Skip to main content

Review Buku: "Telekinesis: Teror dari Kepala Seorang Gadis"

   
    Judul buku: Carrie
    Judul asli: Carrie
    Penulis: Stephen King
    Kategori: Novel
    Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
    ISBN : 978-979-22-9951-9
    Terbit: 1974
    Terbit pertama di Indonesia: Oktober 2013
    Tebal : 253 halaman
    Harga: Rp. 47.000,-
   
    Carrieta White dilahirkan dari rahim Mrs.Margaret, penganut Kristen fanatik yang dipandang berbahaya dan aneh oleh masyarakat sekitarnya. Hampir semua warga kota kecil Chamberlaine tahu wanita itu. Masa lalu Carrie, begitu panggilan gadis 16 tahun ini, di masa depan jadi bahan perbincangan, perdebatan, bahkan penelitian sains akibat gen yang membuatnya punya kemampuan telekinesis; kemampuan ganjil menggerakkan benda-benda dengan pikiran.
   
    Kelahiran Carrie dianggap kutukan oleh ibunya atas dasar kepercayaan yang dia anut. Wanita itu tidak menghendaki adanya bayi, atau malah tidak menyadari bayi itu tumbuh di rahimnya setelah sang kekasih meninggal. Tentu saja bayi itu hasil perbuatan dosa/zina, yang akhirnya membuat Mrs.Margaret membenci segala hal yang berkaitan dengan seks serta hubungan antar lelaki-perempuan, dan menganggap hal semacam itu dosa besar tak terampunkan. Ia menutup diri dari pergaulan, dengan membawa serta anak perempuannya itu, agar terbebas dari "dosa-dosa" yang semua orang di sekeliling mereka lakukan.

    Carrie tumbuh jadi gadis aneh. Lingkaran yang dibentuk sang ibu kepada dirinya, untuk lepas dari dosa-dosa itu, membuatnya makin tak berdaya. Di sekolah ia sering di-bully. Teman-teman bersikap tidak adil. Christine Hargersen, atau yang akrab dipanggil Chris, beserta geng yang terdiri dari gadis-gadis "gaul", kompak mengucilkan Carrie dengan sikap dan ucapan mereka sejak duduk di bangku SD.
   
    Dulu sekali, ketika usia Carrie tiga tahun, di halaman belakang rumah tetangganya ia tidak sengaja melihat gadis muda bertelanjang dada tengah berjemur. Mrs.Margaret yang melihat itu sontak marah besar, dan tahu kutukan akan melanda mereka kalau tidak segera "bertobat". Ia tahu sekali, ada sesuatu di diri Carrie, yang jika tidak dikendalikan, akan membuatnya menyesal; termasuk melihat tubuh telanjang orang lain. Maka, sebisa mungkin ia coba "lindungi" anaknya itu, dengan caranya, yang entah salah, entah benar, agar tidak ada kutukan lagi sepanjang sisa hidup mereka.
   
    Di sinilah kejadian besar pertama yang sering dibicarakan di masa depan tentang kehidupan Carrie. Di usianya yang tiga tahun itu, setelah ibunya membawanya masuk ke dalam, setelah pertengkaran mulut antara Mrs.Margaret dengan gadis yang bertelanjang dada tadi, kekuatan dalam diri Carrie terpancing. Ibunya yang hendak menghabisi anak itu, atau malah hendak mencongkel mata anak itu, tidak bisa melanjutkan niatnya setelah batu es besar menimpa rumahnya, disusul barang-barang yang beterbangan, terlempar ke sana kemari, tanpa bisa dijelaskan logika. Batu-batuan granit menyusul berjatuhan dari langit, dan hanya menimpa area rumah mereka saja. Semua itu membuat para tetangga bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi? Keganjilan apa yang keluarga White sembunyikan?
   
    Namun, betapapun Mrs.Margaret pintar menyembunyikan "insiden" itu, tetap saja para tetangga tahu ada yang tidak beres, walau belum tahu pasti apa itu. Salah satu imbasnya dikucilkannya Carrie di sekolah sejak SD. Sang ibu memberinya pakaian rangkap dari atas sampai bawah dan menyuruh anak itu memakan menu-menu tertentu agar menumbuhkan jerawat yang banyak dan membuatnya kian gendut. Padahal tanpa semua itu, Carrie adalah gadis yang cantik. Mrs.Margaret ingin dengan cara ini mereka terhindar dari dosa dan kutukan.
   
    Keanehan bakat Carrie membuatnya terlambat mengenali haid. Haid pertamanya ia dapat di usia 16 tahun, ketika ia dan para gadis yang suka mengolok-oloknya, mandi bersama seusai olahraga. Adanya darah membuatnya panik dan berpikir ia akan mati. Tentu sang ibu tidak pernah menjelaskan soal haid, jadi ia tidak tahu. Namun teman-teman malah meledek dan melemparinya dengan pembalut.
   
    Sakit yang Carrie pendam membulatkan tekad untuk lepas dari cengkeraman sang ibu. Lingkaran yang dibentuk oleh ibunya benar-benar mengisolasi dia dari apa pun di dunia ini. Dan itu, bagi Carrie, adalah sebuah penderitaan. Ia ingin menjadi gadis normal, berteman dengan siapa pun, berpacaran, dan juga pergi ke pesta dansa seperti yang lain. Maka, pelan-pelan ia kembali melatih bakat telekinesis yang ia punya.
   
    Di sisi lain, tanpa Carrie tahu, pihak sekolah bertindak tegas pada Christine dan kawan-kawannya. Mereka patut dihukum atas perbuatan tidak senonoh yang dilakukan pada Carrie di kamar mandi. Ayah Chris seorang pengacara kondang yang angkuh. Ia malah menantang kepala sekolah untuk maju ke meja hijau setelah merasa tidak mau menerima solusi darinya. Namun nyatanya, posisi Chrislah yang terdesak. Pihak sekolah bisa menuntut balik mereka atas perlakuan nakal anak gadisnya kepada Carrie.
   
    Suzan Snell, salah satu anggota geng, yang paling tenar dengan segudang prestasi, diam-diam merasa apa yang dia lakukan kepada Carrie selama ini salah. Hati kecilnya ingin membentuk image yang "selalu positif" di mata orang; bahwa dia adalah wanita terhormat. Kata-kata makian dan ledekan itu bisa merendahkan derajatnya. Maka untuk menebus itu, walau mulanya hanya karena untuk pemulihan karakter, Suzan meminta Tommy Ross, pacarnya, untuk mengajak Carrie pergi ke pesta dansa musim semi yang rutin diadakan sekolah per tahun.
   
    Carrie White sendiri tidak bisa menolak, meski mulanya tidak yakin dan berpikir ini rencana "mereka" untuk mempermalukannya. Nyatanya ia tetap berangkat setelah kembali "berperang" bersama ibunya yang dengan tegas melarang. Pesta dansa adalah tempat para iblis dan dosa berkumpul. Tapi Carrie ingin lepas dari jerat kefanatikan sang ibu. Mrs.Margaret tidak berdaya melawan kekuatan pikiran sang anak. Carrie merasa di atas angin. Ia menang di atas ibunya, bahkan mungkin di atas "mereka", orang-orang yang selama ini membencinya.
   
    Chris Hargensen dengan kesal mengutuki Carrie. Ayahnya tidak bisa bertindak setelah bukti-bukti menguatkan posisi Carrie ketimbang anaknya. Chris dan beberapa anggota gengnya pun dihukum tidak boleh mengikuti pesta dansa, padahal itu adalah hal yang penting bagi anak seumuran mereka. Apalagi bulan depan mereka akan lulus.
   
    Kebencian Chris pada Carrie memuncak. Ia meminta bantuan Billy Nolan, pacarnya yang pemabuk dan penjahat, untuk membalas Carrie yang sebetulnya tidak tahu apa-apa soal rencana upaya hukum dari pihak sekolah. Dengan mudah, Chris mengatur agar Tommy dan Carrie yang berpasangan di pesta mendapat "kejutan". Ia kenal orang dalam, panitia pesta dansa itu, hingga menyusun rencana sematang mungkin agar Tommy dan Carrie mendapat kejutan itu.
   
    Billy yang brengsek tahu apa yang ia lakukan. Darah babi untuk si babi, pikirnya. Ia dan teman-temannya yang agak idiot berangkat ke peternakan untuk membunuh dua ekor babi dan mengumpulkan darahnya. Darah dalam dua ember itu dipasang sendiri oleh Billy di atas panggung raja dan ratu terpilih di pesta dansa nanti, dengan panduan denah yang Chris pelajari. Chris yang mengatur agar darah babi itu tidak salah sasaran. Lagi pula, Chris sudah membenci Suzan dan Tommy, yang dianggapnya munafik karena mencoba memberikan "kebahagiaan" bagi Carrie yang menjijikkan.
   
    Maka, pesta dansa itu menjadi malam berdarah bagi seisi kota. Carrie yang sudah lepas dari cengkeraman Mrs.Margaret, pergi ke pesta dengan perasaan tak menentu. Ia sempat curiga, namun hilang setelah di pesta itu ia benar-benar menjadi bagian dari mereka, tidak dikucilkan. Ia bahagia. Hanya saja, voting raja dan ratu yang Chris atur mengacaukan semuanya. Tommy dan Carrie benar-benar terpilih sebagai raja dan ratu, hingga darah babi menumpahi kepala dan tubuh mereka tanpa peserta pesta tahu apakah itu bagian acara atau bukan. Tentu saja bukan. Billy dan Chris segera lari ke tempat yang jauh setelah menarik tali pengait.
   
    Hanya karena darah babi, semua kacau. Carrie berpikir ini ulah mereka semua. Dan tanpa kujelaskan, agar kalian yang belum membaca novel ini penasaran, kematian demi kematian terjadi pada malam itu hingga dini hari. Kemampuan telekinesis Carrie sudah berkembang dan itu ia jadikan alat pembunuh. Hari yang bersejarah bagi penduduk Kota Chamberlaine, di negara bagian Maine, pada 27-28 Mei 1979. Hari yang bersejarah karena kota itu luluh lantak dan hampir 500 orang mati oleh kekuatan pikiran seorang gadis.
   
    Stephen King dalam novel ini benar-benar menyuguhkan teror dengan gaya tulisan dan sajian mengesankan. Dikisahkan dengan struktur epistolari; model tulisan kliping koran, artikel majalah, surat-surat, dan kutipan dari buku-buku sebagai selipan di hampir setiap bagian novel, menimbulkan kesan tegang yang berbeda. Seakan kisah Carrie ini nyata lalu terabadikan dalam novel. Seakan tragedi pesta dansa musim semi ini pernah ada dan membuat duka warga kota yang masih hidup. Membaca ini membuatku berpikir, bagaimana mungkin imajinasi seorang penulis bisa segila ini?
   
    Bagi yang pernah nonton film "Carrie" tapi belum membaca novel ini, sebaiknya baca novelnya saja. Novel ini jauh lebih bagus ketimbang versi filmnya. Setahuku ada dua film yang diproduksi berdasarkan novel ini. Pertama tahun 1976 dan versi modern dibuat tahun 2013 lalu. Sayang kedua film itu kurang menggigit dan jelas ada beberapa perbedaan detail dari cerita aslinya.
   
    Bukan berlebihan. Walau cerita ini fiksi, dan ada banyak orang punya ide serupa, tapi Stephen King menulis dengan cerdas. Format epistolari dan alur maju-mundur dipastikan membuat penasaran di setiap lembarnya. Lebih dari itu, kamu akan berpikir ini, sekali lagi: nyata. Kalau dibilang membaca novel, ya tentu kamu membaca itu. Dan kalau dibilang membaca "sejarah" yang dinovelkan, mungkin kamu akan berpikir: "Ya, andai ini pernah terjadi."
   
    Bacalah. Kamu tidak sekadar membaca horor. Adrenalinmu terpacu. Dan aku harus berkata begini: "Seperti menikmati film saja, walau sesudah difilmkan tidak sebagus novelnya!" Kamu bisa ketagihan membaca cerita ini, tanpa merasa takut, kecuali tertantang.

Comments

  1. Aku baca dua bab pertama tapi ngerasa sangat terganggu sama terjemahannya yang enggak enak :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mungkin karena kurang sesuai selera :) Memang di beberapa bagian membingungkan, terutama kalau tokohnya lagi voice over (ngomong dalam hati); selalu diberi kalimat dalam kurung. :D

      Delete

Post a Comment

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri