Skip to main content

Review Buku: "Watanabe dan Hidupnya yang Abu-abu"

   
    Judul buku: Norwegian Wood
    Judul asli: Noruwei no Mori
    Penulis: Haruki Murakami
    Kategori: Novel
    Penerbit: KPG
    ISBN : 978-979-91-0835-7
    Cetakan kelima: Feb 2015
    Tebal : 426 halaman
   
    Sebuah lagu dari band legendaris The Beatles yang berjudul "Norwegian Wood" membuat Toru Watanabe terbang kembali ke masa lalu. Masa muda yang sepi dan tidak begitu penuh warna itu ia mulai dengan persahabatannya bersama Kizuki, pemuda baik yang seolah diutus Tuhan sebagai penghubung antara dia dengan dunia luas.
   
    Watanabe tidak memiliki teman dekat selain Kizuki. Bersama dengan Naoko, pacar Kizuki (sekaligus cinta pertama Watanabe), hubungan ketiganya terjalin secara tidak wajar. Kizuki yang ceria, terlihat pas bila disandingkan dengan Watanabe dan Naoko yang pendiam. Amat aneh, mengingat status Kizuki dan Naoko yang sedang berpacaran dan seharusnya hanya senang pergi berdua saja. Nyatanya tanpa Watanabe hidup mereka kurang lengkap.
  
    Namun, sepeninggal Kizuki, baik Watanabe maupun Naoko sama-sama hanyut dalam kenangan. Keduanya masih bertemu, namun hanya sedikit bicara. Dan jelas sekali tanpa sadar kepergian Kizuki mengubah segalanya menjadi amat kacau, meski sekadar disimpan di hati dan pikiran. Naoko mengalami gangguan jiwa sejak pacarnya itu mati. Di sisi lain, Watanabe yang selalu kesepian, tidak bisa hidup selain dengan menemui Naoko, yang dianggapnya sebagai, lagi-lagi: penghubung dirinya dengan dunia luar.
   
    Kehidupan sebagai anak asrama membuat Watanabe jauh dari keluarga, sekaligus menjalani kisah yang penuh dengan kebebasan tanpa warna, menjenuhkan, membosankan. Seks bebas yang "diajarkan" Nagasawa kepadanya, kebiasaan "formal" teman sekamarnya yang dijuluki Kopasgat, sampai pertemuan dengan Midori, gadis nakal yang blak-blakan dan menyukainya dengan cara aneh, menggiring Watanabe pada ketidakpastian hidup.
   
    Watanabe tidak bisa memilih antara apakah ia benar-benar menjaga Naoko sebagai satu-satunya penghubung antara dia dan masa lalu, atau Midori yang kini hadir sebagai penghubung antara dirinya dengan dunia luar. Semua serba tak pasti oleh karena jiwa labil Watanabe yang terlalu muda dan melihat hidup ini sebagai suatu yang hitam putih. Yang ada di kepalanya adalah bagaimana sedapat mungkin ia membuat setiap orang yang dekat dengannya merasa nyaman. Yang jadi soal adalah: hanya sedikit manusia yang benar-benar dekat dengan dirinya.
   
    Cerita sepanjang novel ini menitikberatkan hubungan rumit antara ketiga tokoh: Watanabe, Naoko, Midori. Ini berkaitan dengan masa lalu serta problema yang mereka alami masing-masing. Di ending kita tahu Watanabe dua puluh tahun mendatang, sesudah segala cerita ini berlalu, ternyata tidak sepenuhnya bisa melupakan Naoko. Mungkin karena gadis itu mati dengan cara yang buruk.. "Norwegian Wood", lagu kesukaan Naoko, membuatnya merasakan suatu hal yang aneh, hingga kemudian mati bunuh diri.
   
    Novel ini membuat saya agak sumpek, karena membayangkan betapa abu-abunya hidup yang dijalani Watanabe. Mungkinkah karena kekuatan pena Murakami? Saya kurang yakin karena penerjemahan novel ini menurut saya kurang enak untuk dibaca. Barangkali soal selera. Ya, saya katakan saya tidak suka hasil terjemahan buku ini. Tapi, tentang Watanabe, ketidakjelasan yang tokoh ini alami mungkin disebabkan karena dia masih terlalu muda, dan terpukul oleh kematian Kizuki tanpa dia sadari, sehingga ia lampiaskan itu dengan segala kemungkinan yang ada, yang membimbing tanpa bisa ia tolak menuju sebuah lubang/jurang. Lagi pula Watanabe tidak pernah punya sahabat sedekat Kizuki, bukan? Mungkin harapan akan penerimaan atau justru pelarianlah yang membuatnya begini.
   
    Tapi ada sisi menarik terkait seks bebas "para pemuda kota" yang Nagasawa dan Watanabe, serta boleh jadi pemuda-pemuda seusia mereka pada saat itu, lakukan. Setting cerita ini sekitar akhir tahun 60-an. Apa yang ditulis Murakami mungkin bertolak dari fakta yang memang ada pada masanya. Anggap saja ini dugaan, karena saya jelas tidak tahu, hanya sekadar menebak. Maka, jujur saya agak bingung sampai membayangkan Indonesia di era 60-an akhir dahulu; tentang para pemuda dan budaya pergaulannya. Kalau benar dugaan ngawur saya ini fakta, yakni bahwa di Jepang pada saat itu sudah terjadi pergaulan bebas model begini: tidur dengan sembarang perempuan meski bukan pelacur, serta (mungkin) menganggap itu adalah rutinitas harian yang lumrah, alangkah "maju"-nya perkembangan kehidupan anak muda Jepang sebagai orang Timur yang tahu batas. Seks bebas ketika itu masih menjadi hal tabu, bahkan terlarang kalau tidak bisa disebut lebih kasar dengan "terkutuk" di Indonesia. Tapi di Jepang itu sudah menjadi hal yang biasa. Amazing!
   
     Namun di luar itu tidak ada lagi hal menarik yang saya dapat selain menyelami kedalaman jiwa para tokohnya yang dibuat seolah agar kita selalu bersyukur pada hidup. Saya pikir, "Betapa kacaunya mereka!", atau kadang: "Malang sekali!", lalu percaya bahwa di luar sana memang ada hidup semacam ini. Membaca buku ini menyadarkan saya bahwa "kesepian" itu tidak benar-benar membelenggu diri ini. Ada yang lebih berhak merasa "sepi", yakni Watanabe.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri