Skip to main content

Cinta dari Segelas Teh Hangat


Cerpen ini tulisan lama yang belum dipublikasikan. Cerita konyol yang sebagiannya berasal dari kisah nyata. Selamat membaca! :D

Cinta dari Segelas Teh Hangat
Oleh Ken Hanggara

Kudapati diriku duduk di bangku belakang sebuah kelas. Empat orang kakak kelas ‘pemandu’ kami sibuk di depan, mengatur mereka yang baru datang. Satu-satunya yang melekat dalam memori adalah seorang kakak kelas. Ia cantik dan berkerudung. Tapi bukan, aku bukan jatuh cinta padanya. Sesuatu yang membuatku sulit melupakan kakak kelas itu adalah tugas pertama yang ia beri untuk kami. Tugas sederhana sebenarnya, dan mungkin sangat mudah bagi mereka yang biasa mencurahkan isi hati.

Aku berpikir bagaimana agar dapat mendalami kepekaan rasa, penglihatan, dan pendengaran yang kutangkap. Jalan buntu seolah menghadang dan siap mempermalukanku dengan hukuman esok hari yang harus kuterima--jika tugas ini tak selesai. Kakak kelas itu menyuruh kami menulis selembar puisi di hari perkenalan ini, hari pertama kami di kelas sepuluh. Sederhana saja, cukup mengungkapkan rasa kagum kami kepada satu dari empat ‘pemandu’ yang berdiri di hadapan kami itu. Semua bebas menulis puisi untuk kakak kelas yang mana.

Kuperhatikan sekeliling. Dari raut wajah teman-teman baruku itu, aku tahu, banyak ide menyundul-nyundul isi kepala mereka. Sementara aku sendiri hanya bisa diam. Apa yang akan kutulis? Aku bukan seorang yang pandai merangkai kata, menyusun satu per satu pecahan makna menjadi sesuatu yang indah. Besok puisi ini harus dikumpulkan. Puisi cinta macam apa yang mampu kutulis? Menulis satu bait saja membuatku berjam-jam terkurung, berpikir keras tanpa hasil.

Dengan susah payah, besoknya puisi itu terukir rapi juga di atas selembar kertas. Dengan rasa bahagia tak terkira atas selesainya tugas sekaligus lepas dari hukuman, kuserahkan amplop biru muda berisi puisi cintaku ke kakak kelas yang cantik itu, dengan takzim. Senyumnya yang indah, membuatku ingin mengatakan sesuatu. Tapi biar kukatakan dalam hati saja:

Terimakasih, Kakakku yang baik. Mungkin puisiku ini jelek. Tapi tahukah, Kakak? Berjam-jam aku berpikir, sampai pusing aku dibuatnya. Cukup sekali ini saja adikmu ini berpuisi. Tak sanggup! Sungguh!

Anehnya, saat detik, menit, jam, hari, dan bulan datang pergi silih berganti, perlahan kalimat itu hilang seolah ditelan bumi. Mungkin karena waktu menelan kisah tentang tugas puisi dalam amplop itu. Aku tak terlalu memikirkan tentang bagaimana seseorang menungkapkan keindahan lewat puisi atau semacamnya. Lagi pula hari-hari sepanjang tahun ini telah kulewati dengan banyak hal seru selain puisi. Aku tak terlalu suka puisi. Aku termasuk tipe remaja yang sering dibuat pusing jika dipaksa menulis puisi.

Sampai tibalah aku di satu siang yang panas di mana sengatan matahari cukup membuat seseorang sanggup pingsan. Sehari sebelumnya aku sakit dan belum benar-benar sembuh. Sialnya, hari ini adalah hari yang penting; hari kenaikan ke kelas sebelas sekaligus hari pembagian rapor.

Para orang tua murid mulai memasuki ruang rapat. Suara Bu Ida meliuk-liuk di udara, menyebar ke seluruh sudut sekolah. Sementara itu, kepalaku mulai terasa berat. Sisa-sisa sakit yang belum pudar, kembali menunjukkan wujudnya padaku. Menyendiri di kantin mungkin lebih baik untuk meredakan sakit ini. Melihat barisan bangku panjang sunyi di kantin, aku senang. Tidak akan ada yang menggangguku. Kurasa tempat itu adalah tempat terbaik untuk menyepi.

Tak lama, segera aku memesan teh hangat—karena sakit kepala memaksaku menjauhi minuman dingin. Detak jarum jam yang pilu, menenggelamkanku dalam lamunan. Namun, hening yang mendamaikan itu pecah oleh suara dua orang siswi yang baru saja datang. Dengan santai, mereka mengambil bangku untuk duduk. Posisi dudukku membelakangi mereka. Aku tahu kami tak saling mengenal hanya dengan mendengar suara mereka. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan, tak mau tahu lebih tepatnya.

Seiring terik yang menyengat atap kantin semakin ganas—memanaskan udara di sekitar kami—suara dua orang gadis di belakangku yang kini tengah asyik bercanda itu, membuat telingaku cukup terganggu. Bertambah pusing kepalaku. Maksud hati menyendiri di sini agar tak terganggu suara bising, malah sekarang ada yang membuat gaduh di sini. Sungguh menyebalkan! Namun saat leher kugerakkan demi mengarahkan pandangan mata tepat ke sumber suara itu, mendadak segala emosi lenyap. Rasa kesal yang terkumpul selama lima menit tadi, lenyap seketika. Melihatku terpaku menatap salah seorang dari mereka, spontan canda tawa itu berhenti. Salah seorang dari mereka juga tanpa sengaja bertatap muka denganku. Sekarang aku merasa salah tingkah, begitu juga gadis itu.

Kejadian itu seperti menamparku. Sering kuragukan potongan kisah ’pada umumnya’ yang terdapat dalam film-film romantis, di mana tercipta sebuah adegan saat dua anak manusia terpaku ketika saling bertatap muka dengan lawan jenis yang belum pernah mereka jumpai seumur hidup. Rasa terkejut atau ‘mati kutu’ semacam itu, biasanya berujung pada pertanyaan dalam hati keduanya.

“Malaikatkah dia? Tak pernah kulihat makhluk seindah ini.”

Kini aku tak dapat mengelak. Keraguanku ditolak oleh apa yang kurasakan. Tanpa kusadari hatiku mengucap kalimat itu dengan sendirinya, sementara jarum jam seolah sengaja melambat, demi menyimpan ini dalam sebuah bingkai waktu—bingkai yang mempertemukanku dengan cinta.
***

Sejak mendapati diriku berada di kelas yang sama dengannya, aku terus memikirkan kejadian di kantin siang itu. Kami tak saling mengenal sebelumnya. Entah karena kemampuan penglihatanku yang terbatas tanpa kacamata, atau terlalu bodohnya diriku, aku sama sekali tak pernah melihatnya sebelum insiden teh hangat—sebutanku sendiri untuk kejadian itu—terjadi. Padahal selama tahun pertama bersekolah di sana, begitu banyak hal kualami. Ibarat kata, setiap jengkal tanah di sana telah kupijak. Bukan karena terkenal dengan segudang prestasi membanggakan. Sama sekali bukan. Melainkan karena aku memang hafal tiap sudut sekolah itu. Aku mengenal banyak teman dari kelas-kelas lain.

Lalu bagaimana mungkin aku tak pernah melihatnya meski hanya sehari saja, di antara ratusan hari yang telah kujalani selama setahun itu? Mungkin Tuhan sengaja mengosongkan bangku-bangku panjang di kantin, hingga kami dipertemukan melalui sengatan matahari dan segelas teh hangat. Yang pasti tak dapat kusembunyikan rasa bahagiaku saat melangkahkan kaki di hari pertama kelas sebelas. Ia duduk di sana, di bagian tengah ruang kelas bersama teman-temannya. Kami pun saling mengenal..

Tidaklah terlalu jauh sebenarnya, jarak antara insiden teh hangat dengan perjumpaan kedua kami di kelas baru. Aku sendiri tak tahu apa ia masih ingat momen-momen ala film romantis itu, saat kami benar-benar terpaku dan—mungkin—apa yang berputar dalam hatinya sama persis dengan pertanyaan dalam hatiku. Aku tak tahu. Kurasa aku terlalu percaya diri, tapi tak apalah.

Mengenal Dewi, nama gadis itu, ia selalu membuatku merasa seperti seseorang tersesat yang tiba-tiba menemukan jalan pulang. Aku beruntung! Betapa tidak? Dewi adalah salah seorang siswi yang cerdas. Salah satu bukti kecerdasannya adalah ‘sihir’ bahasa Inggris-nya yang mampu menelanku bulat-bulat seperti bukan berada di tempat aku berada.

Malam-malam pun menjadi siksaan halus saat belakangan kutahu bahwa Dewi salah seorang ahli matematika di kelas kami. Penyebab dari siksaan itu tak lain dan tak bukan adalah segala yang berkaitan dengan matematika, tak pernah mau berpihak padaku. Tak hanya itu. Yang membuatku semakin kagum padanya adalah, selain menguasai hampir semua mata pelajaran, ia juga seorang muslimah yang taat. Lekukan tajwidnya yang indah saat ia mengaji, gayanya berpidato bahasa Inggris yang seakan membuatku berada dalam sebuah forum terhormat level internasional, serta sikapnya yang tenang saat mengerjakan soal matematika yang rumit—membuatku merasa dekat sekaligus jauh dengannya. Aku bukanlah seorang yang pintar. Hanya sedikit hafal huruf Hiragana, meski tak tahu artinya jika disusun menjadi sebuah kalimat. Andai saat itu ada yang bertanya, apa aku mencintainya, akan kujawab, ya aku mencintainya, dan aku akan berusaha untuk itu!

Maka inilah yang kusebut sebagai perubahan. Dulu aku siswa yang malas belajar. Sekarang, aku rajin sekali membuka buku, terutama matematika dan fisika—dua bidang yang bersahabat erat dengan Dewi—meski seringkali otakku tertinggal..
***

Malam itu, seisi rumah terlelap. Hanya aku dan lampu kamarku yang masih terjaga. Jari jemariku menggoyang pensil, mengundang ide untuk menjawab sebuah soal matematika. Mataku terus terpaku di satu titik. Sayangnya, setelah berpikir cukup lama aku tetap tak menemukan jawaban.

“Bagaimana bisa? Apa hubungan ‘ini’ dengan ‘ini’?”

Kuembuskan napas keras-keras, membuat beberapa lembar kertas di depan hidungku berterbangan. Teringat akan gadis itu, kuniatkan dalam hati harus menemukan jawaban itu malam ini juga!

Kucoba untuk beristirahat sejenak. Kutaruh punggung di sandaran kursi, kupejamkan mata sembari berpikir akan semangat belajarku yang tak pernah sebesar ini. Begitulah cinta, banyak hal tak terduga yang terjadi di dalamnya. Namun sungguh menyedihkan. Meski berbulan lamanya rasa ini mengendap, tak juga aku sanggup mengungkapkan padanya.

Aroma sejuk sisa hujan yang baru saja usai, terasa nyaman membelai wajahku, membuat segala beban hilang, dan entah apa yang terjadi kemudian. Antara sadar dan tak sadar, seseorang mengetuk jendela kamarku. Tanpa berpikir lebih jauh, kubuka daun jendela dengan pandangan setengah kabur. Sekejap rasa lelah di mata dan pundak sirna begitu saja saat kulihat sosok hitam bertubuh tinggi besar berdiri di luar sana!

Seluruh persendian lemas tak berdaya. Kaki dan tanganku bergetar hebat sementara degup jantungku deras menggetarkan seluruh bagian dada. Sosok itu mendekat, lalu menamparku dengan sebuah benda. Dan berikutnya sungguh di luar dugaan. Tubuhku terbang di angkasa. Ya, terbang! Di antara jutaan bintang dengan sayap di kedua sisi tubuhku! “Sejak kapan aku bersayap? Apa aku sedang bermimpi?! Apa ini?! Aku tak sedang berimajinasi!”

Seseorang membisikkan sesuatu padaku. Padahal tak ada siapa-siapa di sana. Aku hanya seorang diri, terbang dengan kecepatan sangat tinggi—membuatku cemas kalau-kalau terjatuh dan mati. Kuturuti saja bisikasn itu. Kupejamkan mata…

Sementara kedua bola mata masih tertutup, telingaku menangkap suara gemuruh yang terasa berat tapi tenang. Tak pernah aku merasa sedekat ini, apalagi menyentuhnya. Tapi aku tahu apa yang kudengar. Dan benar, saat mata kubuka lebar-lebar, kakiku menginjak deretan papan kayu. Di hadapanku terhampar pemandangan biru, hanya biru. Aku yakin ini mimpi! Tapi mengapa begitu nyata? Aku yang tadinya tanpa sengaja tertidur di meja belajar, kini berada di tengah samudera luas, di atas bahtera kayu semegah kapal pesiar Titanic!

Lagi-lagi saat heran masih menguasai, seseorang menegurku. Di sini aku mulai yakin, bahwa semua ini hanya imajinasi saat pria itu mengenalkan diri. Namanya Sinbad Sang Pelaut Tujuh Samudera! Tanpa banyak bicara, ia keluarkan sesuatu dari balik jubahnya. Kupegang dengan hati-hati sehelai bulu angsa perak itu. Lalu Sang Pelaut mengangkat jari telunjuknya ke awan, seolah ingin menyambutku.

“Selamat datang di duniaku, Kawan! Terbanglah sesuka hatimu!”
***

Ada perbedaan pada diriku saat tiba hari di mana seorang kakak kelas ‘meminta’ selembar puisi untuknya dengan detik ini. Masih teringat kalimat dalam hati tentang rasa kesal akan tugas puisi itu. Kini dengan bantuan seorang sahabat, kukirimkan puisi-puisiku untuk Dewi. Bukan puisi rayuan, hanya ungkapan rasa kagum dan cintaku padanya. Pengaruh gadis itu membuatku takjub. Ia tak hanya ‘menempaku’ untuk teguh menaklukkan ilmu-ilmu yang tak kukuasai. Cintaku padanya juga menembus segala yang tak mungkin menjadi mungkin.

Entah berapa puisi yang telah kutulis untuknya. Rangkaian indah kata-kata itu sanggup kujalin hanya dengan membayangkan senyumnya. Semua itu terjadi sejak imajinasi membawaku menjelajah angkasa hingga samudera. Aku sendiri tak mengerti bagaimana awal mula imajinasi itu datang menyergap.

Itulah cinta. Cinta memang sering membingungkan, tapi indah tak terperi—meski dua insan itu saling terdiam.

SELESAI

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri