Skip to main content

Jungkir Balik Dunia Remaja

   
    Judul buku: Flipped
    Penulis: Wendelin Van Draanen
    Kategori: Novel
    Penerbit : Orange
    ISBN : 978-602-8851-80-0
    Cetakan 1: Agustus 2011
    Tebal : 259 halaman
   
    Julianna Baker kedatangan tetangga baru. Bryce Loski, bocah lelaki di keluarga itu, sepantaran dengannya. Mereka sama-sama duduk di bangku kelas dua SD. Juli amat menyukai Bryce dan menganggap apa yang bocah lelaki itu lakukan adalah respon baik untuknya. Namun, di sisi lain, Bryce justru amat membenci Juli dan berusaha sebisa mungkin menghindari darinya.
   
    Waktu berlalu. Suatu hari Juli memelihara enam ekor ayam dari hasil percobaan di sekolah. Ayam itu tumbuh dan bertelur banyak sekali, sampai ia harus menjualnya. Atas dasar rasa sukanya pada Bryce, Juli memberikan sebagian telur itu pada keluarga Loski. Sayangnya, Mr Loski (ayah Bryce) mendidik anaknya dengan kedisiplinan yang salah. Ada salah paham yang terjadi ketika membicarakan ayam-ayam dan kondisi halaman rumah keluarga Juli yang berantakan. Maka, Bryce seolah mendapat tugas "menghentikan" kiriman telur itu dari Juli.
  
    Sayangnya Bryce tidak berani menghadapi Juli. Ia pikir Juli gadis yang aneh. Juli senang memanjat pohon sikamor dan tampak berbeda dari anak lainnya. Tapi, tentu saja Juli normal. Gadis itu hanya lebih pintar dari mereka yang seumuran dengannya. Maka, karena takut pada ayahnya, Bryce membuang kiriman-kiriman telur dari keluarga Juli berikutnya ke tempat sampah, karena percaya telur itu bisa menularkan penyakit salmonela akibat kandang ayam Juli yang sangat kotor.
   
    Bryce menyimpan rahasia itu sampai bertahun-tahun. Akhirnya Juli menangkap basah Bryce saat akan membuang telur pemberiannya. Sejak saat itu, Juli marah dan pelan-pelan menjauhi Bryce.
   
    Dalam novel ini adalah satu tokoh kunci, yakni Kakek Bryce. Ia orang bijak yang berani bicara kebenaran, tidak peduli meski ditentang oleh menantunya sendiri (ayah Bryce). Kehadiran Kakek yang turut membantu membereskan halaman rumah Juli, pelan-pelan melunakkan hubungan antara Juli dan Bryce, juga membuka kemungkinan bagi kedua remaja itu agar melihat segala sesuatu dengan sudut yang lebih luas; tidak sekadar menilai dari permukaan.
   
    Sosok yang juga penting: Mr. Baker (ayah Juli). Ia orang bersahaja, meski miskin. Belakangan diketahui ia punya adik laki-laki yang cacat mental. Sebab itulah kondisi keluarganya miskin; sebagian besar uang disisihkan untuk perawatan saudaranya. Cara mendidik Mr Baker membuat Juli tumbuh menjadi anak istimewa. Dari lukisan-lukisan karyanya (ia seorang pelukis), Mr Baker tidak langsung mengajari Juli untuk melihat segala sesuatu dalam sebuah kesatuan, bukan bagian per bagian.
   
    Meski novel remaja, "Flipped" menurut saya tidak sekadar kisah cinta remaja. Dari wawancara penulis yang dicantumkan di bagian akhir buku, tampak betul bahwa penulis novel ini menghargai proses. Ia menunjukkan kepada kita bukan sekadar capaian manis dari sebuah angan (cinta, cita-cita, dsb), melainkan bagaimana kita memutuskan sesuatu itu baik atau tidak untuk dijalani.
   
    Permainan POV novel ini asyik. Julianna dan Bryce bergantian "bercerita" segala yang mereka berdua alami sesuai sudut pandang masing-masing. Banyak benturan tak terduga yang justru membuat cerita makin seru, serasa kita jungkir balik di dunia remaja. Saya pribadi tidak suka membaca cerita remaja, sejak beberapa tahun terakhir. Namun saat "mencoba" membaca Flipped, saya tidak sekadar membaca cerita remaja. Tentu saja, bagi kalian yang sudah menonton versi filmnya (rilis 2010), rasanya lebih bagus versi novel.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri