Skip to main content

Agar Minus Tak Lagi Menangis: Proses Kreatif Buku Kumpulan Cerpen "Minus Menangis"

    Saya punya dua analogi dalam menulis. Bagi saya ide itu bagaikan batu. Sedangkan karya, ibarat rumah. Batu tidak mempunyai arti bila ia tetap diam dalam keberadaannya. Sedang tanpa batu, rumah tidak akan berdiri. Jadi, "sebongkah batu" memberi arti bila kita menjadikan ia pondasi "rumah" yang akan dibangun.
    Bagaimana caranya agar "rumah" itu selesai? Bagaimana pula agar tidak kekurangan "batu"? Pertanyaan ini dapat terjawab jika kita benar-benar menginginkan "rumah". Mau tidak mau, segala upaya dilakukan. Semakin keras, semakin jelas menunjukkan seberapa serius kita ingin memiliki "rumah". Dengan pemikiran semacam inilah, saya mampu mengatasi kebuntuan dalam mengembangkan ide. Saya tanamkan di alam bawah sadar, bahwa: "Aku tidak berhenti sampai rumah ini selesai!"
    Metode menulis ini saya sebut dengan metode "Rumah Batu". Mungkin aneh. Tapi setidaknya dengan begini; "menanam pemahaman bahwa tulisan layaknya rumah", saya merasa termotivasi untuk terus menerobos kebuntuan dalam menulis.
    Salah satu buktinya saat saya menulis kumpulan cerpen "Minus Menangis". Buku ini tak jauh berbeda dari dua buku sebelumnya (jika dilihat dari proses pembuatannya). Saya selalu menerapkan metode di atas. Di beberapa kesempatan, kebuntuan dalam menulis pasti terjadi. Tidak ada penulis yang tidak mengalaminya. Namun, dengan metode tersebut, saya terdorong untuk berpikir kreatif.

    Awalnya, "Minus Menangis" sama sekali tak terbayang di pikiran. Bahkan saya tak berniat menulis buku ini. Suatu pagi di akhir Mei 2013, saya dan keluarga berlibur ke Malanb. Rencananya hari itu kami ke pantai. Sebenarnya pantai bukan tempat favorit saya. Apalagi pantai tujuan kami--menurut saya--tidak istimewa; Pantai Balekambang. Bukan karena kurang bagus, melainkan saya sendiri sering bosan dengan pemandangan pantai yang itu-itu saja. Saya lebih senang wisata alam di air terjun atau gunung. Kala itu, lubuk hati saya berbisik: "Bersenang-senanglah, apa pun yang terjadi!" Dan saya pun patuh. Apa salahnya bersenang-senang?
    Saya sempat menduga tidak ada ide menarik hari itu. Namun dugaan itu salah. Ide bagus justru datang saat mobil yang kami tumpangi melaju di kawasan yang tak jauh dari pantai. Di tepi jalan, saya melihat seorang kakek berbaju lusuh tengah berjalan sambil memikul sapu. Apa yang dia lakukan, batin saya. Sejak dulu saya tertarik dengan kehidupan pedesaan. Melihat segala yang berkaitan dengan itu, saya merasa ada yang melempar kepala ini dengan batu. Segeralah setelah kakek itu menghilang, saya catat "sebongkah batu" yang saya dapatkan pagi itu dalam buku catatan.
    Beberapa hari setelahnya, sore hari pada 3 Juni 2013, saya menulis cerpen. Semangat saya menggebu-gebu. Tiga bulan tak menulis cerpen, rasanya hampa. Namun saya merasa pusing. Entah kenapa menulis cerpen menjadi tidak selancar sebelumnya. Saya berhenti di beberapa bagian, berpikir keras, mengutak-atik, mengolah satu per satu kalimat, berdiri, berjalan keliling ruangan, untuk kemudian kembali melanjutkan menulis.
    Dalam waktu kurang lebih 3 jam, dengan susah payah, akhirnya selesailah cerpen berjudul "Telanjang". Inspirasinya dari kakek pemikul sapu tadi. Cerpen itu bercerita tentang kejiwaan lelaki miskin yang dikhianati banyak orang, bahkan oleh bangsanya sendiri. Senang setelah tiga bulan tak sekali pun menulis cerpen, rindu ini terobati. Di waktu yang bersamaan, perut saya sakit. Sudah sejak siang tidak makan. Lambung terasa sangat perih. Ingin rasanya segera menutup netbook dan mengisi perut dengan nasi.
    Tetapi, sesuatu tiba-tiba datang membisiki saya, pelan, pelan sekali: "Kenapa ide ini tidak dibuat jadi buku?" Benar juga. Ide ini istimewa. Sayang sekali kalau hanya sebatas menjadi cerpen. Rasa lapar pun musnah. Perut tidak lagi sakit. Dengan penuh semangat, saya rapikan cerpen itu dari kesalahan ketik, sembari membayangkan seperti apa buku yang masih dalam tahap rencana ini. Saya rela menunda makan demi tidak kehilangan ilham yang baru saja mampir.
    Pada detik itu saya melihat usaha menulis cerpen ini sebagai peletakan "batu" pertama dalam pembangunan "rumah" yang saya mau. Diam-diam saya bersyukur kami ke pantai. Sebab, boleh jadi ide yang didapat jauh berbeda dan tidak semenarik kakek pemikul sapu tadi, andaipun kami ke gunung. Sebatang sapu itu memberi saya pelajaran, bahwa dari sapulah, seseorang bisa membuat sesuatu yang kotor menjadi bersih. Dengan sapulah, seseorang bisa mengubah sesuatu yang buruk menjadi lebih baik.
     Tidaklah sulit menentukan benang merah buku ini. Sebab, itu telah tersimpan di balik setiap paragraf dalam cerpen "Telanjang" yang baru saja selesai. Saya ingin menulis tentang sisi kelam Indonesia. Korupsi yang merajalela, keadilan yang diperjualbelikan, pendidikan dan layanan kesehatan yang seolah bukan untuk mereka yang tak mampu, serta banyak lagi kekacauan. Semua itu membuat semangat saya berkobar. Dengan cara inilah saya bisa menyuarakan keprihatinan saya atas segala persoalan itu.
    Sore itu juga saya memberi deadline untuk diri sendiri, bahwa pada hari ulang tahun saya yang ke-22 (21 Juni 2013), buku itu sudah harus selesai. Itu artinya, saya hanya punya waktu tidak kurang dari 18 hari.
    Sepertinya tidak mungkin. Menulis buku dalam waktu sesingkat itu belum pernah saya lakukan. Dua buku saya yang telah terbit sebelumnya ditulis selama 40 hari. Walau keduanya ditulis secara bersamaan, setidaknya sudah ada persiapan sebelumnya. Ide-ide yang terserak telah lebih dulu saya catat. Nah, ini? Kali ini saya tidak memiliki persiapan apa-apa, selain "sebongkah batu" yang saya pungut dalam perjalanan menuju pantai!
    Jelaslah, dengan deadline tadi, saya justru menciptakan tekanan untuk diri sendiri. Anehnya, keadaan ini malah memancing saya untuk lebih kreatif mencari ide-ide baru, serta memuaskan hasrat bereksperimen lewat tulisan. Saya sengaja membuang waktu istirahat dan "bersenang-senang" saya, lalu menggantikannya dengan hanya menulis saja. Jika teman-teman berkumpul, saya asyik menulis. Jika teman-teman menonton film, saya masih menulis. Dan jika teman-teman tidur, kadang-kadang saya masih menulis.
    Dalam sehari, saya jadwalkan minimal 3 jam waktu menulis, atau bahkan lebih bila memungkinkan (dengan waktu yang terbagi, tidak sekaligus). Saya tidak menunggu kapan waktu terbaik untuk menulis (bagi sebagian penulis disebut dengan mood atau golden moment), karena jadwal menulis saya tertempel di meja belajar, dan saya tidak mau "mengkhianatinya". Saya bertekad dalam satu hari setidaknya harus menyelesaikan satu atau dua judul cerpen. Saya tidak tahu cerpen-cerpen seperti apa yang akan saya tulis nanti. Saya hanya meletakkan dalam kepala; gambar-gambar imajiner berisi penderitaan bangsa ini, sebagai benang merah dari buku yang akan saya tulis.
    "Kalau kau ingin rumahmu cepat selesai, cari potongan-potongan batu berikutnya, agar pondasi, dinding, dan atapmu berdiri. Jangan bermalas-malasan!" bisik saya pada diri sendiri.
    Metode "Rumah Batu"—sebutan dua analogi yang saya ciptakan tadi—kembali saya jalani. Berkali-kali kebuntuan saya alami, namun berkali-kali pula saya bangkit, karena waktu menuju tanggal 21 Juni 2013 semakin dekat. Dengan adanya tekanan dan motivasi hasil rekayasa otak saya itu, beruntung, segala hal yang saya lihat, dengar, dan pikirkan, bermetamorfosis menjadi bermacam ide cerpen.
    Perjalanan mencari ide salah satunya dengan mengakses berita dari televisi maupun internet. Tak jarang ide-ide segar saya dapat ketika tengah asyik menonton film sebelum tidur. Dua hal di atas menyimpan banyak ide. Ada pula beberapa ide yang saya dapat lewat "perjumpaan tak terduga", seperti perjumpaan saya dengan kakek pemikul sapu. Dan sisanya, beberapa ide didapat dari masa lalu saya.
    Tantangan lain yang saya hadapi adalah dari datangnya ide-ide itu. Oleh karena ide datang semau-maunya, saya mempersiapkan diri sedapat mungkin agar ide-ide baru tidak lantas terabaikan. Maka, beginilah jadinya: jika dalam satu hari ada dua ide yang muncul, setidaknya saya harus mewujudkan salah satu atau bahkan dua-duanya dalam bentuk cerpen. Jika dalam satu hari ada lebih dari dua ide muncul, saya buat antrean sederhana untuk ide-ide itu (ide berikutnya ditulis keesokan harinya). Dan jika dalam satu hari itu tidak ada ide sama sekali, saya akan menulis tanpa tahu apa yang akan saya tulis.
    Yang terakhir mungkin aneh. Tapi begitulah adanya. Justru dari tidak adanya ide, saya menulis bebas sesuai dengan apa yang saya bayangkan saat itu juga, malah dengan sendirinya ide datang di tengah proses. Dan alhamdulillah saya berhasil melakukannya sampai beberapa kali.
    Cerpen-cerpen yang diawali dengan "tanpa ide" itu adalah: "Sambal Terasi", "Manusia Setengah Pohon", "Dulu, di Balik Jendela Kamar", "Rutinitas", "Tahi Ayam", "Minus", "Marni & Marno", dan "Anjing-Anjing Kota".
    Hari terakhir, 21 Juni 2013, menjadi hari terberat dari seluruh proses penulisan buku "Minus Menangis". Ide telah didapat sehari sebelumnya. Sayangnya, entah kenapa jemari ini rasanya sulit mengolah ide itu menjadi bagian terakhir dari atap "rumah" yang hampir selesai. Tak ayal, kepala ini pusing. Ditambah lagi suasana depan rumah kala itu tengah ramai. Bocah-bocah asyik bermain, menimbulkan kegaduhan di kepala saya. Berulang kali saya ucapkan dalam hati, bagaimanapun, saya harus merampungkan cerpen terakhir sore itu juga.
    Namun karena masih juga buntu, saya coba menghitung kembali berapa judul cerpen yang sudah saya hasilkan selama dua minggu itu. Ah, ternyata sudah 18 judul. Saya tak percaya. Dalam euforia tekanan yang saya buat sendiri, saya bisa mengatasinya. Belum pernah saya merasa "segila" ini dalam menulis. Itu artinya, judul kesembilan belas harus diperjuangkan. Godaan untuk berhenti saya buang jauh. Bagi saya, ide terakhir di cerpen penutup itu unik. Setelah kembali bersusah payah, seperti halnya "Telanjang", cerpen berjudul "Lewat" selesai tepat pada tanggal 21 Juni 2013, pukul 16.20 WIB. Bersamaan dengan itu, selesai pulalah buku ini.
    Tiada henti saya bersyukur. "Rumah" yang tadinya sebatas dalam angan, kini selesai. Bongkahan batu yang saya temukan dari berbagai penjuru, melengkapi seluruh bagiannya. Tinggal mengecatnya agar terlihat lebih indah.
    Selama menulis "Minus Menangis" ini sendiri, saya sempat berhenti selama tiga hari. Bukan menyerah, tapi karena jadwal menulis yang saya tetapkan berbenturan dengan urusan pekerjaan. Saya ingat berhentinya proses ini justru membuat saya makin "gila" dan ingin segera menyelesaikan buku ini. Dalam beberapa kesempatan, "kegilaan" itu membuat saya dapat dengan mudah menyelesaikan dua judul cerpen dalam satu hari. Bahkan pernah pula satu cerpen hampir jadi saya tulis, namun batal saya gunakan (saya hapus), gara-gara ada beberapa bagian yang membuat saya kurang suka.
    Tak lama setelah rampung, saya kirimkan naskah ini ke satu penerbit konvensional. Kala itu saya beri judul "Minus Punya Cerita". Sayangnya, hanya dalam waktu 3-4 hari, langsung ditolak. Saya pikir, "Ada saatnya nasib baikmu. Bukan sekarang, tapi nanti."
    Saya putuskan sementara menyimpan dulu naskah ini. Saya kembali "disibukkan" dengan jadwal menulis "rumah" baru, sebab "sebongkah batu" yang baru telah datang menghampiri. Karena terlalu asyik menulis naskah-naskah lain itulah, tanpa sadar saya mengabaikan naskah ini terlalu lama: 6 bulan!
    Di penghujung Desember 2013, saya menyentuh kembali naskah ini. Saya edit tiap cerpennya, mengoreksi beberapa kesalahan ketik. Setelah membacanya berulang kali, dengan berbagai pertimbangan, judul buku ini saya ganti menjadi: "Minus Menangis".
    Alhamdulillah, naskah ini benar-benar terbit menjadi sebuah buku, yang mengangkat berbagai sisi kelam di Indonesia dalam bentuk fiksi (kumpulan cerpen). Buku ini memuat delapan sisi kelam negeri ini (versi saya), di antaranya: orang-orang yang dikhianati oleh keadaan ("Telanjang", "Timbangan", "Istimewa", "Dulu, di Balik Jendela Kamar), orang-orang yang menjadi gila tanpa mereka sadari ("Sambal Terasi", "Rutinitas", "Marni & Marno"), orang-orang yang menyerah ("Wujud Lainku", "Manusia Setengah Pohon", "Lelaki Berwajah Luka"), orang-orang yang optimis meski pada akhirnya kalah ("Manis", "Abnormal", "Lewat"), orang-orang yang terjebak dalam sistem ("Aku Manusia", "Tahi Ayam"), orang-orang yang haus dunia ("Tamu-Tamu"), para koruptor/wakil rakyat yang culas ("Cermin & Tukang Sulap", "Anjing-Anjing Kota), juga segala kekacauan yang tiada berujung ("Minus").
    Pemilihan judul "Minus Menangis" ini diilhami atas banyaknya persoalan bangsa yang membuat sebagian besar rakyat Indonesia menderita. Minus adalah salah satu tokoh dalam buku ini. Minus sendiri, tercipta sebagai gambaran utuh tentang manusia Indonesia yang hidup di tengah gemerlap dunia, sementara ia sendiri tidak berdaya oleh derita yang ibu pertiwi alami.
    Saya berharap terbitnya "Minus Menangis" ini dapat menginspirasi kita semua untuk selalu ingat kebenaran. Memang, tidak ada yang sempurna. Akan tetapi, bukankah sebuah kebenaran itu bertumbuh dari hati yang bersih? Untuk itulah, sebuah kesadaran dalam "melihat" dan "mendengar" dengan hati, adalah tindakan terbaik untuk mengawali sebuah kebenaran, walau kecil.
  
    Pasuruan, 1 Maret 2014
minus menangis ken hanggara
Sampul buku kumpulan cerpen "Minus Menangis" terbitan FAM Publishing (Februari 2014)

Untuk pemesanan buku, bisa melalui telepon atau SMS ke nomor: 0812 5982 1511. Harga perbukunya 42 ribu (belum termasuk ongkos kirim ke alamat pembeli). Tebal buku 195 halaman.

Comments

  1. Wah.. subhanallah... Membacanya benar2 membuat tergugah bang ken.. sugoi naa.. ^o^

    ReplyDelete

Post a Comment

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri