Skip to main content

[Cerpen]: Rahasia Anna

    Darah menetes dari telapak tanganku. Suara-suara dentum terus terdengar di sekitar, seakan seseorang memasukkan alarm atau semacamnya ke kepalaku, membunyikannya berkali-kali. Apa yang kulakukan? Apa aku masih hidup? Apa aku tahu nasib dia setelah ini

Aku tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, selain hanya berpikir soal lain, sesuatu di luar kegaduhan di tempat ini, sesuatu yang harus benar-benar kupikirkan. Kapan aku akan melihatnya? Kapan kami bertemu lagi? Di mana aku? Dengan siapa aku?


    Aku tidak begitu ingat, sebab setelah pertemuan kami sore itu, di taman, seperti cerita klise dalam film-film romantis, sekelompok orang membawaku paksa ke dalam mobil. Mulutku dilakban. Tanganku diikat. Dan kakiku ditendang hingga tak akan bisa membuatku lari ke mana-mana.

    Yang kuingat hanya soal satu: pacarku. Ya, perempuan yang kutemui di taman itu. Dia pacarku. Sebut saja Anna. Dia cantik. Tubuhnya ideal; tidak terlalu jangkung, tidak juga terlalu pendek. Dia juga tidak kurus. Aku tidak suka perempuan kurus. Kami bertemu di taman yang sama, tapi dalam kondisi yang jauh berbeda.


    Ketika itu dia menangis.

    Dan aku tersenyum.

    Penghiburanku, menurutnya, memberinya tenaga baru untuk melanjutkan hidup, untuk tidak berbuat konyol, misal dengan melompat dari atas jembatan di sisi barat daya taman. Jembatan itu besar. Jaraknya dengan air sungai lumayan: sepuluh meter. Aliran airnya juga lumayan, walau aku tak bisa mengukur kecepatan aliran itu, terutama di musim hujan begini. Tempat itu terlalu sering memakan korban.

    Ya, aku sukses mencegah dia bunuh diri. Lalu kami saling mengenal. Dari teman menjadi sahabat. Dari sahabat menjadi pacar. Begitulah. Indah, bukan?

    Tapi jangan salah kira ini akan berjalan mudah. Aku tidak tahu siapa dia dan dari mana asalnya. Yang kutahu, Anna begitu cantik, bahkan sampai membuatku berpikir, apakah ia seorang selebritis, sebab aku tidak punya TV. Dan aku juga tidak suka membaca majalah.

    Tapi bukan. Anna bukan siapa-siapa. Maksudku, dia bukan selebritis, alias bukan orang terkenal. Wajar memang, kalau tidak semua perempuan cantik harus menjadi artis. Dan tidak semua perempuan cantik bersikap angkuh. Anna begitu baik. Dia lembut seperti kapas.

    Tapi, kenyataan baru mendatangiku setelah hubungan kami terjalin sekitar dua tahun. Bukan waktu yang singkat, apalagi untuk bertemu empat kali seminggu setiap sore. Kadang menunggu sungguh menyiksa. Kadang bertemu sungguh terasa singkat, walau kami sering pulang larut malam. Tidak terasa bersenang-senang dari sore hari.

    Sayang, kenyataan itu membuat semuanya buyar. Aku yang sudah berencana menikahinya, aku yang sudah menyusun jebakan manis untuknya, justru terjebak sendiri. Seseorang mendadak membekapku. Malam itu sekitar pukul sebelas malam, kalau tidak salah ingat. Kepalaku masih terasa pusing. Ya, barangkali sekitar pukul sebelas malam. Anna tidak seperti biasa. Dia terlihat beda. Ketika aku terus menanyakan apa alasan dia berubah, seseorang itu membekapku dari belakang, diikuti seseorang lain yang entah siapa. Anna tak berdaya, atau tak peduli? Aku tak tahu. Aku tak terlalu pintar membedakan antara tak berdaya dengan tak peduli. Setahuku, Anna tidak pernah berteriak. Taman sudah sepi. Orang-orang sudah tidur di kamar mereka masing-masing.

    Penculikan, barangkali lebih tepat menyebut kasus ini demikian. Ya, aku diculik. Lalu, bagaimana dengan Anna? Aku tidak tahu pasti. Sudah kubilang, aku terus memikirkan dia sejak orang-orang membawaku paksa. Aku tidak melihat Anna. Jadi, saat itu aku langsung mengira, mungkin dia ada di mobil lain? Tapi, kenapa? Apa salah kami?

    Aku tak tahu mobil mengarah ke mana. Dari desing angin di celah jendela, aku tahu mobil dipacu kencang. Jalanan sepi. Tidak ada yang tahu apa yang orang-orang ini kerjakan padaku. Aku tadi sempat melihat kaca mobil ini gelap.

    Ya Tuhan, selamatkan Anna, selamatkan kami, doaku dalam hati.

    Aku tidak melawan, karena aku tahu aku tak berdaya. Mereka entah berlima, entah berempat, tak tahu pasti. Yang jelas mereka bersenjata. Jumlah lawan dan senjata membuatku berpikir logis tidak akan berontak. Akan kuikuti mau mereka. Semoga tidak terlalu buruk.

    Sekitar dua jam, mungkin, atau tiga jam? Aku tak tahu. Kami pun sampai di suatu tempat. Mobil berhenti sejenak. Seseorang seperti membuka pintu garasi besar di depan sana. Mobil melanjutkan laju, kali ini pelan. Setelah berhenti, aku didorong paksa hingga terjungkal. Sialan, umpatku ketika itu, membuat mereka spontan menendang perutku. Aku melingkar di lantai semen. Tempat ini begitu kotor. Tutup mataku belum dibuka, tapi aku bisa merasakan debu-debu mengurung punggung dan kepalaku. Mereka menarik kerah bajuku, melepas penutup mata dan lakban.

    "Berani sekali kau!" kata seseorang seraya meludah di depanku. Aku diam. Aku tak kenal orang ini.

Mereka lalu menggiringku ke dalam gudang. Tempat yang sempit, yang tidak aku tahu. Bohlam tua menggantung di atas ruang itu. Perkiraanku, gudang kecil ini luasnya 6 x 6 meter. Di dalamnya ada kotak-kotak kayu yang entah isinya apa. Dan ada satu kursi serta lemari kosong. Hanya ada satu jendela dan satu pintu. Jendela itu posisinya agak ke atas, sekitar dua setengah meter dari lantai. Jendela yang kecil dan terbuka, membuat dingin malam menusuk tulangku.

    Mereka meninggalkanku di sini.

    "Hei, kalian kemanakan pacarku?! Aku mau ketemu pacarku!" teriakku, sesaat sebelum mereka menutup pintu. Seseorang menyeruak masuk, menendang perutku sekali lagi sampai terkapar. Aku tak sadarkan diri.

    Entah berapa jam aku tidur. Setahuku, ketika bangun, cahaya matahari menembus masuk ke dalam, dari jendela kecil itu. Seseorang menggoyang badanku dengan kakinya. Sepatunya bau sekali. Tapi aku tak bisa menghindar. Aku lelah. Aku beringsut pelan, merangkak, menempel dinding di bawah jendela. Aku bisa melihat wajah orang itu dengan terang. Matahari membantu penglihatan.

    "Mana pacarku?" kataku setelah terdiam beberapa jeda, merenggangkan punggung yang lelah akibat kedinginan semalam.

    "Dia bukan urusanmu. Sekarang aku ingin mengajakmu kerjasama."

  "Kerjasama? Apa-apaan ini?! Aku mau ketemu pacarku! Mana dia?!"

    Aku berdiri. Aku lupa kedua tanganku masih terikat. Dan ketika sadar tinjuku tidak mungkin bekerja, lelaki itu lebih dulu meninjuku. Aku terjajar ke belakang, membentur lemari kosong itu.

    "Sudahlah. Kau jangan cemas. Dia baik-baik saja," katanya, mencoba meredam emosi sesaatnya. Ekspresi wajah bengis tadi seketika berubah ramah. Ia mendekat. Aku menjauh.

    "Kemarilah. Kita kerjasama. Oh, Tuhan! Seharusnya aku sadar. Aku tidak sopan mengajakmu berbisnis di tempat sebusuk ini. Bukankah kau tamuku? Bukankah kita partner?"

    Maka, lelaki itu membawaku ke ruangan lain. Bukan dia sendiri yang menuntunku, melainkan beberapa anak buahnya. Mereka masih bertindak kasar. Dan aku masih tak berdaya. Mereka membawaku ke ruangan semacam ruang tamu. Tempat yang lumayan bersih di gudang tua ini. Tempat itu punya sofa bagus, meja dengan piring berisi buah, lemari es dua pintu, dan TV flat screen.

    "Jadi, begini. To the point saja. Kami mengajakmu berbisnis. Tentu kau akan selamat dari tempat ini. Ya, kau bahkan keluar dengan bahagia dan kami pun begitu. Bukankah itu memuaskan? Sama-sama menguntungkan."

    Aku belum puas tentang kondisi Anna. Bukan menjawab, aku mendesak agar dia memberitahuku di mana Anna disekap. Aku juga tidak tahu kenapa mereka menculikku, dan bisnis macam apa yang hendak mereka sepakati denganku. Aku bukan orang kaya. Aku bukan siapa-siapa. Aku tak bisa menghubungkan kata-kata orang itu dengan logika mana pun.

    "Oh, tenanglah. Anna aman. Dia di tempat yang aman. Nanti kalian bisa ketemu. Tapi, kita berbisnis dulu."

    "Aku tidak akan mau berbisnis sebelum tahu Anna selamat. Paling tidak sebelum kami bertemu!"

    "Aduh, kenapa kau begitu bebal? Kubilang dia sudah ada di tempat aman! Ah, sudahlah. Aku terlalu memaksa. Kita santai sejenak dulu."

    Dia bangkit, berjalan menuju kulkas, mengambil dua botol minuman dan gelas.

    "Kita santai dulu. Minumlah. Ini bukan racun. Lihat, aku juga minum," katanya seraya menyodorkan gelas ramping beserta botol bir padaku. Aku bukan pemabuk, tapi aku tertarik mengamati lelaki misterius ini. Dia menuang bir ke dalam gelasnya, menatapku beberapa saat. Matanya bulat besar, gelap. Seperti mata yang menyimpan banyak kekejian. Apa aku akan selamat seperti katanya? Apa aku tahu masa depan? Apa Anna baik-baik saja?

    Lelaki ini aku sama sekali tidak kenal. Dari janggut dan rambutnya yang sebagian telah memutih, kuperkirakan umurnya sudah setengah abad. Barangkali. Aku tak tahu pasti. Badannya besar, walau tidak sulit menebak bahwa dia lelaki yang senang makan. Perutnya buncit. Tapi, tidak seperti anak buahnya yang menculik dan meludahiku semalam. Dandanan pria ini begitu rapi, walau kuakui tempat ini membuatnya berbau hampir seperti tikus. Tidak ada jas, tapi kemejanya membuatnya tampak beda dari yang lain. Aku paham, dialah bos di sini.

    "Minumlah!" tawarnya. Aku menggeleng. Aku ingin langsung ke pokok persoalan.

    "Baiklah, kalau begitu, kita mulai bicarakan bisnis. Sudah sepuluh tahun ini, kami membangun jaringan ini. Diam-diam tentu saja. Kau pasti paham kenapa setelah semua kejadian yang menimpamu sejak semalam sampai detik ini. Aku tidak menjelaskan terlalu detail. Aku cukup bilang, bahwa di luar sana, ada begitu banyak nyawa manusia yang terancam. Ada begitu banyak anggota keluarga yang takut kehilangan orang tercinta akibat penyakit-penyakit yang susah disembuhkan, walau dengan biaya selangit. Dan, kami di sini hadir sebagai penyedia jasa itu. Jasa penyelamat nyawa manusia. Kau percaya? Bukankah ini tugas mulia?"

    "Omong kosong! Menyelamatkan nyawa? Dengan apa? Kelakuan kalian padaku saja seperti binatang!" bantahku.

    "Kau tidak salah dengar, Anak muda. Kami menyelamatkan nyawa manusia. Ada begitu banyak orang menderita, yang barangkali tidak kita tahu seburuk apa derita mereka. Ada begitu banyak orang dengan masalah yang tampak begitu sepele bagi kita yang sehat, misalnya, ketidaklengkapan organ dalam tubuh. Hidup dengan jalan seperti itu sungguh mengerikan."

    Aku tidak paham arah pembicaraan ini. Aku kira lelaki ini sudah tidak waras.

    "Aku tidak peduli apa pun bisnismu. Aku tidak peduli semua omong kosong ini. Aku bukan saingan yang membahayakan bisnismu! Aku yakin kau salah tangkap! Lepaskan aku. Aku janji tidak akan membongkar kejadian ini ke polisi. Aku akan diam, asal lepaskan aku dan pacarku!"

    "Tidak. Kami tidak salah. Kau tujuan kami. Kau partner yang menjanjikan. Kau sudah kami amati sejak lama."

    Aku makin tak mengerti. Aku marah, bangkit dari sofa. Mereka hanya menendang dan meninjuku beberapa kali. Sakit sementara, tidak membekas. Aku hendak menerjang lelaki itu dengan pisau di atas piring buah. Aku tidak punya akal lagi. Aku harus lari dari tempat ini. Paling tidak, dengan bos para penjahat misterius ini, aku bisa mengancam agar anak buahnya mau membebaskan kami. Bos bernilai lebih mahal dari apa pun. Aku bisa menaruh pisau itu di lehernya.

    Tapi, belum sempat pisau mendarat di lehernya, seseorang menembakku dari belakang. Betisku panas. Aku tersungkur. Bos para penjahat itu mengumpat dan hendak menendangku, tapi batal. Kenapa? Ayo, tendang saja aku! batinku.

    Tapi aku tidak ditendang. Mereka membekap mulutku dengan sapu tangan. Aroma janggal membuatku pusing, dan tak sadar.

    Aku tak tahu berapa lama tidur. Bahkan aku tak ingat bagaimana ini terjadi. Apa ini nyata? Atau mimpi? Sepertinya tidak masuk akal. Tapi, sakit di sekujur badanku, setelah bangun—entah kapan, mungkin sore—menegaskan bahwa yang kualami bersama para penjahat itu nyata, walau belum masuk akal.

    Memangnya siapa aku? Siapa aku hingga mereka mengajakku berurusan?

    Aku tidak tahu siapa aku, selain seorang pemuda yang mencintai wanita itu. Anna yang cantik, yang baik dan lembut seperti kapas. Itu saja, tidak lebih. Aku tidak berjalan terlalu jauh dalam kisah cinta klise ini.

    Tapi, tubuhku lelah. Perut bagian kanan bawah sakit sekali. Dada kiriku juga sakit. Aku tidak tahu yang mereka lakukan. Ya Tuhan, kenapa bajuku basah? Darah! Ya Tuhan! Anna?! Baik-baik sajakah dia?

    Aku lemas. Kuremas bajuku. Darah menetes banyak sekali. Apa aku kehabisan darah? Apa aku mati? Aku tak kuat menopang badanku. Aku jatuh, terkapar. Aku tak kuat. Suara-suara di luar, dentuman-dentuman keras itu, membuatku tahu ada sesuatu yang terjadi di luar sana. Entah apa. Setelah itu aku tak sadarkan diri.

    Ketika bangun, aku di tempat lain. Ruangan putih bersih. Bau karbol menyengat. Rumah sakit? Anna? Dia di mana? Seorang suster yang kutanya hanya tersenyum, tidak menjawab. Kamu tidak tahu, tanyaku lagi. Dia hanya tersenyum dan pergi. Barulah ketika ada seorang polisi masuk, dia memberiku penjelasan. Semuanya kini masuk akal.

    "Mereka mengintaimu sejak lama. Aku tahu ini sulit buatmu. Aku paham. Tapi kalau bukan karena cinta, Anna tidak akan pernah membongkar rahasia kelompoknya kepada kami. Berterimakasihlah pada cinta, Nak. Sebab, tanpa cinta, mungkin kau akan mati di tempat itu."

    Aku tidak tahu apakah aku bisa berterima kasih.

    Lebih-lebih, perempuan yang kucintai itu menyebabkan sebelah ginjalku hilang.

    Meski dia juga yang akhirnya membuatku batal kehilangan jantung. [ ]
   
    Pasuruan, 13 Oktober 2014

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri