Cerpen ini saya ikutkan dalam lomba menulis cerpen tingkat nasional oleh FAM Indonesia dengan tema TKI sekitar sebulan yang lalu. Kala itu saya mengirim dua cerpen, yaitu “Astuti” dan “Tentang Wanita yang Dekat Sekaligus Jauh Dariku”. Alhamdulillah, meski cerpen “Astuti” ini tidak lolos, cerpen yang lain berhasil masuk 10 besar.
Cerpen “Astuti” sengaja saya posting di sini
agar teman-teman bisa membacanya. Cerpen ini didedikasikan untuk para pahlawan devisa
yang sering kali tidak mendapat keadilan di negeri orang. Selamat menikmati.
Astuti
Oleh: Ken Hanggara
Astuti melihat hidup dari sudut lain. Katanya, bila seseorang terlalu lama
miskin, suatu hari nanti akan ada waktunya untuk pergi dari hidup dan
kebiasaan. Kadang kebiasaan berlaku begitu baik, sampai-sampai seseorang
menjadi buta hingga lupa bahwa dirinya akan mati. Namun seringnya kebiasaan
mengurung waktu, mengubah hidup yang bernilai menjadi tidak bernilai.
Astuti melihat nilai itu ketika pada suatu sore ia berjumpa dengan teman
lamanya. Temannya ini gadis yang cantik dan baik. Dulu sekali, hidup sang teman
tak semulus wajahnya. Hidup memang tak semudah membalik telapak tangan. Sungguh
klise. Apalagi bagi golongan manusia berpenyakit seperti mereka. Ya, mereka
adalah manusia sakit-sakitan, kumpulan orang-orang terbuang. Penyakit miskin
sudah lama melanda kampung mereka. Dipanggillah tabib-tabib, tapi tak ada yang
bisa menyembuhkan. Katanya penyakit mereka terlanjur betah lantaran makhluk
halus tertentu. Astuti tak percaya alasan tabib itu. Sementara untuk memanggil
dokter, mereka tak punya uang.
Tapi, lihatlah, teman Astuti yang satu ini. Cantiknya tak hilang-hilang,
malah bertambah. Jika dulu segala sandangnya buruk berbau ayam—karena sehari-hari kerjanya mencabuti bulu-bulu
ayam—maka sekarang ia berubah. Bajunya baru, wangi
pula, persis baju anak orang kaya nun di kota-kota besar. Tak ada sama sekali
kesan perempuan desa bermuka dekil seperti dulu. Teman Astuti itu kini lebih
mirip penyanyi dangdut.
"Kamu tambah cantik, Mar. Kerja apa di sana?"
Marni, nama teman Astuti itu. Tiga tahun yang lalu ia merantau ke negeri
jiran, bekerja di sana. Tradisi kuno di kampung mereka memang selalu
menunjukkan tiga macam kewajiban yang harus dihadapi gadis-gadis perawan
seperti Astuti dan Marni, yakni "macak", "masak",
"manak"—yang tak lain
adalah vonis hidup bagi perempuan desa. Mereka harus segera menikah demi
melepaskan, atau bahkan terjun, kepada derita miskin yang melanda orangtua
sepanjang hidup, untuk kemudian melahirkan anak yang banyak dan tidak mengabaikan
urusan dapur ke hal-hal lain. Namun adakalanya sebagian orangtua merasa
bimbang, tak tahu harus mencari calon suami ke mana lagi untuk anak perawan
mereka. Inilah yang dialami bapak-ibunya Astuti. Mereka bukanlah keluarga
terpandang. Seperti kebanyakan manusia berpenyakit, Astuti cuma gadis miskin.
Sudah miskin, tak cantik pula. Maka tak ada yang mau menikah dengannya.
"Tahu gini, dulu kamu ajak aku, Mar,"
katanya.
Marni memang cantik. Tapi Marni tak mau buru-buru
mengikuti tradisi. Katanya ingin membangun rumah dulu untuk orangtuanya. Oleh
karena Marni tak pernah sekolah, maka berangkatlah dia, bekerjalah dia jadi
pembantu di negeri orang, negeri tempat seluruh harapan seolah bersumber.
Padahal, sesungguhnya harapan itu tumbuh tidak jauh-jauh dari tempat mereka
berada. Cukup dengan melangkah sejauh tujuh belas jengkal saja, mungkin sampai.
Tapi karena para pemimpin di Jakarta terlalu sibuk menjadikannya barang
rebutan, jadilah harapan itu bak sekarung beras di sarang tikus, habis sekali
tepuk sampai Astuti tak kebagian. Maka akibatnya satu: tidaklah berdaya
kampungnya untuk dapat mengangkat tubuh Astuti lepas dari kemiskinan.
Astuti melamun semalam suntuk, tak bisa tidur.
Rasa kantuk hilang gara-gara memikirkan betapa hebatnya Marni. Seorang yang sukses
dari segi uang, dianggapnya telah menjadi manusia seutuhnya. Dan Marni berhasil
melakukannya. Dulu Marni tak dianggap, tapi sekarang semua orang hormat. Nilai
semacam ini biasanya hanya ada pada orang-orang yang mampu menggenggam dunia.
Dunia ada di tangan mereka. Nilai ini kemudian tumbuh subur, menggeliat,
mengetuk pintu hati Astuti untuk segera bertindak. Ia ingin seperti Marni. Ia
ingin merantau, agar tak lagi sakit-sakitan.
Begitu kira-kira bagaimana kemudian Astuti melihat
hidupnya dari sudut lain. Hidup di kampung dengan irama yang itu-itu saja
membuatnya ingin berubah. Kebiasaan bangun subuh-subuh, mengabdikan diri ke
kios jagal juragan ayam, tidaklah terlalu dapat diandalkan. Astuti semakin
yakin untuk berangkat. Lagi pula bukankah pilihan hidup ada di tangan setiap
diri manusia? Setahu Astuti, sejak dulu ia memang dilahirkan sebagai manusia.
Tapi nyatanya jarang sekali ia merasa orang lain melihatnya sebagai manusia.
Kali ini, Astuti ingin melihat dirinya sebagai manusia.
"Bagaimana bisa begitu?" tanya
seseorang. Wajahnya terheran-heran.
"Bisa saja begitu! Manusia-manusia tidak
pernah sadar pada apa yang telah mereka perbuat!"
Mungkinkah demikian? Apakah jika telah sampai
kehidupan seseorang pada suatu titik yang disebut tidak manusiawi, lalu ia
pantas dipersalahkan? Agaknya seseorang yang lain perlu menimbang berbagai
kemungkinan, agar tidak ada sesuatu yang mungkin terjadi, dianggap tidak
mungkin terjadi.
Astuti menangis seorang diri. Tidak seperti ketika
ia mengingat-ingat kenangan manis di kampung bersama Marni. Kenangan itu
menyita sebagian hidup mereka yang pahit, menuju kehidupan tanpa beban.
Ternyata untuk menjadi manusia tanpa beban, cukuplah seseorang pergi sejenak ke
suatu tempat yang jauh, yang bukan kenyataan. Lalu dengan sekuat tenaga
mengundang ingatan masa kecil yang menyenangkan. Atau kalau tidak begitu, bisa
saja seseorang meminta kepada Tuhan untuk dilahirkan kembali menjadi bayi. Tapi
itu tak mungkin.
Astuti terus menangis, masih seorang diri. Tak
tahu kalau keputusannya berbuah seburuk ini. Ia terpikir akan Marni, senyumnya,
bajunya, kepulangannya yang membawa harapan. Ia rindu kampung halaman. Dalam
hati yang sakit, Astuti merasa sebagian matanya sudah tidak lagi berfungsi.
Sementara tubuhnya serasa remuk. Sebabnya adalah pukulan tangan seorang pria
yang ia anggap layak untuk dipatuhi. Maklum, Astuti tinggal di kampung sejak
kecil. Ia tercetak menjadi pribadi yang selalu berbaik sangka kepada manusia
lain, meski gelagat dari manusia itu patut dipertanyakan.
Siapa yang tidak bertanya-tanya, ketika anak
perawan tengah terlelap, lalu tiba-tiba ada laki-laki yang bukan suaminya
menyelinap masuk ke dalam kamar? Siapa yang tidak bertanya-tanya, ketika
seorang perempuan terbangun malam-malam, lalu mendapati tubuhnya setengah
telanjang? Siapa yang tidak bertanya-tanya, ketika lelaki yang terkenal baik,
mendadak berubah menjadi gila? Siapa pula yang tidak bertanya-tanya, ketika
seorang majikan mengunci diri di dalam kamar pembantunya? Tidak ada yang tahu.
Sekali waktu, Astuti bertanya kepada Tuhan, apakah hal ini bermasalah saat ia
akan menikah nanti? Ataukah sebelum itu terjadi, sesuatu yang buruk akan
datang?
Bagi Astuti, menaruh rasa hormat pada sang tuan,
adalah satu-satunya cara untuk menjaga agar harapan yang terlanjur ia janjikan
pada bapak-ibunya, benar-benar dapat ia rengkuh. Namun kalau sudah begini, apa
lagi yang dapat diharapkan? Malam itu telah merusak segalanya. Setiap kali
Astuti melihat semacam noda di atas selimut, ia merasa jijik tapi tak dapat
berbuat banyak. Kenyataan ini kemudian menjadikan malam-malam yang sama
terulang kembali. Awalnya, lelaki yang selalu berbicara dengan bahasa aneh itu
nampak sungkan-sungkan, seperti kucing melihat ikan goreng di kandang anjing.
Tapi lama-lama ia bahkan tidak merasa risih. Tak perlu memeriksa tingkat
kewarasan seseorang untuk dapat menilai seberapa dangkal perbuatan itu.
"Ini rahasia kita!" kata lelaki itu.
Tangannya yang hitam, tebal, berdaging, memegang sebilah pisau. Astuti takut.
Lelaki itu mengancam, "Kalau tidak, mati saja!"
Berulang kali majikan Astuti itu menyebut-nyebut
nama istrinya. Katanya, wanita itu tak tahu diri. Katanya lagi, dia sudah
bosan. Maka tak ada alasan untuk tidak patuh padanya. Bukankah lelaki itu
memiliki Astuti sepenuhnya? Tentu, hati kecil Astuti marah. Perempuan mana pun
akan menolak jika sebuah nilai terkhianati hingga melebur menjadi sesuatu yang
tidak mengandung nilai. Kenyataan ini tidak cukup rumit, tapi membuat pikiran
Astuti kacau. Adakah seseorang yang melihat nilai di dalam dirinya berupa
sebentuk benda? Adakah yang semacam itu? Apakah mereka dapat dengan mudah
mengambilnya untuk kemudian meletakkannya ke atas meja timbangan?
"Ceritamu tak masuk akal!" bentak
seorang hakim di meja timbangan, tempat yang menjadi ujung dari penolakan
Astuti. Perempuan malang itu melihat sebuah kejanggalan, tapi siapa dia? Siapa
dia hingga boleh membela diri? Hakim tadi tak terlalu memahami arti nilai yang
telah mati bagi seorang gadis kampung macam Astuti. Palu besarnya menghantam
debu di pinggiran wajah Astuti yang luka, membuatnya ragu akan pulang membawa
harapan.
Asuti kembali menangis. Kali ini ia tak sendiri. Bersama sekumpulan
penyabung nasib lainnya, ia meringkuk dalam kegelapan. Astuti menyesal.
Ternyata begini bentuk harapan. Mencari harapan itu tak ubahnya bermain judi.
Dan jelas ia mendapati situasi yang tak menguntungkan. Astuti jatuh
sedalam-dalamnya. Astuti menyesal. Mengapa ia tak lari saja dari rumah itu?
Mengapa ia dapat bertahan untuk tidak segera membuang dirinya sejauh mungkin
dari malam-malam, di mana kunci kamarnya raib entah ke mana?
Astuti masih ingat, kumis lelaki itu terlalu tebal
hingga terkadang membuatnya takut untuk berharap. Ya, Astuti masih
mengingatnya. Termasuk ketika pada suatu sepi yang hujan mereka kembali
bergulat dalam pembelaan diri masing-masing. Lelaki itu beranggapan bahwa ialah
raja di tempat ini. Sementara Astuti, enggan lagi memasrahkan diri seperti
malam-malam sebelumnya.
Astuti juga tak lupa saat lelaki itu menimpakan
seluruh tubuh liatnya ke atas raga Astuti yang kurus, lalu sebilah pisau
menjadi jalan keluar yang terang-benderang di mata perawan yang tak laku-laku
itu—yang justru kehilangan
kesucian di tanah yang menjanjikan harapan. Astuti sadar, mereka berdua
sama-sama manusia. Bolehlah orang tak menganggap Astuti manusia, tapi Astuti
tetap merasa bahwa dirinya benar-benar manusia. Maka, tak ada yang tahu
bagaimana seorang wanita dapat dengan terpaksa lari menembus batas-batas
ketabuan, di mana sedari dulu kisah-kisah seperti ini menjadi berita yang
mengerikan untuk didengar.
Astuti berontak. Dengan sisa tenaganya, Astuti
menjelmakan diri menjadi manusia. Darah membasahi udara, mengotori sebagian
wajah dan perutnya, tapi ia tak merasa sakit karena darah itu berasal dari
tubuh yang menindihnya. Sesekali, tangan Astuti bergetar dan berbisik kepada
Tuhan, bertanya-tanya di manakah tempat yang layak memberinya harapan? Dan
apakah ia berdosa ketika menolak seseorang membunuh harga dirinya?
Astuti menangis. Astuti tahu, besok ia dihukum
mati. Bapak ibunya pasti bersedih.
"Setidaknya Marni pulang hidup-hidup
...," rintihnya.
(Gubuk di tepi sawah, 1
September 2013)
*Catatan kaki:
"Macak", "masak", "manak" (Bahasa Jawa), yang
berarti "bersolek/berdandan", "memasak", dan
"melahirkan anak".
Comments
Post a Comment