Skip to main content

[Cerpen]: "Diorama Botol Bernyawa Satu" - kolaborasi Ken Hanggara dengan Ma'arifa Akasyah




#1      Perabotan magnalium telah siap membawa tubuh kuning mudaku ke tanah impian. Kuhirup komplementer segar di sela jemariku yang merendah suhunya. Kukembangkan bibir yang tak kumengerti harus meletakkan titik tengahnya dengan elevasi atau depresi. Raut Flo, sahabat terbaik yang akan segera kutinggal bersama asakku di bumi pertiwi, menampakkan guratan dahi di atas matanya yang sembab. Berkali-kali ia memelukku tanpa kata.

Semenjak perkenalan kecil yang merambah kecintaan kami pada dunia chemistry, Flo dan aku mengakrabkan diri membentuk kesatuan makna, asam florida. Aku, Aisyah, lebih sering dipanggilnya dengan Aci, diberikan gelar sebagai acid (asam). Sedangkan, aku menyematkan unsur flor untuknya sebagai perimbangan. Asam dan flor telah bereaksi membentuk asam florida dengan ikatan hidrogen yang teramat kuat. Inilah sebab Flo sebegitu enggan melepasku.

#2        “Kau masih baik-baik saja, bukan?” kalimat singkat itu muncul sebelum aku mengabarkan keberadaanku yang baru lima menit ini di Florida.
            “Kau cemas berlebihan. Hati-hati jika kau pernah mencicipi narkoba,” seruku diiringi tawa yang terpecah lepas.
            “Berapa lama lagi kau akan disana?” lanjutnya mulai parau. Aku menghela napas dan tak menjawabnya dengan pasti. Sama sekali tak menginginkan ia menjatuhkan benih koloid tanpa penglihatanku setelah tak membalas tawa kerasku padanya. Segera kututup line menepikan diri dari pertanyaannya.

#3        “Tahukah kau tentang arti kesepian? Ialah rasa yang menghujam partikel tubuhku saat ini dan hendak melepas segala oksigenku. Sedangkan, seperti yang kautahu bahwa unsur flor hanya bisa dioksidasi oleh hidrogen. Datanglah kembali dalam janjimu, asam. Aku menunggumu di sebuah botol plastik untuk kita saling berbagi cerita,” pekiknya di satu pergantian malamku. Seketika, rindu itu menguap dan buihnya mengkristal.
            “Aku menginginkanmu untuk mengetahuinya pula bahwa aku pun tak jauh berbeda, Flo.”

#4        Kami bersitegang dalam pertukaran kata, tentu saja lewat satu-satunya penghubung antara kita. Dinampakkannya kekesalan saat aku lebih sering tidak memberadakan diri untuknya dan sebuah timpal balik yang sama darinya. Sesekali aku mengalihkan perhatian berharap apinya akan segera mengecil. Sebagai asam yang memberinya muatan positif, aku harus bisa bersikap lebih tenang ketimbang para elektronnya yang meletup kontinu. Kendati begitu, muatan negatifnyalah yang mampu menetralkan ketidakseimbanganku.
            Berdesir para memoar aksi-reaksi yang selalu tercipta dan berada di ambang kegagalan. Apakah kali ini Florida akan menelan segala keberhasilan azas black?

#5        Dalam kondisi tak menentu, sementara kucoba menghubungi Flo, kuputar kembali kenangan masa lalu kami. Masih jelas tersimpan detik itu, di mana kutemukan diriku untuk pertama kalinya berada dalam botol yang sama dengannya--saling bereaksi satu sama lain. Seperti yang memang seharusnya terjadi, kami saling melengkapi. Namun kenyataan pahit akan kepergianku ke negeri orang, membuat Flo perlahan menjauh seiring hela nafas yang kubawa bersama lembar-lembar angka di bangku kuliahku.

#6 Ia mengabaikan panggilan hatiku, satu hasrat dalam sebuah keterikatan antara kami. Aku takut. Takut Flo benar-benar pergi dari hidupku. Betapa tidak? Jarak yang memisahkan kita justru membuat segalanya semakin sesak, sempit. Tubuh berada dalam himpitan dinding besi tak berperasaan. Apalah daya, aku hanya bisa terdiam. Usaha membujuknya takkan mudah.

#7 Sendiri. Aku mulai membiasakan diri dengan hal ini. Flor, yang telah lama menjalin ikatan hidrogen denganku, yakni ikatan persahabatan yang kokoh--bahkan kepalan tangan sebesar gunung saja takkan sanggup merobohkannya--kini lepas. Entah dengan siapa ia bereaksi, yang pasti tidak denganku, hidrogen. Apakah mungkin flor muak dengan hidrogen? Hingga baginya segala hukum aksi reaksi antara kami takkan dapat terjadi seperti dulu lagi? Aku tak tahu.
"Berpikirlah, sekali lagi kukatakan ini padamu. Sungguh, aku tak lebih kuat dari sebatang lidi jika berjalan sendiri tanpamu. Tapi, apa yang kudapat? Sahabat terbaik yang dulu saling mengisi, kini hanya akan menjadi sebuah kenangan belaka!"
Kata-kata terakhir yang Flo ucap melalui telepon, terasa menyengat aliran darah dalam telinga. Meski tubuh berada di negeri yang jauh dari tempat kami bersama dulu--rasanya jiwaku seakan terhempas dalam cawan kosong seorang diri.
"Flo, bukan mauku seperti ini..."

#8 "Keputusanku sudah bulat. Tolong, jangan hentikan aku..."
"Dengar, semua akan baik-baik saja. Kurasa kau terlalu gegabah. Ini demi masa depanmu"
Katya, sahabat baru yang kukenal saat pertama kali menginjakkan kaki di Florida, mencoba menyuruhku berpikir logis. Apa lagi? Setelah hampa yang semakin lama semakin membuatku sesak dalam malam tanpa ujung karena kehilangan flor-ku, apa lagi yang mesti kupertahankan? Kuputuskan pergi meninggalkan kota ini, pulang.
Sejak isak tangis Flo yang kudengar bersamaan dengan kalimat sarat emosi yang ia tujukan padaku, kurasa hidupku tak berarti lagi. Florida, tempatku menjalin mimpi-mimpi lama, juga tempat yang kutuju sebagai langkah awal masa depanku, justru berperan menjadi pemisah antara aku dan Flo. Aku tak tahu apa ia bisa menjalin sebuah ikatan kuat seperti yang dulu kami lakukan--dengan orang lain.

#9 "Tahukah kau bahwa apa yang selama ini kau rasakan--tentang ketidakstabilan, juga tentang rasa gelisah yang kian memburu--juga kurasakan?"
Bibir kecilku membuka pembicaraan. Tak ada sesuatu pun yang lebih berharga dari persahabatan kami berdua. Mungkin hanya kami sendiri yang dapat merasakan chemistry ini, bukan orang lain.
"Aku tahu..."
Kulihat Flo, wajahnya seindah bunga matahari yang terjamah lembut embun pagi bersama bias pancaran surya. Waktu yang memisahkan kami cukup lama, tak sanggup mengubah siapa dirinya. Begitu juga aku. Kami masih sama seperti dulu, aku adalah asam, dan dialah flor.
Tempo hari, sesaat sebelum kutinggalkan kota impianku, kudapati tangan dan kakiku bergetar hebat. Flo hadir dengan garis bening di sepanjang pipinya, seakan mengabarkan betapa ia tak sanggup melepasku.
Saat itu juga kusadari kesalahan besar yang telah kuperbuat. Kesalahan yang mengandung kebodohan. Bersyukur aku tak harus menyesalinya seumur hidup, karena kami kembali. Senyum Flo mengisyaratkan bahwa tak ada satu sosok pengganti diriku yang tepat untuknya--sebuah penyeimbang yang terjaga dalam kesetiaan.
SELESAI

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri