Skip to main content

[Cerpen]: "Jakarta, Saksi Surat Terakhirmu" karya Ken Hanggara




Senja yang menggantung di langit barat seolah sengaja menepikan diriku jauh dalam lamunan. Ada sepetik harapan yang terselip di sana. Tidaklah mudah untuk diraih namun cukup indah dipandang bagi siapa pun yang tengah kasmaran. Tidaklah tampak berujung karena mata angin pun tiada memihak padaku, juga gadis itu. Tidak juga sesederhana lipatan kain sarung yang melingkar di sekitar leherku yang dekil. Membayangkan hari perpisahan antara kami, tak pernah membuatku merasa sedikit lebih baik. Justru perih itu terulang kembaliberputar dalam mozaik adegan yang tersusun rapi di sela gulungan pita film.

Aku bermain di atas panggung sandiwara sebagai diriku sendiri, dalam kisah yang tak pernah dibuat oleh penulis skenario mana pun selain Tuhan. Kulihat wajahku basah oleh hujan yang kuciptakan sendiri lewat pori-pori gelapku. Peluh sungguh tak mau diajak kompromi. Sekalipun mereka bermukim di raga semalang diriku. Aku sendiri tak percaya. Apakah ini yang disebut mimpi? Kalau memang demikian, mengapa begitu nyata? Seakan sadar, kudengar kemurkaan sosok garang itu membuatku hampir tak mampu mengontrol diri.
"Aku tak sudi menerimamu! Apa kata orang nanti?! Tak tahu diri!"
Gadis yang kukenal beberapa tahun yang lalu, tak lain adalah anak dari pemilik teriakan yang hendak membunuhku ini. Ia tenggelam dalam tangisnya. Rambut panjangnya tak lagi indah. Bukan karena berkurang seribu pesona bidadari darinya. Melainkan awan-awan sedih nan kelabu itu terlanjur menaungi kekasih hatiku ini tanpa mau pergi barang sedetik pun.
Segala pikiran sedih berkecamuk dalam kepalaku. Kalimat pembelaan mulai mendesak dari dalam saluran nafas. Ingin kukatakan bahwa semua itu salah. Aku bukanlah lelaki brengsek yang hendak mengambil keuntungan semata dari lekuk tubuh seorang wanita. Bukan pula berniat mengeruk habis harta yang orangtuanya simpan di balik dinding batu rumah mereka. Terlibat sihir dengan bantuan dukun pun adalah perbuatan dosa. Aku tak mungkin melakukan itu. Kami memang ditakdirkan lahir dari dua golongan kasta yang berbeda dan tak layak untuk bersanding. Ayahnya seperti tak 'kan pernah mencari tahu kabar kebenaran bahwa apa yang kuperjuangan ini murni karena cinta. Hingga tiba waktu di mana benda-benda pecah berserakan di hadapanku. Kalau tak ada beberapa orang tetangga yang peduli, mungkin ragaku telah habis. Lelaki keras itu tak segan mencabut nyawaku tanpa dibayar sekalipun.
"Pemuda yang bergumul dengan sampah berniat ingin menikahi putriku?! Langkahi dulu mayatku!"
Gadis itu menangis sesenggukan. Aku mampu melihatnya meski ia terkurung di dalam kamar oleh keegoisan sang ayah. Bilik baja itulah yang memisahkan kami. Sungguh, tak ada pilihan lain kala itu. Aku mengalah bukan karena salah. Bukan pula karena tak lagi ada rasa itu padanya. Aku pergi karena jalan yang akan kami lalui berhenti sudah. Kebuntuan semacam ini tak 'kan pernah terbuka.
"Dari tadi kulihat kau melamun. Kenapa, Kawan?"
Seorang teman tiba-tiba menyadarkanku. Aku seperti sebuah kepompong yang terdampar di lorong waktu. Baru saja, ingatan pahit seolah terputar kembali. Semua itu membuatku berpikir, apakah ia kini baik-baik saja? Apa pernikahan itu berbuah manis kebahagiaan? Apa lelaki pilihan ayahnya telah sukses menghapus segala kenangan indah bersamaku? Kuharap ia tak menangis seperti terakhir kali kami bertemu untuk berpisah. Memikirkan semua itu, membuatku meninggalkan sejenak dunia yang tengah kujalani.
Aku pulang setelah semua perlengkapan kerja kumasukkan ke dalam tas. Sepertinya waktu selalu berjalan begitu cepat. Tak mau menunggu siapa saja yang rela menenggelamkan diri dalam ingatan lalu. Sejak kami berhenti menjalin hubungan, aku langsung pergi meninggalkan kampung yang menyimpan seribu kisah itu. Aku tak sanggup melihat meski dari jarak terjauh sekalipun; gadis yang kucintai duduk di pelaminan bersama pria lain. Aku takut raga ini tiba-tiba lumpuh lalu mati sia-sia di sana. Aku takut air mata gadis itu membasahi tanah yang pernah kami pijaki bersama. Aku pun takut semua itu membutakan hati hingga kubunuh satu persatu dari mereka yang tak merestui cinta kami. Maka, sesulit apa pun, merantau adalah cara terbaik yang mesti segera kuambil. Perjuangan panjang di kerasnya metropolitan Jakarta, membuatku belajar banyak hal. Kini aku pun sanggup tersenyum meski tak seriang dulu. Pekerjaan di sebuah kantor kecil yang menyediakan jasa travel kulakoni selama dua tahun terakhir. Setidaknya dengan begini, aku mampu menentukan arahku sendiri.
Di dalam sebuah metromini, seorang wanita menegurku. Belum sempat kubalas, ia langsung mengambil tempat di samping kursiku. Aku tak mengenal siapa dia, meski sebagian hati kecilku berkata pernah menemuinya di suatu tempat. Semacam de javu. Ah, tapi apalah peduliku. Toh aku sama sekali tak menemukan tali penghubung masa lalu dengan garis wajah cantik sosok asing ini. Mungkin ia hendak bertanya soal jam. Tapi mengapa harus aku? Mengapa di saat aku ingin menyendiri ia malah dengan seenaknya merusak ketenanganku? Apa tak ada orang lain yang lebih beruntung sehingga memiliki kesempatan mengenal seorang wanita cantik sepertinya? Namun, seberapa besar tingkat kekesalan yang bercampur aduk, aku tetap tersenyum untuk merespon teguran wanita itu.
Detik berikutnya, dugaanku pun salah. Ia tak bertanya soal jam. Melihatku yang pendiam, ia mulai mengamatiku. Diperhatikannya segala yang ada padaku, seperti sedang mencari benda yang telah lama hilang. Aku tak mengerti, apa sebenarnya yang ia inginkan dariku? Sesaat kemudian ia tersenyum. Sorot matanya membuatku meringkuk tak berdaya di sudut jendela.
"Rudi? Kamu Rudi 'kan?"
"Ya, benar. Maaf, Anda siapa?"
"Aku Gita. Masih ingat?"
Aku senang sekaligus shock. Gita tak lain adalah teman sekelas semasa SMA. Wanita ini secara tak langsung memaksaku mengingat kembali kenangan manis yang tak pernah berakhir indah. Sesungguhnya aku tak ingin mengulang semua itu meski dalam benak. Sementara seribu harap yang dulu sempat berkembang, kini sirna sudah. Tak ada secuil pun sisa untuk kubawa. Tapi apalah daya. Betapa tak hanyut lamunanku kembali ke masa itu? Gita-lah satu-satunya orang yang berjuang paling keras untuk rasa cinta yang kupendam pada seorang gadis bernama Citra.
Citra, gadis berambut panjang itu, membuatku tak dapat berpikir jernih. Sebagai bocah kampung yang hidup serba kekurangan, aku merasa berada dalam situasi yang serba salah saat itu. Bisa-bisanya aku menyukai anak seorang pejabat? Padahal aku sendiri hidup sebatang kara dari belas kasihan para pengurus panti asuhan tempatku dibesarkan sejak bernafas di atas bumi. Aku merasa bersalah walau rasa itu tak lebih dari sebuah misteri. Hanya aku dan Tuhan yang tahu.
Hingga suatu saat, waktu yang selama ini diam membeku pun menunjukkan kebenaran. Kudengar kabar bahwa Citra menyimpan rasa yang sama. Aku tak percaya sekaligus takut berita ini hanya bersumber dari orang yang hendak mempermalukanku. Di sinilah peran Gita dimulai. Ia berusaha membujukku untuk menulis surat cinta. Ia juga terus mendorong Citra melakukan hal serupa. Maka lembar-lembar ungkapan rasa pun berlanjut. Entah berapa banyak sudah. Surat-surat yang kutulis tak pernah terlambat mendapat balasan. Mereka tersampaikan seiring dengan semilir angin sejuk yang membelai jiwa, lewat perantara Gita. Telingaku seperti mendengar sebuah bisikan.
"Jangan takut untuk mencintai. Karena cinta itu sendiri tak pernah menuntut banyak. Hanya kejujuran, setia, dan saling memahami. Itu saja. Tak ada siapa pun yang berhak menentukan kepada siapa kita boleh mencinta. Tak ada sama sekali. Kasta dan harta hanyalah dua dari sekian banyak penguji kesungguhan."
Sejak itulah kami berpacaran. Perbedaan status sosial tak jarang membawa kami dalam berbagai kesulitan. Kami harus lari dari kejaran para pengintai yang hendak merusak segalanya. Kami harus bersembunyi di balik tumpukan jerami, berusaha menjelma menjadi batangan jarum agar tiada seorang pun dari anak buah Tuan Ranoayah Citrayang dapat menemukan kami. Bahkan mungkin jika nafas ini dapat tertunda, kami tak segan mengubur diri selama beberapa musim, demi mempertahankan cinta yang berjalan tanpa restu ini.
Lima tahun berlalu, cinta kami sendiri kian teguh. Aku berniat melamar Citra yang kala itu baru saja menyelesaikan pendidikan di sebuah universitas ternama di Surabaya. Aku sendiri tak pernah merasakan bangku kuliah. Kerja serabutan di kampung kujalani sejak menerima ijazah SMA. Meski begitu, tak ada sedikit pun sangsi di mata Citra. Ia telah siap menjadi pendamping hidupku. Ia pun siap berjuang bersamaku demi cinta kami. Semua tampak begitu sempurna saat kami berdua membicarakan ini di sebuah tempat, di mana sinar rembulan tak ragu membelai bumi. Namun mendadak, senyum gadis itu pudar. Tuan Rano tak semudah itu melunakkan tangannya yang sekeras besi. Maka, kubisikkan padanya kata-kata yang selama ini kusimpan, tanpa sadar bahwa itulah saat terakhir kami bersama.
"Malam ini juga, kita menghadap ayahmu. Aku melamarmu malam ini juga. Percayalah, Sayang. Semua akan baik-baik saja."
Dan, terjadilah apa yang seringkali mengganggu pekerjaanku di sebuah tempat yang jauh di ibukota. Ingatan pahit tentang penolakan Tuan Rano sepertinya tak mau pergi dari laci memoriku. Pria kejam itu mengusirku tanpa perasaan. Sumpah serapah tak mau surut dari lidahnya yang jauh lebih tajam dari pedang mana pun. Aku tak dapat berbuat banyak ketika Citra ditarik masuk dan dikurung dengan paksa ke dalam kamar olehnya. Sesaat sebelum aku melangkah pergi, dengan lantang pria bertubuh besar itu mengatakan perihal pernikahan Citra dengan pemuda pilihannya, yang akan berlangsung tak lama lagi.
Aku pulang dengan suasana hati tak menentu. Bahkan sampai sekarang masih kuingat dengan jelas, jerit tangis Citra yang tak rela pernikahan itu terjadi. Ia sama sekali tak mencintai lelaki yang disiapkan sang ayah untuknya. Bukan materi yang membuatnya bahagia. Ia hanya ingin hidup bersamaku, yang terlanjur menjalin benang-benang cinta tanpa syarat, batas...kasta!
"Hei! Kok melamun? Ada apa?"
Gita mengembalikan jiwaku ke tempat yang semestinya. Beruntung teman lamaku ini tak curiga tentang beban pikiran yang akhir-akhir ini cukup menggangguku. Beberapa menit yang lalu, Gita memang sengaja mencari teman mengobrol. Tanpa ragu ia memilihku yang duduk seorang diri di sini. Ia cukup yakin dengan melihat gerak lakuku, bahwa aku bukanlah seorang bajingan. Keyakinannya itu tak disangka mempertemukan kami yang telah lama tak bersua.
Menit demi menit berlalu, kami membicarakan banyak hal. Wanita ini mudah bergaul, masih sama seperti dulu. Jauh denganku yang pendiam. Siapa pun yang melihat, pasti mengira kami sedang berpacaran. Tak terasa, kami pun harus berpisah. Setelah bertukar nomor handphone, aku segera pamit, meninggalkan kursi lapuk itu, kembali ke kehidupanku sebagai seorang perantau.
***
Malam itu, Gita menelepon secara mendadak. Apa yang membuatnya melupakan rasa sungkan hingga membangunkan tidur seseorang? Bukankah besok hari kerja? Tak mungkin ia mengabaikan segala tanya yang kini tengah berputar dalam kepalaku. Tak mungkin ia menghubungi seorang teman pria tanpa alasan yang jelas. Dengan mata yang terasa perih karena mengantuk, aku berusaha sedapat mungkin menjawab teleponnya.
"Gita, tumben kamu telepon malam-malam? Ada apa?"
"Rudi, kamu cepat ke rumah sakit malam ini juga!"
Kudengar suara kecil dari bibir wanita ini mengabarkan sebuah kesedihan. Ada misteri di sana. Tentang sebab akibat seorang perempuan mesti mengeluarkan air mata. Berbagai spekulasi pun muncul selama sepersekian detik. Semua itu kusimpan dalam hati tanpa sedikit pun mampu mengungkap lewat lisan. Apa gerangan yang membuat Gita tak seperti yang selama ini kukenal? Setahuku Gita tak semudah itu menangis. Ia termasuk tipe periang sekaligus keras kepala. Kenapa ia melibatkan 'rumah sakit' dalam pembicaraan kami ini?
"Gita... Gita! Sebentar. Ada apa ini? Aku tak mengerti!"
"Sudahlah, Rudi... Kamu cepat ke sini. Ini tentang Citra!"
Awan gelap yang telah surut dan mati, kini merangkak naik kembali. Apa yang baru saja Gita ucapkannama itumembuatku terpasung. Senandung petir yang bersahut-sahutan di langit tanpa hujan, terasa semakin keras. Tak dapat kuhindari pekiknya yang bahkan sanggup menghancurkan bangunan terkuat. Buktinya istana yang kami perjuangkan. Puing-puing itu telah binasa oleh keegoisan pria pemegang kuasa penuh atas kekasih hati.
Aku berlari menembus angin malam. Jalanan ini seperti tanpa ujung. Bulan pun tak tampak, seolah tak ingin melihat apa yang akan terjadi nanti. Aku sendiri tak tahu, bagaimana kaki ini terus berlari? Aku tak peduli lagi pada lolongan serigala kegelapan yang menyimpan nyawa-nyawa pembunuh di dalamnya untuk memuaskan hasrat duniawi mereka pada gemerincing rupiah. Malam hari di kota besar Jakarta selalu punya kekejaman. Kupertaruhkan apa pun demi memastikan apakah Citra baik-baik saja. Segala fragmen tentang hari berakhirnya hubungan kami pun tak dapat menghentikanku.
Sepanjang perjalanan, aku terus berpikir. Apa yang menimpa Citra? Kenapa begitu mendadak berita ini datang padaku? Lagipula, bukankah seharusnya ia berada di Surabaya? Bagaimana ia bisa berada di sini? Jakarta adalah tempat pelarianku yang ia sendiri tak pernah mengetahuinya. Sebelumnya, Gita tak pernah membahas tentang wanita yang dulu pernah kucintai ini. Tapi dari mana Gita tahu keberadaan Citra? Bagaimana mereka bertemu? Apa yang sesungguhnya terjadi? Malam ini, Gita secara tiba-tiba memberi kabar mengejutkan. Sungguh semua berada di luar garis kewajaran.
Kini lajuku melemah. Aku berjalan melintasi lorong pucat di sebuah tempat yang kutuju. Di ujung sana, Gita terpaku seorang diri. Dapat kurasakan bahwa kehadiranku memberi sedikit ketenangan baginya. Aku tak tahu apa yang terjadi. Semakin kucoba memposisikan pikiran ke arah yang lebih baik, semakin lemah tubuh ini melangkah. Seolah raga yang kubawa adalah milik orang lain.
Sesaat kemudian, seorang dokter keluar dari balik pintu. Dengan suaranya yang berat, ia bertanya apakah aku keluarga dari seorang pasien bernama Citra. Spontan lidahku mengiyakan tanpa berpikir lebih jauh tentang apa yang terjadi pada kami beberapa tahun yang lalu. Semua itu seakan hilang dari ingatan.
"Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Maafkan kami."
Dokter itu menghilang bersama angin. Derap sepatunya menghantam batinku hingga pecah berkeping-keping. Gita yang berdiri mematung sejak tadi, kemudian terduduk pasrah di atas bangku panjang. Di sana ia menangis. Aku sendiri tak kuasa menahan beban tubuhku. Tak lama kemudian, Gita mengeluarkan sebuah benda. Aku teringat akan sesuatu. Buku harian itu adalah hadiah ulang tahun untuk Citra dariku. Kado itu kuberi tepat sehari sebelum kami berpisah.
"Citra yang selama ini menghilang, tiba-tiba menghubungiku seminggu yang lalu. Sejak itu, kami sering berkomunikasi. Aku tak tahu mengapa ia terus menerus menangis. Kami pun berjanji untuk bertemu. Citra menanyakan keadaanmu. Dari akulah ia tahu apa yang selama ini kau kerjakan. Maaf, aku tak pernah memberimu kabar perihal ini. Diam-diam ia ingin bertemu denganmu. Tapi... Semua terlambat! Sebuah mobil hilang kendali. Maafkan aku! Aku tak sempat menariknya!"
Saat itu juga, aku berharap ini semua hanya mimpi sesaat. Tak ada luka atau tangis yang mengendap terlalu lama dalam hati kami. Karena begitu terjaga, sedih ini hanya sebuah cerita yang tak berarti. Sayangnya, apa yang kumau adalah sebuah ketidakmungkinan. Kubuka lembar terakhir buku harian Citra. Masih kuingat tulisan tangan wanita yang kucintai itu.

"Rudi, surat ini kutulis untukmu. Kau tahu, sejak kepergianmu, aku merasa hidup ini tak lagi berarti. Pernikahan itu tak pernah membuatku bahagia. Lelaki pilihan Ayah bukanlah suami yang baik. Di awal, dia sudah menunjukkan segala kebusukannya. Secara terang-terangan ia membawa wanita simpanannya ke dalam rumah. Siksaan fisik dan batin tak pernah lepas dariku. Dengan mudahnya lelaki itu melayangkan pukulan ke wajah dan tubuhku. Aku pasrah menerima perlakuan kejamnya. Aku hanya wanita lemah yang tak dapat berbuat banyak untuk melawan. Tak ada celah untuk melarikan diri dari tempat ini. Maka menangis menjadi satu-satunya cara untuk penenang hati dalam melampiaskan sedihku. Ayah tetap keras seperti dulu. Ia selalu menyalahkanku setiap kali kucoba menceritakan yang sesungguhnya. Tak ada yang mengerti apa yang terjadi padaku. Seandainya Ibu masih hidup, pasti ada yang mau mendengar keluh kesahku. Selama ini hanya kau dan Ibu yang selalu kurindukan. Sering dalam tiap doa aku berharap dapat menjalani apa yang dulu pernah kita jalin. Rudi, jika suatu saat nanti aku berhasil menemuimu, kuharap kau sama seperti dulu. Setidaknya itu yang kuinginkan sebelum ajal benar-benar menjemputku."

*Cerpen jadul ini ditulis pada akhir 2012.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri