Sejak dulu panggung ini menyuguhkan pertunjukan
murah bagi seluruh penghuni kota. Tidak seperti panggung-panggung pada umumnya,
panggung ini amatlah istimewa, karena penontonnya terdiri dari beragam profesi.
Kedudukan sosial tak jadi soal. Siapa saja bisa jadi penonton. Tak masalah jika
misalnya bapak walikota duduk di samping tukang sapu. Atau mungkin, pialang saham berjejer dengan kuli
bangunan. Bahkan tak jarang pula orang-orang berpangkat harus duduk di belakang
mereka yang tidak berpangkat. Mereka tak pernah mempermasalahkan.
Kebanyakan dari penonton senang dengan
pertunjukannya, meski tak kurang yang menganggapnya amat buruk. Namun satu yang
pasti; kegembiraan tampak lebih besar di wajah para seniman yang tampil. Para seniman panggung itu berasal dari
kalangan ekonomi bawah. Aku salah satu dari mereka. Aku saksi cerita ini.
Satu yang paling menarik dan membuatku melihat ini
sebagai keajaiban adalah kondisi panggung. Panggung kami tak memiliki atap,
hanya bangunan sederhana berlantai tanah. Maka, ketika akan memasuki musim
penghujan, kami akan menguat-nguatkan diri untuk tidak sakit. Dan ketika bumi
menjelma bak gurun pasir, kami harus banyak-banyak mandi agar debu tak membuat
kepala pusing. Kami akan selalu tampil meski penonton tidak memenuhi
kursi-kursi yang tersedia. Berapa pun jumlah mereka, kami tetap akan membuka
pertunjukan.
Aku tahu, Tuhanlah yang menciptakan panggung ini
untuk kami. Kurasa Tuhan mengajariku betapa kehidupan adalah sesuatu yang tak
seharusnya menjadi masalah. Aku selalu berharap para seniman itu bersedia untuk
selalu menjaga panggung ini. Bukankah jika sesuatu tetap terjaga, segala yang
berhubungan dengannya akan menjadi lebih baik? Aku belajar itu ketika salah
seorang dari kami menuding yang lain berbuat curang.
"Kamu merebut jatahku! Harusnya aku berhak
mendapat lebih dari kamu!"
Semua penonton terpana menyaksikan dua seniman
saling bersitegang. Aku terpaku, sedih mentap teman-temanku. Aku tak bisa
berbuat apa-apa. Sejak dulu aku memang pendiam.
"Sudahlah, apa kalian mau penonton kita
kabur? Lihat, mereka sudah menunggu!" seorang gadis bertubuh jangkung
menengahi. Mereka melanjutkan penampilan setelah sebelumnya menatapku sebentar.
Aku tahu, sosok yang menimbulkan keributan tadi
adalah satu-satunya anggota kelompok yang paling menderita. Ibunya
sakit-sakitan, hingga selalu membuatnya beralibi bahwa ia berhak mendapat honor
lebih dari siapa pun. Dan aku juga tahu, semua itu bukanlah sesuatu yang
mengada-ada. Ibunya harus berkali-kali dibawa ke rumah sakit karena penyakit
yang dideritanya terlalu mengerikan untuk orang miskin. Sementara, jika kami
tak bersatu, panggung ini hanya akan menjadi sejarah, sejarah menggiriskan lebih tepatnya.
"Kita harus bersatu. Hasil pertunjukan mesti
dibagi. Kalau terus ribut soal uang, seseorang akan merebut panggung ini.
Kalian mau mencari pekerjaan lain? Ha?!" lontar sang gadis berapi-api. Dialah yang tertua. Para seniman
menganggapnya seperti kakak sendiri.
Pertunjukan berlangsung selama beberapa menit dan
berakhir setelah mereka berputar-putar di sekeliling bangku penonton. Oleh
karena panggung kami sederhana dan pertunjukan yang ditampilkan itu-itu saja,
maka sesuka hati pula orang mau memberi bayaran atau tidak.
"Jangan patah semangat, ya," kalimat itu
kudengar dengan jelas di sela bisingnya aktivitas ibukota, dari bibir penonton
yang sedikit peduli pada hidup seniman terbuang macam kami. Meski begitu,
terkadang tak kalah deras kebencian harus kami telan dari orang-orang tertentu.
Mengenai bayaran, aku tak pernah menuntut. Aku
merasa tak lebih membutuhkannya ketimbang yang lain. Suatu waktu salah seorang
dari mereka duduk berdua denganku. Dipandanginya wajahku dengan seksama,
mencari tahu apa yang tengah kupikirkan. Seseorang memang sulit mengenalku
lebih jauh, meski orang itu hampir setiap hari berjumpa denganku.
"Mungkin, tanpa kamu, nasib kami akan
berakhir," katanya pendek.
Aku tak paham. Bukankah selama ini kami bersama?
Dan bukankah kebersamaan ini bagian dari pertunjukan? Namun mereka selalu
menganggap akulah pusat kekuatan, satu-satunya unsur penting dalam setiap
penampilan. Akulah yang jadi penentu apakah mereka harus tampil cukup lama atau
sebentar.
Sejak itu dia lebih dekat denganku. Tidak seperti
yang lain, lelaki bertubuh pendek ini punya sesuatu yang berbeda, membuatnya
mampu perlahan menyelami alam pikiranku. Seniman-seniman lain jarang atau
bahkan nyaris tak pernah mengajakku
mengobrol. Bagiku tak masalah siapa pun merasa jenuh berteman denganku karena
kesepianku, juga diamku. Tapi situasi sebaliknya kutangkap ketika sosok ini
memelukku erat, mengadukan seluruh persoalan hidupnya padaku, dan menganggapku
seperti saudaranya sendiri.
Hari demi hari kami lalui dengan rutinitas yang
sama. Usai pertunjukan ditutup, lelaki itu menepi, mendekatiku yang sudah
menyendiri, lalu kembali bercerita panjang lebar tentang kehidupan di luar
panggung. Saat malam tiba dan semua seniman telah pulang, ia menghampiriku. Tak
ada seorang pun yang pamit pulang selain dia. Tak pernah ia telat berpesan agar
aku menjaga diri baik-baik.
"Justru kaulah yang lebih pantas dicemaskan," bisikku pelan.
Akhirnya keluar juga kalimat yang selama ini
kupendam. Tak ada yang
mendengar suaraku selain dia. Wajahnya lalu menunjukkan senyum termanis yang
pernah kulihat. Sejak itu, aku merasa hubungan kami sedekat jeruk dan pusarnya.
"Pulanglah. Besok kutunggu kamu datang. Kita
hibur lebih banyak lagi penonton," lanjutku penuh semangat.
Memang tak perlu ia mencemaskanku. Sepanjang aku
hidup dan melihat kehidupan di sekitarku, semua selalu berlaku adil. Ketidakadilan
hanya menimpa teman-temanku. Jadilah sebagai bentuk persahabatan dan
kesetiaanku, juga katakanlah pengorbananku, aku tak pulang. Lagi pula tempat ini sudah seperti rumahku sendiri. Aku
harus menjaganya. Bukankah mereka tak ingin seseorang mengambil-alih panggung
ini?
Tapi indahnya malam akan rusak esok paginya.
Bangun tidur, selalu kudapati sosok asing memeluk kakiku. Ia akan tetap berada
di sana sampai seniman-seniman itu kembali dan segera mengusirnya. Aku bahkan
terlalu bisu untuk dapat mengatakan bahwa aku sangat takut dengan kehadirannya.
Sosok itu adalah orang yang terganggu kesehatan mentalnya.
"Ini tempat kami. Pergilah. Pertunjukan akan
segera dimulai!" lontar si gadis ketua. Syukurlah dia cepat datang.
"Tidakkah kalian sadar, aku juga penonton
kalian?!" bentak orang gila itu.
Tidak ada yang bisa disalahkan memang, mengenai
masuknya orang gila itu ke panggung kami. Dia memang sering menunggu kami
tampil, meski gadis itu tak kalah sering membentaknya, atau bahkan menendang
bila ada kesempatan. Tapi, setiap manusia punya hak, 'kan?
Tahukah kalian betapa besar rasa kagumku?
Seniman-seniman itu tak pernah bosan menghibur meski setiap hari selalu saja
ada sesuatu yang tak terduga. Seperti yang sudah kubilang, penonton kami
berasal dari kelas sosial yang berbeda-beda. Kami jadi tahu bagaimana cara
orang kaya menelan makanannya, meski kami sendiri hanya dapat melihat melalui
pembatas yang ada di setiap wajah mereka. Atau kadang kami tahu bagaimana
seorang ibu berusaha menenangkan anaknya yang merasa tertipu dengan hadirnya
sebongkah batu.
"Semua itu adalah seni yang harus kau
pelajari," kata lelaki pendek kepadaku. Baru kali ini bahasanya agak
puitis. "Dari sanalah kau mesti belajar. Pertunjukan kita ini tak lebih
dari usaha untuk lari dari kematian," sambungnya penuh misteri.
Aku tak paham. Tapi mengenai seni itu, aku setuju.
Aku senang mengamati penonton. Pagi menjadi waktu yang tersibuk karena berderet
kursi di depan panggung penuh, bahkan hingga berjam-jam lamanya. Saking
banyaknya penonton, ruang yang kami punya sampai tak muat hingga mereka harus
bergantian jika ingin menyaksikan apa yang kami tampilkan. Semua itu akan kami
kerjakan sepenuh hati sampai matahari naik, tepat bertengger di atas
ubun-ubunku.
Dan, kebanyakan perselisihan kecil di antara seniman
muda itu terjadi di waktu seperti ini. Matahari bergejolak, melempar panasnya
ke wajah setiap orang, merasuk ke dalam otak, mendidihkan bagian-bagian
sensitif di sana. Kalau tidak soal makan, pasti uang. Lagi-lagi gadis itu turun
tangan menertibkan teman-temannya. Setiap kali ia menasihati mereka, aku akan
selalu dibawa-bawa.
"Lihat dia! Meski pendiam, setidaknya dia
tahu waktu kita berharga! Harus berapa kali kukatakan soal ini?"
Ah, memang waktu telah menjadi sahabatku yang lain
selain semua ini: panggung ini, seniman-seniman ini, penonton-penonton ini.
Waktu adalah bagian dari kesemestianku, seperti halnya pertunjukan kami. Semua
yang terjadi di sekitar kami adalah kesemestian. Mungkin ada yang menolak
kesemestian ini. Namun tak dapat disangkal, jalan kebahagiaan bagi kami adalah
dengan menghibur seluruh masyarakat kota dengan lagu-lagu. Tak peduli walau
sesungguhnya terlalu sering kami diabaikan.
Kami akan rehat sejenak jika waktu tampil
berhenti. Kami mengubah diri menjadi patung di sisi kanan-kiri panggung.
Kemudian jika dirasa waktu akan kembali, para seniman sahabatku akan bersiap
dengan alat musik di tangan mereka. Gadis itu membawa gitar. Lelaki pendek
mengikutinya dari belakang, diraihnya ukulele yang menggantung lemah di
punggung. Sementara sosok yang ibunya sakit itu tampak sibuk menyiapkan satu
set drum. Semua itu dilengkapi oleh seruling, kecapi, harmonika, juga semacam alat yang terbuat dari kayu
dan beberapa benda—yang entah tak kutahu apa namanya—yang ada di tangan seniman-seniman lain.
Tugasku sebagai conductor, mengatur permainan mereka dari awal hingga
akhir.
Panggung itu pun seketika menjelma menjadi milik
kami sepenuhnya, seperti panggung-panggung penuh cahaya yang pernah mereka
lihat di televisi. Aku sendiri tak tahu bagaimana bentuk televisi. Hanya pernah
mendengarnya dari ocehan lelaki
pendek. Katanya, di sana kami bisa melihat apa saja, termasuk melihat cara
seniman-seniman terkenal melakukan aksi terbaik di depan para penonton. Konon,
semua itu jauh lebih hebat dari pertunjukan terbaik kami.
"Andai kita bisa terkenal seperti mereka,
pasti tak ada lagi hari-hari seperti ini," ungkapnya.
"Maksudmu?"
"Kita mungkin tak 'kan bertemu dalam panggung
yang sama. Mungkin aku akan
betah menjadi penontonmu saja, atau mungkin sebaliknya? Entahlah. Apa kamu
tidak marah kalau itu terjadi?"
Apa aku marah jika ia tak lagi bersamaku? Aku sama sekali tak punya hak untuk itu.
Aku justru senang kalau ia tampil di televisi seperti yang ada dalam angannya.
Itu mimpi lamanya dan aku tak berhak mengintervensi. Percakapan semacam ini
biasanya terjadi di malam hari, saat semua seniman mulai mengantuk, kelelahan
karena sehari penuh bekerja di bawah sorot lampu panggung yang membakar.
Satu-satunya kendala kami adalah orang-orang
berkemeja. Merekalah tukang klaim yang tak pernah sudi menunjukkan bukti.
Mereka selalu mengaku bahwa panggung kami ini tak lebih dari tanah sengketa. Akibatnya, seniman-seniman malang temanku itu
sesekali memerlukan waktu bersembunyi ketika mereka menagih sesuatu yang tak
bisa kami penuhi. Orang-orang itu akan terus mengejar, menculik, dan
membawa teman-teman ke suatu tempat sepanjang mereka masih terjaga.
"Mereka ingin membuat kota ini bersih dari
seniman-seniman seperti kita," kata si gadis malam ini, setelah mereka
berhasil menangkap penabuh drum. Kami pun tenggelam dalam lamunan
masing-masing. Akankah kami tetap bertahan? Lelaki pendek itu tak lepas
memelukku. Ia takut jika harus bernasib sama seperti penabuh drum.
"Kalau aku tertangkap, bagaimana adikku bisa
makan?" bisiknya lirih.
Selama ini, lelaki itu harus bekerja banting
tulang di atas panggung, demi menghidupi diri sendiri dan adiknya.
"Kalau aku tertangkap, apa aku masih bisa
bermain musik denganmu?" bisiknya lagi.
Aku tak punya cara untuk menjawabnya.
Kami melanjutkan esok yang bergulir dengan keadaan
tak menentu. Tertangkapnya teman kami membuat seniman lain cemas. Di segala
waktu, kami akan berjumpa dengan seribu macam wajah penonton yang entah suka
atau muak. Bagi kami, yang penting pertunjukan terus berjalan. Sayangnya penonton
mulai kecewa. Ketidakhadiran penabuh drum membuat penampilan kami kurang
memuaskan. Uang yang didapat
setelah para penonton bubar hanya cukup untuk membeli sebungkus biskuit
dan dua kaleng soda.
"Kalau begini, bagaimana kita bisa
sarapan?!" kali ini pemain seruling yang marah. Dulu ia hampir sepertiku,
diam di setiap situasi. Namun pagi ini tidak ada kata diam untuk menolak rasa
lapar.
"Ini gara-gara kamu!" bentaknya seraya
menunjuk muka lelaki pendek.
Ingin kubela dia, tapi aku tak bisa. Semalam penabuh
drum tertangkap karena menolong lelaki pendek yang sempat terjatuh. Jadilah,
meski lelaki pendek itu berhasil lolos, orang-orang berkemeja sukses meringkus
sang penabuh drum, membawanya pergi ke tempat yang jauh.
"Kenapa kamu menyalahkanku?"
"Kalau kamu tak jatuh, penonton tak akan
kecewa. Mereka sudah hafal formasi kita. Musik ini tak lengkap tanpa penabuh
drum!"
Si gadis, ketua yang selalu menjadi penengah, kini
hanya bisa menunduk. Di matanya tampak kehancuran. Aku menelan ludah. Apa benar harus seperti itu?
"Sudahlah, jangan bertengkar," katanya
pelan. "Tak ada yang salah. Semua ini sudah menjadi bagian dari panggung,
bagian dari kehidupan. Bagaimanapun, seniman seperti kita harus tetap
menampilkan yang terbaik meski dalam kondisi terburuk."
Sayang, petuah bijak dari ketua tak cukup membuat
pemain seruling bersabar. Ia melanjutkan serangannya pada lelaki pendek, lelaki
yang senang mengajakku mengobrol,
bicara tentang hidup dan mimpi-mimpi, sampai lelaki itu menangis. Ia pikir ada
benarnya perkataan temannya. Lelaki pendek itu bersandar padaku.
"Kalau saja aku tak jatuh, pasti orang-orang
itu gagal menculiknya."
"Sudahlah. Itu bukan salahmu," kataku
membesarkan hatinya.
"Tidak! Ini salahku. Gara-gara aku jatuh,
teman-teman harus menelan akibatnya. Malam ini adikku juga pasti menangis
karena tak ada makanan yang kubawa!"
Entah bagaimana membujuknya berhenti menyalahkan
diri. Malam itu terasa lebih sepi. Seniman-seniman sahabatku pulang dengan raut
kecewa. Melihat teman-temannya sedih, lelaki pendek mendekatiku dengan air mata
yang kian deras. Ia pamit, menyuruhku menjaga diri baik-baik. Lampu-lampu di sepanjang
tepian jalan semakin terasa kelabu ketika kupandangi punggung ringkihnya kian
menjauh. Dunia memang kejam, terlalu kejam untuk manusia lemah seperti mereka.
Ingin rasanya aku berteriak sekeras-kerasnya, bertanya kepada Tuhan mengapa
kehidupan panggung ini tidak sepenuhnya dapat kupahami?
Tiba-tiba dari kejauhan sebuah mobil melaju
kencang. Aku masih berdiri dengan tegap di sudut panggung yang lantainya
dipenuhi garis-garis putih, batas terdepan bagi para penonton yang berupa-rupa.
Meski sempat kucegah dengan tanda yang menyala-nyala di kepala, mobil itu tak
mengubah wataknya. Dalam sekejap, tubuh lelaki pendek tersambar. Ia terpental
ke udara, terbang, sebelum akhirnya jatuh berdebam ke atas jalanan, berguling
sejenak, tak bergerak.
Sekali lagi, aku ingin berteriak, bertanya-tanya
pada manusia kenapa mereka
memberiku lampu yang menyala-nyala, bukan suara yang dapat didengar oleh siapa
pun? Namun terlambat. Aku masih bisu, masih berdiri di perempatan jalan ibukota
yang petang. Lelaki pendek tak lagi bergerak, seiring dengan detak waktu
berwarna merah di wajahku
berakhir.
Layakkah aku menyesal, lahir dalam keadaan begini?
Mengapa aku hanya memberi tanda untuk berhenti, bukan mengerti? Para seniman
itu hanyalah secuil kisah. Sedangkan aku, sebatas tanda.
~Gubuk di tepi sawah, 8 November 2013
Comments
Post a Comment