Judul buku:
Kubah
Penulis: Ahmad
Tohari
Kategori:
Novel
Penerbit:
Gramedia Pustaka Utama
ISBN :
978-979-22-8774-5
Terbit
pertama: 1981
Cetakan
keempat: September 2012
Tebal : 216
halaman
Harga: Rp.
38.000,-
Karman bimbang
di hari kebebasannya setelah diasingkan di Pulau Buru selama 12 tahun sebagai
tahanan politik. Semasa muda ia sempat menjadi anggota partai komunis. Maka ia
yakin warga desa tidak bakal sudi menerimanya kembali. Lebih-lebih, beberapa
tahun yang lalu, ia harus merelakan Marni, istrinya, kawin lagi dengan sahabat
lamanya di Pegaten, Parta. Keadaan memang tidak menguntungkan sepasang suami
istri ini ketika itu. Mereka masih saling mencintai meski Karman tidak jelas
kapan akan bebas, sementara Marni kesulitan dalam hal ekonomi.
Atas desakan
dan pengucilan keluarga, akhirnya Marni menerima lamaran Parta demi
menyelamatkan anak-anak mereka dari kelaparan. Maka surat yang ia kirimkan
kepada Karman seolah menjadi bencana bagi lelaki malang itu. Karman benar-benar
merasa dibuang.
Dulu keluarga
Karman orang terhormat. Ayahnya seorang mantri yang disegani. Namun
kedatangan Jepang membuat segalanya kacau. Beras yang ketika itu langka,
sementara orang hanya bisa memakan singkong untuk bertahan hidup, tidak membuat
Pak Mantri prihatin. Sebagai orang terhormat, ia tidak bisa makan selain nasi.
Maka ditukarlah satu setengah hektar sawah miliknya dengan Haji Bakir, ulama
terkenal yang juga kaya raya di desa itu, dengan satu ton padi. Barter itu
dilakukan atas paksaan Pak Mantri yang benar-benar tidak sudi memakan singkong,
yang notabene makanan rakyat bawahan.
Tapi sungguh
sial keluarga itu. Bapaknya yang dianggap tidak berpihak pada negara , diculik
dan dibunuh oleh para pejuang karena dianggap jadi antek penjajah. Karman yang
masih kecil harus menanggung beban keluarga. Di rumah Haji Bakir akhirnya ia
bekerja. Pekerjaan ringan di rumah orang kaya itu ia lakukan, sambil sesekali
menjaga Rifah, anak bungsu Haji Bakir yang lama-lama Karman sukai.Rifah anak
manja. Apa-apa yang diminta, selalu diusahakan oleh Karman. Mereka sudah
seperti kakak beradik saja, meski Karman sendiri punya adik kandung.
Waktu berlalu,
Karman melanjutkan sekolah. Kehidupan mereka membaik karena kebaikan Haji Bakir
pada keluarga mantri yang jatuh miskin itu. Mungkin karena itu Karman terdidik
jadi bocah pembelajar yang mandiri dan pintar. Dan ini menarik hati seorang
guru bernama Margo, yang tidak lain penganut diam-diam paham komunis.
Bersama
kawan-kawan separtai komunis, Margo menyusun rencana menanam pengaruh kuat
komunisme di Pegaten. Kebetulan ketika itu Karman yang lulusan SMP sedang
mencari kerja. Masih jarang anak Pegaten berijazah SMP. Maka dengan cara KKN
yang tidak disadari Karman, gampang juga ia masuk jadi juru tulis di kecamatan.
Ia tidak tahu bahwa pekerjaan itu harus dibayar oleh cara berterima kasih yang
salah; yakni mengikuti apa yang Margo dan kawan-kawan komunisnya inginkan
dengan sukarela.
Buku-buku
paham komunis pun digelontorkan ke Karman. Banyak buku yang ia baca dan tanpa
disadari kelak memberi pengaruh besar di dirinya. Bahwa tuan tanah bertindak
sewenang-wenang terhadap rakyat kecil, adalah perbuatan busuk. Dan itu harus
dilawan dengan mengambil alih kekuasaan.
Namun tentu
saja, ada cara pandang yang salah dan tidak disadari oleh Karman. Ia semakin
jauh dari Tuhan. Lebih-lebih, ia mulai membenci Haji Bakir. Lamarannya pada
Rifah ditolak karena keduluan seorang pemuda kaya. Ya, Karman menyukai Rifah
dan ia mulai dibakar cemburu setelah oleh Margo dan kawan-kawan dipanas-panasi
bahwa penolakan itu bukan karena Karman kalah cepat, tetapi karena Haji Bakir
mementingkan golongan kelompoknya: orang kaya lebih pas bersanding dengan
orang kaya. Dan orang miskin, selamanya harus diperbudak. Padahal Haji Bakir
tidak begitu. Tapi Karman kadung termakan, hingga ia membalas dendam dengan
kebencian pada keluarga ulama itu dan menjauhi masjid yang dulu sempat
membesarkannya.
Hari demi hari
darah komunis mengalir pekat dalam tubuh Karman yang dulunya lugu kini menjadi
licik dan sinis. Margo dan kawan-kawan mencoba mengubah pandangan orang
terhadap Karman dengan berbagai cara, hingga akhirnya Rifah pun sudah menjadi
istri orang.
Pernikahan
Karman dengan Marni terjadi tanpa halangan dari anggota partai karena orangtua
Marni orang miskin, dan tidak berpengaruh di desa. Kehidupan Karman pun
bahagia, tanpa tahu bahwa ada api besar menunggu mereka di depan. Tiga tahun
menikah, awal Oktober 1965, Karman harus melarikan diri karena mendengar banyak
kawan-kawan separtainya yang mati dibantai. Ia bersembunyi dan meninggalkan
anak serta ketiga istrinya. Sampai berbulan-bulan, ia ditemukan di tempat
terpencil dalam kondisi lemah. Di situlah ia kemudian menjadi tahanan Pulau
Buru.
Kini,
sekembali Karman ke desa, ia tidak begitu yakin. Namun tidak diduga. Anak-anak
yang dulu ia tinggalkan, ternyata merindukannya. Marni yang terlanjur kawin
lagi dengan Parta, dan punya dua anak kecil saat ini, tidak bisa berbuat
apa-apa. Ia masih mencintai Karman tapi keadaan tidak mungkin membuat mereka
kembali.
Di luar dugaan
Karman, orang-orang yang dulu mereka sakiti kini menerimanya kembali. Arti
keberadaannya yang dikiranya hampa, ternyata hanya pikirannya saja. Tidak ada
yang tidak sudi merangkulnya kembali, dan melupakan masa lalu kelam lelaki
malang itu. Pemugaran masjid membuat Karman semakin berarti di mata mereka.
Sebuah kubah ia bangun, sebagaimana ia berniat membangun kembali kepercayaan
yang dulu sempat dirusaknya.
Buku ini
memberi kita dua hal: pertama pengetahuan tentang kondisi politik tahun 1965
yang kelam; tentang bagaimana kehidupan orang-orang partai yang bergerak di
bawah tanah, tentang bagaimana beberapa konspirasi dijalankan. Kedua, pesan
bahwa tidak ada sesuatu yang selesai selama kaki terus melangkah, tidak putus
asa.
Karman hampir
bunuh diri ketika ditinggal istrinya kawin, meski Marni terpaksa. Tapi ia tidak
jadi mengakhiri hidupnya. Ia pulang, meski dengan perasaan yakin ditolak. Namun
Karman nyatanya diterima. Andai ia bunuh diri di tahanan, maka selamanya
Pegaten mengenang lelaki itu dengan cara memalukan. Sejatinya jalan di depan
memang buram, tapi berhenti sama sekali bukan pilihan bijak. Pilihlah jalan
dengan tepat, maka hati yang lapang akan membuat keburaman itu terang
benderang.
Comments
Post a Comment