya Maryam pun meninggalkan "atribut" Ahmadiyah yang melekat di dirinya selama ini, sebuah identitas yang sering kali membuatnya takut oleh karena perkataan "sesat" yang muncul dari bibir setiap orang.
Maryam menikah dengan Alam tanpa restu ayah ibunya. Bertahun-tahun lewat, nyatanya mahligai itu kandas. Alam yang selalu mengikuti arahan ibunya, Alam yang tidak bisa mengambil keputusan sendiri, Alam yang tidak tegas, membuat Maryam menyesal telah melukai orangtuanya di kampung. Maka, mereka cerai dan Maryam pulang setelah lima tahun ia menikah tanpa pernah kembali ke Lombok.
Di Gerupuk, kampung halamannya, Maryam justru menemui kenyataan pahit. Setahun usai ia menikah, keluarganya di sini diusir karena apa yang mereka yakini. Maryam mencari ke sana kemari dan pertemuan dengan keluarganya membuatnya memutuskan tidak akan kembali ke Jakarta.
Hidup baru pun dimulai. Maryam kembali untuk cintanya pada keluarga, bukan iman. Ia sudah melepas atribut ahmadi itu. Tapi, tentu saja, ia tidak bisa membiarkan keluarganya diusir begitu saja dari rumahnya. Di sini ia menikah dengan Umar, yang dulu sempat dijodohkan dengannya tapi batal. Ternyata Umar pemuda baik.
Ketika itu kondisi keluarga dan rumah baru keluarga Maryam sudah pulih, setelah empat tahun lalu diusir dari Gerupuk. Namun, tidak lama setelah Maryam menikah dan hamil, pengusiran kembali terjadi. Rumah mereka dihancurkan. Bersama keluarga ahmadi lainnya, mereka mengungsi tanpa bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak bisa menuntut rumah mereka. Tapi, Maryam terus berjuang untuk itu, meski hasilnya bak fatamorgana di tengah padang pasir.
Menurut saya, gagasan yang dibawa penulis novel ini cukup bagus. Lepas dari penyimpangan kelompok Ahmadiyah (saya sisihkan dari ulasan singkat ini), kita bisa belajar setidaknya dua hal dari apa yang Maryam dan keluarganya alami. Pertama, meluruskan sesuatu mestinya tidak perlu dengan kekerasan. Di novel ini hal itu terlihat sangat jelas, hingga membuat sulit membayangkan bagaimana kalau nasib kita ada di pihak keluarga Maryam. Cahaya itu datang dengan cara lembut, sebagaimana akhlak Rasulullah. Maka, kekerasan bukanlah solusi untuk soal semacam ini. Kedua, betapa pun orangtua adalah segalanya; tidak peduli siapa mereka dan bagaimana kondisi kita saat ini. Maryam, sebagai gadis yang lahir "ahmadi"--yang kemudian memilih meyakini hal lain dari keluarganya di usia dewasanya--tetap menghormati dan menghargai apa pun yang orangtuanya yakini.
Memang tampak sederhana gagasan di atas, namun setelah diresapi, ada sesuatu yang mengembang di dada kita sebagai umat beragama (terlebih bagi yang Islam). Islam itu rahmat bagi semesta alam. Bukan begitu? Hanya saja, teknik bercerita novel ini menurut saya menjenuhkan. Tidak sesuai dengan harapan saya ketika mencari beberapa buku pemenang ajang KLA (Khatulistiwa Literary Award) yang bergengsi itu. Mungkin memang para dewan juri punya cara lain dalam menilai--barangkali dari segi pesan kuatnya, atau lain-lain. Tapi sejauh ini, buku ini bagus. Menceritakan tentang sesuatu yang perlu diluruskan dari sudut pandang pelakunya sendiri (baca: ahmadi), meskipun bagi penikmat sastra tidak terlalu pas untuk dinikmati.
Comments
Post a Comment