Skip to main content

Puisi: "Menjelang Pilpres" karya Ken Hanggara


(1): Gila

Hari-hari penuh fitnah dan prasangka
Semua saling lempar-melempar
Ada koran, TV, radio, ponsel, hingga mulut orang

Tapi segala apa langsung ditelan
Tak peduli meski barang buangan
Apa mereka sudah gila?

Barangkali iya, barangkali tidak
Tapi kemungkinan sih; iya!
Moga-moga bukan kita yang gila
(170414)


(2): Lidah Maut

Aku pilih yang ini
Kamu pilih yang itu?

Yang ini manis
Yang itu kecut!

Jadi, mari, mari datang kemari
Kita pilih saja yang ini

Yang itu jelek, busuk, palsu
Dan mestinya kita lihat masa lalu
(170414)

(3): Rakyat

Kami rakyat menunggu bukti, bukan janji
Karena janji tidak bisa jadi duit
Sedangkan kami hidup butuh duit
Kami pilih kau, lalu mengabdilah pada kami

Jangan kau jual kami pada anjing-anjing
Yang ngomong pakai bahasa Inggris

Kami percaya padamu
Jadi tolong bungkus itu dengan rapi
Lalu simpan di lubuk hatimu
(170414)

(4): Gamang

Kudengar dari stasiun TV ini, capresku begini
Nah, kalau dari stasiun TV itu, capresmu begitu
Aku bingung harus pilih yang mana
Jangan-jangan gosip itu benar
Jangan-jangan isu itu fakta
Jangan-jangan kabar burung nyata
Atau jangan-jangan mereka yang salah?

Tolong jangan buat aku gamang
Wahai orang-orang di belakang meja berita
Aku punya pilihan, begitupun kalian
Jadi, kalau-kalau kalian salah
Apa kesialan kita di masa mendatang kalian tak rasa?
(170414)

(5): Bilik Suara

Andai bilik suara di kampungku sedikit lebih luas
Ada kursi, kasur, TV, kulkas, dan toilet misalnya
Pasti aku jadi lebih nyaman sewaktu mencoblos jidat calon penguasa
Jadi aku tak perlu susah-susah bila mesti menahan muntah
Sebab kuyakin di tempat semacam itu ada pispot, ember, pun air bersih
Tinggal serong kanan, sampailah ke toilet
Dan kalau agak mengantuk gara-gara jenuh oleh muka lama
Serong kirilah aku masuk ke kamar
Tidur di sana sepuas-puasnya sambil menunggu wangsit datang

Tapi itu sih cuma bayanganku
Mana mungkin bilik suara dimodel begitu?
Andaipun ada, bisa tambah kacaulah kita
Sebab bilik sempit saja sudah jadi ajang rebutan
(170414)

(6): Doa Seorang Capres yang Mencintai Negerinya

Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang
Bilapun nanti Engkau titipkan amanah kepada hamba yang kecil ini
Jangan biarkan hamba lupa
Jangan biarkan hamba lalai
Jangan biarkan hamba ciut
Jangan biarkan hamba mengeluh
Jangan biarkan hamba malas
Jangan biarkan hamba berdusta
Jangan biarkan hamba kejam
Jangan biarkan hamba khianat
Pun jangan biarkan hamba gila hormat

Tunjuki jalan lurus, jalan yang Engkau ridhai
Jaga hati ini agar selalu ingat mereka di setiap detik hamba bernapas
Mereka yang tidur di perempatan jalan
Yang hidup di kolong jembatan
Yang berdiri di pinggiran rel kereta
Yang bertani, menjala ikan, dan mengais rezeki apa pun dari alam
Yang mengadu nasib dan mencari ilmu di mana pun mereka berada
Yang menjadi "benda pusaka" tanah air
Dan segala hal yang menjadi kewajiban hamba
Barulah setelah itu, ingatkan hamba pada yang di rumah

Aamiin ya rabbal alamin...
(180414)

(7): Doa Seorang Capres yang Culas

Ya Allah, aku sungguh pusing bagaimana semestinya memulai doa ini
Tapi tak apalah, biar aku berdoa saja dan kuharap agar Engkau sudi mengabulkannya
Aku pusing bukan karena berpikir seandainya nanti jadi presiden tugas-tugasku tak bisa kuurus
Aku bisa kok mengatasi semua itu, sebab urusan dunia sudah jadi keahlianku

Yang membuatku pusing adalah bagaimana harus kujabarkan keinginan anak-istriku yang bertumpuk-tumpuk itu?
Tentang rumah-rumah itu
Mobil-mobil itu
Tiket perjalanan gratis ke banyak tempat itu
Juga berbagai pembelian aset gelap buat jaminan masa depan keluargaku nanti
Boleh, 'kan, ya Allah, aku meminta kau mudahkan segala perkara terkait itu?
Karena sudah sepantasnya pemimpin yang berbakti dan beriman macam aku ini dapat balasan yang berharga
Boleh, 'kan?

Kuharap Kau mendengar doa hambaMu yang paling lurus ini
Dan satu lagi, jika nanti aku jadi presiden
Tolong jangan berat-berat jika hendak menimpakan ujian
(180414)

(8): Keluar dari Antrean

Kadang-kadang usus bergelinjang, darah bergejolak, dan ujung alis berkedut-kedutan
Maka, haraplah maklum jika sedikit-sedikit kau masuk jamban
Atau sedikit-sedikit berangkat periksa tensi darah
Dan bahkan, sedikit-sedikit takut ada orang melontar tulah!

Kita masih terkurung euforia, dari kemarin, hari ini, besok, lusa, hingga sesudahnya
Dan apakah seseorang lepas dari menentang teguran langit, akan kentara terlihat di ujung jidatnya
Lurus-lurus sajalah bila mau selamat, walau terlanjur masuk antrean
Lebih baik pulang, toh jatah bulanan yang halal pastilah terjaga

Mari, sama-sama kita keluar dari lekak-lekuk formasi lima tahunan
Tak peduli meski tetangga menggoda, merayu sambil melambai-lambaikan secarik amplop
Diriku, dirimu, juga diri mereka jauh lebih berharga ketimbang sekecap kebutuhan nafsu
Bukankah cukup lewat penilaian hati tanpa antre, kita bisa tentukan pilihan?
Kita jadi tahu pemimpin mana yang lurus dan mana yang sekadar bulus
(180414)

(9): Tikus

Di sudut-sudut kampung tempat masa depan negeri ini ditentukan
Berkumpullah tikus-tikus dengan jenis yang paling rakus
Mereka pakai kemeja batik lengan pendek plus peci bledu di kepala
Ikat pinggang murahan motif apa saja
Dan tak lupa, sepuntung rokok menyala tinggal separuh di jemarinya

Tepat tengah hari 'teng!' mereka baris beriringan menuju kaki bukit
Persis tikus-tikus di satu dongeng lembah Eropa itu
Manut bak si buluk dikerling perawan oleh si peniup seruling ajaib
Lantas bergaya seolah diri mereka benar
Memamer-mamerkan yang palsu dan menelan segala yang nyata

Oh, inilah gambaran sistem amburadul
Di tiap tanjakan menuju puncak
Tikus-tikus pun bangkit be-revolusi
Kemeja, peci, sabuk, dan rokok mereka sudah bukan 'kawean'
Sebabnya satu: kemenangan yang sungguh wajib dipaksakan

Aku jadi berpikir, "Pantaslah, makin berada di puncak, tikus-tikus itu makin tak terkendali!"
Dan tahukah, bahkan tikus pun bisa mengendarai mobil dengan bonus gadis manis di pangkunya?
(18414)

(10): Meniru Maradona

Pada suatu masa, di kala partai-partai berkompetisi, orang bisa memutar otak
Yang paling sering kita lihat selalu hal-hal yang tidak terlihat
Macam sejarah cantik tangan Maradona yang meninju gawang lawan tanpa hukuman
Dan begitulah yang memang bergulir di depan mata kita

Pada suatu masa itu, adalah pada masa dulu, kini, bahkan mungkin nanti
Selamanya sulit sembuh, sulit diobati, sulit dibasmi!
Dan, lihatlah, tiba-tiba orang pintar meramu fakta dan imajinasi
Mengaduknya bagai si Eneng penjual jamu gendong
Yang seksi, memesona, menggoda, dan single itu
Tapi jamu orang pintar ini sarat racun
Sebab dicampur atas dasar nafsu hewani, bukan luhurnya ilmu

Betapa amat mudah menjadi pintar di kala bendera warna-warni saling sikut
Mungkinkah kita yang terlalu bodoh dan gagal paham hingga gampang kena hasut?
Oh, mereka benar-benar meniru gaya Maradona
Aku penasaran, boleh jadi kelak Mike Tyson yang dijiplak?
Kalau benar begitu, tutup telingamu rapat-rapat!
(180414)

(11): Gelap

Pagi ini kita tak butuh listrik untuk sekadar melihat
Sebab ini bukan waktunya lampu-lampu untuk berdinas
Tapi, kenapa matahari tiba-tiba menggelap?
Sinarnya redup, menjadikan negeri kita bak foto usang

Baiklah, walau demikian, dengan bulat hati kita tetap berangkat
Tak acuhi petang memekat di waktu ibu menyiapkan sarapan
Lalu, kita duduk menunggu seseorang menepuk punggung
Dan berdoalah atas apa-apa yang tidak sepenuhnya kita pahami

Satu hal yang patut pula tak kita lupakan:
Semoga amanah terjaga walau di jenjang kasta terbawah
(190414)

(12): Intervensi

Kita mesti mulai belajar waspada dan tahan banting
Ini musimnya saling todong senjata juga lempar-lemparan martir
Lengah sedikit, kaulah manusia berwajah mayat
Sebab suaramu telah teradopsi oknum keparat
Dan, tidakkah kau sadar mereka melepasmu dari sistem?
Menelanjangi hakmu meski dengan sehelai kain
Lalu, di layar-layar kaca kau bukan bagian dari angka itu
Kau bukan bagian dari penghitungan gara-gara hatimu banci
Gara-gara termakan bujuk rayu, pressure, intervensi!

Berjalanlah sesuai dengan yang kau mau
Jangan serahkan nyawa berhargamu
Kecuali bila kau bosan jadi manusia
Itu hakmu
(190414)

(13): Antologi Apatis

Lagi-lagi kukatakan: percuma kau berpikir
Sebab tiada sekejap pun mereka melirik
Tenggaklah olehmu janji-janji busuk memanis
Seperti manisnya hewan peliharaan berbadan seksi

Rupa-rupanya perlu ditegakkan sejak dini
Agar hipnotis massal tak terulang kembali
Mulanya kita matikan tivi
Lalu kita bujuk saudara-saudari
Juga papi dan mami
Serta handai taulan di penjuru negeri
Tak lupa, kita pun mesti jago-jago melatih diri
Agar propaganda berjalan rapi

Mari merancang antologi apatis
Biarlah mereka sinis, sebab kita pun begini
Dan biar pula kita diam, asal tak mati
(190414)

(14): Warna-Warni

Di rumahku sekarang penuh dengan warna
Merah, kuning, hijau, biru, dan lainnya
Tapi walau tak sama kami tetap sama
Bukankah kita sama-sama ingin merdeka?

Maka, kami berangkat ke bilik sempit
Memilih apa pun, siapa pun, sesuai kehendak hati
Tak ada paksaan, apalagi bisik-bisik
Toh pada dasarnya manusia waras bisa memilih, 'kan?

Kami belajar dari Bhineka Tunggal Ika
Tak peduli beda pandangan, beda idola
Kami akan tetap bersama
(200414)
(15): Kejengkelan Pemula

Jangan mentang-mentang saya masih muda
Lalu Bapak menilai saya begitu murahnya
Biarpun pemula, saya 'kan juga punya hak!

Jangan mentang-mentang saya masih muda
Lalu Bapak jejali kepala ini dengan paham-paham
Biarpun pemula, saya tahu mana yang benar, mana yang salah

Jadi maaf-maaf saja kalau Bapak merasa tersinggung
Memangnya saya mau dianggap dungu?
Huh!
(200414)


(16): TV Bekas

Baru kali ini kugantung TV kami di depan rumahku
Kupamerkan di depan para tetangga tentang bangganya aku
Punya capres dengan prestasi yang tiada terhitung

Semua itu, semua keyakinanku, kutanam dengan rapi di lubuk hati
Meski pengetahuanku sebatas dari TV bekas peninggalan jaman alif
Boleh, 'kan, sedikit-sedikit aku fanatik?

Tak soal orang bilang ini-itu
Setiap kali berita soal capresku muncul
Kupanggil orang-orang yang lewat
Lalu kami nonton bareng
Bawa bendera, terompet, dan tak lupa: kacang goreng
Ini jelas lebih seru dari sepak bola

"Moga-moga yang menang timku," batinku
(210414)
(17): Virus
Ketika manusia sudah tidak bisa menghormati hak
Maka dengan mudahnya mereka saling hujat dan menekan
Satu sisi merasa benar tanpa mau salah
Lain sisi merasa kuat tanpa mau lemah
Mulailah tampak di mata kita betapa ukuran kepala bukanlah soal
Sebab isinya sama saja: kalau bukan sampah, ya barang rongsokan

Makin hari kualitas otak para manusia akan ketahuan
Mana yang sekadar tong kosong, pun mana yang super brilian
Tapi hanya sedikit pembedanya hingga menjadikannya menjijikkan
Sebab yang brilian kadang buat mengakal-akali
Sedang yang tong kosong jadi obyek dipanas-panasi

Betapa ini semacam virus berbahaya
Kalau sampai otakmu terserang
Jangan harap kau bisa sembuh dengan cepat
Kecuali bila jagoanmu yang jadi pemenang
(230414)

(18): Rumput Tetangga

Adakalanya pada suatu masa kita menganggap rumput tetangga itu bagus
Tapi jangan harap ungkapan itu benar ketika memasuki musim pemilu
Nyatanya rumput kitalah yang terbaik, sedang lainnya kusut

Sayangnya kita tak kunjung bungkam melainkan terus berbuat usik
Hei, katamu rumput orang kering, busuk, dan tak layak dipuji
Tapi kenapa kau begitu peduli?
Sedikit-sedikit mengintip, sedikit-sedikit merasa grogi

Apalah guna menyimpan sakit hati atas pilihan orang?
Baiknya urus rumputmu sendiri daripada kau nanti jantungan
Lalu kau mati dan dikubur pilu
Dan kebenaran pun tak pernah kau tahu
(230414)
 
(19): Belut

Ini zaman keemasan bagi para belut
Peran mereka tidak pernah luput
Di arena tinju sampai adu sikut
Tapi ingat, jangan kau salahkan belut-belut itu!
Sebab mereka hanya senang dielus-elus
Hinggap dari tangan yang satu ke tangan lainnya
Dari atasan yang perlente sampai bawahan yang kere

Maka, usah kau marah-marah
Ini zaman belut sedang dipuja-puja
Penggemar mereka ada di mana-mana
Satu lagi: barangsiapa yang memakan belut, tak boleh berkhianat
(230414)

(20): Politik Bukan Romansa

Jika nanti hidungmu bertatapan dengan hidung orang
Maka janganlah kau sungkan melontar propaganda
Bujuk rayulah dia dengan sebenar-benarnya usaha
Masuklah ke kantung bajunya bila terpaksa
Atau jejalkan tubuhmu ke liang otaknya dalam-dalam
Biar dia teriak kesakitan, mengerang kejang-kejang
Jangan pakai hati, sebab politik bukan romansa
Toh sakit itu cuma sebentar saja dirasa
Lama-lama dia takluk bak Cepon di cerpen Ahmad Tohari
Lalu ambil jatahmu; sekerat daging manusia mati
Makan mentah-mentah dan resapi nikmatnya sajian konspirasi
Dalam pekatnya hitam di atas putih
(240414)

(21): Frustasi

Bukan gembira di atas derita orang-orang itu
Cuma kasihan, kenapa mereka sampai begitu?
Bayangkan, uang habis yang disalahkan jalan
Atau kadang rumah-rumah hingga jembatan
Juga mushala dan panti asuhan

Apa salah benda hingga harus ditelanjangi?
Sedangkan yang perlu telanjang adalah orang-orang itu sendiri
Lalu kita mandikan mereka bersama dalam kolam, ramai-ramai
Sambil merapal mantra, menabur kembang tujuh rupa, dan sabun mandi
Berharap keajaiban membuat mereka yang frustasi bangkit
Dan berucap, "Oalah, Gusti, ternyata cuma mimpi!"

Biar tidak ada lagi sampah-sampah yang tak mungkin dibasmi
Kalau tidak, mana mungkin kita jadikan mereka buku gambar?
Atau paling banter kantung plastik saja?
Tak mungkin, kan?

Bukan senang di atas sedihnya kumpulan tikus yang gagal
Cuma heran, kenapa harus keluar uang kalau tujuannya bukan untuk uang?
Beginilah fenomena sebelum presiden berganti wajah
(240414)
 
(22): Luka

Setiap manusia itu bisa terluka
Ada semacam kabel tanpa warna
Yang bila digores sedikit saja
Maka perih langsung menggila
Menggendap selama jangka waktu tak terhingga

Ya, manusia bisa menyimpan luka
Sampai bertahun-tahun lamanya
Termasuk aku, kamu, dan kita
Sebab kita inilah manusia

Oh, kita, memang itulah yang kuucap
Jangan bilang: "Kita? Elo aja kali!"
Karena ini bukan sinetron remaja
Ini panggung tentang dunia nyata
Bisa kau temukan darah asin dan nanah
Juga nasi basi bercampur ulat

Apa kita, sebagai manusia, bisa bila terus bertahan?
Melihat derita di sekeliling kaki yang terus beranak-pinak
Tak hendak dibekap dalam khayal jenis apa pun
Bahkan dalam interniran yang bisa kita rekayasa sekarang juga!

Dan apakah kita layak, kalau sekadar diam merawat luka?
Membiarkan lintah dan belatung berjejalan di sana
Berpesta pora tanpa peduli betapa kita butuh kaki dan tangan
Yang sampai kini terus mereka makan

Ingat, kita ini manusia, bukan hewan
(240414)

(23): Pencitraan

Lagi-lagi harus kuangkat pantatku dari kursi
Lalu teriak keras-keras, tak terima capresku dituding
Yang inilah, yang itulah, tanpa ada bukti-bukti

Hei, apa kalian tak sadar betapa kita ini sudah besar?
Bukan bocah ingusan yang doyan main bongkar pasang
Dan pula, kita dilimpahi akal oleh Yang Mahakuasa
Maka, genggamlah hakmu, jagalah dengan tegas
Tanpa mencoba mengambil punya orang meski terpaksa

Kita hanya butuh kaca pembesar saja
Untuk memeriksa apa benar segala tuduhan?
Sebab nyatanya baik capresku maupun capresmu pejantan tulen
Jadi kalau kau bilang jagoanku itu pencitraan
Maka jangan marah kalau kuanggap idolamu pensariayuan!
(240414)

(24): Dadu & Sandal

Masa iya harus kulempar dadu buat menentukan nasib?
Gara-garanya tidak ada satu pun capres yang busuk hati
Mereka semua cerdas, jujur, konsisten, tegas, dan baik
Jadi bingung memastikan, apa suaraku ini jadi sejarah?
Atau bak sebulir nasi dalam mangkuk yang tiada nilai?
Karena ujung-ujungnya semua jadi sama saja
Memilih atau tidak, yang jadi presiden tetaplah yang terbaik

Masa iya harus kulempar sandal demi luapan emosi?
Gara-garanya tidak ada satu pun capres yang bersih
Mereka semua bodoh, munafik, plin-plan, loyo, dan bullshit 
Jadi bingung memastikan, apa suaraku ini berfaedah?
Atau bak segumpal kotoran yang lungsur ke dasar septic tank?
Karena ujung-ujungnya semua jadi sama saja
Memilih atau tidak, yang jadi presiden tetap yang terparah

Tapi jujur saja, aku lebih memilih dadu ketimbang sandal
Sebab kalau sampai kulempar wajah yang buruk dengan sandal
Sudah pasti aku dan sekeluarga bakal terkena sial
(250414)

(25): Lagu Pelangi

Betapa bingung para orangtua
Anak-anak mereka memboikot gedung sekolah
Rupanya bocah-bocah sedang salah tafsir
Hanya gara-gara berubahnya warna pelangi
Entah bagaimana menyebutnya, sebab warna-warna jadi tak tentu
Kadang merah, kadang hijau, kadang kuning, atau kadang biru
Mereka tahu itu bukan "mejikuhibiniu" seperti yang diajarkan Ibu Guru
Dalam senandung abadi: "Pelangi, pelangi, alangkah indahmu..."

Sampai kapan akan terus begini?
Apa pelangi tak akan kembali?
Dan anak-anak itu akan terus menambah jumlah barisan
Mengerahkan kekuatan superbesar demi mendemo orang dewasa
Mendemo pecipta lagunya
Mendemo label rekamannya
Bahkan mendemo kaset di meja belajar mereka!

Biarpun pelangi yang salah, tetaplah lagu yang sial
Apa perlu lagu pelangi itu digubah ulang?
Hanya agar tak lagi ada kekacauan
Dan para penguasa bisa kembali duduk tenang
Menikmati masa jaya penuh tanda tanya
(250414)

 
(26): Logika

Ada baiknya mulai sekarang kita semua memasang tanda
"Dilarang membolak-balikkan isi kepala Anda!"
Tulisannya dibuat besar-besar, tebal macam paha sumo
Ditaruh di tiap gang, di pinggir jalan, juga di pohon-pohon
Agar orang-orang tak menutup mata, telinga, dan kuping
Lalu mengaduk-aduk liar akalnya sendiri
Meramunya dengan bumbu-bumbu politik najis
Mengeluarkan, mengunyah, lantas menelannya mentah-mentah
Logika perlu diadakan kalau kita masih mau waras
Kecuali bila memang kita sudah sejak dulu gila
(270414)

(27): Prediksi

Orang bilang piala dunia di Brazil paling ditunggu-tunggu
Tapi bagiku yang ada di Indonesia jauh lebih seru
 Para pemainnya sudah tua-tua
Walau ada juga sih yang muda

Tapi, jangan remehkan mereka yang bau tanah, ya!
Biarpun tua, pemikiran macam anak SMA
Harga diri dong, kalau gawang terus-terusan diancam
Jadilah saling serang walau ada peluit tanda sudahan

Bedanya dengan yang di Brazil, di sini tak ada kartu merah
Jangankan itu, kartu kuning pun tak ada
Yang ada cuma: para penonton melongo oleh gaya bebas
Ya, bebas sebebas-bebasnya seperti di film Stephen Chow itu
Yang pakai jurus sakti plus jotos-jotosan itu
Yang gawangnya bisa digeser ke mana-mana
Bahkan kalau mau, kau bisa membawa gawangmu pulang
Buat Ibu menjemur baju, celana, dan kutang

Itulah kenapa pesta bola di sini seru
Para pemainnya tak mau dimadu
Pokoknya bola harus terus ada di kaki, tak peduli wasit sekalipun! P
rediksiku, penonton macam kita bakal adu jotoslah
Kan gayanya gaya bebas
(280414)

(28): Galau

Sekarang ini sedang musimnya orang galau
Tak cuma yang muda, tua pun bisa galau
Apalagi kalau terpeleset jebakan sendiri, galaulah
Lebih parah kalau tumbang sampai ke akar-akarnya, galaulah!

Apa ada obat galau yang paling tepat?
Agar yang tua-tua itu tak perlu merana
Lalu pasang TV, pencet channel drama Korea
Sampai berderai-derailah air matanya
Tentang betapa kejamnya rakyat jelata
Atau guling-guling bak ditinggal
 Ibu ke pasar Lalu pasang muka masam macam beruk hilang akal
Sampai berdarah-darahlah tangannya
Tentang suap-suapan yang gagal total

Sungguh, bilapun ada yang demikian
Hendaknya mulai sekarang kita waspada
Sebab, mau dibawa ke mana generasi muda?
Yang tua ambil peran sana-sini
Segala kursi diambil pusing
Pun segala labil jadilah guling
Yang benar, masa kecil kurang bahagia
Atau masa lalu kurang sengsara?
(300414)


(29): Skakmat!

Berkumpullah para tua-muda, kaya miskin
Tak tertinggal pula kurus-gemuk, cakep-burik
Hanya demi menonton final lomba catur
Yang main kawakan atau pemula, sudah tak penting lagi
Yang penting, apa mereka jaya atau malah buntung?

Selangkah, sorak-sorak membahana
Dua langkah, lempar-lemparan senjata
Tiga langkah, mulut penjilat pada terbungkam
Dan pada langkah keempat, berjatuhanlah jantung mereka
Mengonggok di antara dua kaki yang gemetaran

"Skakmat!" pekik yang satu percaya diri
Dengan gaya seolah hadiah sudah tak penting
Maka, tidaklah ada langkah keenam dan seterusnya
Yang ada cuma decak kagum tak putus-putus
Sebab para pendukung finalis itu sungguhlah tahu
Dia lebih pantas menang karena yang dicari bukan uang
Tapi kebenaran yang paling benar di medan perang
(040514)


(30): Malu

Aku malu andai presidenku tak punya malu
Minus prestasi, tapi dibuat seolah-olah plus
Harus kubilang apa jika nanti ada yang bertanya:
"Apa saja yang presidenmu itu lakukan?"
Masa iya harus kujawab, "Menyulap yang tadinya tidak hilang menjadi hilang"?

Aku malu andai punya presiden yang sok tahu
Katanya, cinta tanah air, nyengkelat keris saja keliru
Apa jadinya kalau nanti ada yang bertanya
"Lho, presidenmu itu orang Yordania, tah?"
Masa iya harus kujawab, "Bukan, cuma pelarian"?

Ah, entah dengan cara apa kututup rasa malu itu
Andai punya presiden yang gagah rupawan tapi melawan hukum
Apa jangan-jangan nanti semua orang boleh berbuat sesuka dengkul?
Bebas dan hukum rimba jadi pilihan?
Bagaimana aku bisa hidup tenang?

Jangan sampailah aku punya presiden macam itu
Bisa-bisa kita jadi malu seumur hidup
(090514)


 (31): Makan-Makan

Hari ini kami sekeluarga diundang makan
Dari mulai sarapan sampai makan malam
Tuan rumahnya siapa lagi kalau bukan orang atas
Lumayanlah, hitung-hitung hemat beras

Sepertinya tiap lima tahun orang atas senang makan
Segala perempuan, segala aset, segala uang ditelan
Bahkan, mohon maaf, sampah busuk pun dilibas
Maklumlah, kami sungguh lapar dan kehausan
Jadi tolong jangan protes pada kami-kami ini, wakil kalian
Kalau mau, ayo ke sini, kita makan bersama
Menu utamanya daging manusia dicampur darah
Mau?
(110514)


(32): Bijak

Mari jadi manusia bijak, jangan jadi badak bercula satu
Kalau bijak, mau ke mana-mana dipikir dulu
Nah, kalau badak, mau ke mana-mana pasti nyeruduk
Tanpa mikir, seperti dunia sebatas kubangan lumpur
Yang penuh dengan kesenangan tapi kotornya minta ampun

Bijaklah agar tak salah melangkah
Agar nanti bila badak-badak bertengkar
Kau tak perlu ikut walau jadi penonton sah-sah saja

Bukan, bukan mau mengadu, cuma mengingatkan
Sebab jaman sekarang banyak siluman badak
Kalau kurang bijak, matilah kau seketika
Tertusuk cula hingga ususmu terburai merana
Jadi rebutan hantu-hantu pemerintahan
(140514)

 
(33): Merasa Pintar

Orang yang merasa pintar adalah orang yang menganggap perlu melupakan masa lalu
Padahal dari masa lalu kita bisa belajar banyak hal, termasuk bisa tahu kebusukan orang
Kecuali kalau masa lalu berakhir manis, maka simpan sajalah oleh kita untuk menjadi kenangan
Tapi apa masa lalu tragis layak untuk dilupakan hanya demi sebatas wacana tanpa bukti nyata?

Membunuh dan dibunuh memang beda
Lain cerita kalau kita memang mati, barulah merasa pintar
(200514)

(34): Santun

Otak manusia punya warna yang berbeda-beda
Maka suka-suka oranglah mewarnai otaknya seperti apa
Jangan lantas menabur warnamu di tempat orang karena merasa benar
Sementara tutur kata dan tingkah laku macam binatang

Bersikap santun memanglah mudah
Tapi sulit bagi yang biasa menjilat ludah
Atau bagi yang biasa makan bangkai
Serta bagi yang biasa menipu diri
(200514)

(35): Kaset Pita

Di pinggir jalan dijual bermacam kaset pita
Tinggal kita pilih mau dengar yang mana
Semua isinya benar fakta, bukan rekayasa
Walau beda bungkus, beda pula warnanya

Mari, ajak semua ramai-ramai dan keraskan suara
Biar yang tuli juga dengar, tidak geleng-geleng kepala
Semua rekaman masa lalu tersaji tanpa disensor
Apalagi dicampuraduki tangan-tangan kotor

Dan apakah yang sudah buruk bakal bertambah buruk
Atau justru yang bagus jadi lebih bagus
Semua itu sudah bukan soal penting untuk dibahas
Sebab kaset pita membekukan peristiwa di dalamnya
Mengawetkan kejadian masa lalu tempat manusia belajar

Maka sungguhlah gila yang bilang: "Melihat ke belakang itu bodoh!"
Karena mungkin saja yang demikian sedang dijadikan sebatas robot
Yang hati dan akal sudah mati akibat termakan bujuk rayu
Oleh pemilik kaset yang lagunya buruk minta ampun
(210514)

(36): Main Kotor

Barangsiapa main kotor, sudah pasti bakal jontor
Barangsiapa main api, siap-siaplah jadi gosong

Itu hukum alam, Kawan
Yang membuat Tuhan, bukan manusia
(290514)

(37): Fanatisme

Ketika fanatisme merasuk di seluruh meja berita
Maka tak ada lagi yang bisa kita percaya
Karena fakta tak ubahnya pesakitan yang dikebiri
Yang pelan-pelan layu, kering, dan mati

Agaknya itu peringatan dari Tuhan agar kita segera berdiri
Meninggalkan cacat koran, majalah, buletin, TV, bahkan tabloid
Lalu duduk manis menyaksikan wajah-wajah mereka secara live
Di sanalah, di gerak bibir, pipi, tangan, dan bahu kenyataan tersimpan rapi
Kau akan membaca kebenaran jika sudi membuka hati
(030614)

(38): Jatuh Cinta

Yang dulu begitu benci artis ini-itu
Sekarang jadi fans berat karena sepaham
Yang dulu begitu kagum tokoh ini-itu
Sekarang jadi hater karena berseberangan

Memang benar apa kata orang
Namanya juga jatuh cinta
Berbanding lurus dengan sakit jiwa
Segala cacat jadi hilang
Segala fakta bukan lagi soal
Yang penting cinta buta rasanya enak
Nikmat bagai meneguk racun jebakan

Tapi semoga bukan karena cinta model begitu kita mati
Apalagi gara-gara cemburu pacar kita mencintai orang lain
Setiap jiwa berhak memilih dan menaruh hati di sebelah mana
Setuju, 'kan?
(030614)


 (39): Kampanye Hitam

Lempar-lemparan kaleng
Isinya cat hitam permanen
Itu panggung mereka yang di atas
Yang mengaku paling benar

Kita cuma kebagian tempat di bangku penonton
Mengawinkan pantat dengan busa karena tak monoton
Makin asyik berkat toples kacang, gulali, dan popcorn
Menunggu waktu siapa yang bakalan jontor

Kuping boleh panas, apalagi hati
Tapi otak tetap simpan dalam pendingin
Setting di skala terbawah
Agar beku saraf-sarafnya
Agar tak melewati dosa besar
Agar bukan fitnah dibalas fitnah
Itu lebih baik ketimbang marah-marah

Biar kena cipratan cat hitam permanen
Daripada membedaki wajah sendiri dengan arang
(100614)


(40): Api

Api tersulut, barat dan timur terbakar
Utara tertawa bahak-bahak
Dan selatan diam, tak banyak bicara

Bila tiba saat hari pembalasan
Api itu punya dua pilihan
Antara gunung dan padang gersang

Melempar api, mengadu domba saudara sendiri
Adalah kalau bukan gila pastilah dengki
Membiarkan setan mengipas-ngipasi api
Biar besar, biar hangus semua hati
Atas dasar pembenaran yang dibuat-buat
Sebuah kebenaran yang lebih buruk dari kematian
(140614)

(41): Debat Capres?

Ada yang bilang, "Pilihanku tetap ini, apa pun yang terjadi!"
Ada yang bilang, "Aku suka yang itu, tapi tunggu nanti kuputuskan."
Ada pula yang bilang, "Sampai kapan pun, golput harga mati!"

Adu jotos di dunia maya
Adu mulut di depan TV
Adu duit di meja belakang

Sementara mereka sibuk berdebat
Si kurus dan si gendut rangkul-rangkulan
(260614)



*) Puisi-puisi di atas ditulis dadakan berdasarkan imajinasi Ken Hanggara, melalui akun Facebook. Terima kasih bagi yang sudah mampir dan membaca. :)



Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri