Senja yang menggantung di langit barat seolah
sengaja menepikan diriku jauh dalam lamunan. Ada sepetik harapan yang terselip
di sana. Tidaklah mudah untuk diraih namun cukup indah dipandang bagi siapa pun
yang tengah kasmaran. Tidaklah tampak berujung karena mata angin pun tiada
memihak padaku, juga gadis itu. Tidak juga sesederhana lipatan kain sarung yang
melingkar di sekitar leherku yang dekil. Membayangkan hari perpisahan antara
kami, tak pernah membuatku merasa sedikit lebih baik. Justru perih itu terulang
kembali—berputar dalam mozaik adegan yang tersusun
rapi di sela gulungan pita film.
Aku bermain di atas panggung sandiwara sebagai diriku sendiri, dalam kisah yang tak pernah dibuat oleh penulis skenario mana pun selain Tuhan. Kulihat wajahku basah oleh hujan yang kuciptakan sendiri lewat pori-pori gelapku. Peluh sungguh tak mau diajak kompromi. Sekalipun mereka bermukim di raga semalang diriku. Aku sendiri tak percaya. Apakah ini yang disebut mimpi? Kalau memang demikian, mengapa begitu nyata? Seakan sadar, kudengar kemurkaan sosok garang itu membuatku hampir tak mampu mengontrol diri.
Aku bermain di atas panggung sandiwara sebagai diriku sendiri, dalam kisah yang tak pernah dibuat oleh penulis skenario mana pun selain Tuhan. Kulihat wajahku basah oleh hujan yang kuciptakan sendiri lewat pori-pori gelapku. Peluh sungguh tak mau diajak kompromi. Sekalipun mereka bermukim di raga semalang diriku. Aku sendiri tak percaya. Apakah ini yang disebut mimpi? Kalau memang demikian, mengapa begitu nyata? Seakan sadar, kudengar kemurkaan sosok garang itu membuatku hampir tak mampu mengontrol diri.
"Aku tak sudi menerimamu! Apa kata orang
nanti?! Tak tahu diri!"
Gadis yang kukenal beberapa tahun yang lalu, tak
lain adalah anak dari pemilik teriakan yang hendak membunuhku ini. Ia tenggelam
dalam tangisnya. Rambut panjangnya tak lagi indah. Bukan karena berkurang
seribu pesona bidadari darinya. Melainkan awan-awan sedih nan kelabu itu
terlanjur menaungi kekasih hatiku ini tanpa mau pergi barang sedetik pun.
Segala pikiran sedih berkecamuk dalam kepalaku.
Kalimat pembelaan mulai mendesak dari dalam saluran nafas. Ingin kukatakan
bahwa semua itu salah. Aku bukanlah lelaki brengsek yang hendak mengambil
keuntungan semata dari lekuk tubuh seorang wanita. Bukan pula berniat mengeruk
habis harta yang orangtuanya simpan di balik dinding batu rumah mereka.
Terlibat sihir dengan bantuan dukun pun adalah perbuatan dosa. Aku tak mungkin
melakukan itu. Kami memang ditakdirkan lahir dari dua golongan kasta yang
berbeda dan tak layak untuk bersanding. Ayahnya seperti tak 'kan pernah mencari
tahu kabar kebenaran bahwa apa yang kuperjuangan ini murni karena cinta. Hingga
tiba waktu di mana benda-benda pecah berserakan di hadapanku. Kalau tak ada
beberapa orang tetangga yang peduli, mungkin ragaku telah habis. Lelaki keras
itu tak segan mencabut nyawaku tanpa dibayar sekalipun.
"Pemuda yang bergumul dengan sampah berniat
ingin menikahi putriku?! Langkahi dulu mayatku!"
Gadis itu menangis sesenggukan. Aku mampu
melihatnya meski ia terkurung di dalam kamar oleh keegoisan sang ayah. Bilik
baja itulah yang memisahkan kami. Sungguh, tak ada pilihan lain kala itu. Aku
mengalah bukan karena salah. Bukan pula karena tak lagi ada rasa itu padanya. Aku
pergi karena jalan yang akan kami lalui berhenti sudah. Kebuntuan semacam ini
tak 'kan pernah terbuka.
"Dari tadi kulihat kau melamun. Kenapa,
Kawan?"
Seorang teman tiba-tiba menyadarkanku. Aku seperti
sebuah kepompong yang terdampar di lorong waktu. Baru saja, ingatan pahit
seolah terputar kembali. Semua itu membuatku berpikir, apakah ia kini baik-baik
saja? Apa pernikahan itu berbuah manis kebahagiaan? Apa lelaki pilihan ayahnya
telah sukses menghapus segala kenangan indah bersamaku? Kuharap ia tak menangis
seperti terakhir kali kami bertemu untuk berpisah. Memikirkan semua itu,
membuatku meninggalkan sejenak dunia yang tengah kujalani.
Aku pulang setelah semua perlengkapan kerja
kumasukkan ke dalam tas. Sepertinya waktu selalu berjalan begitu cepat. Tak mau
menunggu siapa saja yang rela menenggelamkan diri dalam ingatan lalu. Sejak
kami berhenti menjalin hubungan, aku langsung pergi meninggalkan kampung yang
menyimpan seribu kisah itu. Aku tak sanggup melihat meski dari jarak terjauh
sekalipun; gadis yang kucintai duduk di pelaminan bersama pria lain. Aku takut
raga ini tiba-tiba lumpuh lalu mati sia-sia di sana. Aku takut air mata gadis
itu membasahi tanah yang pernah kami pijaki bersama. Aku pun takut semua itu
membutakan hati hingga kubunuh satu persatu dari mereka yang tak merestui cinta
kami. Maka, sesulit apa pun, merantau adalah cara terbaik yang mesti segera
kuambil. Perjuangan panjang di kerasnya metropolitan Jakarta, membuatku belajar
banyak hal. Kini aku pun sanggup tersenyum meski tak seriang dulu. Pekerjaan di
sebuah kantor kecil yang menyediakan jasa travel kulakoni selama dua
tahun terakhir. Setidaknya dengan begini, aku mampu menentukan arahku sendiri.
Di dalam sebuah metromini, seorang wanita
menegurku. Belum sempat kubalas, ia langsung mengambil tempat di samping
kursiku. Aku tak mengenal siapa dia, meski sebagian hati kecilku berkata pernah
menemuinya di suatu tempat. Semacam de javu. Ah, tapi apalah
peduliku. Toh aku sama sekali tak menemukan tali penghubung masa lalu dengan
garis wajah cantik sosok asing ini. Mungkin ia hendak bertanya soal jam. Tapi
mengapa harus aku? Mengapa di saat aku ingin menyendiri ia malah dengan
seenaknya merusak ketenanganku? Apa tak ada orang lain yang lebih beruntung
sehingga memiliki kesempatan mengenal seorang wanita cantik sepertinya? Namun,
seberapa besar tingkat kekesalan yang bercampur aduk, aku tetap tersenyum untuk
merespon teguran wanita itu.
Detik berikutnya, dugaanku pun salah. Ia tak
bertanya soal jam. Melihatku yang pendiam, ia mulai mengamatiku.
Diperhatikannya segala yang ada padaku, seperti sedang mencari benda yang telah
lama hilang. Aku tak mengerti, apa sebenarnya yang ia inginkan dariku? Sesaat
kemudian ia tersenyum. Sorot matanya membuatku meringkuk tak berdaya di sudut
jendela.
"Rudi? Kamu Rudi 'kan?"
"Ya, benar. Maaf, Anda siapa?"
"Aku Gita. Masih ingat?"
Aku senang sekaligus shock. Gita tak lain
adalah teman sekelas semasa SMA. Wanita ini secara tak langsung memaksaku
mengingat kembali kenangan manis yang tak pernah berakhir indah. Sesungguhnya
aku tak ingin mengulang semua itu meski dalam benak. Sementara seribu harap
yang dulu sempat berkembang, kini sirna sudah. Tak ada secuil pun sisa untuk
kubawa. Tapi apalah daya. Betapa tak hanyut lamunanku kembali ke masa itu?
Gita-lah satu-satunya orang yang berjuang paling keras untuk rasa cinta yang
kupendam pada seorang gadis bernama Citra.
Citra, gadis berambut panjang itu, membuatku tak
dapat berpikir jernih. Sebagai bocah kampung yang hidup serba kekurangan, aku
merasa berada dalam situasi yang serba salah saat itu. Bisa-bisanya aku
menyukai anak seorang pejabat? Padahal aku sendiri hidup sebatang kara dari
belas kasihan para pengurus panti asuhan tempatku dibesarkan sejak bernafas di
atas bumi. Aku merasa bersalah walau rasa itu tak lebih dari sebuah misteri.
Hanya aku dan Tuhan yang tahu.
Hingga suatu saat, waktu yang selama ini diam
membeku pun menunjukkan kebenaran. Kudengar kabar bahwa Citra menyimpan rasa
yang sama. Aku tak percaya sekaligus takut berita ini hanya bersumber dari
orang yang hendak mempermalukanku. Di sinilah peran Gita dimulai. Ia berusaha
membujukku untuk menulis surat cinta. Ia juga terus mendorong Citra melakukan
hal serupa. Maka lembar-lembar ungkapan rasa pun berlanjut. Entah berapa banyak
sudah. Surat-surat yang kutulis tak pernah terlambat mendapat balasan. Mereka
tersampaikan seiring dengan semilir angin sejuk yang membelai jiwa, lewat
perantara Gita. Telingaku seperti mendengar sebuah bisikan.
"Jangan takut untuk mencintai. Karena
cinta itu sendiri tak pernah menuntut banyak. Hanya kejujuran, setia, dan
saling memahami. Itu saja. Tak ada siapa pun yang berhak menentukan kepada
siapa kita boleh mencinta. Tak ada sama sekali. Kasta dan harta hanyalah dua
dari sekian banyak penguji kesungguhan."
Sejak itulah kami berpacaran. Perbedaan status
sosial tak jarang membawa kami dalam berbagai kesulitan. Kami harus lari dari
kejaran para pengintai yang hendak merusak segalanya. Kami harus bersembunyi di
balik tumpukan jerami, berusaha menjelma menjadi batangan jarum agar tiada
seorang pun dari anak buah Tuan Rano—ayah
Citra—yang dapat menemukan kami. Bahkan mungkin
jika nafas ini dapat tertunda, kami tak segan mengubur diri selama beberapa
musim, demi mempertahankan cinta yang berjalan tanpa restu ini.
Lima tahun berlalu, cinta kami sendiri kian teguh.
Aku berniat melamar Citra yang kala itu baru saja menyelesaikan pendidikan di
sebuah universitas ternama di Surabaya. Aku sendiri tak pernah merasakan bangku
kuliah. Kerja serabutan di kampung kujalani sejak menerima ijazah SMA. Meski
begitu, tak ada sedikit pun sangsi di mata Citra. Ia telah siap menjadi
pendamping hidupku. Ia pun siap berjuang bersamaku demi cinta kami. Semua
tampak begitu sempurna saat kami berdua membicarakan ini di sebuah tempat, di
mana sinar rembulan tak ragu membelai bumi. Namun mendadak, senyum gadis itu
pudar. Tuan Rano tak semudah itu melunakkan tangannya yang sekeras besi. Maka,
kubisikkan padanya kata-kata yang selama ini kusimpan, tanpa sadar bahwa itulah
saat terakhir kami bersama.
"Malam ini juga, kita menghadap ayahmu. Aku
melamarmu malam ini juga. Percayalah, Sayang. Semua akan baik-baik saja."
Dan, terjadilah apa yang seringkali mengganggu
pekerjaanku di sebuah tempat yang jauh di ibukota. Ingatan pahit tentang
penolakan Tuan Rano sepertinya tak mau pergi dari laci memoriku. Pria kejam itu
mengusirku tanpa perasaan. Sumpah serapah tak mau surut dari lidahnya yang jauh
lebih tajam dari pedang mana pun. Aku tak dapat berbuat banyak ketika Citra
ditarik masuk dan dikurung dengan paksa ke dalam kamar olehnya. Sesaat sebelum
aku melangkah pergi, dengan lantang pria bertubuh besar itu mengatakan perihal
pernikahan Citra dengan pemuda pilihannya, yang akan berlangsung tak lama lagi.
Aku pulang dengan suasana hati tak menentu. Bahkan
sampai sekarang masih kuingat dengan jelas, jerit tangis Citra yang tak rela
pernikahan itu terjadi. Ia sama sekali tak mencintai lelaki yang disiapkan sang
ayah untuknya. Bukan materi yang membuatnya bahagia. Ia hanya ingin hidup
bersamaku, yang terlanjur menjalin benang-benang cinta tanpa syarat,
batas...kasta!
"Hei! Kok melamun? Ada apa?"
Gita mengembalikan jiwaku ke tempat yang
semestinya. Beruntung teman lamaku ini tak curiga tentang beban pikiran yang
akhir-akhir ini cukup menggangguku. Beberapa menit yang lalu, Gita memang sengaja
mencari teman mengobrol. Tanpa ragu ia memilihku yang duduk seorang diri di
sini. Ia cukup yakin dengan melihat gerak lakuku, bahwa aku bukanlah seorang
bajingan. Keyakinannya itu tak disangka mempertemukan kami yang telah lama tak
bersua.
Menit demi menit berlalu, kami membicarakan banyak
hal. Wanita ini mudah bergaul, masih sama seperti dulu. Jauh denganku yang
pendiam. Siapa pun yang melihat, pasti mengira kami sedang berpacaran. Tak
terasa, kami pun harus berpisah. Setelah bertukar nomor handphone, aku
segera pamit, meninggalkan kursi lapuk itu, kembali ke kehidupanku sebagai
seorang perantau.
***
Malam itu, Gita menelepon secara mendadak. Apa
yang membuatnya melupakan rasa sungkan hingga membangunkan tidur seseorang?
Bukankah besok hari kerja? Tak mungkin ia mengabaikan segala tanya yang kini
tengah berputar dalam kepalaku. Tak mungkin ia menghubungi seorang teman pria
tanpa alasan yang jelas. Dengan mata yang terasa perih karena mengantuk, aku
berusaha sedapat mungkin menjawab teleponnya.
"Gita, tumben kamu telepon
malam-malam? Ada apa?"
"Rudi, kamu cepat ke rumah sakit malam ini
juga!"
Kudengar suara kecil dari bibir wanita ini
mengabarkan sebuah kesedihan. Ada misteri di sana. Tentang sebab akibat seorang
perempuan mesti mengeluarkan air mata. Berbagai spekulasi pun muncul selama
sepersekian detik. Semua itu kusimpan dalam hati tanpa sedikit pun mampu
mengungkap lewat lisan. Apa gerangan yang membuat Gita tak seperti yang selama
ini kukenal? Setahuku Gita tak semudah itu menangis. Ia termasuk tipe periang
sekaligus keras kepala. Kenapa ia melibatkan 'rumah sakit' dalam pembicaraan
kami ini?
"Gita... Gita! Sebentar. Ada apa ini? Aku tak
mengerti!"
"Sudahlah, Rudi... Kamu cepat ke sini. Ini
tentang Citra!"
Awan gelap yang telah surut dan mati, kini
merangkak naik kembali. Apa yang baru saja Gita ucapkan—nama itu—membuatku
terpasung. Senandung petir yang bersahut-sahutan di langit tanpa hujan, terasa
semakin keras. Tak dapat kuhindari pekiknya yang bahkan sanggup menghancurkan
bangunan terkuat. Buktinya istana yang kami perjuangkan. Puing-puing itu telah
binasa oleh keegoisan pria pemegang kuasa penuh atas kekasih hati.
Aku berlari menembus angin malam. Jalanan ini
seperti tanpa ujung. Bulan pun tak tampak, seolah tak ingin melihat apa yang
akan terjadi nanti. Aku sendiri tak tahu, bagaimana kaki ini terus berlari? Aku
tak peduli lagi pada lolongan serigala kegelapan yang menyimpan nyawa-nyawa
pembunuh di dalamnya untuk memuaskan hasrat duniawi mereka pada gemerincing
rupiah. Malam hari di kota besar Jakarta selalu punya kekejaman. Kupertaruhkan
apa pun demi memastikan apakah Citra baik-baik saja. Segala fragmen tentang
hari berakhirnya hubungan kami pun tak dapat menghentikanku.
Sepanjang perjalanan, aku terus berpikir. Apa yang
menimpa Citra? Kenapa begitu mendadak berita ini datang padaku? Lagipula,
bukankah seharusnya ia berada di Surabaya? Bagaimana ia bisa berada di sini?
Jakarta adalah tempat pelarianku yang ia sendiri tak pernah mengetahuinya.
Sebelumnya, Gita tak pernah membahas tentang wanita yang dulu pernah kucintai
ini. Tapi dari mana Gita tahu keberadaan Citra? Bagaimana mereka bertemu? Apa
yang sesungguhnya terjadi? Malam ini, Gita secara tiba-tiba memberi kabar
mengejutkan. Sungguh semua berada di luar garis kewajaran.
Kini lajuku melemah. Aku berjalan melintasi lorong
pucat di sebuah tempat yang kutuju. Di ujung sana, Gita terpaku seorang diri.
Dapat kurasakan bahwa kehadiranku memberi sedikit ketenangan baginya. Aku tak
tahu apa yang terjadi. Semakin kucoba memposisikan pikiran ke arah yang lebih
baik, semakin lemah tubuh ini melangkah. Seolah raga yang kubawa adalah milik
orang lain.
Sesaat kemudian, seorang dokter keluar dari balik
pintu. Dengan suaranya yang berat, ia bertanya apakah aku keluarga dari seorang
pasien bernama Citra. Spontan lidahku mengiyakan tanpa berpikir lebih jauh
tentang apa yang terjadi pada kami beberapa tahun yang lalu. Semua itu seakan
hilang dari ingatan.
"Maaf, kami sudah berusaha semaksimal
mungkin. Maafkan kami."
Dokter itu menghilang bersama angin. Derap sepatunya
menghantam batinku hingga pecah berkeping-keping. Gita yang berdiri mematung
sejak tadi, kemudian terduduk pasrah di atas bangku panjang. Di sana ia
menangis. Aku sendiri tak kuasa menahan beban tubuhku. Tak lama kemudian, Gita
mengeluarkan sebuah benda. Aku teringat akan sesuatu. Buku harian itu adalah
hadiah ulang tahun untuk Citra dariku. Kado itu kuberi tepat sehari sebelum
kami berpisah.
"Citra yang selama ini menghilang, tiba-tiba
menghubungiku seminggu yang lalu. Sejak itu, kami sering berkomunikasi. Aku tak
tahu mengapa ia terus menerus menangis. Kami pun berjanji untuk bertemu. Citra
menanyakan keadaanmu. Dari akulah ia tahu apa yang selama ini kau kerjakan.
Maaf, aku tak pernah memberimu kabar perihal ini. Diam-diam ia ingin bertemu
denganmu. Tapi... Semua terlambat! Sebuah mobil hilang kendali. Maafkan aku!
Aku tak sempat menariknya!"
Saat itu juga, aku berharap ini semua hanya mimpi
sesaat. Tak ada luka atau tangis yang mengendap terlalu lama dalam hati kami.
Karena begitu terjaga, sedih ini hanya sebuah cerita yang tak berarti.
Sayangnya, apa yang kumau adalah sebuah ketidakmungkinan. Kubuka lembar
terakhir buku harian Citra. Masih kuingat tulisan tangan wanita yang kucintai
itu.
"Rudi, surat ini kutulis untukmu. Kau tahu, sejak kepergianmu, aku merasa hidup ini tak lagi berarti. Pernikahan itu tak pernah membuatku bahagia. Lelaki pilihan Ayah bukanlah suami yang baik. Di awal, dia sudah menunjukkan segala kebusukannya. Secara terang-terangan ia membawa wanita simpanannya ke dalam rumah. Siksaan fisik dan batin tak pernah lepas dariku. Dengan mudahnya lelaki itu melayangkan pukulan ke wajah dan tubuhku. Aku pasrah menerima perlakuan kejamnya. Aku hanya wanita lemah yang tak dapat berbuat banyak untuk melawan. Tak ada celah untuk melarikan diri dari tempat ini. Maka menangis menjadi satu-satunya cara untuk penenang hati dalam melampiaskan sedihku. Ayah tetap keras seperti dulu. Ia selalu menyalahkanku setiap kali kucoba menceritakan yang sesungguhnya. Tak ada yang mengerti apa yang terjadi padaku. Seandainya Ibu masih hidup, pasti ada yang mau mendengar keluh kesahku. Selama ini hanya kau dan Ibu yang selalu kurindukan. Sering dalam tiap doa aku berharap dapat menjalani apa yang dulu pernah kita jalin. Rudi, jika suatu saat nanti aku berhasil menemuimu, kuharap kau sama seperti dulu. Setidaknya itu yang kuinginkan sebelum ajal benar-benar menjemputku."
*Cerpen jadul ini ditulis pada akhir 2012.
Comments
Post a Comment