Skip to main content

Kegagalan Dunia Ajaib

     
    Judul buku: Alice in Wonderland
    Penulis: Lewis Carroll
    Kategori: Dongeng
    Penerbit : Atria
    ISBN : 978-979-1411-71-4
    Cetakan 1: November 2009
    Tebal : 175 halaman
   
    Alice terperosok ke lubang kelinci dan tiba di dunia aneh yang membuat badannya bisa berubah menjadi besar dan kecil hanya dengan makan dan minum sesuatu. Di dunia ini ia bertemu kelinci berjas yang bisa bicara. Ia juga bertemu tikus dan burung-burung yang bisa bicara. Segala hal yang aneh ia temui, mulai dari kucing yang bisa hilang, sampai ulat yang mengisap hookah (semacam rokok), pembuat topi, raja yang bodoh, dan ratu kejam yang senang memenggal kepala.

    Sebenarnya ide cerita buku ini bagus, yakni segala keanehan yang Alice alami hari itu tidak lebih dari mimpi. Hanya saja, saya rasa Lewis Carroll benar-benar gagal total dalam merealisasikan idenya ke sebuah cerita. Mohon maaf, saya harus mengatakannya secara jujur sebagai pembaca. Saya tidak bisa menikmati plot, juga saya tidak bisa melihat "nilai" kehadiran para tokoh yang kebanyakan seperti dipaksa masuk ke dalam cerita. Maka, yang saya lihat cuma gambar berjalan (mengabaikan ilustrasi yang dicetak dalam tiap bab), yang seolah mengajak kita jalan-jalan dengan pemandu yang tidak berhenti berceloteh membosankan, misalnya seperti ini: "Ini rumah Pak Wali Kota. Sesudah itu Kantor Telepon. Di sebelahnya ada stasiun kereta api, dan kalau kamu belok ke sana akan ketemu peternakan kuda..." dan seterusnya. Apa kita tahu kaitan antara tempat-tempat itu atau tidak, rasanya tidak penting.
   
    Maka saya heran bagaimana buku ini bisa masuk ke dalam daftar 1000 buku yang harus dibaca sebelum mati. Saya kira baiknya buku ini digantikan oleh satu buku lain yang lebih layak untuk masuk daftar itu. Buku ini gagal total kalau untuk pembaca dewasa yang mencari lebih dari sekadar seorang "tour guide". Mungkin buku ini bagus bagi anak-anak dan bisa membuat mereka berimajinasi. Sayangnya, itu pun juga saya kurang yakin, karena ada banyak bagian yang tidak mengajarkan hal baik seperti mengatai-ngatai orang dengan sebutan "Bodoh!".
   
    Tentu saja buku ini sangat jauh bila dibandingkan salah satu film hasil adaptasinya (kalau tidak bisa disebut improvisasi habis-habisan dari novel ini) yang rilis 2010 dan disutradarai Tim Burton. Memang, saya tidak adil kalau membandingkannya, tapi bukankah ada banyak film adaptasi novel yang hasilnya jauh lebih jelek ketimbang novel itu sendiri? Nah, di kasus ini malah sebaliknya. Film Alice in Wonderland yang rilis 2010 itu sangat bagus--meskipun beberapa tokoh dalam buku "dihapus", serta ada penambahan beberapa tokoh baru di film tersebut--setidaknya kita tahu arah dan bisa menikmati jalan cerita.
   
    Saya jadi tertawa mengingat komentar teman tentang buku ini sebelum saya sempat membaca: "Idenya bagus, tapi eksekusinya sangat buruk!" Mulanya saya tidak yakin, tapi sekarang percaya. Akhirnya, semua kembali pada kamu; bagi yang belum membaca, silakan baca. Siapa tahu punya pendapat berbeda? Ulasan ini hanya pandangan dari seorang Ken Hanggara, bukan semua pembaca. :)

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri