Skip to main content

[Cerpen]: Wak Kaji dan Suraunya

Cerpen inilah yang mengantarku menuju Top 2 Unsa Ambassador 2015. Sebuah cerpen sastra religi yang ditulis dadakan, dengan ide yang juga datang secara dadakan. Semoga kalian suka, ya! :D
                                                                                 ***
    Barangkali jauh sebelum saya tinggal di sini, duduk, dan mengamati orang-orang, mendengar azan lima kali, anak-anak ngaji tiap sore, ceramah-ceramah Jumat siang, kakek itu sudah ada. Maksud saya begini, tentu saja beliau sudah ada. Tampak dari janggut putihnya, kemungkinan besar umurnya jauh lebih tua dari bangunan ini.

    Saya tidak mau menyebut nama, karena barangkali nanti, bila ada anggota keluarga beliau yang membaca cerita ini, bakal menangis. Tidak, saya tidak mau. Biar saja andai cerita saya dianggap sekadar cerita, bukan berita, walau nyatanya saya bukan pembaca berita. Tetapi yang saya bawa dan hadirkan di depan Anda sekalian ini mirip-miriplah dengan berita. Tidak jauh tetapi tidak juga dekat.

    Dahulu di sebuah kampung pesisir, orang hidup dan bekerja untuk kesemestian, bukan ketamakan. Saya datang diantar seorang pemuda yang konon hafal jalan kemari. Kebetulan saya tidak bisa pergi sendiri. Siapa saya, itu tidak penting. Saya bukan inti berita. Saya cuma saksi, sebut saja begitu.

Di teras surau beliau tersenyum, seperti menyambut tamu penting, padahal saya bukan siapa-siapa. Saya menebak-nebak apa beliau bosan melihat tamu macam saya? Namun dipeluknya saya, disambutnya saya dengan baik. Saya tahu itu bukan pura-pura. Maka saya pun yakin, pada masa yang sudah-sudah, pendahulu saya yang bertamu ke sini pasti setiap hari bertemu, dekat-dekat, bahkan mungkin—dan saya yakin tidak salah: juga bersenda gurau dengan sang kakek. Saya pikir, saya akan berguna di sini, walau banyak remaja muak melihat saya.

    Jangan harap Anda tahu lebih banyak tentang saya. Saya bukan tipe yang mudah menilai diri sendiri. Saya tidak pernah bercermin, tetapi kakek tua itu bilang: "Saya merasa belum cukup pantas. Bapak-bapak yang lain dulu. Nanti bergantian," ucapnya. Jari telunjuknya mengarah ke satu titik, di bagian dalam bangunan yang hampir roboh itu. Lalu orang-orang mempersilakan saya duduk di sana. Padahal saya bukan bupati, bukan menteri, apalagi presiden. Saya cuma tamu biasa dan tidak spesial.

    Namun barangkali karena saya tamu itulah, tidak memandang bagaimana banyak remaja acuh tak acuh melihat saya, lebih-lebih pemuda yang mengantar saya langsung pergi setelah kakek itu memberinya beberapa rupiah, maka Wak Kaji—begitu sang kakek dipanggil, tanpa nama—memperlakukan saya dengan begitu baik.

    Saya diberi tempat paling hangat, juga penerangan walau cuma lampu tempel. Tapi itu cukup mewah, sebab hidup di pesisir kadang membuat Anda kedinginan dan kurang awas[ Awas (bahasa Jawa), artinya jeli (dalam melihat).] dalam keremangan. Tentu saja, pada situasi yang demikian, saya malu ketika suara azan mendahului bangun saya di pagi hari, beberapa saat sebelum subuh. Tidur saya terlalu nyenyak. Wak Kaji memandang saya, tersenyum, sebelum kemudian turun ke tempat wudhu, lantas ujung-ujungnya mengajak saya salat.

    Saya—sebagai tamu yang sejak awal hormat pada beliau—tentu tidak menolak. Apalagi, saya ulangi, saya cuma tamu, walau bukan bermaksud kurang ajar. Belakangan saya justru menceritakan ini kepada Anda. Tapi apa berita ini bisa disebut kurang ajar, biar Anda yang menilai. Terserah. Toh tiap laku ada balasan. Saya sadar Wak Kaji beda dengan kebanyakan orang, istimewa, padahal beliau bukan orang kaya. Suatu waktu saya dengar beliau bilang, "Panggil saya kaji saja, jangan haji, sebab saya merasa perlu mengkaji apa diri saya sudah lurus?"

    Barangkali karena itu saya betah, walau hampir tiap subuh beliau membangunkan saya, bukan sebaliknya, lewat suara azannya. Dan walau makin hari makin sedikit saja yang datang ke surau.

    Alasan yang lain karena kedatangan saya tidak dipandang sebelah mata. Sejak awal sampai hari-hari berikutnya, saya tidak jauh dari Wak Kaji. Kami akrab dan lama-lama saya berpikir, "Jangan-jangan ini alasan penerusku betah?" Tapi saya tahu saya bukan siapa-siapa. Dan saya tahu, meski saya pendatang, jalan beliau sudah lurus. Teramat lurus malah.

    Begitulah, dari subuh ke subuh saya dibuat malu. Tapi bukan maksud beliau ingin merendahkan. Hanya saya yang malu; malu dengan sendirinya. Pagi menjelang siang, saat matahari belum di atas kepala, beliau datang. Kadang sendiri, kadang dengan istri. "Biar dilapangkan pintu rezeki," katanya. Dan saya larut menikmati hidupnya. Walau saya sadar, dalam tiap kedekatan, tidak selalu terkabarkan. Atau mungkin begini: dalam kedekatan, tidak selalu terucapkan.

    Lelaki tua itu baik, tapi bicaranya sedikit. Lebih banyak senyum sesuai petuahnya, bahwa lidah yang baik adalah lidah yang tahu mana saatnya bisu dan mana saatnya bicara. Jadi, kalau Anda bilang kami berteman dalam sunyi, boleh saja. Dan saya akan tambahkan bahwa dalam diam itu sesungguhnya seorang hamba sedang berserah diri pada-Nya.

    Sorenya, selesai ashar, saya diajak bertemu anak-anak tetangga. Kami duduk di surau. Mereka ngaji dan kami mengamati anak-anak itu. Nanti sehabis maghrib mereka pulang. Begitulah kegiatan sehari-hari Wak Kaji. Lepas isya beliau tidur dekat saya. Tapi, karena beliau punya keluarga, kadang tidur di rumah.

    Saya tidak mencegah atau memaksa beliau mengajak saya ke rumahnya, tidur di sana, atau duduk-duduk bercengkerama misalnya. Saya cuma tamu yang numpang untuk beberapa waktu di surau demi suatu urusan, kalau tidak disebut semacam kewajiban. Maka, tamu macam apa saya, sampai tidak tahu diri meminta waktu lebih dan secara khusus kepada beliau? Padahal setiap hari tidak pernah tidak bertemu. Dalam sehari bisa sampai sepuluh kali! Ya, saya cukup tahu diri, meski rasa kagum dan cinta padanya mulai tumbuh dan tak terbendung. Ada yang bergejolak dalam hati, sebuah rasa yang tak terelakkan.

    Malamnya, usai bangun, beliau pergi. Saya tidak bertanya mau ke mana beliau atau mengapa tidak mengajak saya. Karena selain tidak sepatutnya saya ikut, saya sudah tahu bahwa di jam-jam segini beliau pasti ke laut, mencari ikan, mencari penghidupan. Kalau Anda bertanya bagaimana saya tahu pekerjaannya sedang saya tidak ikut pergi, maka akan saya jawab: "Semua orang tahu itu. Dan kabar-kabar baik selalu saya dengar."

    Tentu saja tidak ada yang tidak kenal Wak Kaji, walau beliau bukan artis, meski paham ilmu agama. Warga sini tahu betul siapa beliau; kakek yang sederhana, yang dekat dengan tuhannya, dekat dengan anak-anak, dan orang susah, begitu yang selalu saya dengar. Yang tidak kenal pasti belum pernah kemari, termasuk barangkali Anda yang sekarang membaca berita ini. Bagi orang pesisir, pemikiran kakek tua ini dianggap setingkat sufi. Kepada beliau biasanya orang minta solusi, semisal terkait urusan rumah tangga atau tetek bengek kehidupan lainnya.

    Secara pribadi, mengingat berbagai macam kelebihan dan keistimewaan Wak Kaji—dengan mengabaikan soal surau yang kian menyepi—menurut saya beliau bukan manusia biasa. Darah dan dagingnya seperti istri, anak-anaknya, para tetangga, dan juga orang-orang yang sama sekali tidak mengenalnya. Tapi sesuatu yang mengisi daging itu istimewa: jiwa dan auranya. Entahlah, saya bukan siapa-siapa, tapi saya bisa merasakan.

    Saya sedih saat para pemuda yang biasa saya intip dari pintu surau tengah sibuk menyeret perahu, memanggul ikan, membetulkan simpul jaring, dan lain sebagainya, merasa tamu macam saya tidak ada gunanya. Mereka jarang datang untuk sekadar menyapa, apalagi menyalami.

    Tapi sedih itu terobati ketika Wak Kaji dan para tetua berdiri membela kedatangan saya, membela keberadaan saya. Entah saya yang mudah merasa bangga, ke-geer-an, padahal aslinya yang dibela bukan saya, melainkan surau ini; atau entah saya salah sangka, berharap lebih dari beliau—yang jelas sedih saya jadi tidak terlalu mendalam. Surau ini masih berisi, walau yang mengisi sudah pada sepuh.

    Sampai di sini Anda mungkin masih bertanya-tanya siapa saya dan apa tujuan saya kemari. Tapi sekali lagi saya bilang, itu tidak penting. Saya cuma saksi yang membawa berita ini kepada Anda untuk didengar, untuk diketahui, walau tidak mewajibkan semua orang mendengar atau mengetahui. Keseharian Wak Kaji menggenapi arti saya di dunia ini, dunia yang baru saya kenal tidak lama sebelum seorang pemuda membawa saya dari suatu tempat menuju kampung ini.

    Kalau Anda bertanya kenapa saya betah dengan kehidupan Wak Kaji yang itu-itu saja, saya tidak memarahi Anda karena barangkali Anda belum pernah bertemu beliau. Tapi bagi saya, yang tidak sekadar bertemu, melainkan berteman—atau mungkin beliau anggap saya anak sendiri—kehidupan yang begini-begini saja justru saya cintai.

    Maka beginilah jadinya: berdiri di pengimaman, saya melihat Wak Kaji memimpin salat setiap hari, lima waktu, bertahun-tahun selama saya tinggal dan bertugas di sini. Tidak lewat, kecuali kalau beliau sakit. Tidak lewat, karena hanya kepada beliaulah para jamaah kemudian bergantung. Dari hari ke hari saya masih merasa malu, walau sesudahnya, dengan tatapan tulus, Wak Kaji membuat saya tahu beliau tidak pernah menganggap saya salah.

    "Siapa yang menghidupi surau ini kalau bukan kita?" bisiknya suatu waktu setelah memukul bedug dan siap mengumandangkan azan. Di sudut matanya ada sesuatu yang basah. "Semua berubah. Tidak seperti dulu. Entah sepeninggal para tetua ini, siapa yang mau?"

    Tapi saya cuma bisa diam, walau tahu; kesedihan orang yang kita cintai tidak luput dari perasaan yang kita simpan. Suka duka ditelan sama-sama, walau saya selalu diam.

    Jika beliau sakit dan tidak melaut, saya lebih malu. Rasa dingin tidak mengalahkan tubuh yang tinggal tulang dan kulit saja. Rasa dingin tidak mencegahnya beribadah.

    "Jangan cemas, Dah. Mbah sudah biasa. Dingin di sini tidak seberapa dengan kalau di perahu," katanya seraya memakai sarung. Barangkali beliau tidak mau saya cemas. Dalam banyak kelonggaran, beliau sempatkan bersujud, meski di tengah laut, dan meski malam selalu dingin—atau barangkali: meski ajal di depan mata.

    Saya yakin sampai di sini Anda tidak lagi bertanya bagaimana saya betah dan jatuh cinta pada beliau. Wak Kaji itu keistimewaan, teladan yang Tuhan kirim ke kampung pesisir—yang seiring berkembangnya zaman, berkembang pula kemaksiatan. Meski begitu, saya tahu bahwa tidak menutup kemungkinan Anda akan selalu bertanya siapa saya, tamu macam apa yang menumpang sekian lama, atau tugas macam apa yang saya emban.

    Itu tidak penting. Asal-muasal berita ini Wak Kaji, bukan saya.

    Lagi pula saya tidak berarti bila pemuda yang mengantar saya dulu tidak terpikir membawa saya ke kampung ini, mengenalkan saya pada Wak Kaji setelah mendengar kabar bahwa warga pesisir butuh menghidupkan sebuah surau—padahal bangunan itu sudah tua. Mungkin saya tidak berarti bila berada di tempat dan waktu yang lain.

    Pada kenyataannya saya berarti, meski kedatangan saya tak sepenuhnya diterima. Dan meski surau ini tidak terlalu hidup. Oleh karena itu, jauh di lubuk hati saya, saya kira sampai kapan pun sulit meninggalkan beliau dan suraunya.

    Sampai suatu sore, selesai ashar, Wak Kaji mengacungkan jari, menunjuk satu-dua orang di teras, bergumam, melihat sekeliling. Surau sepi. Semua jamaah sudah pulang. Saya tahu beliau berhitung.

    "Tambah hari, lha kok tambah dikit," kata Wak Kaji. Beliau duduk di samping saya, memandangi saya.

    "Kalau Mbah pergi, siapa yang menemanimu, Dah?"

    Saya diam.

    "Kalau Mbah pergi, siapa yang merawat surau ini? Lama-lama bisa jadi kandang."

    Saya diam, meski hati saya berucap: Saya yang akan merawat, dengan entah siapa yang menjadi teman saya nanti. Adakah tempat ini jadi kandang? Oh, tidak! Batin saya.

    Sebenarnya saya sedih. Mau menangis, tidak bisa. Kalau Wak Kaji pergi, sulit menemukan orangtua sekaligus guru sebaik beliau. Dan kalau surau ini jadi kandang, mau tidur di mana saya?

    Tapi saya lagi-lagi tetap diam. Saya tidak bisa berjanji, karena saya selalu diam. Kenapa harus pergi? batin saya menjerit. Padahal saya sudah bertekad bahwa saya tidak mau pergi, dan bahwa saya tidak ingin beliau pergi, walau saya bukan siapa-siapa.

    Dini hari, setelah sempat tidur, Wak Kaji bangun dan salat di dekat saya. Karena lelah, saya tidak mengikutinya, tidak mengamatinya. Saya tidur lagi. Saya baru sadar kalau subuh berikutnya bukan Wak Kaji yang membangunkan saya, tapi orang lain. Betapa besar kagum saya pada beliau, bahwa sampai berjam-jam lamanya, salat malam belum akan berakhir, bahkan hingga azan subuh hendak dikumandangkan.

    Saya baru tahu setelah beberapa jamaah datang. Saya baru tahu kenapa Wak Kaji sujud terlalu lama, dan sulit diingatkan bahwa subuh sudah mau datang. Saya baru tahu kenapa orang-orang yang tinggal hitungan jari itu menangis tersedu-sedu, menggoyang tubuh yang diam bersujud. Ternyata beliau sudah meninggal.

    Hari itu saya sadar, tugas saya masih panjang. Tetapi saya tidak tahu, adakah yang menyamai Wak Kaji dalam menghargai keberadaan saya, memberi arti bagi keberadaan saya yang baru mengenal dunia setelah seorang pemuda membawa saya pada beliau?

    Entahlah. Saya tak tahu pasti.

    Tak lama setelah beliau dimakamkan, selang beberapa bulan, seorang lelaki datang. Rajah[ Tatto.] di lengan dan dadanya membuat saya bergidik. Tanpa basa-basi ia mengikat saya. Saya tidak melawan. Bukankah saya selalu diam, meski saya tahu tugas saya di sini tidak seharusnya berakhir secepat ini?

    "Laku berapa?" kata orang itu setelah menyeret saya keluar.

    Lelaki berkulit hitam, berbadan kurus, menyambut saya dari tangan lelaki tadi. Bergumam, menimbang, sebelum akhirnya berujar, "Dua ribu."

    "Tambah dikitlah!"

    "Ndak bisa, Mas. Sudah tua, bolong lagi! Kalau saya mau, mending beli di loakan," sahut lelaki kurus seraya mengembalikan saya pada lelaki pertama. Dipandanginya saya dengan seksama, dipandanginya surau kami. "Memangnya surau ini ditutup, Mas? Kok sajadahnya dijual?"

    "Gak usah mbacot!"

    Saya cuma diam, walau hendak dijual, dan walau ingin menangis. Bagaimana bisa? Air mata saja saya tidak punya. [ ]
   
    (Pasuruan, 17-18 Desember 2014)

Comments

  1. "maka Wak Kaji—begitu sang kakek dipanggil, tanpa nama—"

    tanpa nama? bukankah Wak Kaji itu sebuah nama? (terlepas dari julukan/panggilan) itu tetap sebuah nama. Sejadah benda mati, bagaimana bisa digambarkan mempunyai pikiran dan ingatan? perlu keterangan soal ini.
    Sejak awal dikatakan cerita wak kaji, tapi malah lebih fokus ke tokoh "saya". Ada beberapa tanda baca yang kurang tepat peletakannya. Bahkan ada penempatan 'walau' dan 'meski' pada satu kalimat:

    "Tentu saja tidak ada yang tidak kenal Wak Kaji, walau beliau bukan artis, meski paham ilmu agama"? entah mengapa seperti kurang pas.

    "Mereka jarang datang untuk sekadar menyapa, apalagi menyalami..." <<< narasi ini ditujukan kepada si "saya". istilah 'jarang datang' masih bisa diterima. Tapi kalau istilah 'menyalami' sepertinya kurang masuk sebab itu mengarah ke sajadah (baca: benda mati). Lagipula di beberapa paragraf, sajadah bisa tidur, memiliki batin, mendengar dan melihat. Bagi saya itu ambigu/mengganggu sebab tak ada penjelasan mengenai itu. Ada beberapa logika yang kurang untuk membangun cerita ini dengan memakai narator 'saya' sebagai benda mati.


    Judul dan Paragraf awal pun mengingatkan saya dengan cerita Robohnya Surau Kami karya A.A Navis. Mohon maaf kepanjangan, semoga semakin produktif dan melahirkan karya luar biasa :) (y)

    Salam Karya!

    ReplyDelete
  2. Terima kasih atas kritiknya ya :D

    Berikut jawabannya:
    1. Coba tengok dari awal cerpen. Ada kalimat : "Saya tidak mau menyebut nama, karena barangkali nanti, bila ada keluarga beliau...dst"--yang saya kira sudah menegaskan bahwa meski beliau dipanggil Wak Kaji, tetap di dalam cerpen ini tidak ada nama. Tentu saja nama asli, sebab kata "kaji" pun sudah ditunjukkan asal-usulnya dalam kalimat Wak Kaji yang bunyinya: "Panggil saya kaji saja, jangan haji...dst"

    2. Sajadah tentu saja benda mati. Tapi perlu diingat pula bahwa inilah cerpen. Sebagai penulis, kita tentu tahu bahwa kita boleh menggunakan benda apa saja sebagai tokoh utama. Ini memengaruhi akan jadi model apa cerpen kita (kontemporerkah, realismekah, surealiskah, dan lain2--kalau cerpen saya ini entah masuk kategori apa, hehe). Simpelnya, kenapa ada fabel, sedangkan ayam tidak bisa bahasa manusia? Kira2 begitu. :D

    3. Siapa bilang fokus ke "saya"? :) Justru bukankah sejak awal tokoh "saya" lebih banyak bercerita tentang Wak Kaji? Hehe.

    4. Nah, persis seperti perkiraanku. Akan ada pembaca yang mengkritik kalimat: "Tentu saja tidak ada yang tidak kenal Wak Kaji, walau beliau bukan artis, meski paham ilmu agama." Sejujurnya saat menulis kalimat ini pun saya juga merasa ganjil dan hampir saya hapus/ganti. Tapi setelah saya dalami, saya putuskan tetap memakainya. Alasannya: kalimat itu didasari tentang betapa Wak Kaji paham ilmu agama, hingga banyak warganya yang tahu. Dengan kata lain, Wak Kaji terkenal padahal bukan artis. Sementara setiap artis pasti terkenal, walau keterkenalan bisa saja datang dari hal lain: paham ilmu agama misalnya. Begitulah :)

    5. Soal sajadah, bahkan sejak awal cerita ini ditulis pun dibangun dari ketidaklogisan. Bagaimana mungkin sajadah bisa hidup? Nah, loh. :D Sementara di dunia nyata tidak ada sajadah hidup, lalu di dalam cerpen ini aku "hidupkan" sajadah itu, maka soal tidur, membatin, mengingat, dan berpikirnya si sajadah ini tidak lagi jadi masalah (seharusnya begitu). Ada banyak contoh cerpen mengenai benda mati yang "dihidupkan", yang sifatnya bisa sama dengan "sajadah" di cerpenku ini. Hehe.

    Oh, ya, soal "menyalami" saya rasa sudah tepat kok. Coba perhatikan orang sujud, pasti telapaknya yang menyentuh sajadah, bukan? Saat menulis cerpen ini saya sengaja mencari padanan kata yang pas untuk tiap interaksi antar manusia dan sajadahnya; apakah itu soal fisik atau membatin. Bahkan kata "memeluk" pun bisa dipahami sebagai memeluk tubuh sesama manusia, padahal di cerita ini memeluk gulungan sajadah. Kenapa saya buat seteliti ini? Karena saya ingin mengecoh tanpa membohongi? :D Coba baca lagi, interaksi fisiknya apa masih ada yang kurang? Sementara, interaksi batin tidak bisa kita sangkal, sebab di dunia nyata semua sajadah adalah benda mati, sedang yang hidup hanya di cerpen ini. Hehe

    6. Soal cerpen ini bisa mengingatkanmu ke "Robohnya Surau Kami", itu wajar. Cerpen legendaris itu mengangkat hal yang nyaris sama dengan cerpen saya, yaitu sebuah surau dan kakek penjaganya. Tapi perlu diketahui, inspirasi saya sama sekali tidak berhubungan dengan cerpen A.A Navis tersebut. :)

    Begitulah jawaban dari saya. Terima kasih atas komen dan kunjungannya. ;)

    ReplyDelete

Post a Comment

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri