Skip to main content

Surat untuk Nenek


Surat ini pernah saya ikutkan dalam lomba menulis surat bulanan oleh FAM Indonesia dengan tema Ramadhan. Namun sayang belum lolos. Semoga dengan saya posting di sini dapat membuat teman-teman lainnya turut membaca. :)


Pasuruan, 23 Juni 2013

Assalamu'alaikum wr wb

Untuk kau yang jauh di sana...
Yang memberiku segala keteduhan sepanjang hari kemarin...

Ingatkah kau, ketika kita pertama saling bersentuh tangan? Aku sendiri tak mampu mengingatnya. Ah, tapi sungguh, bukan maksudku mengabaikanmu. Namun agaknya waktu memang belum usai membentuk diriku kala itu. Aku masih terlalu putih ketika seseorang mengumandangkan adzan di pagi buta yang dingin. Aku merasakannya namun tak mampu mengingatnya. Aku meresapi namun tak mampu mengingatnya. Waktu memang belum menjadikanku apa yang kau inginkan, apa yang mereka inginkan, dan apa yang kuinginkan. Bahkan aku sendiri belum mengerti apa itu 'keinginan'. Waktu masih menyediakan berlapis tabir yang harus kubelah menjadi sebuah jalan. Maka, waktu tak lain adalah awal dari perkenalan kita, awal dari musim pertama.

Ingatkah kau, ketika napas benar-benar menyinggahi sekujur nadiku? Kau mulai menjadikan pecahan itu kian jelas. Pertama, memang hanya sekadar pelukan bagi mereka, namun bagiku kau adalah sayap. Setidaknya begitu. Seperti halnya mereka, sayap itu terbang hingga sejauh apa yang dapat terjangkau, namun sayap tidaklah pernah menyendirikan diri, lalu membuang segala yang bukan bagian diri. Sayap akan membawa segalanya, meski beban berlebih akan menyiksa tidurnya sepanjang malam, juga lelahnya sepanjang hari. Namun sayap selamanya tertakdir untuk setia, membawa dan menjadikan sesuatu yang kecil sepertiku menjadi sebongkah makna. Kau tahu? Kau melakukannya untukku.

Aku ingat ketika suatu waktu embun membuat sela jemariku sedikit gatal. Kala itu kita bergandeng tangan. Aku tak terlalu mengerti tentang bagaimana segumpal karet menjadi begitu konyol ketika kita membicarakannya bersama. Ya, kita tertawa bersama hanya karena sebuah sandal jepit. Sandal itu kecil, mungkin tidaklah jauh berbeda dengan ukuran sepatuku, tapi aku merasa geli. Aku tersenyum seorang diri ketika membayangkan, kira-kira siapa pemilik sandal itu? Ternyata dunia begitu indah. Entahlah bagaimana rasaku demikian rupa. Yang kutahu, kau tak 'kan membiarkan kita menjauh.

Di sana, di sudut pasar, tak lepas mataku berkelana dari satu warna ke warna yang lain. Namun aku akan selalu memijak bayangmu. Kau tak pernah jauh dan aku pun begitu. Kita saling berhimpitan. Kita tetap merasa hangat meski sesungguhnya pagi belum memberi kehangatan. Kugenggam ujung jemarimu, kau balas dengan lembut. Bau plastik dan tumpukan sampah di suatu tempat yang cukup kuhafal, tidaklah menjadi alasan untuk pergi, apalagi menangis. Ah, kurasa memang tak pernah ada alasan untuk jauh-jauh darimu. Kau akan selalu mengajakku pada sebuah bingkai. Bingkai itu adalah toko, menyajikan wajah seorang asing yang telah kau kenal. Kau bawa kita ke sana demi memungut rasa baru tentang cinta dari segelas es krim dan sebungkus snack. Begitulah kita, begitulah rutinitas pergi ke pasar. Pulangnya, kita kembali menyinggung soal sandal.

Aku pun ingat ketika satu di antara mereka yang juga kau sayang, tengah bersembunyi di ujung gang. Kami bersembunyi di sana. Kupanjat garis-garis hitam dekat pintu depan, memainkan sesuatu dengan jari telunjukku, atau kadang bila perlu berpura-pura menjadi tamu. Mungkin dengan begitu akan membuatmu tersenyum, membuatmu mengerti betapa aku telah menjadi sebagian dari apa yang selalu kau doakan--sebagian kecil. Kami akan bermain dengan sebuah telepon umum. Namun berulangkali itu pula kami akan selalu bertanya-tanya: bagaimana mungkin seseorang berbicara dengan orang lain hanya dengan sebuah kotak? Kau beri jawaban itu dengan kepingan logam. Sejak itu, setiap hari kami minta sekeping logam.

Pada suatu waktu yang lain, di mana kudapati diriku tengah melamun, aku tak mengerti apa yang telah kulakukan. Bahkan, aku tak melihatmu sama sekali. Aku takut tak lagi dapat menemuimu kembali. Aku takut dunia yang tak kukenal ini menelanku bulat-bulat, sebelum kita kembali menjalani hari-hari seperti sebelumnya. Namun kau kembali padaku ketika seseorang menyentuh pipiku, mengatakan bahwa hari sudah pagi. Seseorang itu menanyakan apakah tidak ada lagi sebaris pertanyaan sepanjang jalan menuju pasar. Seseorang itu juga bilang, kalau tidak segera bangkit, maka ayam-ayam akan mendahuluiku. Kau ingat, seseorang itulah dirimu?

Bunga tidur yang sempat mengusik tidaklah terlalu menggusarkan ketika kau ajak setengah mataku yang masih tertutup melangkah menuju dapur. Di sana, di meja tempat kita selalu berkumpul dan makan bersama, ada sepiring puding dan segelas susu. Katamu, puding itu baru saja matang. Katamu, susu itu masih hangat. Kau akan selalu memaksaku untuk menghabiskannya. Kau ingat, katamu lagi, agar tubuhku sehat dan kuat? Oh, ya, kau pun selalu membisikkan padaku, bahwa suatu saat nanti, aku akan tumbuh menjadi sebuah mimpi.

Lalu, aku akan berceloteh ketika semua orang terdiam. Aku akan menyerangmu dengan segala kepolosanku tentang rasa sakit. Sisa-sisa masa lalu yang mungkin masih terasa pahit bagimu, kembali kau buka demi membuatku tersenyum. Kau tak pernah menangis, ketika kau kisahkan tentang sebuah pelarian demi menyelamatkan diri dari serangan orang-orang jahat. Kau tak pernah menangis, ketika kau kisahkan tentang sebagian kakimu yang terluka kala itu. Aku akan melanjutkan dengan bertanya, apakah hingga kini rasa sakit itu masih ada. Kau jawab, "Ya, masih ada, Cucuku..."

Kau tersenyum mengatakan itu. Ingatkah kau akan semua itu? Juga ketika kita telah berjumpa usai sepanjang waktu yang singkat, yang mendadak menumbuhkan sebukit rindu tak terbendung. Kala itu, Ramadhan baru saja berakhir. Lagi-lagi kau selalu menyambutku, dengan gerak dan makna serupa. Kurasa kau memang tak pernah beda. Mungkin waktu yang kembali akan kubawa-bawa, bukan kupersalahkan. Bahwa karena waktulah, kita tak pernah berbeda, meski aku telah menjadi sedikit berarti dari yang sudah-sudah. Maksudku, sedikit lebih besar dari dulu karena memang aku telah tumbuh. Namun kau akan selalu menganggapku sama, menganggapku bak seikat bunga yang ringan diterbangkan oleh kepakan sayap. Kita pun terbang bersama, meski kadang kulihat kau tak sekuat dulu. Bukan karena hati. Hanya karena usia.

Entah berapa lembar cinta dan ketulusan itu kau beri padaku. Satu pun tidaklah pernah kau meminta itu kembali. Kau hanya akan mendoakan agar suatu waktu mimpi-mimpi lama kita berwujud nyata--tersentuh, terhirup, lalu terjalankan. Semua itu telah ada sejak dulu, sejak kita saling bersenda gurau di depan televisi. Tak peduli apa saja yang nampak, tak peduli momen apa pun, kita hanya menyibukkan diri dengan sesuatu yang lebih berarti dari sekadar mengobrol.

Hingga selama masa setelahnya kita akan kembali lagi, dengan persamaan yang akan selalu sama dan tak pernah beda. Aku akan pergi meninggalkan keramaian yang perlahan menjadi sebagian dari jalan hidupku. Meninggalkan lampu-lampu itu. Meninggalkan gedung-gedung itu. Aku pulang, berlibur menghirup udara rantau. Aku menyendiri laiknya pertapa. Dan di satu tempat kau menyambutku dengan senyum, tepat di waktu tiga atau empat hari terakhir pada suatu Ramadhan. Berulangkali kulakukan itu. Ingatkah kau?

Kita pun menjadikan waktu bersama itu dengan sebentuk makna yang tak jua hilang. Bahkan mungkin aku berpikir semua itu tak 'kan hilang. Makan sahur terasa nikmat meski dengan satu-dua teguk air manis dan sepotong roti. Mungkin bagiku ini bukan masalah berarti. Karena aku tahu, aku akan baik-baik saja. Aku hanya mencemaskan keadaanmu ketika kau terus menerus meyakinkan bahwa tubuhmu kuat. Aku menangis dalam hati melihatmu tersenyum dalam petang yang masih dingin. Mungkin dulu aku percaya, namun sekarang kita telah terseret oleh musim yang memanjang. Ingatkah kau?

Kita lepas hari-hari berlalu seperti yang telah kita lalui. Seiring matahari yang terus merangkak, kita perlahan saling berhimpit. Bukan di pasar, melainkan di sebaris bangku tempat membagi cerita. Begitulah sore kita, sore ketika menanti waktu maghrib tiba. Adzan pun membuat sebagian garis dirimu terpola rapi pada ingatan baru.

Oh, ya, aku juga masih ingat ketika kita saling berbicara di atas sebuah batu. Batu itu lebar dengan pembatas serupa kapas. Setiap saat, selama malam-malam menjelang Idul Fitri. Butiran permata nun di setinggi angkasa tidaklah pernah kita sentuh. Mereka adalah bintang. Namun rasanya semua itu telah kugapai bersama kalimat-kalimatmu yang telah berputar. Ingatkah kau? Kita menikmati setiap detik dengan berbagai kenangan yang tak mungkin kembali. Aku adalah kau, begitu pun sebaliknya. Seperti pertemuan, kudapati waktu kembali bermain-main. Jika dulu aku adalah kecil, maka sejak malam itu aku berusaha untuk menjadi sayap. Setidaknya ingin kupanggul bagian terberat untukmu, agar kau tetap tersenyum.

Kuyakin kau masih ingat ketika aku berlari ke sana kemari. Bukan di kala kita bermain, melainkan kenyataan lain yang harus segera kutuntaskan. Kau selalu menanyakan tentang mimpi, aku menjawab dengan seuntai kata yang kuharap mampu memuaskanmu. Aku tahu, sesungguhnya tidaklah berarti semua itu bagimu, tidaklah dapat menjadi sesuatu yang terbungkus indah serupa doa yang dulu. Tapi aku yakin, kau tetaplah kau. Aku hanya ingin membuatmu tersenyum. Itulah mengapa panas kubunuh dengan tumpahan keringat. Aku tak lagi peduli apa pun selain dirimu. Aku akan menangis lagi ketika menyadari bahwa kau tak pernah mempermasalahkan apa pun, menganggap bahwa segalanya memang sebuah jalan. Mengganggap bahwa aku adalah bagian dari hidupmu.

Sampai pada akhirnya kau terjatuh. Lemah yang dulu selalu tersamar dalam gerak lakumu yang tulus, tiba-tiba menyentakku bak angin membuyarkan haluan. Kau jatuh dalam kesendirian yang tidak pernah dapat kucegah. Kau sakit di waktu yang kuniatkan demi melukis makna baru yang telah melebur. Kau sakit, diam tak berdaya tanpa sanggup bertutur kata.

Kau tahu, aku sangat merindukan senyummu seperti waktu kita saling mengitari pagar, atau seperti saat secuil luka menitikkan darah di bagian mulut kecilku yang tak pernah diam? Atau mungkin seperti saat sepi hatimu membentuk cermin di kedua bola mata tua, tentang mimpi-mimpi kita, tentang kecemasanmu padaku? Padahal mereka pun tahu, kau tak perlu bercemas seperti itu padaku. Dan kau pun tahu, aku bukan lagi keluguan. Aku hanya ingin kau melihatku berdiri dengan kedua kakiku, lalu dengan sebentuk cinta dariku, kuberikan apa yang selama ini ingin kuberi untukmu.

Kau tahu, aku sangat merindukan tatap matamu yang tak pernah membara itu? Ya. Sekalipun tak pernah kutahu kau marah. Tak pernah. Itulah mengapa aku sering membanding-bandingkan sebuah keadaan pada sayap-sayap lain. Kurasa kaulah yang paling sempurna di antara mereka. Kau seperti malaikat. Kau tahu, aku amat merindukan tatap matamu yang tak lagi terbuka? Mereka bilang, kau tak sadar oleh sesuatu dalam kepalamu. Mereka bilang, kau butuh berwaktu lamanya untuk sembuh. Selang-selang itu menjuntai, membuatku menangis di kala ingin kutunjukkan berlembar sajak yang belum sempat kukatakan padamu. Aroma sepi bertebaran di sekitar kita.

"Ini tulisan-tulisanku. Bangunlah. Aku ingin kau membaca tulisanku..."

Aku terus menunduk, mengatakan itu dalam hati. Kuremas jalinan aksaraku hingga tiada terasa tanganku basah. Kertas-kertas itu basah, tepat di samping tempat tidurmu. Berjam-jam, berhari-hari, berminggu-minggu, kau masih terlelap.

"Bangunlah. Kami merindukanmu. Dua bulan lagi Ramadhan tiba. Dua bulan lagi. Kumohon, bangunlah..."

Aku pulang dengan segala bentuk kepasrahan yang telah mengakar dalam darah. Aku percaya, Allah memberi yang terbaik untukmu. Aku terus berdoa dan yakin akan kesembuhanmu. Aku terus berdoa, agar tulisan-tulisanku kelak menjadi buku yang akan kau baca, akan kau tunggu kelanjutannya, juga akan kau rengkuh dalam lipatan sayapmu yang rapuh oleh waktu.

Kau tahu, itulah mengapa aku tampak bahagia ketika seseorang memberi kabar bahwa kau telah terbangun? Aku berlari ke satu tempat di mana seribu ketidakmungkinan mampu kutebas dalam sehari. Aku berpeluh, berlelah membangun sebuah tempat yang tak pernah terlintas antara kita. Aku menyulap sebuah kesepian dalam satu ruang, untukmu tersenyum. Agar kita--aku, kau, dan mereka--kembali bersama seperti dulu.

Kau pulang dengan seutas senyum hampa di waktu awal, lalu kian bertumbuh menjadi senyum yang kurindu. Ya. Kau telah bangkit dari tidurmu, meski tempat tidur itu tidak lepas dari tubuhmu. Mereka bilang, masih butuh waktu untuk menjadikanmu benar-benar pulih. Itulah mengapa aku dan mereka menjadikan sebuah tempat baru untuk kita. Mataku pun tak lepas memandangi selembar kepastian dari waktu yang selama ini menemani. Ya. Waktu perlahan mendekatkan kita kembali pada Ramadhan. Mata yang terpejam itu kembali kau buka dalam kelegaan hatiku. Aku lega, karena merasa akan menjalani kembali kesamaan kita.

Sepanjang hari, kusentuh ujung jemarimu yang lemah. Seperti yang dulu, seperti waktu kita pergi ke pasar, kau akan membalasnya. Kau tahu? Kelembutan itu masih kurasa. Kau akan selalu berisyarat kuat, demi membuat kami tenang. Sesekali kuputar kembali hal-hal yang dulu telah terlewat. Kita berbicara dengan irama yang tak seteratur dulu. Namun aku senang kau masih mengingatnya. Kita kembali tertawa dalam obrolan yang tidak serupa. Meski begitu, aku yakin, bahwa segalanya akan membaik. Keyakinan ini menjadi satu-satunya alasanku untuk tetap bersamamu, bersenda gurau dalam hangatnya pagi dan sunyinya malam. Kau terus bertanya-tanya dalam misteri, tentang sesuatu yang tak kupahami. Kau terus bertanya dan aku akan selalu menjawab bahwa kita telah kembali.

"Sebentar lagi, kita akan seperti dulu. Lima belas hari lagi, Ramadhan tiba..."

Aku tenang, merasa sangat tenang kala itu. Sejenak kulupakan niat tentang tulisan-tulisan itu. Aku masih menyentuhnya, mengukirnya, namun kurasa belum waktunya untuk membuatmu tersenyum dengan semua itu. Aku berpikir, mungkin usai kesembuhanmu nanti, kita akan benar-benar melihat sebentuk mimpi baru yang belum sempat kukatakan. Mimpi itu adalah sebuah buku. Aku ingin memberimu kejutan.

Namun apalah daya ketika di suatu hari yang petang, kau tak jua bangkit dari tidurmu. Semangkuk bubur yang mereka siapkan perlahan dingin namun kau masih tertidur. Napasmu begitu tenang. Suaranya mengalir, mendesak segala sesuatu yang terbentuk dalam telinga. Kukira kau masih lelah oleh situasi yang sudah-sudah. Maka, sesekali bila matamu terbuka, kukatakan bahwa kau akan segera sembuh. Kukatakan bahwa semoga ini akan berakhir indah.

Dan ingatkah kau, ketika esok membawa sebuah tanda bagiku? Aku tersentak mendapati sebuah keadaan yang tak pernah ada. Aku terus berpikir tentang semua itu dalam segala keresahan hati. Kau membuatku cemas ketika sarapan itu seolah tak lagi kau pedulikan sementara aku dan mereka terus mencari cara untuk membuat kita kembali. Ini memang tentang kita, bukan siapa pun. Ini memang tentang kita, tentang sayap-sayap itu.

Hingga pada akhirnya senja itu terasa begitu asing. Tubuhku serasa remuk, bangun dari sebuah mimpi yang tak pernah menjadi bagian dari kita. Yang pertama kupikirkan hanyalah tentangmu. Mereka semua membuatku berlari menuju sebuah tempat yang sempat memberi harapan. Salah satu dari mereka kemudian mengangkat tubuhmu yang lemah. Aku membantunya. Kau tahu, detik itu aku sadar bahwa memang tubuhmu ringan seringan sayap? Bahkan mungkin jauh lebih ringan.

Dan apakah kau tahu, bahwa sesungguhnya senja itu adalah puncak dari perihnya hatiku? Cahaya yang merangkak dari sisi barat, menyentuh rambut dan ujung bibirmu yang bergetar, menjadikan sebuah jembatan. Jembatan itulah yang membuat kita benar-benar jauh.

Aku tahu, ini memang telah menjadi sebuah jalan, seperti apa yang selalu kau katakan padamu. Aku tahu, kau telah menjadi bagian dari sebuah keindahan padaku dan pada mereka. Juga pada waktu itu sendiri. Maka, sedih itu menjelma damai, meski tanah basah perlahan mengering. Ramadhan tahun itu, kita pun tak lagi bersama.

"Aku tahu, kau akan selalu mengingatnya, Nenek..."

Untukmu yang jauh di sana...

-Ken Hanggara, FAM801M-Sby

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri