Skip to main content

Cerpen: "Konspirasi Iblis" karya Ken Hanggara



Ini kejadian saat tiga orang saudaraku dan keempat temannya mati dibunuh kelompok berpakaian hitam. Entah apa mulanya sebagian orang mengira bahwa yang membunuh saudara kami adalah utusan iblis. Maklum, aneka ilmu gaib sedang jadi trend. Di mana-mana orang ingin belajar santet, ilmu kebal, dan lain sebagainya. Namun, bagi mereka yang rajin mendekatkan diri kepada Tuhan yang mahakuasa, informasi atau dugaan seperti ini tak lantas ditelan mentah-mentah.
'"Baik agamaku maupun agamamu, mengajarkan manusia untuk selalu berbudi luhur. Berbaiksangkalah. Mungkin pelakunya tak sengaja, atau jangan-jangan mereka cuma korban," tutur sesepuh desa yang terkenal alim di antara para tetua.

"Kok bisa mereka disebut korban? Berarti mereka yang mati tumbal? Sampeyan jangan asal ngomong, Pak!" sahut Jupri tajam, matanya membara. Seperti halnya aku, Jupri bernasib sama. Dua saudaranya mati. Hanya saja, caranya tak seberuntung ketiga adikku yang ditembak tepat di jantung. Mereka mati akibat disembelih. Kepalanya dicerai dari tubuh, dibuang ke tempat yang jauh.
"Lho, jangan tersinggung. Maksudku gini, Nak Jupri. Mungkin mereka kambing hitam. Entah siapa yang nyuruh, intinya mereka cuma suruhan. Dan kita, tak tahu siapa yang nyuruh. Bisa saja, 'kan? Jadi jangan gegabah. Kita harus berpikir dewasa," sahut sesepuh itu dalam posisi duduk yang sama, dan dengan raut muka yang tak berubah tenangnya.
Mendengar itu, ruangan rapat jadi berisik. Bisik-bisik menggaduh, menambah titik peluh di wajahku. Bermacam pendapat mulai bersikutan. Dan aku, aku cuma bisa diam, mewanti-wanti agar jangan sampai terjadi kesalahpahaman.
"Berarti kita mesti memburu mereka. Bila perlu, kita tekan supaya ngaku siapa bos yang menghendaki kekacauan ini. Kalau ndak mau, kita siksa dengan siksaan yang paling keras, biar dobol sekalian!" usul Mulyadi, pemuda paling vokal.
"Kita ancam saja. Jangan pakai siksa. Kalau mati, gawat. Kita bisa dipenjara. Bapak emak kita kasihan dan dalangnya malah senang melihat betapa bodohnya kita!" sela Darman tak kalah kencang.
Pertentangan yang lebih kentara mulai terjadi, ketika kelompok perdukunan dan pecinta ilmu gaib menyanggah dengan mengatakan: bahwa kerusuhan ini bukanlah bentuk konspirasi, melainkan sekadar cara memenuhi syarat suatu ilmu. Jadi, upaya apa pun yang tengah diperdebatkan mengenai pencarian dalang di balik pembunuhan ini, hanyalah sia-sia.
"Dengan bantuan iblis, jin, dan setan, kita bisa jadi apa yang kita mau. Mau kaya? Bisa! Mau melet anak orang? Bisa! Mau buat musuh cilaka? Bisa! Bahkan kita bisa kalau hanya sekadar mau jadi penguasa! Semua bisa! Maka, sungguh bijak kalau bapak-bapak dan adik-adik pemuda sekalian di sini mau mendengar saran kami untuk mencari tahu biang masalah lewat sumber terpercaya. Kami punya banyak kenalan, mulai dari dukun kampungan sampai ahli klenik paling profesional sekalipun, untuk mengomunikasikan kehendak dan maksud tujuan sampeyan kepada iblis terlaknat, agar bisa segera diwujudkan!" lontar Sarkun—kepala persatuan warga pecinta klenik di kampungku—panjang lebar.
"Astaghfirullah! Sampeyan ngajak nyari solusi atau mau menyesatkan warga? Ini masalah sosial dan nyata, bukan gaib! Yang kita ingini bukan lewat jalan pintas, sebab yang sampeyan bilang barusan justru malah membuat kita nyasar! Ketahuilah, Kun, iblis itu senang menyesatkan manusia! Dan pula, baik iblis, jin, maupun setan, ndak bisa melebihi kemampuan Tuhan. Sampeyan mau apa-apa, silakan minta pada-Nya. Sudah pasti bakal dikabulkan, asal permintaan sampeyan ndak aneh-aneh dan ndak merugikan orang laen!" tentang Salim si guru ngaji.
Tiga kubu pun makin tajam meraut perbedaan. Kubu satu adalah mereka yang berhati-hati dalam bersikap dan menyukai tindakan menyelidiki terlebih dulu akar permasalahan. Kubu kedua adalah mereka yang ingin segera menangkapi pentolan kelompok berpakaian hitam, lalu mendesaknya agar membeberkan alasan membunuh saudara kami. Sedang kelompok ketiga, adalah mereka yang percaya bahwa misteri di balik semua ini tak lebih dari perang gaib, yang hanya akan membuat gila saja bila kami mencoba menghentikannya dengan logika.
Di depan para pemuda yang gampang berubah pendirian, argumen terus bergulir, saling baku hantam, tak mau kalah. Sebagian ada yang mulai terpengaruh. Sebagian lain kukuh bertahan. Aku sendiri sama sekali tak terpengaruh selain dengan apa yang sejak awal kuyakini, bahwa saudaraku mati dibunuh dan kini pembunuh itu masih berkeliaran. Tugas kami adalah bagaimana agar pelakunya segera tertangkap dan mendapat hukuman setimpal, bukan malah memperdebatkan soal lain.
"Intinya kita harus tangkap pelakunya. Itu saja dulu. Jangan main adu pendapat macam ini. Keburu mereka kabur!" potongku dengan suara nyaris tenggelam.
Untung orang-orang mendengar dan mulai menghentikan perselisihan, walau aku tahu ujung-ujungnya pasti bakalan kembali lagi terjadi perbedaan prinsip. Tapi paling tidak, dengan bersuaranya aku, keadaan menjadi lebih terkendali. Aku merasa menjadi pemuda beruntung karena suaraku didengar. Jarang-jarang pemuda sepertiku, apalagi pengangguran, yang pendapatnya dipertimbangkan dalam kondisi paling mendesak. Dan malam itu, mitos bahwa cuma sesepuh berpengalaman saja yang paling bisa diterima—bahkan meski keputusannya absurd sekalipun—patah seketika.
Akhirnya, beberapa tim dibentuk untuk mengatasi kasus ini. Tentunya tim yang terdiri dari tiga warna, yang bekerja sesuai dengan visi-misi masing-masing. Tim pertama melakukan pendalaman atas kasus kematian tujuh orang pemuda. Besok pagi, mereka berangkat ke gudang penyimpanan arsip di ujung kampung, tempat segala cerita, legenda, sejarah, serta semua catatan penting mengenai kampung disimpan. Dimulai dari situ, nanti, bila tiba waktu yang tepat, kira-kira sebulan atau dua bulan ke depan setelah penyelidikan mencapai tahap lumayan optimal, mereka melanjutkan mewawancarai beberapa warga yang kemungkinan besar tahu dan terlibat dalam kejadian (bila perlu semua warga). Barulah sesudah itu, merancang wacana untuk melakukan penangkapan dan tindakan hukum bagi pelaku asli, yang—menurut mereka—adalah dalang di balik semua ini.
Sementara itu, tim kedua terlihat lebih tenang. Mereka tak ingin melakukan apa-apa malam ini, selain ritual rutin dengan kembang tujuh rupa, dupa, kemenyan, lilin, dan berbagai properti perdukunan. Seperti halnya tim pertama, tim ini memulai kerja nyatanya esok hari, yakni dengan mendaki Gunung Gondrong, sebuah gunung yang berdiri kokoh di selatan kampung. Konon di gunung itulah mereka percaya bahwa sinuhun tertinggi dunia gaib—atau dengan kata lain: iblis kesayangan mereka yang terlaknat itu—bersemayam.
"Sesudah dapat perintah, barulah kami turun dan memulai pekerjaan berikutnya: mencari rumah dukun lawan yang mengirim bala musibah ke kampung kita!" terang Sarkun berapi-api.
"Memangnya kapan kalian bakal turun?" tanyaku penasaran.
"Secepatnya. Tapi ndak bisa dipastikan kapan. Yang jelas, nunggu iblis itu datang dan memberi restu dulu, barulah kami turun."
Lain dari dua tim sebelumnya, tim terakhir, yang digawangi sebagian besar pemuda, langsung bekerja tanpa menyusun terlalu banyak rencana. Aku termasuk di dalamnya. Kami memulai tindakan malam itu, dengan mengirim pemuda ke beberapa titik yang menjadi asal muasal kerusuhan, yakni barat dan timur. Dari dua batas kampung itulah, saksi mata yang enggan disebutkan namanya, mengatakan bahwa kelompok berpakaian hitam menyelinap masuk.
"Aku melihat wajah mereka pucat-pucat, giginya bertaring, tapi matanya seperti mata bayi. Mereka bukan pakai kaus, kemeja, apalagi jas. Pakaian mereka sebatas kain lebar yang ditudungkan ke sekujur badan, seperti hantu!" terangnya kala itu.
Sementara teman-teman berangkat, kami yang lain mulai mendatangi rumah para korban, menggali keterangan lebih lanjut dari barang-barang kepunyaan mereka. Dari sinilah, akhirnya kami tahu siapa-siapa yang menjalin komunikasi sebelum kejadian itu berlangsung, juga bagaimana batas timur dan barat dapat dimasuki orang asing tanpa bisa seseorang memberi peringatan pada yang lain.
"Ternyata mereka datang dengan damai. Jadi para hansip ndak nyangka kalau tamu-tamu yang memberi mereka rokok itu adalah pembunuh. Hansip-hansip itu ndak sadar dan mereka menyesal karena lalai," tutur Mulyadi dengan kesal. Kemudian pemuda lain melanjutkan bahwa kelompok pembunuh itu rupanya pintar menyamar, bagaikan orang baik-baik yang tidak mempunyai taring.
Maka, pagi ini juga, setelah mendapat informasi dari barat dan timur, tim kami berhasil menemukan titik terang, terutama setelah mengumpulkan data dari telepon genggam milik Sardi, adik Slamet yang juga termasuk korban pembunuhan. Pesan singkat yang masuk di ponsel itu dikirim seseorang dari kawasan utara dalam waktu 13 menit sebelum tragedi berdarah itu berlangsung. Sebagaimana yang telah kami tahu, kampung utara adalah kampung paling maju. Namun para penduduknya jarang membaur dengan penduduk dari kampung-kampung lain. Yang jadi pertanyaan adalah: bagaimana mereka memilih masuk melalui timur dan barat? Apa tujuannya?
Tapi, walau kepala pening, paling tidak esoknya kami sudah siap berangkat ke kampung utara, menuju rumah salah satu pentolan kelompok berpakaian hitam itu. Berkat bantuan Darman yang pernah kuliah jurusan komputer, kami bisa melacak alamat pastinya. Dua tim lain dari kalangan senior yang bertele-tele—juga kalangan tipis iman yang siap mendaki gunung pun—tampak terheran-heran melihat kami seperti bersiap menuju suatu tempat.
"Kalian mau ke mana? Katanya semalam kerja? Dapat apa?" ledek Sarkun.
Wak Muraji, penggagas berdirinya organisasi Pria Lanjut Usia Tapi Perkasa, juga tak kalah gencar meledek kami. Mereka berdua pikir kami plin-plan, sebab tiba-tiba pagi ini hendak pergi meninggalkan kampung tanpa tahu apa yang sudah kami usahakan. Dikiranya kami menyerah mengatasi kasus ini.
Dua atau tiga hari kemudian—ketika tim satu dan tim dua masih berkutat dalam langkah awal mereka—salah satu pelaku berhasil kami tangkap. Orang di kampung utara biasa memanggilnya Joni. Dan, betapa heran kelompok yang berseberangan prinsip dengan kami, mendapati aku dan teman-teman sibuk menenangkan Joni yang tak henti berontak semenjak kami ciduk dia dari rumahnya.
"Makhluk macam apa ini?! Kalian ndak salah tangkep?!"
Salim yang tak kenal takut pada cerita-cerita mitos, hantu, dongeng, dan lain sebagainya, kini hanya bisa terpaku melihat pemandangan seram di matanya. Sebab, benarlah apa yang tempo hari saksi itu bilang, bahwa semua pelakunya berwajah pucat, bertaring panjang, dan bermata seperti bayi.
"Damn it! What's your problem, Man?! Saya tak tahu apa-apa. Hei ... Don't touch me! Saya akan panggil my lawyer, lalu kalian semua saya tuntut biar go to the hell!" kata Joni jengkel dengan bahasa aneh yang sebagian bisa kami pahami, sebagian tidak bisa kami mengerti.
Tapi, biarpun terus mengoceh, kami tak menggubrisnya, malah membiarkan para sesepuh dan mereka yang berpindah haluan menjadikan Joni obyek pengamatan. Di waktu bersamaan, kami dapat pula informasi melalui telepon satelit dari anak buah Sarkun, bahwa tim kedua yang baru sampai di puncak gunung pagi ini mengalami kecelakaan. Sarkun dan dua temannya terpeleset ke tepi jurang. Ia selamat tapi dua lainnya mati. Kami sedih.
"Mereka bilang, hari ini mau turun. Mungkin besok lusa sampai," ujar Darman seraya menutup teleponnya.
"Mereka kira gunung itu aman. Andai mereka mau pakai cara logis seperti kita. Buktinya, sekarang Joni berhasil ditangkap," sesal Jupri.
Tak buang waktu, hari itu, kami—beserta tim pertama yang mendadak mengajak menjalin hubungan kerjasama—melakukan interogasi di tempat tertutup. Joni kami giring dengan menutup wajahnya rapat-rapat terlebih dulu. Agar ia tak tahu bahwa ke gudang tua di barat kampunglah kami membawanya; sebuah gudang bekas penyimpanan beras. Anak-anak kecil yang penasaran ingin melihat wajah seramnya, harus kami halau di sepanjang jalan agar tak menghalangi pekerjaan. Maklum, kedatangan pemuda berpakaian hitam ini membuat ibu-ibu ingin memberi anaknya pelajaran. Mereka menakut-nakuti bahwa bentuk hantu wewe gombel—yang berpayudara besar dan senang menculik anak kecil itu—sebenarnya tak jauh dari si Joni. Kami tertawa, karena belakangan tahu betapa julukan itu timbul akibat Joni menyebut kata-kata 'hell' tanpa mereka tahu apa maksudnya.
Sayangnya, di luar cerita lucu tentang wewe gombel, sulit bagi kami untuk mendapat informasi dari Joni yang terus bungkam. Kami desak bagaimanapun, ia enggan menjawab. Kami ancam dengan berbagai cara, tetap saja hasilnya sama. Ia tak bisa diajak kerjasama.
"Kalau gini, kita tembak saja! Aku capek! Biar dia mati sekalian. Itung-itung membalas tindakannya menghabisi saudara kita!" keluh Jupri.
Kami mencegahnya. Berbuat gegabah hanya akan menimbulkan masalah baru. Bukankah kami kesulitan menangkapnya? Sekarang, yang perlu dilakukan adalah ekstra bersabar agar Joni mau bersuara.
Namun, hari demi hari, keputusan kelompok pemuda sepertiku pada akhirnya menuai kritik pedas. Para tetua yang tadinya tiba-tiba menaruh kepercayaan kepada kami, sekarang berbalik menunjukkan tanda-tanda beralih pandangan, kembali ke keyakinan awal bahwa kami tidak cukup matang mengatasi semua ini, dan bahwa kami: perlu melakukan penyelidikan lebih mendalam dari segala sudut pandang untuk dapat menemukan titik terang dari persoalan ini. Semua ini disebabkan oleh Joni yang tak kunjung mau buka mulut.
"Lama-lama kasus ini basi dan kalian ndak akan bisa menemukan dalangnya!"
Tapi, belum juga kami putus asa (dan agaknya memang tak akan begitu), Sarkun dan teman-temannya datang. Dua jasad yang mati di atas gunung dikubur hari itu juga. Sesudah itu, mereka mendatangi basecamp dan hendak mencari tahu orang macam mana yang berhasil kami tangkap.
"Namanya Joni. Dua hari kami interogasi, tapi dia ndak mau ngomong," jelasku seraya berjalan santai menuju gudang tua itu. Di belakangku, turut pula teman-teman sekelompok, beserta Sarkun dan para pecinta klenik yang penasaran.
Dan, tepat di waktu yang bersamaan, setelah pintu gudang terbuka, Sarkun dan kawan-kawannya terkejut dengan apa yang mereka lihat. Aku dan timku yang bekerja keras hingga berhasil menangkap dan sedang dalam proses menangani Joni, mencium ada sesuatu yang ganjil.
"Oh, thank you, my friends! Akhirnya kalian datang juga! Come on! Lepaskan saya! Nanti I'll give you my blood!" teriak Joni kegirangan.
"Ada apa ini? Kalian sudah kenal?" tanya Salim menyelidik. Pemuda alim ini tadinya sempat bergabung bersama kelompok sesepuh yang lamban, tapi sekarang memihak kami karena berpikir tindakan sesepuh itu hanyalah bentuk pencitraan, atau dengan kata lain: cuma mencari-cari nama baik.
"Eh, anu ... kami memang kenal. Tapi ndak nyangka kalau dia pelakunya," jawab Sarkun kelabakan.
Aku tahu ada yang tak beres. Dengan segera, teman-teman Sarkun penggemar ilmu hitam itu menghambur ke arah pelaku dan berusaha memukulnya. Mulyadi dan beberapa pemuda di pihak kami menghalangi.
"Apa maksud kalian? Kita butuh informasi. Kalau Joni celaka, pembunuhan ini tak akan pernah terungkap!"
"Tapi dia bahaya! Makhluk ini harus mati secepatnya!" bantah anak buah Sarkun.
"Apa-apaan ini?! What's wrong with you, Guys?! We are friend, saya pendukung kalian! And I was your brother, right? Kenapa kalian mengkhianati saya?!" sahut Joni kebingungan.
Para hadirin di gudang tua serempak menusuk Sarkun dan pengikutnya dengan tatapan sarat kebencian. Tanpa menunggu perintah, Slamet menghimpun beberapa pemuda; memblokir jalan keluar agar tak ada yang lari menyembunyikan tangan. Segala yang membingungkan ini harus segera dibongkar.
"Sumpah! Dia tak lebih dari setan yang haus darah! Dia sedang menghasut kita agar kampung ini pecah! Dia sedang membodohi kalian!" kilah Sarkun panjang lebar.
Akan tetapi bukti-bukti yang ada tak tersangkal. Mengelaknya Sarkun—yang bagi Joni adalah bentuk pengkhianatan—malah membuat pembunuh itu dengan mudah membuka mulut. Dibeberkanlah bahwa selama ini kelompok pecinta kleniklah yang menjadi dalang pembunuhan.
Ya, Sarkun dan teman-temannya ada di balik ini. Dialah yang paling berbahagia atas kematian tujuh pemuda tak berdosa itu. Sebabnya adalah saudara-saudara kami bermaksud memberantas kemusyrikan yang mulai menjamur dan hampir sulit untuk dibasmi. Dan bila itu berhasil, Sarkun dan orang-orang sealirannya pasti kehilangan mata pencaharian mereka sebagai tukang ramal, tukang santet, tukang pelet, dan tukang-tukang lain yang membutuhkan bantuan iblis terlaknat demi melancarkan setiap aksinya. Dan itu, tentulah sangat tidak Sarkun inginkan.
"Jadi, sebenarnya dia ini apa?" tanya Slamet keheranan, menatap setiap jengkal tubuh Joni yang lain dari manusia pada umumnya.
"Dia dan kelompok berpakaian hitamnya adalah iblis setengah manusia," jawab Darman pasti, usai didapatnya sebaris password untuk membobol dan mencari tahu informasi paling akurat di gudang arsip online milik kampung utara. Joni cuma menunduk ketakutan mendengar ucapan Darman. Kami mengencangkan ikatannya. Sarkun dan kawan-kawan juga takluk di tangan kami.
Sungguh, betapa aku dan kawan-kawan sulit percaya. Tapi ini nyata. Di gudang arsip online itu—yang tentunya telah terproteksi agar tak sembarang user bisa mengaksesnya—terpapar jelas informasi rahasia, mulai dari pengambilalihan kontrol atas warung-warung kopi di kampung barat melalui agen propagandis, hingga politik adu domba yang ditujukan pada warga kampung timur yang kolot. Seluruh rekam jejak buruk ini terjadi hanya demi satu tujuan: melancarkan jalan menyusup ke tempat kami; kampung tengah yang gemah ripah loh jinawi, kampung kaya raya yang dihuni oleh para petinggi yang miskin moral!
Darman memang top. Berkat kemampuannya yang mumpuni terkait teknologi komputer dan sejenisnya, pekerjaan kami jadi lebih mudah. Terlebih usai Joni dengan pasrah menyebut satu per satu nama anggota hitam yang terlibat dalam pembunuhan. Dari salah satu nama itulah, Darman memperoleh kata kunci terakhir yang dia butuhkan: george. Kuacungkan jempol untuknya.
Demi mendengar kata online, Mulyadi yang gaptek cuma bisa geleng-geleng kepala, takjub. Apalagi usai didengarnya kalimat tambahan dari kawannya yang pintar main komputer ini: "Joni memang alat bila dilihat dari luar, tapi dia dan kelompoknya juga berperan besar dalam menyusun konspirasi busuk ini!"
"Alat di luar? Maksudmu, kelihatannya alat tapi sebenarnya bukan? Jadi, Sarkun dan kelompoknya apa? Siapa yang dalang?" tanyaku seketika.
"Lihat. Bahkan informasi di sini tertulis jauh sebelum kita lahir. Nyatanya, orang-orang kampung utara memanfaatkan sumber daya kampung tengah demi menghidupkan kekuatan gaib mereka agar bisa menguasai seluruh wilayah. Tanpa orang-orang sesat dan miskin moral macam Sarkun, kelompok jubah hitam tak akan berkutik. Mereka bisa krisis makanan dalam wujud darah, daging, kepercayaan, kekayaan, keadilan, kesetaraan, kemakmuran, dan segala segi kehidupan yang perlu dijaga dan bersifat personal. Makanan-makanan itu secara rutin dipersembahkan dukun-dukun bangsat ini kepada mereka. Apalagi kalau bukan demi keuntungan pribadi, Sarkun dan kelompok tertawa senang di atas kesedihan kita?!"
"Jadi?" tanyaku yang mulai menyatukan satu demi satu puing teka-teki dalam kepala.
"Adik-adikmulah tumbalnya. Mereka melawan Sarkun dan para pengikutnya yang mengabdi untuk iblis, agar kelompok hitam enyah dari sini. Sayangnya, belum sampai itu terwujud, mereka harus terbunuh. Iblis memang punya banyak cara untuk menyesatkan manusia."
"Oh, jadi begitu. Sudah, sudah cukup, Man. Semua sudah jelas. Sekarang kita tangkap pembunuh lain teman Joni. Sudah kau catat nama-namanya?" sela Mulyadi.
"Sudah."
"Lebih baik kita kurung dulu Sarkun dan anak buahnya di dalam kurungan. Satukan sama wewe gombel ini, lalu kita taruh di tengah lapangan. Biar orang-orang kampung sini tahu betapa busuk dan liciknya mereka selama ini!" usulku.
Maka, sore itu juga, kami memajang para penjahat yang terlibat dalam konspirasi tingkat tinggi ini, di salah satu sudut lapangan. Semua orang boleh melihat sepuasnya. Para wartawan pun tak melewatkan kesempatan memotret wajah mereka yang pucat. Anak-anak yang selama ini melihat wewe gombel sebatas dalam mimpi, merasa bahwa hantu penculik yang ada di dunia nyata dan bernama Joni ini, sungguh lebih dari sekadar seram.
"Baik, Mak, kami janji ndak nakal lagi dan bakal manut," kata mereka serempak. Ibu-ibu itu terharu, bahagia, dan mengucap banyak terima kasih kepada kami karena telah menyuguhkan tontonan paling bermutu seumur hidup mereka.
Selagi timku mempersiapkan diri memburu para pelaku lain yang ada di utara, kami serahkan untuk sementara urusan penjagaan pelaku yang sudah tertangkap kepada kelompok sesepuh. Secara mendadak, tim yang dibentuk dan diketuai Wak Muraji ini pun memberikan standing applause bagi kami. Menurut mereka, pemuda harapan seperti kami ini layak diberi penghargaan karena berhasil mengupas tuntas kasus besar dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
"Ndak, ndak usah penghargaan atau apalah itu. Yang kami cari cuma kebenaran dan keadilan. Ambil saja penghargaan buat bapak-bapak yang terhormat. Kami sudah cukup bersyukur atas terkuaknya kejahatan ini. Kembalinya keasrian kampung kita, adalah kembalinya kehidupan kami," jawab Jupri bijak, berlinang air mata.
Seperti aku dan Slamet, Jupri puas memperoleh keadilan untuk dia dan keluarga, meski harus memperjuangkan sendiri bersama teman-teman. Kami tak hendak mempersoalkan nama baik, apalagi kinerja badan arsip kampung yang di kemudian hari diketahui melakukan banyak kekeliruan. Kami tahu itu bukan salah mereka. Wak Muraji dan kawan-kawannyalah yang menjumpai para wartawan, bukan kami. [ ]
Pasuruan, 17-20 Mei 2014

Comments

Post a Comment

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri