Skip to main content

Review Buku: "Detektif Cantik yang Misterius"

   
    Judul buku: Irine Shilling
    Penulis: Ginger Elyse Shelley
    Kategori: Novel
    Penerbit : Diva Press
    ISBN : 978-602-7956-11-7
    Terbit : Oktober 2012
    Tebal : 266 halaman

         Christoper Stain, calon mertua Raphael Kingston, yang terkenal religius dan khas orang kaya pada umumnya: tahu tata krama, diam-diam menemui seorang pelacur di rumah bordil "mewah" milik Nyonya Tattern. Mary Kettle, begitulah nama si pelacur itu, ternyata punya nama lain yang cukup populer di kalangan kepolisian London, meski tidak populer di mata publik berkat kemisteriusannya; Irine Shiling. Belum jelas apa tujuan Mr. Stain ke sana, namun di suatu pagi yang cerah, di tengah berlangsungnya pembicaraan seputar rencana pertunangan antara Raphael dan Sarah Stain, lelaki tua itu tewas setelah disengat seekor lebah.


Raphael Kingston, hepatologis muda 32 tahun, dikenal sebagai "anak manja" di mata teman-temannya sesama dokter. Bukan karena kelakuan, melainkan perhatian berlebih orangtuanya. Tuan dan Nyonya Kingston--atau yang mereka sebut "papa" dan "mama"-nya Fae (panggilan masa kecil Raphael)--memang tipikal orangtua kaya raya di Inggris; cerewet dan penuh aturan. Tapi, Raphael tidak terlalu peduli dengan itu.

    Kematian Mr.Stain yang mudah dibongkar oleh Shilling, berkat kemampuan dan intuisinya yang mengagumkan, membuat Raphael bertanya-tanya jati diri perempuan itu. Kasus demi kasus pembunuhan akhirnya turut melibatkan Raphael di dalamnya, sebagai detektif dadakan akibat rasa penasaran yang membuncah soal sosok cantik nan misterius itu. Sebuah tantangan memang Irine beri untuknya, seolah sepakat bahwa jika nama asli perempuan itu berhasil Raphael bongkar, maka sang dokter berhak mengikutinya ke mana pun perempuan itu pergi; menjadi asisten sang detektif.

    Buku ini ditulis dengan cerdas dan cermat. Kasus-kasus pembunuhan dengan motif yang panas namun logis, ditambah berbagai cara membunuh dari beberapa kasus yang dipecahkan Irine Shilling, yang melibatkan berbagai jenis racun, mulai dari pengidap anaphylaxis yang tidak boleh tersengat lebah, pembunuhan dengan mie alkali, hingga racun atropin dari sejenis tumbuh-tumbuhan, cukup membuat pembaca tenggelam dalam imajinasi gila penulis.

    Identitas asli Irine Shiling tentu bukan Mary Kettle, sebab penyamarannya sebagai pelacur--yang juga benar-benar bekerja melayani pria hidung belang--bukan pula sosok aslinya. Dua tahun lalu Irine adalah seorang gadis yang menyelesaikan kuliahnya di bidang hukum. Dulu sekali, saat ia masih kecil, kedua orangtua kandungnya mati dalam sebuah kebakaran. Ia diangkat anak oleh Alexander dan Helen Lynch. Di masa-masa kuliah itulah keluarga barunya tertimpa masalah ekonomi hingga memaksa sang ayah angkat untuk menjualnya pada seorang mafia bernama Christian Branch. Keluarganya berantakan. Ia bahkan sempat melihat sang ayah dibunuh, setelah diperkosa ramai-ramai di depan lelaki malang itu.

    Hari-hari berat menggores trauma di dirinya, yang akhirnya memecah kepribadian Shioban Lynch--nama asli Irine, menjadi dua: detektif hebat sekaligus pelacur kelas satu. Untuk lari dari kejaran Christian yang kejam, ia terjun menjadi dua sosok yang para mafia kira akan dijauhinya sebab rasa trauma mendalam.

    Berkat bantuan Raphael dan Inspektur Miller, akhirnya persoalan masa lalu kelam itu berakhir. Irine Shilling, yang dulu tampil berbeda, penuh misteri, dan cenderung "sinting", ternyata hanyalah cara perempuan itu untuk membalas perbuatan orang-orang jahat padanya. Buku ini cocok buat kamu para penggemar kisah detektif. Dijamin setiap lembarnya memacu adrenalinmu. :)

Comments

  1. aku suka bukunya Ginger E.S. yang My Name Is Luca...keren
    aku pikir itu buku terjemahan, lho.. ternyataaaaaaaa O_o"
    aku belum baca yang ini,,nanti nyari aakh bukunya ^^

    ReplyDelete

Post a Comment

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri