Surat ini pernah saya ikutkan dalam lomba menulis surat bulanan oleh FAM Indonesia dengan tema Ramadhan. Namun sayang belum lolos. Semoga dengan saya posting di sini dapat membuat teman-teman lainnya turut membaca. :)
Pasuruan, 23 Juni
2013
Assalamu'alaikum wr wb
Untuk kau yang jauh di sana...
Yang memberiku segala keteduhan sepanjang hari
kemarin...
Ingatkah kau, ketika kita pertama saling bersentuh
tangan? Aku sendiri tak mampu mengingatnya. Ah, tapi sungguh, bukan maksudku
mengabaikanmu. Namun agaknya waktu memang belum usai membentuk diriku kala itu.
Aku masih terlalu putih ketika seseorang mengumandangkan adzan di pagi buta
yang dingin. Aku merasakannya namun tak mampu mengingatnya. Aku meresapi namun
tak mampu mengingatnya. Waktu memang belum menjadikanku apa yang kau inginkan,
apa yang mereka inginkan, dan apa yang kuinginkan. Bahkan aku sendiri belum
mengerti apa itu 'keinginan'. Waktu masih menyediakan berlapis tabir yang harus
kubelah menjadi sebuah jalan. Maka, waktu tak lain adalah awal dari perkenalan
kita, awal dari musim pertama.
Ingatkah kau, ketika napas benar-benar menyinggahi
sekujur nadiku? Kau mulai menjadikan pecahan itu kian jelas. Pertama, memang
hanya sekadar pelukan bagi mereka, namun bagiku kau adalah sayap. Setidaknya
begitu. Seperti halnya mereka, sayap itu terbang hingga sejauh apa yang dapat
terjangkau, namun sayap tidaklah pernah menyendirikan diri, lalu membuang
segala yang bukan bagian diri. Sayap akan membawa segalanya, meski beban
berlebih akan menyiksa tidurnya sepanjang malam, juga lelahnya sepanjang hari.
Namun sayap selamanya tertakdir untuk setia, membawa dan menjadikan sesuatu
yang kecil sepertiku menjadi sebongkah makna. Kau tahu? Kau melakukannya
untukku.
Aku ingat ketika suatu waktu embun membuat sela
jemariku sedikit gatal. Kala itu kita bergandeng tangan. Aku tak terlalu
mengerti tentang bagaimana segumpal karet menjadi begitu konyol ketika kita
membicarakannya bersama. Ya, kita tertawa bersama hanya karena sebuah sandal
jepit. Sandal itu kecil, mungkin tidaklah jauh berbeda dengan ukuran sepatuku,
tapi aku merasa geli. Aku tersenyum seorang diri ketika membayangkan, kira-kira
siapa pemilik sandal itu? Ternyata dunia begitu indah. Entahlah bagaimana
rasaku demikian rupa. Yang kutahu, kau tak 'kan membiarkan kita menjauh.
Di sana, di sudut pasar, tak lepas mataku
berkelana dari satu warna ke warna yang lain. Namun aku akan selalu memijak
bayangmu. Kau tak pernah jauh dan aku pun begitu. Kita saling berhimpitan. Kita
tetap merasa hangat meski sesungguhnya pagi belum memberi kehangatan. Kugenggam
ujung jemarimu, kau balas dengan lembut. Bau plastik dan tumpukan sampah di
suatu tempat yang cukup kuhafal, tidaklah menjadi alasan untuk pergi, apalagi
menangis. Ah, kurasa memang tak pernah ada alasan untuk jauh-jauh darimu. Kau
akan selalu mengajakku pada sebuah bingkai. Bingkai itu adalah toko, menyajikan
wajah seorang asing yang telah kau kenal. Kau bawa kita ke sana demi memungut
rasa baru tentang cinta dari segelas es krim dan sebungkus snack. Begitulah
kita, begitulah rutinitas pergi ke pasar. Pulangnya, kita kembali menyinggung
soal sandal.
Aku pun ingat ketika satu di antara mereka yang
juga kau sayang, tengah bersembunyi di ujung gang. Kami bersembunyi di sana.
Kupanjat garis-garis hitam dekat pintu depan, memainkan sesuatu dengan jari
telunjukku, atau kadang bila perlu berpura-pura menjadi tamu. Mungkin dengan
begitu akan membuatmu tersenyum, membuatmu mengerti betapa aku telah menjadi
sebagian dari apa yang selalu kau doakan--sebagian kecil. Kami akan bermain
dengan sebuah telepon umum. Namun berulangkali itu pula kami akan selalu
bertanya-tanya: bagaimana mungkin seseorang berbicara dengan orang lain hanya
dengan sebuah kotak? Kau beri jawaban itu dengan kepingan logam. Sejak itu,
setiap hari kami minta sekeping logam.
Pada suatu waktu yang lain, di mana kudapati
diriku tengah melamun, aku tak mengerti apa yang telah kulakukan. Bahkan, aku
tak melihatmu sama sekali. Aku takut tak lagi dapat menemuimu kembali. Aku
takut dunia yang tak kukenal ini menelanku bulat-bulat, sebelum kita kembali
menjalani hari-hari seperti sebelumnya. Namun kau kembali padaku ketika
seseorang menyentuh pipiku, mengatakan bahwa hari sudah pagi. Seseorang itu
menanyakan apakah tidak ada lagi sebaris pertanyaan sepanjang jalan menuju
pasar. Seseorang itu juga bilang, kalau tidak segera bangkit, maka ayam-ayam
akan mendahuluiku. Kau ingat, seseorang itulah dirimu?
Bunga tidur yang sempat mengusik tidaklah terlalu
menggusarkan ketika kau ajak setengah mataku yang masih tertutup melangkah
menuju dapur. Di sana, di meja tempat kita selalu berkumpul dan makan bersama,
ada sepiring puding dan segelas susu. Katamu, puding itu baru saja matang.
Katamu, susu itu masih hangat. Kau akan selalu memaksaku untuk menghabiskannya.
Kau ingat, katamu lagi, agar tubuhku sehat dan kuat? Oh, ya, kau pun selalu
membisikkan padaku, bahwa suatu saat nanti, aku akan tumbuh menjadi sebuah
mimpi.
Lalu, aku akan berceloteh ketika semua orang
terdiam. Aku akan menyerangmu dengan segala kepolosanku tentang rasa sakit.
Sisa-sisa masa lalu yang mungkin masih terasa pahit bagimu, kembali kau buka
demi membuatku tersenyum. Kau tak pernah menangis, ketika kau kisahkan tentang
sebuah pelarian demi menyelamatkan diri dari serangan orang-orang jahat. Kau
tak pernah menangis, ketika kau kisahkan tentang sebagian kakimu yang terluka
kala itu. Aku akan melanjutkan dengan bertanya, apakah hingga kini rasa sakit
itu masih ada. Kau jawab, "Ya, masih ada, Cucuku..."
Kau tersenyum mengatakan itu. Ingatkah kau akan
semua itu? Juga ketika kita telah berjumpa usai sepanjang waktu yang singkat,
yang mendadak menumbuhkan sebukit rindu tak terbendung. Kala itu, Ramadhan baru
saja berakhir. Lagi-lagi kau selalu menyambutku, dengan gerak dan makna serupa.
Kurasa kau memang tak pernah beda. Mungkin waktu yang kembali akan kubawa-bawa,
bukan kupersalahkan. Bahwa karena waktulah, kita tak pernah berbeda, meski aku
telah menjadi sedikit berarti dari yang sudah-sudah. Maksudku, sedikit lebih
besar dari dulu karena memang aku telah tumbuh. Namun kau akan selalu
menganggapku sama, menganggapku bak seikat bunga yang ringan diterbangkan oleh
kepakan sayap. Kita pun terbang bersama, meski kadang kulihat kau tak sekuat
dulu. Bukan karena hati. Hanya karena usia.
Entah berapa lembar cinta dan ketulusan itu kau
beri padaku. Satu pun tidaklah pernah kau meminta itu kembali. Kau hanya akan
mendoakan agar suatu waktu mimpi-mimpi lama kita berwujud nyata--tersentuh,
terhirup, lalu terjalankan. Semua itu telah ada sejak dulu, sejak kita saling
bersenda gurau di depan televisi. Tak peduli apa saja yang nampak, tak peduli
momen apa pun, kita hanya menyibukkan diri dengan sesuatu yang lebih berarti
dari sekadar mengobrol.
Hingga selama masa setelahnya kita akan kembali
lagi, dengan persamaan yang akan selalu sama dan tak pernah beda. Aku akan
pergi meninggalkan keramaian yang perlahan menjadi sebagian dari jalan hidupku.
Meninggalkan lampu-lampu itu. Meninggalkan gedung-gedung itu. Aku pulang,
berlibur menghirup udara rantau. Aku menyendiri laiknya pertapa. Dan di satu
tempat kau menyambutku dengan senyum, tepat di waktu tiga atau empat hari
terakhir pada suatu Ramadhan. Berulangkali kulakukan itu. Ingatkah kau?
Kita pun menjadikan waktu bersama itu dengan
sebentuk makna yang tak jua hilang. Bahkan mungkin aku berpikir semua itu tak
'kan hilang. Makan sahur terasa nikmat meski dengan satu-dua teguk air manis
dan sepotong roti. Mungkin bagiku ini bukan masalah berarti. Karena aku tahu,
aku akan baik-baik saja. Aku hanya mencemaskan keadaanmu ketika kau terus
menerus meyakinkan bahwa tubuhmu kuat. Aku menangis dalam hati melihatmu
tersenyum dalam petang yang masih dingin. Mungkin dulu aku percaya, namun
sekarang kita telah terseret oleh musim yang memanjang. Ingatkah kau?
Kita lepas hari-hari berlalu seperti yang telah
kita lalui. Seiring matahari yang terus merangkak, kita perlahan saling
berhimpit. Bukan di pasar, melainkan di sebaris bangku tempat membagi cerita.
Begitulah sore kita, sore ketika menanti waktu maghrib tiba. Adzan pun membuat
sebagian garis dirimu terpola rapi pada ingatan baru.
Oh, ya, aku juga masih ingat ketika kita saling
berbicara di atas sebuah batu. Batu itu lebar dengan pembatas serupa kapas.
Setiap saat, selama malam-malam menjelang Idul Fitri. Butiran permata nun di
setinggi angkasa tidaklah pernah kita sentuh. Mereka adalah bintang. Namun
rasanya semua itu telah kugapai bersama kalimat-kalimatmu yang telah berputar.
Ingatkah kau? Kita menikmati setiap detik dengan berbagai kenangan yang tak
mungkin kembali. Aku adalah kau, begitu pun sebaliknya. Seperti pertemuan,
kudapati waktu kembali bermain-main. Jika dulu aku adalah kecil, maka sejak
malam itu aku berusaha untuk menjadi sayap. Setidaknya ingin kupanggul bagian terberat
untukmu, agar kau tetap tersenyum.
Kuyakin kau masih ingat ketika aku berlari ke sana
kemari. Bukan di kala kita bermain, melainkan kenyataan lain yang harus segera
kutuntaskan. Kau selalu menanyakan tentang mimpi, aku menjawab dengan seuntai
kata yang kuharap mampu memuaskanmu. Aku tahu, sesungguhnya tidaklah berarti
semua itu bagimu, tidaklah dapat menjadi sesuatu yang terbungkus indah serupa
doa yang dulu. Tapi aku yakin, kau tetaplah kau. Aku hanya ingin membuatmu
tersenyum. Itulah mengapa panas kubunuh dengan tumpahan keringat. Aku tak lagi
peduli apa pun selain dirimu. Aku akan menangis lagi ketika menyadari bahwa kau
tak pernah mempermasalahkan apa pun, menganggap bahwa segalanya memang sebuah
jalan. Mengganggap bahwa aku adalah bagian dari hidupmu.
Sampai pada akhirnya kau terjatuh. Lemah yang dulu
selalu tersamar dalam gerak lakumu yang tulus, tiba-tiba menyentakku bak angin
membuyarkan haluan. Kau jatuh dalam kesendirian yang tidak pernah dapat
kucegah. Kau sakit di waktu yang kuniatkan demi melukis makna baru yang telah
melebur. Kau sakit, diam tak berdaya tanpa sanggup bertutur kata.
Kau tahu, aku sangat merindukan senyummu seperti
waktu kita saling mengitari pagar, atau seperti saat secuil luka menitikkan
darah di bagian mulut kecilku yang tak pernah diam? Atau mungkin seperti saat
sepi hatimu membentuk cermin di kedua bola mata tua, tentang mimpi-mimpi kita,
tentang kecemasanmu padaku? Padahal mereka pun tahu, kau tak perlu bercemas
seperti itu padaku. Dan kau pun tahu, aku bukan lagi keluguan. Aku hanya ingin
kau melihatku berdiri dengan kedua kakiku, lalu dengan sebentuk cinta dariku,
kuberikan apa yang selama ini ingin kuberi untukmu.
Kau tahu, aku sangat merindukan tatap matamu yang
tak pernah membara itu? Ya. Sekalipun tak pernah kutahu kau marah. Tak pernah.
Itulah mengapa aku sering membanding-bandingkan sebuah keadaan pada sayap-sayap
lain. Kurasa kaulah yang paling sempurna di antara mereka. Kau seperti
malaikat. Kau tahu, aku amat merindukan tatap matamu yang tak lagi terbuka?
Mereka bilang, kau tak sadar oleh sesuatu dalam kepalamu. Mereka bilang, kau
butuh berwaktu lamanya untuk sembuh. Selang-selang itu menjuntai, membuatku
menangis di kala ingin kutunjukkan berlembar sajak yang belum sempat kukatakan
padamu. Aroma sepi bertebaran di sekitar kita.
"Ini tulisan-tulisanku. Bangunlah. Aku ingin
kau membaca tulisanku..."
Aku terus menunduk, mengatakan itu dalam hati.
Kuremas jalinan aksaraku hingga tiada terasa tanganku basah. Kertas-kertas itu
basah, tepat di samping tempat tidurmu. Berjam-jam, berhari-hari,
berminggu-minggu, kau masih terlelap.
"Bangunlah. Kami merindukanmu. Dua bulan lagi
Ramadhan tiba. Dua bulan lagi. Kumohon, bangunlah..."
Aku pulang dengan segala bentuk kepasrahan yang
telah mengakar dalam darah. Aku percaya, Allah memberi yang terbaik untukmu.
Aku terus berdoa dan yakin akan kesembuhanmu. Aku terus berdoa, agar
tulisan-tulisanku kelak menjadi buku yang akan kau baca, akan kau tunggu
kelanjutannya, juga akan kau rengkuh dalam lipatan sayapmu yang rapuh oleh
waktu.
Kau tahu, itulah mengapa aku tampak bahagia ketika
seseorang memberi kabar bahwa kau telah terbangun? Aku berlari ke satu tempat
di mana seribu ketidakmungkinan mampu kutebas dalam sehari. Aku berpeluh,
berlelah membangun sebuah tempat yang tak pernah terlintas antara kita. Aku
menyulap sebuah kesepian dalam satu ruang, untukmu tersenyum. Agar kita--aku,
kau, dan mereka--kembali bersama seperti dulu.
Kau pulang dengan seutas senyum hampa di waktu
awal, lalu kian bertumbuh menjadi senyum yang kurindu. Ya. Kau telah bangkit
dari tidurmu, meski tempat tidur itu tidak lepas dari tubuhmu. Mereka bilang,
masih butuh waktu untuk menjadikanmu benar-benar pulih. Itulah mengapa aku dan
mereka menjadikan sebuah tempat baru untuk kita. Mataku pun tak lepas memandangi
selembar kepastian dari waktu yang selama ini menemani. Ya. Waktu perlahan
mendekatkan kita kembali pada Ramadhan. Mata yang terpejam itu kembali kau buka
dalam kelegaan hatiku. Aku lega, karena merasa akan menjalani kembali kesamaan
kita.
Sepanjang hari, kusentuh ujung jemarimu yang
lemah. Seperti yang dulu, seperti waktu kita pergi ke pasar, kau akan
membalasnya. Kau tahu? Kelembutan itu masih kurasa. Kau akan selalu berisyarat
kuat, demi membuat kami tenang. Sesekali kuputar kembali hal-hal yang dulu
telah terlewat. Kita berbicara dengan irama yang tak seteratur dulu. Namun aku
senang kau masih mengingatnya. Kita kembali tertawa dalam obrolan yang tidak
serupa. Meski begitu, aku yakin, bahwa segalanya akan membaik. Keyakinan ini
menjadi satu-satunya alasanku untuk tetap bersamamu, bersenda gurau dalam
hangatnya pagi dan sunyinya malam. Kau terus bertanya-tanya dalam misteri,
tentang sesuatu yang tak kupahami. Kau terus bertanya dan aku akan selalu
menjawab bahwa kita telah kembali.
"Sebentar lagi, kita akan seperti dulu. Lima
belas hari lagi, Ramadhan tiba..."
Aku tenang, merasa sangat tenang kala itu. Sejenak
kulupakan niat tentang tulisan-tulisan itu. Aku masih menyentuhnya,
mengukirnya, namun kurasa belum waktunya untuk membuatmu tersenyum dengan semua
itu. Aku berpikir, mungkin usai kesembuhanmu nanti, kita akan benar-benar
melihat sebentuk mimpi baru yang belum sempat kukatakan. Mimpi itu adalah
sebuah buku. Aku ingin memberimu kejutan.
Namun apalah daya ketika di suatu hari yang
petang, kau tak jua bangkit dari tidurmu. Semangkuk bubur yang mereka siapkan
perlahan dingin namun kau masih tertidur. Napasmu begitu tenang. Suaranya
mengalir, mendesak segala sesuatu yang terbentuk dalam telinga. Kukira kau
masih lelah oleh situasi yang sudah-sudah. Maka, sesekali bila matamu terbuka,
kukatakan bahwa kau akan segera sembuh. Kukatakan bahwa semoga ini akan
berakhir indah.
Dan ingatkah kau, ketika esok membawa sebuah tanda
bagiku? Aku tersentak mendapati sebuah keadaan yang tak pernah ada. Aku terus
berpikir tentang semua itu dalam segala keresahan hati. Kau membuatku cemas
ketika sarapan itu seolah tak lagi kau pedulikan sementara aku dan mereka terus
mencari cara untuk membuat kita kembali. Ini memang tentang kita, bukan siapa
pun. Ini memang tentang kita, tentang sayap-sayap itu.
Hingga pada akhirnya senja itu terasa begitu
asing. Tubuhku serasa remuk, bangun dari sebuah mimpi yang tak pernah menjadi
bagian dari kita. Yang pertama kupikirkan hanyalah tentangmu. Mereka semua
membuatku berlari menuju sebuah tempat yang sempat memberi harapan. Salah satu
dari mereka kemudian mengangkat tubuhmu yang lemah. Aku membantunya. Kau tahu,
detik itu aku sadar bahwa memang tubuhmu ringan seringan sayap? Bahkan mungkin
jauh lebih ringan.
Dan apakah kau tahu, bahwa sesungguhnya senja itu
adalah puncak dari perihnya hatiku? Cahaya yang merangkak dari sisi barat,
menyentuh rambut dan ujung bibirmu yang bergetar, menjadikan sebuah jembatan.
Jembatan itulah yang membuat kita benar-benar jauh.
Aku tahu, ini memang telah menjadi sebuah jalan,
seperti apa yang selalu kau katakan padamu. Aku tahu, kau telah menjadi bagian
dari sebuah keindahan padaku dan pada mereka. Juga pada waktu itu sendiri.
Maka, sedih itu menjelma damai, meski tanah basah perlahan mengering. Ramadhan
tahun itu, kita pun tak lagi bersama.
"Aku tahu, kau akan selalu mengingatnya,
Nenek..."
Untukmu yang jauh di sana...
-Ken Hanggara, FAM801M-Sby
E-mail: kenzohang@yahoo.co.id
Comments
Post a Comment