Skip to main content

Review Buku: "Makhluk yang Membunuh Penciptanya"


    Judul buku: Frankenstein
    Judul asli: Frankenstein
    Penulis: Mary Shelley
    Kategori: Novel
    Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
    ISBN : 978-602-03-0195-2
    Terbit pertama: 1994
    Cetakan terbaru: 2014
    Tebal: 308 halaman
    Harga: Rp. 44.000,-
   
    Victor Frankenstein hidup bahagia sejak kecil. Ayah ibunya mengangkat Elizabeth Lavenza, gadis yatim piatu, yang kemudian menjadi sahabat, kekasih, sekaligus saudara yang Victor sayangi. Bersama Henry Clerval, pemuda penuh gairah kepahlawanan, ia juga merekam kehidupan masa lalu yang indah. Masa kecilnya sungguh bahagia. Tidak ada anak sebahagia dia, sampai suatu hari, ketika ia hendak masuk ke bangku kuliah, ibunya meninggal.
   
    Ini titik pertama yang membawa kelam di hidup Victor. Ia kuliah di Ingolstadt, jauh dari rumah keluarganya di Jenewa. Di sana ia mendalami berbagai ilmu yang sudah jadi gairah sejak dulu. Di luar segala ilmu pasti itu, sebenarnya Vidtor telah lama mempelajari ilmu-ilmu tak masuk akal, yang lebih mendekati sihir dan banyak dianggap bualan oleh banyak orang.

    Namun Victor yang cerdas tak peduli. Ia menyaring berbagai ilmu, yang walaupun kontradiktif satu sama lain, pada akhirnya bisa ia satukan. Pada tahap ini, ia menjadi penemu sesuatu yang ajaib, yang tidak bisa dijelaskan oleh akal sehat: bahwa ia bisa menghidupkan benda-benda mati!
   
    Niat membuat makhluk ciptaan muncul. Ia ingin menerapkan penemuan ajaib ini agar suatu hari nanti seseorang bisa menghidupkan kembali orang yang dikasihi. Tapi sebagai permulaan, ia tak bisa membuat makhluk berukuran kecil, karena kompleksitas jaringan tubuh manusia baginya cukup rumit untuk ditiru.
   
    Maka dengan sembunyi-sembunyi, ia pun membuat manusia ciptaannya dalam ukuran lebih besar. Sisa-sisa tubuh manusia yang sudah mati di kuburan ia ambil dan direkayasa hingga membentuk jalinan tubuh lengkap. Selama itu berlangsung, Victor tak memedulikan kesehatan tubuh, atau lebih sering tak memedulikan rasa jijiknya melihat jenis pekerjaan yang di lubuk hatinya bisa dikategorikan jahat. Bagaimana mungkin ia membongkar kuburan orang untuk pemuasan hasrat gilanya ini? Ini sungguh tindakan kriminal!
   
    Namun Victor tetaplah Victor. Ia bukan menjadi gila karena kehilangan kewarasan. Ia hanya gila karena tak bisa mengontrol diri atas segala pengetahuan yang dimiliki. Sampai ketika makhluk ciptaan itu hidup dan membuka mata, Victor justru jijik dan ngeri, melihat bentuk menyeramkan itu kini bernyawa. Sayangnya, oleh Mary Shelley, sang penulis novel, deskripsi yang pembaca harapkan mengenai makhluk legendaris ini sangat kurang. Hanya disebut berkulit kuning dengan wajah agak keriput, bibir hitam, dan tubuh raksasa.
   
    Victor lari dari kamar. Ia juga tidak tahu makhluk ciptaannya itu, yang kemudian ia sebut "Iblis", juga diam-diam pergi dengan kondisi lemah dan tidak tahu apa-apa. Di saat itulah, Henry Clerval datang. Victor sadar ia sudah tidak memberi kabar tentangnya ke keluarga selama beberapa tahun, hingga membuat mereka cemas. Maka, Clerval yang selama ini membujuk sang ayah agar boleh mengikuti Victor kuliah di Ingolstadt, amat senang melihat sahabat lamanya itu, meski nanti ia harus repot merawat Victor yang dirundung kegundahan hati.
   
    Ya, Victor menyesal akan ulahnya, membuat makhluk iblis yang kini justru hilang dan mungkin membahayakan kehidupan manusia lain. Victor disergap rasa bersalah. Ditambah fisiknya yang lemah, ia pun sakit. Selama beberapa waktu, Clerval menjaga sampai ia sembuh. Ia memutuskan untuk membenci segala ilmu yang dulu ia cintai. Perlahan Vicotr bangkit dan melupakan sosok iblis itu, hingga datanglah surat dari ayahnya, yang menyatakan adik kandungnya mati terbunuh.
   
    "Iblis" yang sudah lepas itu sesungguhnya baik. Sebagaimana yang Victor rancang, hati makhluk itu tercipta untuk penuh kasih dan cinta. Dulu monster itu belajar banyak hal dari alam, tanpa ada yang mengajari. Ia mencari makan dan berusaha menemukan sahabat dan cinta, seperti yang dilihatnya di kehidupan manusia. Namun, kebencian manusia terhadapnya karena penampilannya yang seram, membuatnya harus sembunyi seumur hidupnya.
   
    Makhluk itu belajar mengenal cinta dan kasih sayang justru bukan dari Victor. Di sebuah negeri pinggiran Prancis, ia menemukan keluarga yang dirundung kemalangan. Dari keluarga itu ia belajar bahasa manusia, membaca, memahami arti ekspresi wajah, dan banyak hal, lewat lubang kecil di sebuah kandang tempatnya bersembunyi. Ia tidak bisa keluar kecuali di malam hari. Tapi ia percaya kelak keluarga ini mau menerimanya. Asal ia harus belajar banyak dulu untuk menilai situasi yang tepat.
   
    Sayang, harapan itu pudar. Bukannya cinta, Iblis itu justru mendapat kebencian dari keluarga ini. Ia marah dan sejak itu memutuskan untuk membenci manusia dan Victor, sang pencipta yang membuatnya berwajah buruk. Ia berusaha mencari tempat bernama Jenewa, dengan pengetahuan yang mulai berkembang di otak. Ia belajar dengan cepat. Ia benar-benar sampai di Jenewa, setelah sebelumnya sering mendapat ketidakadilan oleh manusia yang terburu menilai buruk dirinya dari penampilan.
   
    Di sebuah tempat, ia melihat anak kecil. Ditangkapnya anak itu dengan harapan bahwa anak sesuci itu mau mendengar dan bisa ia ajak bersahabat walau sembunyi-sembunyi. Tapi anak itu justru mengutuknya. Dari kata-kata kasar sang anak, makhluk ini tahu anak itu berhubungan dekat dengan Victor, lewat nama belakang Frankenstein. Dendam membara tidak bisa dibendung. Dibunuhlah anak itu dengan kejamnya.
   
    Setelah yakin yang membunuh adiknya adalah makhluk itu, Victor mengutuki diri. Ia yakin karena melihat dengan mata kepala sendiri ketika makhluk itu memanjat tebing-tebing di kejauhan. Namun ia tak bisa membongkar rahasia itu ke keluarganya. Lagi pula ia bisa dianggap sinting. Mana mungkin ada makhluk ciptaan semacam itu?
    Maka, Victor memendam penyesalan karena tidak hanya adiknya saja yang mati, tetapi juga Justine, seorang gadis sahabat keluarganya, yang difitnah oleh sang makhluk dengan menaruh barang bukti pada lipatan bajunya. Justine dituduh membunuh anak itu, hingga mati di tiang gantungan.
   
    Dengan amarah dan penyesalan, Victor hendak menyendiri. Ia mendaki gunung es di dekat tempat tinggalnya. Di dekat puncak yang sepi, ia bertemu makhluk ciptaannya sendiri, yang entah bagaimana tampak begitu pintar dan lembut dalam berbicara. Victor tidak tahu, Iblis itu sudah belajar bicara dari dulu.
   
    Di sini Victor mendengar kisah perjalanan sang iblis yang kini membenci manusia karena cintanya justru dibalas kebencian. Makhluk itu mengajukan satu syarat: ia ingin Victor membuat makhluk semacam itu lagi, dengan jenis kelamin perempuan, agar si Iblis tidak lagi merasa sedih karena punya teman hidup senasib. Dan jika permintaan itu tidak dituruti, ia akan menghabisi semua orang-orang yang Victor cintai.
   
    Victor sempat berpikir ini ide baik. Daripada keluarganya mati, lebih baik ia menderita sekali lagi. Maka ia setuju. Dengan bekal alat-alat kimia, ia pergi ke Inggris untuk mencari bahan temuan terbaru untuk memudahkan pekerjaan kotor yang sesungguhnya amat ia benci tapi terpaksa kembali dikerjakan.
   
    Iblis itu terus memantaunya. Dengan tubuh kuat dan gesit, ia bisa mencari tempat-tempat tersembunyi dan mengikuti ke mana sang pencipta pergi. Iblis itu sudah berjanji, jika Victor mau membuatkan pasangan untuknya, ia akan pergi sejauh-jauhnya dari kehidupan manusia dan tidak akan membunuh lagi.
   
    Saat Victor hampir menyudahi pekerjaannya, ia justru mengubah pikiran. Kalau makhluk itu kawin dan beranak pinak, tentu akan lebih berbahaya. Victor bahkan tidak sempat berpikir keluarganya, sampai ia merusak tubuh ciptaan baru di depan sang Iblis yang kemudian merasa sedih. Dengan marah, ia mengancam Victor sekali lagi. Kematian Clerval dan Elizabeth yang kemudian terjadi oleh ulah sang monster, membuat sedih ayah Victor yang belum tahu kejadian sesungguhnya. Lelaki tua itu pun mati karena kesedihan.
   
    Dendam dan amarah mengurat di hati Victor. Sang Iblis yang belum puas sampai "tuhannya" mati, berlari dari kejaran Victor, sekaligus memancing sang pencipta agar mengikutinya ke kutub utara. Di sana Victor akan mati oleh sakit hati dan kesedihan yang selama ini makhluk itu rasakan. Dan itu adalah sebuah pembalasan paling kejam dan nikmat bagi sang monster, tanpa harus mencabik-cabik tubuh Victor.
   
    Di tempat yang berbeda, di atas sebuah kapal, seorang penjelajah bernama Robert Walton, bersama kapal yang ia pimpin, hendak mencari sesuatu di kutub utara, yang ketika itu belum diketahui manusia mana pun. Walton ingin mencari sesuatu, sebuah penemuan atau entah apa, yang kelak akan membuatnya bangga dan diakui. Suatu hari, Walton menemukan kereta anjing berisi manusia kurus tengah mengapung di atas permukaan es retak. Manusia kurus itulah Victor.
   
    Victor yang lemah dan malang, di sisa hidupnya, masih berharap bisa membunuh makhluk ciptaannya demi keselamatan umat manusia. Entah ada di mana makhluk itu sekarang. Ia berhasil kabur ke utara dengan kereta anjingnya sendiri. Dari Victor, Walton mendengar cerita ini dan menuliskannya ke dalam surat untuk sang adik. Ketika itu mulai terjadi perdebatan di para awak, bahwa mereka ingin kembali pulang ke Inggris karena semakin jauh, mereka semakin ditelan risiko mati di tempat yang dingin. Tak ada pilihan, Walton menuruti mereka putar balik ke Inggris sebelum mendapat penemuan apa-apa selain apa yang selama ini ia tulis dari cerita ajaib Victor.
   
    Victor sampai di ujung hayatnya. Ia agak menyesal oleh keputusan Walton pulang tanpa menuai hasil, namun juga berpesan agar setidaknya mau meneruskan kehendak dan dendamnya membunuh makhluk itu. Hari itu Victor mati di tempat tidurnya dengan kondisi sungguh menyedihkan.
   
    Suatu malam, Walton tahu kebenaran cerita-cerita Victor ketika didapatinya sang makhluk masuk menyelinap ke kamar sang "pencipta", dan dengan penyesalan ia meratapi jasad orang yang menciptakannya. Kepada Walton, iblis itu berjanji tidak akan menunjukkan diri lagi di depan manusia, juga tidak akan membunuh siapa pun lagi. Karena ia sendirilah yang akan membunuh dirinya di kutub utara. Ia berharap, dengan matinya dirinya, tidak akan ada lagi makhluk semacam dia yang harus menderita akibat dibenci.
   
    Secara keseluruhan, ide cerita novel ini bagus. Namun, saya pribadi agak kecewa ketika "doktrin" seram yang menempel di otak sejak saya kecil dulu, sejak mendengar kisah Frankenstein yang legendaris ini, tidak sesuai yang saya harapkan. Justru kesan horor nyaris tidak ada. Malah nilai kehidupan dan drama yang saya temui. Di buku ini kamu akan temukan lebih banyak kesedihan hati Victor, juga kesedihan hati makhluk yang ia ciptakan, tanpa banyak menemukan keseraman selayaknya kisah horor. Semua serba mendayu-dayu.
   
    Saya tidak tahu apakah horor klasik beda dengan horor masa kini. Pengetahuan saya tentang itu terbatas. Namun yang saya lihat novel ini bukan condong ke horor, melainkan ke drama. Ya, itu pendapat pribadi; boleh setuju, boleh tidak.
   
    Kalau dibilang saya kecewa, siapa sih diri saya ini, hingga begitu berhak merasa kecewa terhadap karya masterpiece macam Frankenstein? Barangkali akan ada banyak fans yang tersinggung dan marah. Mohon maaf. Sebagai pembaca, sekiranya saya bilang, ini semata soal selera. Dan novel ini jelas bukan selera saya, walau ide ceritanya saya suka. Mungkin gaya berceritanya yang saya tidak suka. Bagi kamu yang penasaran dengan isinya, baca saja. Mungkin pendapat saya berbeda denganmu. Bukankah apa yang kita suka, belum tentu disukai orang lain?

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri