#1 Perabotan magnalium telah siap membawa
tubuh kuning mudaku ke tanah impian. Kuhirup komplementer segar di sela
jemariku yang merendah suhunya. Kukembangkan bibir yang tak kumengerti harus
meletakkan titik tengahnya dengan elevasi atau depresi. Raut Flo, sahabat
terbaik yang akan segera kutinggal bersama asakku di bumi pertiwi, menampakkan
guratan dahi di atas matanya yang sembab. Berkali-kali ia memelukku tanpa kata.
Semenjak
perkenalan kecil yang merambah kecintaan kami pada dunia chemistry, Flo dan aku mengakrabkan diri membentuk kesatuan makna,
asam florida. Aku, Aisyah, lebih sering dipanggilnya dengan Aci, diberikan
gelar sebagai acid (asam). Sedangkan, aku menyematkan unsur flor untuknya
sebagai perimbangan. Asam dan flor telah bereaksi membentuk asam florida dengan
ikatan hidrogen yang teramat kuat. Inilah sebab Flo sebegitu enggan melepasku.
#2 “Kau masih baik-baik saja, bukan?”
kalimat singkat itu muncul sebelum aku mengabarkan keberadaanku yang baru lima
menit ini di Florida.
“Kau cemas berlebihan. Hati-hati
jika kau pernah mencicipi narkoba,”
seruku diiringi tawa yang terpecah lepas.
“Berapa lama lagi kau akan disana?”
lanjutnya mulai parau. Aku menghela napas dan tak menjawabnya dengan pasti.
Sama sekali tak menginginkan ia menjatuhkan benih koloid tanpa penglihatanku
setelah tak membalas tawa kerasku padanya. Segera kututup line menepikan diri dari pertanyaannya.
#3 “Tahukah kau tentang arti kesepian?
Ialah rasa yang menghujam partikel tubuhku saat ini dan hendak melepas segala
oksigenku. Sedangkan, seperti yang kautahu bahwa unsur flor hanya bisa
dioksidasi oleh hidrogen. Datanglah kembali dalam janjimu, asam. Aku menunggumu
di sebuah botol plastik untuk kita saling berbagi cerita,” pekiknya di satu
pergantian malamku. Seketika, rindu itu menguap dan buihnya mengkristal.
“Aku menginginkanmu untuk
mengetahuinya pula bahwa aku pun tak jauh berbeda, Flo.”
#4 Kami bersitegang dalam pertukaran kata,
tentu saja lewat satu-satunya penghubung antara kita. Dinampakkannya kekesalan
saat aku lebih sering tidak memberadakan diri untuknya dan sebuah timpal balik
yang sama darinya. Sesekali aku mengalihkan perhatian berharap apinya akan
segera mengecil. Sebagai asam yang memberinya muatan positif, aku harus bisa
bersikap lebih tenang ketimbang para
elektronnya yang meletup kontinu. Kendati begitu, muatan negatifnyalah yang
mampu menetralkan ketidakseimbanganku.
Berdesir para memoar aksi-reaksi
yang selalu tercipta dan berada di ambang kegagalan. Apakah kali ini Florida
akan menelan segala keberhasilan azas black?
#5 Dalam kondisi tak menentu,
sementara kucoba menghubungi Flo, kuputar kembali kenangan masa lalu kami.
Masih jelas tersimpan detik itu, di mana kutemukan diriku untuk pertama kalinya
berada dalam botol yang sama dengannya--saling bereaksi satu sama lain. Seperti
yang memang seharusnya terjadi, kami saling melengkapi. Namun kenyataan pahit
akan kepergianku ke negeri orang, membuat Flo perlahan menjauh seiring hela
nafas yang kubawa bersama lembar-lembar angka di bangku kuliahku.
#6 Ia mengabaikan panggilan hatiku, satu
hasrat dalam sebuah keterikatan antara kami. Aku takut. Takut Flo benar-benar
pergi dari hidupku. Betapa tidak? Jarak yang memisahkan kita justru membuat
segalanya semakin sesak, sempit. Tubuh berada dalam himpitan dinding besi tak
berperasaan. Apalah daya, aku hanya bisa terdiam. Usaha membujuknya takkan
mudah.
#7 Sendiri. Aku mulai membiasakan diri
dengan hal ini. Flor, yang telah lama menjalin ikatan hidrogen denganku, yakni
ikatan persahabatan yang kokoh--bahkan kepalan tangan sebesar gunung saja
takkan sanggup merobohkannya--kini lepas. Entah dengan siapa ia bereaksi, yang
pasti tidak denganku, hidrogen. Apakah mungkin flor muak dengan hidrogen?
Hingga baginya segala hukum aksi reaksi antara kami takkan dapat terjadi
seperti dulu lagi? Aku tak tahu.
"Berpikirlah, sekali lagi kukatakan
ini padamu. Sungguh, aku tak lebih kuat dari sebatang lidi jika berjalan
sendiri tanpamu. Tapi, apa yang kudapat? Sahabat terbaik yang dulu saling
mengisi, kini hanya akan menjadi sebuah kenangan belaka!"
Kata-kata terakhir yang Flo ucap melalui
telepon, terasa menyengat aliran darah dalam telinga. Meski tubuh berada di
negeri yang jauh dari tempat kami bersama dulu--rasanya jiwaku seakan terhempas
dalam cawan kosong seorang diri.
"Flo, bukan mauku seperti
ini..."
#8 "Keputusanku sudah bulat.
Tolong, jangan hentikan aku..."
"Dengar, semua akan baik-baik saja.
Kurasa kau terlalu gegabah. Ini demi masa depanmu"
Katya, sahabat baru yang kukenal saat
pertama kali menginjakkan kaki di Florida, mencoba menyuruhku berpikir logis.
Apa lagi? Setelah hampa yang semakin lama semakin membuatku sesak dalam malam
tanpa ujung karena kehilangan flor-ku, apa lagi yang mesti kupertahankan?
Kuputuskan pergi meninggalkan kota ini, pulang.
Sejak isak tangis Flo yang kudengar
bersamaan dengan kalimat sarat emosi yang ia tujukan padaku, kurasa hidupku tak
berarti lagi. Florida, tempatku menjalin mimpi-mimpi lama, juga tempat yang
kutuju sebagai langkah awal masa depanku, justru berperan menjadi pemisah
antara aku dan Flo. Aku tak tahu apa ia bisa menjalin sebuah ikatan kuat
seperti yang dulu kami lakukan--dengan orang lain.
#9 "Tahukah kau bahwa apa yang
selama ini kau rasakan--tentang ketidakstabilan, juga tentang rasa gelisah yang
kian memburu--juga kurasakan?"
Bibir kecilku membuka pembicaraan. Tak
ada sesuatu pun yang lebih berharga dari persahabatan kami berdua. Mungkin
hanya kami sendiri yang dapat merasakan chemistry ini, bukan orang lain.
"Aku tahu..."
Kulihat Flo, wajahnya seindah bunga
matahari yang terjamah lembut embun pagi bersama bias pancaran surya. Waktu
yang memisahkan kami cukup lama, tak sanggup mengubah siapa dirinya. Begitu
juga aku. Kami masih sama seperti dulu, aku adalah asam, dan dialah flor.
Tempo hari, sesaat sebelum kutinggalkan
kota impianku, kudapati tangan dan kakiku bergetar hebat. Flo hadir dengan
garis bening di sepanjang pipinya, seakan mengabarkan betapa ia tak sanggup
melepasku.
Saat itu juga kusadari kesalahan besar
yang telah kuperbuat. Kesalahan yang mengandung kebodohan. Bersyukur aku tak
harus menyesalinya seumur hidup, karena kami kembali. Senyum Flo mengisyaratkan
bahwa tak ada satu sosok pengganti diriku yang tepat untuknya--sebuah
penyeimbang yang terjaga dalam kesetiaan.
SELESAI
Comments
Post a Comment