Sejak kecil aku sudah bermimpi ingin menjadi
penulis. Maka buku cerita menjadi satu dari sekian banyak sahabatku. Aku senang
membaca berbagai cerita rakyat, dongeng dari luar negeri, ataupun kisah
sehari-hari yang mengandung nilai edukasi.
Masih kuingat keinginan pertamaku untuk membeli buku.
Aku melihat buku itu digantung di sebuah kios di tepi jalan. Kukira buku itu
semacam komik, karena dari sampulnya saja kulihat sebuah gambar yang menarik
hati. Ah, sungguh tak terbayang jika komik yang digantung di kios itu kubeli
lalu menjadi milikku. Akan kujaga sebaik mungkin, akan kurawat sebaik mungkin.
Namun pada akhirnya komik itu batal kubeli. Hari-hari sesudahnya aku merengek
kepada Ibu. Rasa penasaranku tidak lagi dapat terbendung lantaran gambar di sampul
komik itu sudah terlanjur membuatku jatuh cinta. Ibu mengatakan bahwa nanti
akan mengabulkan keinginanku.
Dari sanalah kemudian koleksi buku pertama
kumiliki. Buku itu bukan yang kulihat di kios tempo hari, melainkan buku yang
lain. Isinya tentang kegiatan sehari-hari seorang anak SD, yang dilengkapi
dengan gambar-gambar pendukung. Sungguh membuatku ketagihan membaca sampai
berkali-kali. Tak peduli sudah hafal betul ceritanya, atau sudah tahu akan
seperti apa akhir cerita itu. Yang penting dengan membaca buku itu, aku senang.
Sejak hari itu terjadi kubulatkan dalam hati bahwa
aku ingin menjadi penulis. Aku berpikir menjadi penulis itu menyenangkan,
karena bisa membuat orang lain senang. Mungkin dengan membaca tulisan yang
bernilai positif, seseorang yang menangis akan tersenyum dan seseorang yang
tersenyum akan tertawa. Setidaknya kalau tidak ada senyum atau tawa, mungkin
mereka akan berpikir bahwa betapa hidup ini amatlah indah dan patut disyukuri.
Lubuk hati terdalam mereka akan berkata: "Buat apa sedih? Buang-buang
waktu saja!"
Kumulai usaha pertamaku ketika sudah duduk di
bangku kelas dua atau tiga SD. Aku masih ingat kawan sebangkuku cukup
bersemangat ketika guru kami menyuruh untuk menulis satu judul puisi bertema
bebas. Tak buang waktu, aku menulis puisi tentang gitar, karena sering melihat
pamanku bermain gitar. Aku senang. Meski puisi itu amatlah sederhana, guru kami
memberiku nilai yang cukup bagus:
delapan!
Aku mulai mencoba menulis cerita ketika Ibu
membelikanku majalah anak.
Aku ingin menulis dengan hebat seperti para penulis terkenal itu. Cerita-cerita
yang mereka tulis sungguh luar biasa dan tak pernah sekali pun terlintas di
pikiranku. Mungkinkah alam imajinasi seorang penulis bisa terbang sedemikian
hebatnya? Sampai-sampai cerita yang mereka buat itu menjadikanku berdecak
kagum. Namun kusimpan dulu pertanyaan itu selagi mencoba menulis cerita-cerita
pertamaku.
Sayangnya, setelah mencoba berkali-kali, aku
gagal. Mencoba lagi, gagal lagi. Mencoba kembali, gagal kembali. Kegagalan sepertinya
tak bosan-bosan menggodaku untuk tidak lagi menulis. Mungkin karena masih kecil
dan terlalu tidak sabaran, maka kuletakkan saja pensil dan buku tulisku, lalu
menghambur ke lapangan bersama teman-teman; main petak umpet!
Keterbatasan informasi, fasilitas, dan lain
sebagainya, membuatku diam tak berdaya ketika terpikir cita-cita untuk menjadi
penulis. Selama ini aku hanya mengambil peran sebagai pembaca setia tanpa
menguatkan tekad awalku. Bukankah sejak awal aku ingin menulis untuk dibaca
orang lain? Tapi aku benar-benar tak tahu apa yang mesti
kulakukan. Kusebut masa-masa ini sebagai masa kecil penuh tanda tanya. Karena
aku memang selalu ingin tahu. Aku selalu mencari tahu alasan dari terjadinya
sesuatu atau bagaimana sesuatu menjadi begitu hebat di mataku. Dan tahukah, aku
melihat kehebatan semacam itu di kantor pos!
Awalnya begini, Ibu mengajakku ke kantor pos untuk
mengirim surat kepada seseorang. Entah berapa tahun usiaku kala itu. Aku lalu
mengerti bahwa agar karya seseorang dimuat di majalah, ia harus mengirimkannya
melalui bantuan Pak Pos. Terlintas di benakku satu ide ajaib: mengapa tidak
kucoba saja? Namun tujuan itu justru terbalik ketika timbul keinginan untuk
menulis surat saja, bukan menulis cerita atau puisi. Kuanggap menulis surat
kepada seorang yang telah kukenal itu tidak jauh bedanya dari berbicara. Kita
hanya perlu berbicara. Tapi benarkah begitu?
Ternyata menulis surat tidak semudah yang
kubayangkan. Menulis surat sama halnya dengan menulis cerita--sama-sama susah.
Akhirnya, dengan bantuan Ibu aku berhasil menuntaskan sekitar dua halaman surat
untuk nenekku. Perlu kukatakan, surat itu tidak sepenuhnya hasil karyaku.
Memang, aku sendiri yang menulisnya di atas kertas. Namun mengenai isi dari
surat tersebut, aku mendapat bantuan dari Ibu, seperti bagaimana menulis
penutup surat agar berkesan.
Tak butuh waktu lama untuk mendapat balasan dari
Nenek. Kebetulan suratku tiba di rumah beliau ketika beberapa keluarga dari
jauh mengunjunginya. Maka Paman membaca surat itu dengan suara agar semua orang
bisa mendengar. Kubaca satu per satu kalimat di surat balasan Nenek, yang
menceritakan bahwa ketika mereka semua menyimak isi suratku, orang-orang itu
nampak senang. Oh, senangnya, membuat mereka senang!
Kusimpan surat itu dengan baik. Setiap malam aku
tidur dengan hati yang berbunga-bunga. Tak terbayang, sungguh hebat apa yang
dikerjakan oleh para petugas pos. Suratku yang sederhana itu, hanya bermodal
selembar amplop lengkap dengan perangkonya--dan lem tentu saja--dalam waktu
beberapa hari sudah sampai di rumah Nenek yang jauh. Aku tahu, perjalanan darat
menuju rumah Nenek di Surabaya itu tidaklah mudah. Aku sendiri sering muntah di
tengah jalan ketika bau asap kendaraan umum yang kami tumpangi mulai bercampur
dengan berbagai tipe keringat orang dewasa. Ini sama sekali bukan main-main.
Barangsiapa nekat mencoba, harus menelan bulat-bulat akibatnya.
Maka tak berlebihan jika kuungkapkan kekagumanku
kepada Pak Pos. Beliau telah menempuh perjalanan yang tidak mudah itu demi
membuat kami semua senang. Tanpa Pak Pos, tak mungkin suratku itu sampai. Tanpa
Pak Pos, lagu yang berbunyi "di sini senang, di sana senang"
tak ada artinya lagi.
Kukatakan ini pada Pak Pos: "Terima kasih
yang sedalam-dalamnya kuucapkan karena kau dengan ikhlas mengantarkan suratku,
lalu kembali membawa balasan dari Nenek, lengkap dengan amplop, selembar
perangko, ... dan lem pastinya."
Nenek senang mendapat surat dariku. Sejak kecil
aku memang telah dekat dengan beliau. Jika libur panjang sekolah tiba, aku selalu
menginap di rumah Nenek. Setiap pagi Nenek selalu memesan segelas susu sapi
segar untukku. Penjual susu itu kenal baik dengan beliau. Maka meski pembeli
mengantre sampai panjang, bukanlah soal bagi kami.
"Segelas susu ini sengaja saya simpan untuk
cucu Ibu," katanya senang. Orang itu senang melihatku senang. Apalagi
Nenek melengkapinya dengan sepiring puding cokelat. Ah, nikmatnya! Dari seluruh
peristiwa ini, kutarik satu kesimpulan bahwa kami sama-sama senang. Agaknya
sejak tulisan ini kumulai sudah banyak sekali kutulis kata 'senang'. Tapi tak
apalah, toh perasaan senang adalah sesuatu yang baik. Bukan begitu? Andai dunia
ini penuh dengan orang yang tulus berbuat senang demi orang lain--seperti
penjual susu itu, pasti hidup menjadi lebih menyenangkan.
Ingatan masa kecil tentang Nenek juga ada di
sebuah pasar. Pasar itu terletak di seberang gang rumah. Kami berangkat dengan
senyum di wajah masing-masing. Semua nampak bahagia di mataku. Bahkan telepon
umum di sudut gang pun juga nampak begitu. Pulangnya, kami mampir ke sebuah
toko yang menjual snack dan es krim. Mungkin karena terlalu banyak makan
snack itulah kemudian sering secara misterius mulutku diserang sariawan.
Hal berikutnya yang istimewa dari Nenek adalah
karena beliau mengenalkanku pada lagu-lagu daerah. Sejak masa itu kami telah
akrab dan nyaris setiap waktu kami bertemu, Nenek selalu memperhatikan
kesehatanku. Aku memang sering keras kepala jika sudah bertemu dengan sesuatu
yang membuatku bergairah untuk tidak tidur semalam suntuk. Tujuannya demi
menemukan sebuah jawaban. Aku akan begadang demi menonton konser, acara sepak
bola di televisi, atau bahkan hanya sekadar mendengar tukang cerita tengah
beraksi di depanku dan teman-teman.
Bertahun setelah itu, kami akan tetap bersama.
Kejadian kecil namun berkesan seperti segelas susu, puding, es krim, telepon
umum, lagu daerah, dan lain sebagainya memang sudah tidak lagi mengantar
kebersamaan kami. Namun tetap kami akan bertemu kembali dalam keadaan yang
nyaris tidak jauh berbeda. Nenek akan tetap menganggapku sebagai anak kecil dan
memperhatikan segala tentang diriku agar tidak terjadi sesuatu yang buruk
padaku. Mungkin karena rutinitas masa lalu telah mengendap dalam hati dan
membentuk pola yang indah di sana, jadilah rasa sayang Nenek semakin kuat
padaku.
Suatu waktu kudengar kabar bahwa Nenek jatuh
sakit. Aku masih ingat, bulan kelima di tahun 2012 itu adalah sekaligus
tumbuhnya kesadaranku untuk kembali menulis. Aku telah lama mengukir keinginan
untuk menulis buku karya sendiri, tapi tidak benar-benar kuperjuangkan.
Sebelumnya, telah banyak puisi kutulis tapi hanya berakhir di tempat sampah dan
belakangan lenyap tak tahu rimbanya karena handphone bututku hilang. Aku
memang tak punya fasilitas apa pun selain menyewa warnet per jam untuk mengetik
tulisanku atau kadang jika tak sempat hanya kusimpan di dalam handphone. Hilangnya
puisi-puisi itu, serta rasa putus asa karena tulisanku dianggap buruk oleh
seseorang, membuatku tak ingin lagi menulis.
Entah bagaimana awalnya ketika kuputuskan untuk
melakukan sesuatu demi mengembalikan mimpiku itu. Bukankah aku terlalu lama
menyimpan mimpi ini? Selama ini aku selalu setengah-setengah sehingga tak satu
pun karya yang benar-benar kuhasilkan secara utuh. Kupikir dengan tidak
setengah-setengah akan ada jalan keluar. Ya, aku harus tidak setengah-setengah!
Aku harus total!
Jadilah aku mulai mengikuti berbagai perlombaan
menulis. Aku mengenal berbagai komunitas tempat berkumpul dan belajarnya para
penulis muda--termasuk salah satunya FAM Indonesia, yang kemudian membuatku
merasa memiliki keluarga kedua dalam hidupku.
Tepat pada saat yang bersamaan itu, kabar Nenek
jatuh sakit membuatku tak sabar ingin menjenguknya. Ketika memasuki kamar,
kulihat beliau tengah tertidur. Ada garis lelah di wajah renta itu. Aku berdoa
dalam hati agar beliau segera sembuh. Tapi apa daya? Takdir berkehendak lain
saat kondisi Nenek semakin menurun dan harus menjalani perawatan di rumah
sakit.
Bulan itu juga kutulis cerpen pertamaku. Dalam
waktu kurang lebih satu minggu, tiga judul cerpen sukses kuhasilkan. Bukan
sesuatu yang hebat karena ini cukup membuat kepalaku pusing tak karuan. Seperti
yang sudah kubilang: menulis cerita itu tak mudah. Aku nyaris tak percaya tapi
kemudian mencoba untuk membiasakan diri dengan terus berlatih. Ketika memulai
sebuah cerpen, kukatakan pada diri sendiri bahwa menulis sesuatu itu layaknya
membangun rumah. Jika belum juga rampung, aku tak 'kan berhenti!
Cerpen kedua, "Memori Sore Terindah",
adalah yang paling berarti di antara yang lain. Aku menulis tentang ibuku,
sosok yang tak jauh berbeda dari Nenek. Kondisi Nenek membuat semangatku
tersulut. Kukatakan dalam hati, "Jika
nanti aku berhasil, kuharap kau akan membaca cerpen ini." Karena aku
tahu, Nenek akan senang dengan tulisanku, seperti dulu saat aku mengirim surat
untuknya, tak peduli
tulisanku seburuk apa. Namun aku menelan kekalahan bertubi-tubi ketika hampir
semua tulisanku tak lolos. Sementara Nenek masih dirawat, aku enggan menyerah
untuk kedua kalinya. Aku terus menulis.
Perlahan dan pasti, sebulan kemudian ada
perkembangan baik dari kondisi Nenek. Beliau sudah dibolehkan pulang dan kami
memutuskan untuk membawa Nenek ke selatan. Sejak dulu, aku dan salah seorang
sepupu menjadi cucu kesayangan Nenek di antara saudara sepupu kami lainnya.
Maka tak heran bila keluarga memutuskan untuk membawa Nenek yang masih dalam
tahap pemulihan ke rumahku. Penyakit yang Nenek derita adalah stroke
ringan. Beliau senang melihat kehadiranku setiap hari di sampingnya, sambil
terus bertanya-tanya: kamar siapa ini? Kujawab bahwa ini adalah kamarku.
Biarlah aku tak tidur di kamar yang penting Nenek kami rawat bersama di tempat
ini.
Selama menjaga Nenek itulah aku menulis cerpen
dengan tema yang baru. Maksudku lebih baru dari tema-tema yang sudah kutulis
sebelumnya. Aku mengambil tema pelajaran hidup. Alasannya adalah apa yang
selama ini Nenek beri untukku. Bagiku Nenek adalah simbol dari cinta dan
perjuangan. Mengenai perjuangan, tentu ada hal lain yang turut mendasari, yakni
rasa hormatku kepada mereka yang tercetak sebagai manusia-manusia yang hidup
memeluk derita: kaum pinggiran. Mereka semua mengajariku makna hidup.
Sejak dulu, aku senang mengamati kehidupan kaum
pinggiran. Hidup di desa yang jauh dari kota, membuatku bertemu banyak hal yang
kadang indah, kadang pula mengharukan untuk didengar. Salah satunya adalah
tentang seorang wanita tua yang menjual beras keliling kampung. Beliau tak
mengenalku namun aku mengenalnya. Aku mengenalnya dari kebiasaannya setiap hari
menawarkan beras dan telur dari rumah ke rumah.
Lalu ada pula seorang kakek penjual es yang
kutaksir usianya lebih dari delapan puluh tahun. Beliau sudah berjualan es
sejak aku masih SD. Beliau kami kenal dengan bunyi loncengnya yang pilu, tapi
beliau tak terlalu mengenal kami karena saking panjangnya waktu berlalu.
Dua sosok di atas berjuang demi sesuap nasi di
usia yang demikian senja. Kenyataan ini kadang membuat hatiku perih. Untuk
menyembuhkannya, aku harus membuang pikiranku ke hal-hal yang ceria tapi itu
sama sekali tak mudah. Setiap kali melihat mereka, aku teringat Nenek. Nenek
adalah seorang yang pendiam. Tapi dalam diam itu tersimpan mutiara. Betapa
Nenek adalah sesuatu yang sepi namun sepinya mengandung kehangatan bagi kami
semua. Betapa Nenek adalah sosok yang penuh cinta dan keikhlasan tanpa mengharap
imbalan. Sementara para pejuang tadi adalah pahlawan sejati bagi kehidupan yang
juga sepi. Mereka menunjukkan bahwa setiap helaan napas adalah jalan yang harus
ditempuh.
Ada satu kekuatan yang sama dalam diri Nenek dan orang-orang itu: pantang menyerah. Nenek pantang menyerah meski
waktu kian melemahkannya. Sedang mereka pantang menyerah meski dunia
terang-terangan mengkhianati. Entah dengan cara apa otakku menghubungkan kedua
hal ini.
Dengan bertambahnya pertemuanku dengan sosok-sosok
inspiratif, satu konsep untuk buku kumpulan cerpen terlengkapi sudah. Aku ingin membingkai ide yang
bercampur aduk ini menjadi satu. Awal Juli 2012, aku mulai menulis halaman pertama.
Judul pertama yang kutulis adalah
"1979". Cerpen ini menjadi semacam eksperimen bagiku. Karena sebelum
itu, kebanyakan aku hanya menulis cerpen berdasarkan apa yang kualami sendiri,
bukan sesuatu yang berasal dari ide atau sesuatu yang sengaja didramatisir (karya tulis fiksi). Aku
menulis cerpen ini di samping tempat tidurku bersama Nenek. Kebetulan tidak ada
seorang pun yang ada di rumah selain kami berdua. Sore hari, cerpen ini selesai.
Aku berdoa untuk kesembuhan Nenek.
Berikutnya aku menulis cerpen kedua. Kembali
kujalani hal yang nyaris serupa dengan proses "1979". Nenek berada di
dekatku ketika kutulis kisah tentang seorang anak bernama Aisyah, yang berjuang keras demi sekolah dan
membahagiakan ayahnya. Namun ada sedikit yang berbeda. Kondisi Nenek nampak
lemah. Padahal beberapa hari sebelumnya tidak selemah itu. Cerpen itu rampung
sore harinya dan aku kembali berdoa untuk kesembuhan Nenek.
Aku merasa bahwa buku ini adalah sesuatu yang
telah lama kuimpikan. Menulis
adalah cara terbaik untuk menebar kebaikan kepada dunia, pun menjadi jalan yang
indah ketika lidah terkunci sementara hati ingin berbicara. Namun pada tanggal
15 Juli 2012, aku tersentak dengan semakin menurunnya kondisi Nenek. Nenek
kembali seperti ketika pertama beliau sakit dua bulan sebelumnya.
Kami cemas. Berusaha sekuat tenaga agar Nenek
kembali seperti ketika aku menjaganya selama sebulan terakhir. Aku masih ingat
ketika kami bercanda tentang lagu-lagu daerah yang dulu selalu beliau nyanyikan
untukku agar aku segera tertidur. Aku masih ingat ketika beliau mengenang soal
tidak tidurnya kami semalam suntuk karena begadang. Sebabnya karena setiap tiga
atau empat hari terakhir Ramadhan aku selalu menginap di rumah Nenek, demi
melalui malam takbiran bersama. Aku merindukan semua itu dan Nenek menjawab
kerinduan itu dengan membuka kembali cerita lama kami meski beliau dalam
keadaan sakit.
Hari itu juga kusempatkan menulis cerpen ketiga
berjudul "Lonceng Kemuliaan". Isinya bercerita tentang kakek tua
penjual es itu. Hatiku menangis melihat Nenek. Kembali aku berdoa agar
kesembuhan datang untuknya. Namun mungkin karena terlalu cemas, mataku terasa lelah.
Baru seperempat bagian kutulis, aku tertidur.
Aku terbangun ketika kudengar suara orang-orang
berkumpul di ruang tengah. Siapa yang menyebabkan suara-suara itu? Setahuku
tadi cuma sebagian keluarga kami yang berkumpul. Namun ketika kesadaranku
benar-benar pulih, kulihat Ibu sedang tergopoh-gopoh seperti tengah sibuk
mengerjakan sesuatu. Segera aku menghambur ke kamar Nenek. Seseorang lalu
menyuruhku membantu Paman. Katanya Nenek akan dibawa ke rumah sakit sore itu
juga. Ketika tubuh Nenek kami angkat, ada sesuatu yang membuatku tersentak, ada
sesuatu yang beda tapi tak tahu apa.
Senja mengantar cahaya langit ke sisi barat, lalu
memantulkan sebagian kuningnya ke ujung pepohonan randu, membentuk
bayang-bayang kelabu. Kupandangi wajah Nenek di teras rumah kami sebelum
orang-orang membuka pintu mobil. Tak ada kesedihan di sana, tak ada derita di
sana, di wajah Nenek. Yang kulihat hanya putih, seputih ketulusan yang selama
ini tersimpan dengan rapi di balik sepinya. Itulah saat terakhir aku melihat
wajah Nenek semasa hidup. Aku melihatnya kembali beberapa saat setelah nyawa
terangkat dari tubuh lemahnya.
Sepi seketika melanda sekujur tubuhku. Kepergian
Nenek adalah sesuatu yang tak terduga. Begitulah kematian berlaku, tidak pernah
ada yang tahu. Betapapun menyakitkannya sore itu, aku berdoa agar beliau
bahagia dan mendapat tempat terbaik di sisiNya.
Aku membangkitkan diri dari kesedihan dengan
menulis kembali. Kulanjutkan cerpen ketiga setelah 'meliburkan' diri selama
beberapa waktu. Bulan Ramadhan tahun itu kemudian tiba tanpa kehadiran Nenek di
tengah-tengah kami. Cerpen-cerpen yang seharusnya kutulis menjadi terbengkalai.
Buku itu kembali tertunda.
Selama tiga bulan berikutnya aku menulis hanya
untuk diikutsertakan dalam beberapa perlombaan. Aku berkunjung ke Pulau Bali
untuk suatu urusan. Di sana inspirasi baru menyergapku. Aku mulai sadar, buku
kumpulan cerpen tadi harus benar-benar kuselesaikan. Bersama dengan inspirasi
baru tadi, aku menemukan cara demi menghindarkan diri dari kejenuhan menulis.
Aku menulis puisi ketika bosan dengan cerpen. Sedang jika bosan dengan puisi, aku pun menulis cerpen.
Begitu seterusnya.
Selama kurang lebih 40 hari--dari Oktober hingga
November 2012--sebuah buku puisi berhasil kuselesaikan. Buku puisi ini didasari
atas ide ketika aku singgah di Pantai Sanur, di Bali. Dua hari kemudian, buku
cerpen tentang sosok inspiratif tadi, menyusul kurampungkan. Sungguh sesuatu
yang tak dapat kupercaya tapi benar terjadi. Aku benar-benar menulis buku. Alhamdulillah.
Buku cerpen ini sendiri terinspirasi oleh beberapa kejadian dan tokoh yang
hidup di dunia nyata. Namun ada pula cerita yang berasal dari gambar di dalam
kepala yang sering orang sebut 'imajinasi'. Awalnya "Kupu-Kupu Hitam"
kupilih sebagai judul dari buku ini. Namun karena berbagai pertimbangan, pada
akhirnya kuganti judulnya menjadi "Jalan Setapak Aisyah". Seluruhnya
terbingkai dalam enam belas kisah kehidupan kaum pinggiran yang terbalut oleh
cinta, kesepian, perjuangan, kebutaan, dan ketidakberdayaan.
Pahitnya hidup terkadang membuat manusia lupa
untuk bersyukur. Kadang manusia menganggap pilihan tidak selalu ada untuk
dirinya. Padahal Tuhan telah menyediakan jalan untuk masing-masing. Setiap
jalan itu adalah yang terbaik ketika manusia berani untuk melaluinya. Sementara
mereka yang menolak melaluinya, sudah pasti akan merugi.
Kini, kukatakan
dalam hati, “Buku ini kupersembahkan untuk mereka dan untukmu, Nenek ….”
Oleh: Ken Hanggara, FAM801M-Sby
Comments
Post a Comment