Penulis: Tere Liye
Kategori: Novel
Penerbit : Republika
ISBN : 978-602-899-790-4
Terbit : Oktober 2014
Tebal : 544 halaman
Harga: Rp. 69.000,-
Pertama tahu judul buku terbaru Tere Liye ini, kukira "Rindu" akan melulu bicara soal cinta ala anak muda. Lembar demi lembar kuresapi. Pembaca akan dibawa ke era sebelum Indonesia merdeka, tepatnya tahun 1938, ke dalam sebuah kapal besar yang memuat ribuan manusia dalam sebuah perjalanan.
Rindu? Judul novel sesederhana itu nyatanya tidak sesederhana ide cerita yang Tere Liye sajikan. Dugaanku sejauh sebelum membuka novel ini salah besar. Rindu yang dimaksud bukan soal cinta ala anak muda, melainkan kerinduan akan cahaya-Nya yang dapat sewaktu-waktu menjemput setiap anak cucu Adam di muka bumi.
Ya, perjalanan panjang itu adalah perjalanan menuju Mekah. Naik haji!
Ada banyak tokoh di cerita, namun fokusnya terpusat pada lima sudut pandang tokoh dengan lima pertanyaan dalam hidup mereka. Pertama, saudagar terpandang bernama Daeng Andipati. Kedua, Gurutta Ahmad Karaeng, ulama besar berumur 75 tahun yang menulis ratusan buku dan melalangbuana hingga ke ujung dunia. Ketiga, Ambo Uleng, salah seorang kelasi di kapal itu, bekas kapten phinisi berumur 25 tahun yang sejak kecil dididik laut. Keempat, Upe, mantan pelacur di sebuah rumah bordil di Batavia, yang telah bertaubat. Dan terakhir, Mbah Kakung dan Mbah Putri Slamet, pasangan sepuh dari Semarang yang saling mencintai.
Lima pertanyaan besar itu berkaitan dengan kebencian, kemunafikan, cinta sejati, masa lalu kelam, dan kehilangan kekasih hati. Pesan yang dibawa novel ini begitu kuat dan menyentuh. Jujur kubilang, novel ini bagus dan wajib dibaca, sebab pesan-pesan penting dalam hidup, yang sering kita tidak sadari, semua dibahas satu per satu dalam lima perjalanan tokoh itu dengan begitu indahnya. Hanya saja, membaca buku ini mesti bersabar, karena dengan jujur lagi kukatakan: buku ini sangat bertele-tele. Ya, itulah sisi "negatif" dari novel Tere Liye kali ini.
Aku penyuka karya Tere Liye, tapi entah khusus novel ini, menurutku penyajiannya terlalu bertele-tele. Ada banyak halaman yang harusnya tidak perlu "terjadi" namun tetap diadakan, seperti rutinitas yang seharusnya sudah pembaca tahu dan entah diulang sampai berapa belas atau bahkan berapa puluh kali seolah hanya sekadar menambah tebal buku. Misal: pergi ke masjid-pergi ke kantin-tidur-menonton pelabuhan-menonton laut, dan sebagainya. Ada pula banyak dialog-dialog tidak penting yang selalu diulang-ulang di tiap adegan rutinitas itu.
Yah, mungkin karena ruang lingkup setting yang terbatas--hanya di atas kapal, di tengah laut, dan sesekali mendarat mampir di pelabuhan berikutnya--novel ini agak menjenuhkan dari sisi pengemasan cerita. Ya, sungguh jenuh. Langsung tahu kenapa novel ini jadi begitu tebal. Bukan bermaksud membanding-bandingkan, ya. Menurutku, novel ini--kalau dari segi pengemasan cerita--kalah jauh menariknya dari novel Tere Liye lainnya seperti "Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah" atau "Rembulan Tenggelam di Wajahmu", yang meskipun tebal, rasa jenuh hampir tak ada ketika membaca.
Namun demikian, di balik sisi kekurangan di atas, novel ini layak dibaca oleh siapa saja, mengingat pesan-pesan yang akan didapat sesampai di halaman terakhir nanti. Jadi ingat kalimat teman tempo hari: "Jadi pembaca kudu sabar. Jangan belum-belum sudah buka bagian akhir novel gara-gara tidak tahan pengen tahu ending-nya."
Intinya satu: bacalah buku ini dengan sabar, insya Allah tidak akan kecewa. Seperti novel Tere Liye umumnya, sesudah membaca, kamu akan merasa cerita itu melekat di hati. Cobalah.
waw,, tere liye.. salah satu novelis yang karya2nya favoritku :DDDD
ReplyDelete