Skip to main content

Review Buku: "Pelajaran Mimpi dan Takdir"


    Judul buku: Sang Alkemis
    Judul Asli: O Alquimista
    Penulis: Paulo Coelho
    Kategori: Novel
    Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
    ISBN : 978-979-22-9840-6
    Terbit pertama (di Indonesia): 2005
    Cetakan baru: 2014
    Tebal: 213 halaman
    Harga: Rp. 45.000,-
   
    Santiago, penggembala domba dari Spanyol, ingin lari dan mencari jati diri dalam hidup. Sebuah mimpi membulatkan tekadnya untuk mengembara dan mencari harta karun di tempat yang jauh. Ia masih muda. Dulu orangtua menginginkannya menjadi pastor, namun keinginan hatinya tidak bisa diingkari. Akhirnya ia pergi mengembara dengan domba-domba sebagai "bekal" perjalanannya.
   
    Santiago senang membaca buku, tapi juga senang membaca alam. Domba-domba yang ia bimbing, juga alam tempatnya berkelana, mengajarinya cara berbahasa universal, sebuah bahasa yang bisa dipahami setiap makhluk hidup di muka bumi. Mimpi-mimpi yang aneh, yang ia yakini membawanya ke takdir baik, terus mengusik pikiran. Seorang gipsi tahu tafsir mimpi itu, bahwa takdirnya selama ini ada di antara piramida-piramida di Mesir, berupa harta karun yang sangat mahal.

    Pertemuan dengan Melkisedek, seorang raja dari Salem, semakin membuka mata hatinya bahwa ia harus ke Mesir, ke piramida-piramida itu, untuk menjemput takdir berupa harta karun. Dengan bekal dua batu mulia berwarna hitam dan putih--Urim dan Tumim, serta dengan menjual domba-dombanya, ia pun berangkat ke Afrika.
   
    Nasib sial menghadang di sini. Ia ditipu dan uangnya habis. Atas bantuan seorang muslim penjual kristal, Santiago pun bertahan selama beberapa lama. Dari orang itu pula ia tahu bahwa untuk ke Mesir, ia harus melalui padang pasir yang luas dan itu seolah tidak mungkin baginya. Maka ia bekerja di toko itu dan ia mulai yakin bahwa sejatinya mimpi harta karun adalah bualan. Ia berubah keyakinan bahwa takdirnya yang benar ada di Spanyol, di sebuah tempat yang pernah ia tahu mengenalkannya pada cinta pertama.
   
    Penjual kristal yang tadinya malang, tahu-tahu beruntung setelah merekrut Santiago. Tokonya semakin laris dan ia kembali mengenang mimpinya sendiri naik haji ke Mekah, yang seharusnya bisa dijalankan sejak dulu, namun tidak juga dijalankan. Kepintaran penggembala domba dalam membuat inovasi di tokonya, menyentak mata hati si penjual kristal yang sudah tua, bahwa selama ini ia justru takut mimpinya terkabul.
   
    Di sisi lain, pertemuan Santiago dengan penjual kristal itu menumbuhkan semangat baru bahwa ia harus menabung hingga kembali ke negerinya sendiri dengan kaya raya. Dengan begitu, setidaknya ia tidak rugi menjual domba-dombanya dulu.
   
    Namun di hari kepergiannya dari toko itu, ketika tabungannya sudah banyak, benak Santiago berkata lain. Ia ingat nasihat dari Raja Salem, bahwa ia harus terus mengejar mimpi, percaya pada kata hati, serta percaya bahwa jika ia mau mengejar takdirnya, seisi jagat raya bersatu padu membantu. Bukankah jika ia kembali ke Spanyol, semua sama saja? Ia akan menjadi gembala lagi dan itu bisa ia lakukan kapan saja ia mau. Sedangkan jika ia pulang hari ini, kesempatan kedua untuk pergi ke piramida-piramida Mesir itu selamanya kandas. Maka ia putuskan hari itu juga ia akan pergi ke Mesir.
   
    Dalam perjalanannya ke Mesir bersama kelompok karavan, ia bertemu seorang berkebangsaan Inggris yang menekuni ilmu alkimia. Orang itu ingin belajar membuat Batu Filsuf dan Ramuan Kehidupan yang bisa membuat dunia terguncang. Ia ingin belajar dari sang legenda alkimia yang konon berumur ratusan tahun. Maka sepanjang perjalanan, Santiago punya teman baru. Tapi ia tidak mendapat apa-apa selain kebingungan ketika mencoba memelajari buku-buku alkimia milik orang Inggris itu, ketimbang memelajari apa pun langsung dari alam.
   
    Di sebuah oasis, Santiago jatuh cinta pada gadis bernama Fatima. Gadis gurun yang setia menunggu di tengah padang pasir ganas, menunggu lelaki yang ia cintai. Namun perang antar suku bergejolak di luar sana, hingga menghambat perjalanan karavan yang kemudian justru memutuskan berhenti sampai di situ saja. Penyerangan di oasis oleh salah satu kubu tentara dicium oleh Santiago hingga kemudian ia pun seolah mendapat pekerjaan baru sebagai "peramal" yang bisa membaca alam, dengan upah beberapa batang emas dari petinggi suku yang membuatnya kaya.
   
    Pertemuan dengan orang baru berikutnya, yang tak lain adalah alkemis legendaris itu, membulatkan tekad Santiago untuk meninggalkan Fatima dan kehidupan oasis, demi melanjutkan perjalanan menuju piramida. Berbagai kejadian mereka alami, mulai dari gejolak batin Santiago sampai pertemuan dengan salah satu kubu yang berperang. Sang alkemis itu seolah datang dan pergi dengan cara yang hanya Tuhan saja yang tahu, persis seperti datangnya raja dari Salem dan penjual kristal.
   
    Jagat raya bersatu padu membantu, begitu ia percaya. Apakah mereka adalah jelmaan malaikat? Tidak ada yang tahu. Atau memang secara kebetulan mereka datang untuk membantu dengan berbagai cara? Juga tidak ada yang tahu. Maka ketika tujuannya hampir tercapai, Santiago mendapat banyak pelajaran; lebih dari sekadar harta karun yang sedang ia cari.
   
    Di dekat piramida-piramida itu, ia justru tak mendapat apa-apa kecuali hartanya dirampok dan dihajar habis-habisan oleh penjahat yang mengaku bermimpi melihat harta karun di sebuah gereja, tempat yang dulu amat Santiago kenal, karena gereja tua itulah tempat ia sering beristirahat saat masih menggembala domba. Sesampai di negeri asalnya, di Spanyol, benar saja, Santiago menemukan harta karun itu.
   
    Buku ini mengajarkan kita bersyukur dan percaya pada takdir. Tuhan memberi kehidupan jenis tertentu pada kita tanpa kita tahu itu adalah yang terbaik. Sementara kita justru menginginkan hal-hal lain yang belum tentu baik. Maka dari itu, terus berusaha adalah cara untuk menjadi bahagia, betapa pun nanti apa yang kita dapat sungguh jauh di luar dugaan.
   
    Paulo Coelho lewat buku ini mengubah cara pandang jutaan orang tentang mimpi dan takdir. Memang di beberapa bagian kita dibuat tercengang, skeptis, atau bahkan bingung. Namun nanti, setiba di halaman akhir, Anda akan tahu bahwa kisah Santiago hanyalah contoh. Ia tidak ada, tapi Santiago lahir dan hidup dalam diri Anda. Ialah simbol dalam jiwa setiap manusia. Bacalah buku ini, maka kamu akan belajar tentang dua hal itu.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri