Judul buku: Bumi Kuntilanak
Penulis: Denny Herdy & Sandza
Kategori: Kumcer
Penerbit : UNSA Press
ISBN : 978-602-711-760-0
Terbit : Agustus 2014
Tebal : 127 halaman
"Bumi Kuntilanak", sebuah judul yang aneh untuk kumpulan cerpen. Ya, aneh sekaligus membuat penasaran. Bak teror yang datang di malam hari dan tak bisa lepas dari alam bawah sadar. Barangkali agak mengada-ada ketika tahu judul itu semata gabungan antara dua judul cerpen yang "kebetulan" berada di buku ini: "Bumi" dan "Kuntilanak", yang masing-masingnya ditulis tiap penulis. Tapi, selepas membaca buku ini, pikiran itu bisa dipastikan hilang.
Buku ini berisi kisah-kisah yang bukan sekadar horor, mitos, atau sejenisnya, tetapi lebih dari itu. Entah bagaimana menyebutnya. Mungkin satu-satunya yang paling tepat adalah teror, sebagaimana kesan yang muncul ketika membaca judulnya. Berisi 14 cerpen dengan sebagian besar tema berkaitan dengan mitos, membawa Anda berkelana di dunia "gila" Denny dan Sandza. Betapa tidak gila? Bisa bayangkan bagaimana jadinya kehidupan Anda jika sesosok hantu tiba-tiba datang dan terus merasuki tubuh Anda, keluar-masuk tanpa bisa dikontrol, sepanjang hari, sepanjang tahun, sampai Anda gila dan mati perlahan-lahan? Dalam "Kuntilanak", kita disuguhi cerita seseram itu. Tidak jauh beda dengan "Dunia Setelah Senja", yang melukiskan hubungan ganjil antara seorang gadis dengan hantu-hantu; hubungan harmonis yang tidak bisa dijelaskan oleh akal sehat sekalipun.
Pembaca akan dibuat kagum oleh cara Denny Herdy meramu berbagai mitos di Indonesia (sebagian besar Jawa Barat), untuk kemudian menjadi jalinan cerita, lengkap dengan tokoh dan konflik yang dia buat sendiri. Seperti kata Danu Wahyono di halaman endorsment, bahwa cerpen-cerpen Denny begitu "meledek" mitos. Ia menyajikan kisah seolah ia tengah menggandeng tangan kita dan sama-sama melihat mitos dan terornya layaknya seorang badut.
"Lulun Samak", misalnya. Kita dibawa ke masa lalu, masa-masa bermain dulu, yang mana sebagian besar dari kita mungkin pernah mengalami: tidak boleh mandi di sungai oleh orangtua. Tokoh utama dalam cerita bergulat oleh dua keputusan berat: antara mengikuti rayuan teman-temannya untuk mandi di kali, atau patuh pada orangtua yang percaya bahwa dia bisa mati tenggelam oleh karena adanya siluman berwujud tikar. Di cerpen ini digambarkan tokoh utama sangat patuh pada ibunya, tidak mau renang, sampai disebut banci oleh teman-temannya. Dan karena satu kejadian kecil yang konyol, cerita berakhir tragis.
"Pelet Marongge" mungkin jadi satu-satunya yang "terlucu". Perawan tua berwajah buruk tahu-tahu bisa menikah dengan lelaki tampan. Oh, kemudian dia diketahui sudah datang ke suatu tempat untuk memasang pelet (pemikat). Namun di akhir cerita, semuanya--mulai dari cibiran tetangga, perjalanan mencari pelet, hingga prosesi pernikahan yang ganjil--menjadi mentah hanya karena hal kecil di luar pengaruh pelet.
Di cerpen "Memelihara Burung Koreak", kita akan berjumpa pada kenyataan yang sering hadir di masyarakat, tentang kepercayaan berlebih pada suatu mitos hingga nyawa pun bisa jadi taruhan. Pembaca akan merinding di akhir cerita ini.
Beda dengan Denny Herdy, di setengah bagian akhir, cerpen-cerpen karya Sandza lebih banyak mengangkat tema kehidupan dan sosial. "Membunuh Angka" adalah realita yang menggiriskan, yang cukup sering terjadi di sekitar kita, yakni hamilnya seorang gadis oleh bapak tirinya sendiri. "Ustaz Maya" membuat saya tertawa sebab inilah sindiran akan kenyataan yang ada saat ini: semua seolah merasa paling benar, paling suci, paling pintar.
Membaca buku ini adalah membaca teror, meski menurut saya beberapa cerpen agak menjauh dari kesan teror. Namun, secara keseluruhan buku ini cukup memuaskan. Membacanya membuat Anda bagaikan menonton film kartun di tengah kuburan; di sisi lain Anda merasa ngeri, namun juga terhibur.
Comments
Post a Comment