Skip to main content

[Cerpen]: "Sebelas Januari" karya Ken Hanggara



*Ini cerpen pertamaku. Dibuat beberapa tahun yang lalu. Jadi harap maklum bila ada kesalahan di sana-sini. Yang penting, nikmati saja ceritanya. :)

Kudengar dari tempatku berdiri suara Bu Ida bertalu-talu terdengar ke seluruh sudut sekolah, mempersilakan para orangtua murid untuk segera memasuki ruangan rapat karena acara akan segera dimulai.
Hari pembagian rapor.

Aku haus dan mengantuk setelah menunggu hampir tiga jam acara dimulai. Aku bah­kan tak peduli lagi dengan rambutku yang berantakan mirip sapu ijuk. Padahal aku selalu memperhatikan tatanan rambutku yang mirip almar­hum Stephen Gately itu—untuk tetap menjaga citra keren seperti anak SMU kebanyakan.
Sembari menunggu acara rapat pembagian rapor sekaligus kenaikan kelas terse­but, aku pergi ke kantin. Biasanya di sana sepi. Dan benar, waktu aku ke sana kan­tin benar-benar sepi. Aku menyendiri dengan maksud menghilangkan sakit kepalaku gara-gara belum sembuh total dari sakit demamku kemarin. Lalu datang dua orang siswi yang dari suaranya saja aku tahu mereka tak mengenalku, aku juga tak mengenal mereka. Aku du­duk membelakangi mereka. Aku memesan teh hangat ke penjaga kantin. Kurang pas, karena matahari saat itu berada di atas kepala, namun aku tak bisa memesan es teh karena malah akan menambah pusing kepalaku. Dilema!
Aku mencoba mengira-ngira bagaimana nanti nilai raporku. Memuaskankah? Atau seperti yang sudah-sudah—mengecewakan. Aku selalu ingin menjadi anak IPA. Sejak awal kelas sepuluh, aku selalu terkagum-kagum pada kakak-kakak kelasku yang berada di kelas IPA. Entah kenapa. Mungkin karena aku tak terlalu mahir di mata pelajaran Geografi, jadi aku memilih IPA saja. Dan hari ini cukup menegangkan. Selain hari pembagian rapor sekaligus hari kenaikan kelas, hari ini juga hari yang menentukan apakah seorang murid kelas sepuluh dinaikkan ke kelas IPA atau IPS. Di tengah lamunanku, dua orang siswi yang tak kukenal tadi saling bercanda. Suara mereka terdengar begitu keras di telinga. Udara panas dan lelah membuatku  semakin kesal. Ingin kuteriaki mereka, ingin kubentak mereka karena telah berisik dan menggangguku! Namun saat menoleh, sekejap hilang ama­rahku. Betapa tidak. Di sana, di depanku, sesosok perempuan cantik berkerudung dengan se­nyum indahnya  tak sengaja bertatap mata denganku! Sontak aku kaget dan salah tingkah. Begitu juga Si Wanita Berkerudung itu. Dalam hati kuberkata, Malaikatkah dia? Apa aku tak salah lihat? Baru kali ini aku melihatnya. Siapakah namanya? Namun mungkin karena shock aku tak sempat menegurnya, dia pun berlalu.
***
Dulu mungkin aku menganggap aneh orang-orang yang sedang jatuh cinta bisa men­jadi demikian bahagia sampai dunia seperti miliknya sendiri, serta menjadi berlarut-larut da­lam kepedihan saat ditinggal cinta. Aku merasa heran hingga mengerti alasan berbagai pera­saan tentang cinta setelah aku mengalaminya sendiri.
Pagi itu aku bersiap berangkat ke sekolah. Tentu saja dengan semangat baru—naik ke kelas sebelas! Hari pertama di tahun ajaran baru selalu membuatku senang. Teman baru, guru baru, pelajaran baru, semuanya serba baru! Dan rupanya tahun ini cukup spesial. Karena selain aku dinaikkan ke kelas IPA, tak ku­sangka cinta yang baru juga menyergapku tanpa ampun di hari yang hebat itu.
Saat memasuki kelas, kulihat beberapa siswi berkumpul di tengah ruangan, mengo­brol tentang suasana baru yang menyenangkan, dan di sana, rasanya aku kenal seseo­rang. Ah! Itu perempuan berkerudung yang sempat membuatku salah tingkah, dan kini aku benar-benar dikepung oleh dua macam perasaan: senang karena satu kelas dengannya dan cemas kalau-kalau dia pacar orang lain. Tapi kubuang jauh-jauh pikiran negatif. Yang pasti aku merasa suatu keajaiban datang menghadangku.
Aku jatuh cinta pada pandangan pertama!
Meski sudah saling kenal, aku merasa begitu bodoh karena tak juga berani mengungkapkan perasaanku pada perempuan itu. Mungkin karena saat itu aku dikuasai oleh rasa gelisah tanpa sebab, dan mulai kusadari dia bukanlah seorang perempuan biasa. Namanya Indah—mencerminkan elok penampilan dan kepribadiannya. Beberapa minggu sekelas dengannya, aku tahu bahwa Indah seorang siswi yang cerdas, punya banyak teman, rajin beribadah, dan selalu menjaga jarak dengan siswa mana pun yang mencoba akrab dengannya lebih dari sekedar sahabat.
Nah, sekarang harus bagaimana?
Aku bingung. Jujur sekarang aku menyukainya bukan dari penampilan luarnya saja. Aku semakin kagum padanya sebagai pribadi. Ia jujur, berpendirian kuat, dan yang paling membuatku susah tidur adalah kenyataan bahwa dia salah satu ahli matematika di kelas kami! Dia pandai di hampir semua mata pelajaran, tapi yang paling menonjol mate­matikanya. Se­mentara aku, sama sekali tak pandai matematika. Hanya sedikit terampil dalam bahasa Je­pang. Itu pun hanya menulis rangkai indah huruf Hiragana. Tapi semua kenyataan itu, serta kabar bahwa dia tak pernah peduli pada tiap siswa yang mendekatinya, tak membuatku me­nyerah.
***
Hari-hari berikutnya kujalani dengan semangat sampai akhirnya aku merasa mengalami sebuah mimpi yang seakan tak mungkin terjadi di dunia nyata. Biasanya saat perayaan hari kemerdekaan 17 Agustus, di sekolah kami diadakan berbagai kegiatan lomba. Tahun ini ada sekitar dua puluh macam lomba. Mulai dari olahraga beregu seperti basket, sepak bola—sampai lomba-lomba seperti membaca puisi, azan, fashion show, balap karung, dan sebagainya. Tiap-tiap kelas diwajibkan mengirim wakil untuk berpartisipasi dalam tiap lomba yang diadakan oleh panitia. Biasanya lomba diadakan selama empat hari berturut-turut.
Pagi itu, benar-benar santai. Saat aku menonton teman-temanku bertanding basket. Ilham, ketua kelasku, menghampiriku. Tiba-tiba dengan ekspresi datar ia mengatakan telah mendaftarkanku di salah satu lomba, dan jika aku tak menurut, aku akan dikenakan denda mentraktir seluruh teman sekelas makan bakso. Berhubung aku sama sekali tak berminat mengikuti lomba apa pun, Ilham mendaftarkanku tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Kurang ajar sekali!
“Memangnya lomba apa, Ham? Aku nggak mau ikut kalau yang kau maksud itu lomba fashion show!”
“Kenapa kalau fashion show?”
“Pokoknya nggak mau! Titik! Kalau lomba lari aku mau. Jangan fashion show!”
Ilham diam tak menjawab, kupikir ia paham aku tak mau ikut lomba peragaan busana itu karena aku tak terlalu percaya diri jika harus bergaya di depan ratusan pasang mata. Kupikir ia mendaftarkanku di lomba lari, atau paling tidak lomba azan.
***
Esoknya, beberapa teman mendatangiku yang sedang asyik duduk di kantin.
“Ayo, Teman. Saatnya lomba. Kamu wakil kita, jangan mengecewakan!”
Ha? Bukankah lomba azan nanti siang? Kalau lomba lari besok…
Nah, inilah yang kumaksud sebagai mimpi yang seakan tak mungkin terwujud. Ternyata pasanganku berjalan di catwalk nanti tak lain dan tak bukan adalah si wanita berkerudung itu—Indah! Diam-diam Ilham mendaftarkanku di lomba fashion show yang kubenci itu. Alasannya karena posturku jangkung, dan pas dengan kostum yang kami punya. Meski yang diperagakan dalam lomba kali ini busana muslim, aku tetap saja nervous, namun tak dapat kusembunyikan perasaan senangku.
Saat menaiki panggung, kami berjalan agak berjauhan. Temanku di kejauhan berteriak menggodaku, menyuruh kami untuk lebih merapat. Aku tak peduli. Yang jelas kurasakan panggung kayu jelek itu berubah menjadi bahtera semegah kapal pesiar Titanic yang mewah. Sorakan ratusan penonton yang berisik, kurasa seperti suara kecipak bayi-bayi katak sehabis hujan di pinggiran Danau Paniai. Sementara hentakan lagu-lagu nge-beat pengiring lomba itu, kudengar seperti simfoni nomor 41 milik Mozart.
Ah, cinta! Ternyata kau begitu indah…
***
Aku memikirkan cara untuk mendekati Indah. Perempuan itu tak terlalu banyak bicara jika dekat denganku. Entah kenapa. Akhirnya melalui bantuan seorang sahabat, Nia, aku mengirim puisi-puisi hasil tulisan tanganku padanya. Tak pernah ditanggapi, aku tetap menulis puisi untuknya. Selama tiga bulan aku menghasilkan berlembar-lembar puisi, dan aku takjub karena selama ini tak sekali pun aku pernah bisa menulis puisi. Selama tiga bulan itu pula Indah menjauh dariku. Kami berbicara hanya jika dimasukkan dalam satu kelompok belajar itu pun sedikit. Tergantung apa yang sedang kucoba bicarakan dengannya. Jika masalah sepele, dia hanya menjawab: ya atau tidak. Tapi jika masalah pelajaran di sekolah, lain ceritanya. Pendi­dikan baginya adalah hal penting di dunia ini setelah ibadah dan keluarga, dan aku setuju dengan prinsip yang ia pegang teguh itu.
Perempuan yang pandai mengaji itu pernah bilang bahwa diamnya selama ini karena ia takut hubungan kami yang hanya sekedar teman—menjadi fitnah gara-gara ada gosip yang mengatakan jika di antara kami berdua ada sesuatu yang spe­sial.
Ya, kita memang teman…
Aku sebenarnya tak keberatan atas sikap diamnya. Yang membuatku kesal adalah ba­gaimana teman yang lain tahu tentang aku yang menyukainya, serta pengiriman puisi diam-diam itu? Padahal hanya sahabatku seorang saja yang tahu. Nia yang pendiam tak mungkin menyebarkan semua ini. Ia sahabat terbaik yang pernah kumiliki. Mungkin ini terbongkar gara-gara terendus oleh salah seorang teman kami, Rudi. Biasanya ia sering meminjam handphone-ku tanpa alasan yang jelas. Memang puisi-puisi itu jarang kukirim lewat SMS, tapi jelas siapapun yang membuka outbox-nya, ibarat kata nenek-nenek sepuh sekalipun, asal tidak buta huruf, pasti langsung mengetahui. Tapi aku tak ingin berprasangka buruk terhadap siapapun.
***
Hari Senin pagi, Nia, sahabatku yang baik itu, memanggilku.
“Nanti siang jangan langsung pulang,” ucapnya sambil mengerlingkan mata serta mengulum senyum persahabatan. Belum sempat aku bertanya alasannya, ia langsung memotong.
 “Jangan kebanyakan tanya. Pokoknya sudah kuatur semua. Ini kesempatan. Jelaskan apa yang sebenarnya terjadi agar dia tak salah paham. Tentang gosip menyesatkan itu. Tentang perasaanmu juga… ”
Sekarang aku paham, ia mengatur pertemuanku dengan Indah.
Tak perlu kau ajari juga akan kukatakan itu semua…
Aku hanya tersenyum. Diam-diam aku merasa senang karena selama ini hampir tak ada kesempatan sama sekali walau hanya untuk sekedar menyapanya. Indah selalu menghindar. Nia sebagai seorang sahabat sekaligus partner in crime-ku, merasa harus segera berbuat sesuatu. Ia tak ingin aku yang sudah mati langkah—bahkan hanya sekedar menyapa saja tak bisa karena tiap kali bertemu denganku, Indah selalu memalingkan muka seakan tak melihatku. Sahabat semacam Nia jarang kutemui di mana pun aku berada. Nia dapat dengan mudah mengatur pertemuan kami karena dia juga sahabat dekat Indah.
***
Jam pulang. Seisi kelas kosong, hanya kami berdua, meja, papan tulis, dan kalender yang ada di sana. Tak buang waktu, langsung kusampaikan segala yang ingin kusampaikan padanya. Kalau orang melihat kami, mungkin mereka mengira aku sedang berusaha—dalam istilah kerennya—menembak Indah. Namun biar kuperjelas. Tujuanku di sini tak lain hanya ingin mengatakan agar ia tak usah memperdulikan perihal gosip itu, dan jika ia terus mendiamkanku, teman-teman yang lain malah berpikir yang tidak-tidak. Alangkah lebih baik kita bersikap biasa saja agar tak timbul prasangka apapun. Soal perasaanku padanya? Aku mengatakannya dengan jujur, dan tak meminta jawaban apa pun darinya.
Mungkin nanti jawaban itu kudapat…
Dia mendengar dengan seksama. Aku semakin kagum dengannya saat melihat caranya mendengar dan menanggapi.
Tiba-tiba di siang bolong itu aku dikagetkan dengan suara ceki­kikan di depan pintu kelas. Seorang teman sedang merekam video pembicaraanku dengan In­dah. Saat kuperiksa… Rudi! Kurang ajar sekali! Akhirnya kuakhiri pertemuan kami.
Aku kesal pada Rudi, tapi senang sekaligus bingung karena di tengah pembi­caraan singkat tadi, Indah, meski den­gan agak canggung, mengatakan:
“Aku sebenarnya juga sempat suka sama kamu...”
Terdengar ada sedikit harapan namun menggantung. Kalimat itu mengandung kejuju­ran yang membuai sekaligus racun tidur yang menyengat. Kata sempat itu maksudnya apa, pikirku. Berhari-hari aku memikirkannya sampai tak bisa tidur aku di­buatnya. Aku coba kirim SMS padanya. Jawaban darinya membuat semua menjadi lebih jelas di mataku.
Orangtua dan pendidikan adalah priori­tas utamaku. Aku percaya padamu. Aku juga sayang padamu. Tapi mohon mengerti­lah, jangan kau marah. Untuk saat ini biarlah kita berdua mengalir, biarlah waktu yang menjawab. Kumohon, beri aku waktu. Percayalah. Aku juga sayang kamu…
Kalimat itu kurasakan bagai meriam yang ditembakkan ke dalam mulutku, masuk melalui tenggorokan, lalu menusuk jantungku. Sebenarnya diam-diam selama ini dia juga menyimpan perasaan yang sama padaku.
Biarlah waktu yang akan menjawab. Aku akan setia menunggu hingga kau benar-benar yakin akan cintaku…
Aku mencintai wanita itu atas segala kelebi­han dan kekurangannya. Sungguh, meski sepanjang hidupku lebih sering kuhabiskan untuk hal yang tidak serius,aku bukanlah seorang yang kurang ajar. Mungkin orang berpikir bahwa tujuanku mendapatkan wanita ini tak lain hanyalah untuk kumanfaatkan dengan satu sikap culas. Namun aku tak pernah berniat sejahat itu. Aku hanya ingin dia berada di sampingku, sebagai orang yang lebih dekat daripada sahabat, karena aku merasa damai. Bolehlah orang bilang ini cinta monyet, tapi bagiku cinta ini berbeda. Cinta ini tak terbendung, diam, namun indah tak terperi. Biarlah kami menyimpan semua ini. Biarlah, meski belum ada seorang pun yang tahu. Karena aku yakin cinta ini tak terlepas oleh jarak antara kami berdua.
***
Hari itu tanggal sebelas Januari. Hari di mana kami mengukir awal kisah cinta ini. Se­karang aku menjadi pribadi positif. Prestasiku me­ningkat. Semua karena perempuan ini. Ia sosok misteri terindah.
Kubuka kembali berlem­bar salinan puisiku, kuingat wajah perempuan itu, dengan ke­cerdasan dan keteguhan hatinya. Kurasa dia tersenyum di sana. Mataku terpejam, mencoba berbicara dari hati—menyentuh ruang terdalam di lubuk jiwa perempuan itu.
“Kami dua ekor merpati. Terbang dari dua arah berlawanan. Menembus lapisan langit teratas. Menjelajah tujuh warna pelangi yang hadir menyaksikan kami. Kami dua butir embun. Membasahi hijau padang rumput khayalan. Di sana telah kubangun istana. Hanya untuk kami berdua. Hanya untuk cinta ini…”

-SELESAI-

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri