Skip to main content

Review Buku: "Antara Pengarang dan Tokoh Rekaannya"





Judul buku: Trilogi Soekram
Penulis: Sapardi Djoko Damono
Kategori: Novel
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 978-979-03-1478-5
Terbit: Maret 2015
Tebal : 273 halaman
Harga: Rp. 62.000,-

Soekram datang dan memperkenalkan diri kepada "aku" sebagai tokoh rekaan seorang pengarang yang sudah mati. Untuk itulah Soekram datang dan meminta kepada "aku", selaku sahabat dekat si pengarang, untuk membantu menerka-nerka bagaimana kelanjutan kisah itu. Kisah yang dijalani Soekram dalam cerita itu memang belum selesai, sehingga nasibnya sebagai seorang tokoh jadi tidak jelas.

Maka "aku" mau saja menuruti permintaan Soekram. Dengan izin istri si pengarang untuk membuka file-file di komputernya, didapatilah kisah kompleks Soekram yang hidup sebagai seorang pengajar, yang tengah dirundung perasaan cemas dan tak tentu akibat hadirnya tiga wanita sekaligus dalam hidup. Suasana negeri Indonesia ketika itu sedang kritis. Mei 1998 menjadi latar waktu kisah di bagian pertama trilogi ini.
Di bagian kedua, "aku" tiba-tiba bertemu sang pengarang yang dulu kata Soekram sudah mati. Ternyata beberapa tahun setelahnya pengarang itu tampak masih hidup dan menuntut pertanggungjawaban "aku" karena menuruti permintaan Soekram menerbitkan kisah pertama. Padahal, kisah itu, menurut si pengarang, adalah tipu daya Soekram. Di sana Soekram hendak mengelabui semua orang dengan mengacak-acak banyak bagian hingga karya tersebut bukan asli bikinan sang pengarang lagi.

Sebagai bayaran akan kecerobohannya, "aku" pun diminta untuk menerbitkan kisah lain tentang Soekram, yang ditulis oleh pengarang yang masih hidup itu. Ini akan jadi kisah pamungkas yang bakal menampik kekurangajaran Soekram sebagai tokoh rekaan di kisah pertama. Diceritakalah bahwa ketika itu Soekram hidup di masa sekitar revolusi. Di bagian ini ia bimbang melihat berbagai ideologi saling bertumbukan di orang-orang yang hidup di sekitarnya. "Di padang pasir, tidak pernah ada larangan untuk memakan pasir." Bisikan itu terus mengejar Soekram, yang kemudian dapat pembaca pahami di akhir bagian kedua trilogi ini, bahwa ketika itu kita tidak bisa mempercayai siapa saja, kecuali diri sendiri.

Di bagian akhir trilogi, Soekram bosan selama ini hidup hanya sebagai tokoh rekaan. Ia hendak keluar dari zona aman dan kebiasaan. Maka kepada "aku", lagi-lagi ia bikin masalah. Soekram ingin jadi pengarang! Ya, sudah barang tentu si "aku" pusing. Dulu kisah pertama dan kedua saja sudah membuatnya pusing. Kini Soekram malah mengoceh dan ingin menulis ceritanya sendiri. Maka "aku" menyerah dan membiarkan saja ulah Soekram yang kelewat pintar itu.

Di kisah ketiga yang ditulis oleh Soekram, kita mundur lagi ke waktu kala Belanda masih menjajah Indonesia. Ada tokoh yang dulunya seorang pengusaha, bernama Datuk Meringgih, hendak memimpin pemberontakan besar. Ia begitu disegani dan dihormati oleh orang Minang. Soekram pun datang jauh-jauh dari Jawa karena kagum padanya. Siti Nurbaya, anak seorang antek Belanda, ikut menentang penjajah dan mendukung perjuangan Datuk Meringgih. Di antara keduanya, ada hubungan kompleks yang sulit dipahami Soekram.

Tentu saja, sebagai penulis cerita, Soekram tahu bahwa hubungan itu adalah soal asmara. Tapi sebagai penulis cerita ini pula, Soekram berhak cemburu hingga membuat tokoh terhormat itu, Datuk Meringgih, menjadi agak berengsek karena sudah menyebar fitnah bahwa Nurbaya diperkosa oleh Samsul, calon suami yang tidak dia cintai, saat pergi ke Betawi.

Di bagian ketiga ini, jujur saja, pembaca agak tergelitik saat tokoh Semar dan Kartini, juga almarhum Marah Rusli (pengarang fenomenal itu), ikut dibawa-bawa dalam cerita. Bahkan tidak hanya itu, seorang garin penyuka sambal, yang tukang asah pisau itu, yang menjaga sebuah surau di sebuah desa pun, juga ikut dibawa-bawa (ini mengingatkan kita pada sebuah cerpen fenomenal). Meski membahas perjuangan, di bagian ini Sapardi Djoko Damono mengajak kita belajar bahwa seorang pengarang sejatinya tidak pernah mudah melepaskan pengaruhnya pada apa yang dia tulis.

Membaca "Trilogi Soekram" ini, kita dibuat termenung, kadang sedih, atau tertawa. Seolah-olah sang pengarang tidak pernah harmonis dengan tokoh rekaan yang dia tulis. Kita bisa menangkap pesan penting, bahwa ada begitu banyak cerita yang ditulis, tidak akan berarti jika seorang pengarang tidak menghidupkan tokoh-tokoh rekaannya dengan cara "dibaca". Dan bahwa ada begitu banyak pengarang bercerita, tidak akan berarti jika tokoh rekaannya hanya dibuat untuk memuaskan nafsu pribadi semata.

Baca buku ini, maka kau temukan hubungan paling aneh tapi nyata, antara seorang pengarang dan apa yang dia tulis, sebuah hubungan yang sedikitnya menyentak alam bawah sadar pembaca yang (kebetulan) juga pengarang.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri