Skip to main content

Cerpen: "Tukang Foto"

Sus hadir di sisi lelaki itu setiap hari. Pak Jaya, begitu lelaki aneh itu dikenal, atau sekadar disebut, sebab tak sering orang mendengarnya bicara. Jika datang hujan, atau jika malam begitu dingin, meski tak bersuami dan anaknya yang empat tahun menunggu nun jauh di kampung, Sus tak segan turun ke lantai bawah, menyelimuti, dan mengaduk teh hangat buat lelaki tua itu.
   
    Dia tidak selingkuh, sama sekali tidak. Toh, biarpun sendiri dan hidup berdua di satu atap, tak ada yang diselingkuhi. Tak ada suami bagi Sus selain lelaki-lelaki yang menunggunya hadir di depan panggung, dengan iringan musik dan rok mini.

    Pak Jaya orang yang lurus, pemegang janji sejati. Sebatang kara, puluhan tahun lelaki bungkuk penyakitan itu hidup dari bekal kilatan cahaya dan kamera. Kalau bukan karena tekanan seorang preman, barangkali Sus tak tahu kehidupan malam baginya hanyalah bumbu.
   
    "Saya tidak punya tempat lagi, Pak Jaya. Saya mohon. Saya bayar sisanya minggu depan," ujar Sus seraya melungsurkan sejumlah rupiah kepada Pak Jaya yang termangu-mangu, mendapati loteng rumahnya diinvasi seorang pelacur, hingga tumpukan sampah berserakan jatuh ke mukanya.
   
    Sejak itu, tiap malam, Sus pergi diam-diam, nyanyi di karaoke, menghibur om-om, memadu cinta bayaran semalam. Dan pada esok harinya perempuan itu pulang sembunyi-sembunyi. Anaknya yang empat tahun selalu menunggu; menunggu Sus dengan seribu harapan dan bertumpuk uang. Hanya uang yang dapat membeli masa depan, meski bocah itu tak tahu apa yang ibunya kerjakan di kota.
   
    "Utangmu ke aku banyak! Sekarang kamu mau anakmu celaka, atau bayar utangmu sampai lunas!" ancam preman itu, setiap malam, setiap lagu-lagu selesai dimainkan dan tiba giliran Sus masuk kamar. Rasanya utang itu tidak akan pernah lunas sampai dia mati.
   
    Tak ada pilihan bagi Sus selain sembunyi. Pak Jaya memberinya tempat yang aman dari terkaman preman, meski lelaki tua itu tak tahu dan barangkali tak mau tahu urusan Sus. Sejauh ini, Sus sendiri tak tahu mengapa Pak Jaya begitu kelam. Tiada kata, tiada rasa. Semua hanya berlalu seperti ketika kita memandang lukisan. Bingkai-bingkai bertebaran di dinding studio ruang lelaki tua itu. Sediam lidahnya yang sering mendekam.
   
    Setiap pagi, dengan sepeda dan bekal alat-alat foto, Pak Jaya pergi ke pasar dekat stasiun, tempat yang baginya selalu menyimpan luka. Hanya dengan doa dan sesaji, ia hidupi kenangan yang kian waktu kian menggerogoti tubuhnya. Suatu kali Sus tahu itu. Ia melihat kesepian dan keanehan meliputi tukang foto tua itu sampai batas yang tak bisa lagi disebut batas.
   
    Ketika itu Sus putuskan berhenti jadi pelacur dan kerja apa saja, yang halal, sampai ada tempat yang mau membayarnya menyanyi, bukan ditiduri. Dilihatnya Pak Jaya menuntun sepeda kumbang, tertatih, menembus ilalang di sepanjang rel. Lalu dengan tubuh bungkuknya, orang tua itu duduk dan meletakkan beberapa sesaji, membakar dupa dan berdoa.
   
    "Kok ada, ya, orang seperti itu? Aneh. Ndak pernah bergaul. Semenjak anak istrinya kelindas sepur[ Kereta.], setiap hari ia datang ke sana, naruh sesaji, bakar-bakar dupa. Apa dia ndak tahu, kalau anak-anak ngamen itu yang doyan makan?!" kata Mbak Asti, tukang jahit tetangga Pak Jaya, kepada Sus di lain kesempatan.
   
    Tapi kebaikan Pak Jaya menelan semua cibiran.
   
    Berhenti melacur, Sus membantu tukang foto itu mengurus keperluan rumah. Mulai dari nyapu, ngepel, sampai memasak, semua Sus yang kerjakan. Pak Jaya terlalu baik untuk ukuran orang aneh. Ia tak bisa menolak rentetan permohonan Sus yang tidak tahu harus tinggal di mana lagi. Ia terima Sus sebagai pegawai, di studio fotonya, sebuah tempat yang hampir bisa disebut mati, meski ia sendiri tak tahu rimba sisa uang kontrakan yang Sus janjikan bulan lalu.
   
    "Senyum. Satu... dua... tiga...." begitu ucap Pak Jaya datar, kepada siapa saja yang datang padanya. Mereka berdiri di depan latar, lukisan-lukisan berbagai warna dan suasana, dan Sus melihat ini bak dunia baru. Kamera tua, lampu-lampu, tiang-tiang, dan entah ia menyebutnya apa, begitu aneh di mata perempuan ini.
   
    Suatu waktu Sus iseng menyentuh kamera Pak Jaya. Kamera tua yang sudah ketinggalan zaman. Dari situ, Sus tahu potongan masa lalu Pak Jaya. Kesalahan tidak pernah terbayar, selain dengan mencari pengganti seperti janjinya dulu.
   
    "Tak ada yang boleh menyentuh kamera ini, sampai ada yang menggantikan saya!"
   
    Sus tak berani selain hanya patuh.
   
    Suatu pagi, Pak Jaya pergi ke pasar dengan sepeda dan alat-alat foto. Ritual di rel kereta, tempat masa lalu, ia jalankan. Sus mengekor. Di tangan mereka ada bertumpuk selebaran berisi pengumuman yang berbunyi: Dicari juru foto magang. Tidak dapat gaji, hanya makan tiga kali sehari.
   
    "Kenapa Pak Jaya pasang sebanyak ini? Paling ini bisa tahan cuma dua hari, lalu hilang, kena angin, kena hujan," celetuk Sus.
   
    "Saya harus cari pengganti," kata Pak Jaya mantap, dengan suara seraknya yang nyaris tak kedengaran.
   
    "Ya, tapi di tempat macam ini, kayaknya susah, Pak."
   
    "Saya harus cari pengganti."
   
    Tapi sayang, pengganti itu tidak pernah ada.
   
    Tidak ada yang lebih membahagiakan bagi pemegang janji sejati, selain saat janji-janjinya terpenuhi. Tapi, kecelakaan puluhan tahun lalu merenggut semuanya. Pemegang janji tidak pernah cedera. Sepeninggal istri dan anaknya, Pak Jaya sebatang kara, sampai kini, sampai harapan mencari pengganti seperti pungguk merindukan bulan.
   
    Barangkali itu yang membuat Sus sadar, atau karena dorongan menghidupi anaknya yang empat tahun, Sus lalu sadar. Entahlah. Penyakit di tubuh Pak Jaya membuat Sus tak lepas menemaninya setiap hari. Seperti ia telah menjadi anak kandung Pak Jaya. Kebaikan tak tampak lelaki tukang foto itu, menyentuh hati Sus dan membekas di sana seperti lukisan latar-latar yang mereka gulung berdua di pinggir pasar, di samping bingkai-bingkai yang mereka tata di tembok tempat Pak Jaya menunggu siapa saja yang lewat untuk sekadar menyimpan kenangan.
   
    "Jangan ganggu kenangan saya," tegas Pak Jaya suatu hari, ketika Sus membersihkan salah satu sudut kamar. Di sana ada peti berisi foto-foto masa lalu Pak Jaya.
   
    "Tapi saya mau nyapu, Pak. Di sini kotor."
   
    "Tempat lainnya saja. Jangan ganggu kenangan saya," ulang lelaki tua itu.
   
    Pada akhirnya Sus tahu, perkataan orang tidak selalu benar. Dulu Mbak Asti pernah cerita, keanehan Pak Jayalah yang membuat anak istrinya muak, lalu minggat[ Pergi ke tempat jauh dan tak kembali.] dari kehidupan lelaki itu. Dan di saat minggat itulah, mereka tertabrak kereta.
   
    Perkataan orang tidak selalu benar. Sus tahu itu dari bibir Pak Jaya sendiri, sebentuk bibir yang tak banyak bicara sejak kebencian merambat dan tak bisa ia bendung, hingga penyesalan datang. Ia benci semua di hidupnya. Ialah yang pergi dan meninggalkan anak istrinya dahulu. Dan saat kereta baru mulai berangkat, sesuatu tertabrak. Seorang ibu dan anaknya terlindas.
   
    Sus hadir di sisi lelaki itu setiap hari. Ia tahu harapan yang barangkali akan sulit tercapai; sebuah harapan dari lelaki yang terluka akibat janjinya sendiri.
   
    "Saya berdosa pada para leluhur. Bahkan, janji pernikahan yang semudah itu, tak bisa saya penuhi. Maka saya ingin, setidaknya, satu-satunya janji yang tersisa ini terpenuhi. Janji mencari pengganti, siapa pun orangnya."
   
    Foto-foto di peti Pak Jaya, bingkai-bingkai kesalahan, bertumpuk jumlahnya. Lelaki itu mengambil satu-satu, menyusun satu-satu, membentuk mozaik. Di sana, Sus melihat potongan manusia bak puzzle; kepala, badan, dua tangan, dua kaki, dikali dua, dengan ukuran berbeda. Manusia dewasa dan kanak-kanak. Dan Sus melihat dengan terang alasan apa yang terjadi hari ini. Tidak seburam mereka yang hanya menduga-duga. Ia tahu Pak Jaya begitu, karena merasa berdosa atas kesalahannya di masa lalu, bukan karena apa-apa.
   
    "Kita bisa ke Cina kok, Pak," kata Sus suatu malam.
   
    Tubuh Pak Jaya melemah. Suaranya makin samar. Napasnya memberat. Mereka pernah berencana pergi ke negeri Cina. Bagi Sus, ini masa depan untuk dia dan anaknya. Menyanyi di kapal pesiar, bekerja dengan benar tanpa menjual diri. Sedang bagi Pak Jaya, negeri itu tempat yang lama ia rindukan, kampung halaman yang nyaris terlupakan.
   
    Pak Jaya percaya itu. Kini ia menganggap Sus seperti anaknya sendiri.
   
    Dalam keadaan sakit yang entah apa, dengan bantuan Sus, Pak Jaya masuk studio dan menyiapkan alat-alat fotonya. Dua hari lalu, tegas ia berkata, tak ingin seseorang mengambil fotonya, selain orang itu menjadi pengganti. Tapi, malam ini, takdir membawa Sus ke arah itu.
   
    Dengan jas, celana panjang, dan sepatu, Pak Jaya duduk menunduk. Sebelah tangannya berpegangan pada meja. Sus berdiri di depan kamera, menatap takzim benda tua yang kini akan mengambil wajah kenangan dari sang majikan.
   
    "Senyum, Pak. Satu... dua...."
   
    Pak Jaya menunduk kian dalam. Napasnya terengah-engah.
   
    "Pak? Senyum, Pak..."
   
    Pak Jaya menunduk kian dalam. Tanpa suara.
   
    "Pak! Bangun, Pak. Bangun!"
   
    Malam itu Sus tahu, tak ada kebaikan yang terjaga selain jika kita menyimpannya dalam sebuah bingkai, apa pun bentuknya. Pak Jaya meninggal sebelum kamera mengambil gambarnya untuk pertama kali. [ ]
   
    (1 Feb '15)
    Terinspirasi dari film "The Photograph" (2007) karya sutradara Nan Achnas, yang diperankan oleh Shanty dan Lim Kay Tong. Saya tulis dengan beberapa perubahan. Mungkin karena suka dan terharu dengan film ini, maka iseng saya coba membuat versi cerpen dengan gaya tulisan saya. Tentu cerpen ini tidak dikirim ke media mana pun atau diikutsertakan lomba dan sebagainya, kecuali hanya di blog ini, karena ide dan jalan cerita bukan karangan saya, melainkan sang sutradaranya sendiri. Bagi yang belum nonton, coba tonton. Dijamin Anda suka, meski film ini sejak awal terasa begitu sederhana. Pesan dan kesannya mendalam. :)


Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri