Skip to main content

Dari Masa Kecil Hingga "Jalan Setapak Aisyah"



Sejak kecil aku sudah bermimpi ingin menjadi penulis. Maka buku cerita menjadi satu dari sekian banyak sahabatku. Aku senang membaca berbagai cerita rakyat, dongeng dari luar negeri, ataupun kisah sehari-hari yang mengandung nilai edukasi.


Masih kuingat keinginan pertamaku untuk membeli buku. Aku melihat buku itu digantung di sebuah kios di tepi jalan. Kukira buku itu semacam komik, karena dari sampulnya saja kulihat sebuah gambar yang menarik hati. Ah, sungguh tak terbayang jika komik yang digantung di kios itu kubeli lalu menjadi milikku. Akan kujaga sebaik mungkin, akan kurawat sebaik mungkin. Namun pada akhirnya komik itu batal kubeli. Hari-hari sesudahnya aku merengek kepada Ibu. Rasa penasaranku tidak lagi dapat terbendung lantaran gambar di sampul komik itu sudah terlanjur membuatku jatuh cinta. Ibu mengatakan bahwa nanti akan mengabulkan keinginanku.

Dari sanalah kemudian koleksi buku pertama kumiliki. Buku itu bukan yang kulihat di kios tempo hari, melainkan buku yang lain. Isinya tentang kegiatan sehari-hari seorang anak SD, yang dilengkapi dengan gambar-gambar pendukung. Sungguh membuatku ketagihan membaca sampai berkali-kali. Tak peduli sudah hafal betul ceritanya, atau sudah tahu akan seperti apa akhir cerita itu. Yang penting dengan membaca buku itu, aku senang.

Sejak hari itu terjadi kubulatkan dalam hati bahwa aku ingin menjadi penulis. Aku berpikir menjadi penulis itu menyenangkan, karena bisa membuat orang lain senang. Mungkin dengan membaca tulisan yang bernilai positif, seseorang yang menangis akan tersenyum dan seseorang yang tersenyum akan tertawa. Setidaknya kalau tidak ada senyum atau tawa, mungkin mereka akan berpikir bahwa betapa hidup ini amatlah indah dan patut disyukuri. Lubuk hati terdalam mereka akan berkata: "Buat apa sedih? Buang-buang waktu saja!"

Kumulai usaha pertamaku ketika sudah duduk di bangku kelas dua atau tiga SD. Aku masih ingat kawan sebangkuku cukup bersemangat ketika guru kami menyuruh untuk menulis satu judul puisi bertema bebas. Tak buang waktu, aku menulis puisi tentang gitar, karena sering melihat pamanku bermain gitar. Aku senang. Meski puisi itu amatlah sederhana, guru kami memberiku nilai yang cukup bagus: delapan!

Aku mulai mencoba menulis cerita ketika Ibu membelikanku majalah anak. Aku ingin menulis dengan hebat seperti para penulis terkenal itu. Cerita-cerita yang mereka tulis sungguh luar biasa dan tak pernah sekali pun terlintas di pikiranku. Mungkinkah alam imajinasi seorang penulis bisa terbang sedemikian hebatnya? Sampai-sampai cerita yang mereka buat itu menjadikanku berdecak kagum. Namun kusimpan dulu pertanyaan itu selagi mencoba menulis cerita-cerita pertamaku.

Sayangnya, setelah mencoba berkali-kali, aku gagal. Mencoba lagi, gagal lagi. Mencoba kembali, gagal kembali. Kegagalan sepertinya tak bosan-bosan menggodaku untuk tidak lagi menulis. Mungkin karena masih kecil dan terlalu tidak sabaran, maka kuletakkan saja pensil dan buku tulisku, lalu menghambur ke lapangan bersama teman-teman; main petak umpet!

Keterbatasan informasi, fasilitas, dan lain sebagainya, membuatku diam tak berdaya ketika terpikir cita-cita untuk menjadi penulis. Selama ini aku hanya mengambil peran sebagai pembaca setia tanpa menguatkan tekad awalku. Bukankah sejak awal aku ingin menulis untuk dibaca orang lain? Tapi aku benar-benar tak tahu apa yang mesti kulakukan. Kusebut masa-masa ini sebagai masa kecil penuh tanda tanya. Karena aku memang selalu ingin tahu. Aku selalu mencari tahu alasan dari terjadinya sesuatu atau bagaimana sesuatu menjadi begitu hebat di mataku. Dan tahukah, aku melihat kehebatan semacam itu di kantor pos!

Awalnya begini, Ibu mengajakku ke kantor pos untuk mengirim surat kepada seseorang. Entah berapa tahun usiaku kala itu. Aku lalu mengerti bahwa agar karya seseorang dimuat di majalah, ia harus mengirimkannya melalui bantuan Pak Pos. Terlintas di benakku satu ide ajaib: mengapa tidak kucoba saja? Namun tujuan itu justru terbalik ketika timbul keinginan untuk menulis surat saja, bukan menulis cerita atau puisi. Kuanggap menulis surat kepada seorang yang telah kukenal itu tidak jauh bedanya dari berbicara. Kita hanya perlu berbicara. Tapi benarkah begitu?

Ternyata menulis surat tidak semudah yang kubayangkan. Menulis surat sama halnya dengan menulis cerita--sama-sama susah. Akhirnya, dengan bantuan Ibu aku berhasil menuntaskan sekitar dua halaman surat untuk nenekku. Perlu kukatakan, surat itu tidak sepenuhnya hasil karyaku. Memang, aku sendiri yang menulisnya di atas kertas. Namun mengenai isi dari surat tersebut, aku mendapat bantuan dari Ibu, seperti bagaimana menulis penutup surat agar berkesan.

Tak butuh waktu lama untuk mendapat balasan dari Nenek. Kebetulan suratku tiba di rumah beliau ketika beberapa keluarga dari jauh mengunjunginya. Maka Paman membaca surat itu dengan suara agar semua orang bisa mendengar. Kubaca satu per satu kalimat di surat balasan Nenek, yang menceritakan bahwa ketika mereka semua menyimak isi suratku, orang-orang itu nampak senang. Oh, senangnya, membuat mereka senang!

Kusimpan surat itu dengan baik. Setiap malam aku tidur dengan hati yang berbunga-bunga. Tak terbayang, sungguh hebat apa yang dikerjakan oleh para petugas pos. Suratku yang sederhana itu, hanya bermodal selembar amplop lengkap dengan perangkonya--dan lem tentu saja--dalam waktu beberapa hari sudah sampai di rumah Nenek yang jauh. Aku tahu, perjalanan darat menuju rumah Nenek di Surabaya itu tidaklah mudah. Aku sendiri sering muntah di tengah jalan ketika bau asap kendaraan umum yang kami tumpangi mulai bercampur dengan berbagai tipe keringat orang dewasa. Ini sama sekali bukan main-main. Barangsiapa nekat mencoba, harus menelan bulat-bulat akibatnya.

Maka tak berlebihan jika kuungkapkan kekagumanku kepada Pak Pos. Beliau telah menempuh perjalanan yang tidak mudah itu demi membuat kami semua senang. Tanpa Pak Pos, tak mungkin suratku itu sampai. Tanpa Pak Pos, lagu yang berbunyi "di sini senang, di sana senang" tak ada artinya lagi.

Kukatakan ini pada Pak Pos: "Terima kasih yang sedalam-dalamnya kuucapkan karena kau dengan ikhlas mengantarkan suratku, lalu kembali membawa balasan dari Nenek, lengkap dengan amplop, selembar perangko, ... dan lem pastinya."

Nenek senang mendapat surat dariku. Sejak kecil aku memang telah dekat dengan beliau. Jika libur panjang sekolah tiba, aku selalu menginap di rumah Nenek. Setiap pagi Nenek selalu memesan segelas susu sapi segar untukku. Penjual susu itu kenal baik dengan beliau. Maka meski pembeli mengantre sampai panjang, bukanlah soal bagi kami.

"Segelas susu ini sengaja saya simpan untuk cucu Ibu," katanya senang. Orang itu senang melihatku senang. Apalagi Nenek melengkapinya dengan sepiring puding cokelat. Ah, nikmatnya! Dari seluruh peristiwa ini, kutarik satu kesimpulan bahwa kami sama-sama senang. Agaknya sejak tulisan ini kumulai sudah banyak sekali kutulis kata 'senang'. Tapi tak apalah, toh perasaan senang adalah sesuatu yang baik. Bukan begitu? Andai dunia ini penuh dengan orang yang tulus berbuat senang demi orang lain--seperti penjual susu itu, pasti hidup menjadi lebih menyenangkan.

Ingatan masa kecil tentang Nenek juga ada di sebuah pasar. Pasar itu terletak di seberang gang rumah. Kami berangkat dengan senyum di wajah masing-masing. Semua nampak bahagia di mataku. Bahkan telepon umum di sudut gang pun juga nampak begitu. Pulangnya, kami mampir ke sebuah toko yang menjual snack dan es krim. Mungkin karena terlalu banyak makan snack itulah kemudian sering secara misterius mulutku diserang sariawan.

Hal berikutnya yang istimewa dari Nenek adalah karena beliau mengenalkanku pada lagu-lagu daerah. Sejak masa itu kami telah akrab dan nyaris setiap waktu kami bertemu, Nenek selalu memperhatikan kesehatanku. Aku memang sering keras kepala jika sudah bertemu dengan sesuatu yang membuatku bergairah untuk tidak tidur semalam suntuk. Tujuannya demi menemukan sebuah jawaban. Aku akan begadang demi menonton konser, acara sepak bola di televisi, atau bahkan hanya sekadar mendengar tukang cerita tengah beraksi di depanku dan teman-teman.

Bertahun setelah itu, kami akan tetap bersama. Kejadian kecil namun berkesan seperti segelas susu, puding, es krim, telepon umum, lagu daerah, dan lain sebagainya memang sudah tidak lagi mengantar kebersamaan kami. Namun tetap kami akan bertemu kembali dalam keadaan yang nyaris tidak jauh berbeda. Nenek akan tetap menganggapku sebagai anak kecil dan memperhatikan segala tentang diriku agar tidak terjadi sesuatu yang buruk padaku. Mungkin karena rutinitas masa lalu telah mengendap dalam hati dan membentuk pola yang indah di sana, jadilah rasa sayang Nenek semakin kuat padaku.

Suatu waktu kudengar kabar bahwa Nenek jatuh sakit. Aku masih ingat, bulan kelima di tahun 2012 itu adalah sekaligus tumbuhnya kesadaranku untuk kembali menulis. Aku telah lama mengukir keinginan untuk menulis buku karya sendiri, tapi tidak benar-benar kuperjuangkan. Sebelumnya, telah banyak puisi kutulis tapi hanya berakhir di tempat sampah dan belakangan lenyap tak tahu rimbanya karena handphone bututku hilang. Aku memang tak punya fasilitas apa pun selain menyewa warnet per jam untuk mengetik tulisanku atau kadang jika tak sempat hanya kusimpan di dalam handphone. Hilangnya puisi-puisi itu, serta rasa putus asa karena tulisanku dianggap buruk oleh seseorang, membuatku tak ingin lagi menulis.

Entah bagaimana awalnya ketika kuputuskan untuk melakukan sesuatu demi mengembalikan mimpiku itu. Bukankah aku terlalu lama menyimpan mimpi ini? Selama ini aku selalu setengah-setengah sehingga tak satu pun karya yang benar-benar kuhasilkan secara utuh. Kupikir dengan tidak setengah-setengah akan ada jalan keluar. Ya, aku harus tidak setengah-setengah! Aku harus total!

Jadilah aku mulai mengikuti berbagai perlombaan menulis. Aku mengenal berbagai komunitas tempat berkumpul dan belajarnya para penulis muda--termasuk salah satunya FAM Indonesia, yang kemudian membuatku merasa memiliki keluarga kedua dalam hidupku.

Tepat pada saat yang bersamaan itu, kabar Nenek jatuh sakit membuatku tak sabar ingin menjenguknya. Ketika memasuki kamar, kulihat beliau tengah tertidur. Ada garis lelah di wajah renta itu. Aku berdoa dalam hati agar beliau segera sembuh. Tapi apa daya? Takdir berkehendak lain saat kondisi Nenek semakin menurun dan harus menjalani perawatan di rumah sakit.

Bulan itu juga kutulis cerpen pertamaku. Dalam waktu kurang lebih satu minggu, tiga judul cerpen sukses kuhasilkan. Bukan sesuatu yang hebat karena ini cukup membuat kepalaku pusing tak karuan. Seperti yang sudah kubilang: menulis cerita itu tak mudah. Aku nyaris tak percaya tapi kemudian mencoba untuk membiasakan diri dengan terus berlatih. Ketika memulai sebuah cerpen, kukatakan pada diri sendiri bahwa menulis sesuatu itu layaknya membangun rumah. Jika belum juga rampung, aku tak 'kan berhenti!

Cerpen kedua, "Memori Sore Terindah", adalah yang paling berarti di antara yang lain. Aku menulis tentang ibuku, sosok yang tak jauh berbeda dari Nenek. Kondisi Nenek membuat semangatku tersulut. Kukatakan dalam hati, "Jika nanti aku berhasil, kuharap kau akan membaca cerpen ini." Karena aku tahu, Nenek akan senang dengan tulisanku, seperti dulu saat aku mengirim surat untuknya, tak peduli tulisanku seburuk apa. Namun aku menelan kekalahan bertubi-tubi ketika hampir semua tulisanku tak lolos. Sementara Nenek masih dirawat, aku enggan menyerah untuk kedua kalinya. Aku terus menulis.

Perlahan dan pasti, sebulan kemudian ada perkembangan baik dari kondisi Nenek. Beliau sudah dibolehkan pulang dan kami memutuskan untuk membawa Nenek ke selatan. Sejak dulu, aku dan salah seorang sepupu menjadi cucu kesayangan Nenek di antara saudara sepupu kami lainnya. Maka tak heran bila keluarga memutuskan untuk membawa Nenek yang masih dalam tahap pemulihan ke rumahku. Penyakit yang Nenek derita adalah stroke ringan. Beliau senang melihat kehadiranku setiap hari di sampingnya, sambil terus bertanya-tanya: kamar siapa ini? Kujawab bahwa ini adalah kamarku. Biarlah aku tak tidur di kamar yang penting Nenek kami rawat bersama di tempat ini.

Selama menjaga Nenek itulah aku menulis cerpen dengan tema yang baru. Maksudku lebih baru dari tema-tema yang sudah kutulis sebelumnya. Aku mengambil tema pelajaran hidup. Alasannya adalah apa yang selama ini Nenek beri untukku. Bagiku Nenek adalah simbol dari cinta dan perjuangan. Mengenai perjuangan, tentu ada hal lain yang turut mendasari, yakni rasa hormatku kepada mereka yang tercetak sebagai manusia-manusia yang hidup memeluk derita: kaum pinggiran. Mereka semua mengajariku makna hidup.

Sejak dulu, aku senang mengamati kehidupan kaum pinggiran. Hidup di desa yang jauh dari kota, membuatku bertemu banyak hal yang kadang indah, kadang pula mengharukan untuk didengar. Salah satunya adalah tentang seorang wanita tua yang menjual beras keliling kampung. Beliau tak mengenalku namun aku mengenalnya. Aku mengenalnya dari kebiasaannya setiap hari menawarkan beras dan telur dari rumah ke rumah.

Lalu ada pula seorang kakek penjual es yang kutaksir usianya lebih dari delapan puluh tahun. Beliau sudah berjualan es sejak aku masih SD. Beliau kami kenal dengan bunyi loncengnya yang pilu, tapi beliau tak terlalu mengenal kami karena saking panjangnya waktu berlalu.

Dua sosok di atas berjuang demi sesuap nasi di usia yang demikian senja. Kenyataan ini kadang membuat hatiku perih. Untuk menyembuhkannya, aku harus membuang pikiranku ke hal-hal yang ceria tapi itu sama sekali tak mudah. Setiap kali melihat mereka, aku teringat Nenek. Nenek adalah seorang yang pendiam. Tapi dalam diam itu tersimpan mutiara. Betapa Nenek adalah sesuatu yang sepi namun sepinya mengandung kehangatan bagi kami semua. Betapa Nenek adalah sosok yang penuh cinta dan keikhlasan tanpa mengharap imbalan. Sementara para pejuang tadi adalah pahlawan sejati bagi kehidupan yang juga sepi. Mereka menunjukkan bahwa setiap helaan napas adalah jalan yang harus ditempuh.

Ada satu kekuatan yang sama dalam diri Nenek dan orang-orang itu: pantang menyerah. Nenek pantang menyerah meski waktu kian melemahkannya. Sedang mereka pantang menyerah meski dunia terang-terangan mengkhianati. Entah dengan cara apa otakku menghubungkan kedua hal ini.

Dengan bertambahnya pertemuanku dengan sosok-sosok inspiratif, satu konsep untuk buku kumpulan cerpen terlengkapi sudah. Aku ingin membingkai ide yang bercampur aduk ini menjadi satu. Awal Juli 2012, aku mulai menulis halaman pertama.

Judul pertama yang kutulis adalah "1979". Cerpen ini menjadi semacam eksperimen bagiku. Karena sebelum itu, kebanyakan aku hanya menulis cerpen berdasarkan apa yang kualami sendiri, bukan sesuatu yang berasal dari ide atau sesuatu yang sengaja didramatisir (karya tulis fiksi). Aku menulis cerpen ini di samping tempat tidurku bersama Nenek. Kebetulan tidak ada seorang pun yang ada di rumah selain kami berdua. Sore hari, cerpen ini selesai. Aku berdoa untuk kesembuhan Nenek.

Berikutnya aku menulis cerpen kedua. Kembali kujalani hal yang nyaris serupa dengan proses "1979". Nenek berada di dekatku ketika kutulis kisah tentang seorang anak bernama Aisyah, yang berjuang keras demi sekolah dan membahagiakan ayahnya. Namun ada sedikit yang berbeda. Kondisi Nenek nampak lemah. Padahal beberapa hari sebelumnya tidak selemah itu. Cerpen itu rampung sore harinya dan aku kembali berdoa untuk kesembuhan Nenek.

Aku merasa bahwa buku ini adalah sesuatu yang telah lama kuimpikan. Menulis adalah cara terbaik untuk menebar kebaikan kepada dunia, pun menjadi jalan yang indah ketika lidah terkunci sementara hati ingin berbicara. Namun pada tanggal 15 Juli 2012, aku tersentak dengan semakin menurunnya kondisi Nenek. Nenek kembali seperti ketika pertama beliau sakit dua bulan sebelumnya.

Kami cemas. Berusaha sekuat tenaga agar Nenek kembali seperti ketika aku menjaganya selama sebulan terakhir. Aku masih ingat ketika kami bercanda tentang lagu-lagu daerah yang dulu selalu beliau nyanyikan untukku agar aku segera tertidur. Aku masih ingat ketika beliau mengenang soal tidak tidurnya kami semalam suntuk karena begadang. Sebabnya karena setiap tiga atau empat hari terakhir Ramadhan aku selalu menginap di rumah Nenek, demi melalui malam takbiran bersama. Aku merindukan semua itu dan Nenek menjawab kerinduan itu dengan membuka kembali cerita lama kami meski beliau dalam keadaan sakit.

Hari itu juga kusempatkan menulis cerpen ketiga berjudul "Lonceng Kemuliaan". Isinya bercerita tentang kakek tua penjual es itu. Hatiku menangis melihat Nenek. Kembali aku berdoa agar kesembuhan datang untuknya. Namun mungkin karena terlalu cemas, mataku terasa lelah. Baru seperempat bagian kutulis, aku tertidur.

Aku terbangun ketika kudengar suara orang-orang berkumpul di ruang tengah. Siapa yang menyebabkan suara-suara itu? Setahuku tadi cuma sebagian keluarga kami yang berkumpul. Namun ketika kesadaranku benar-benar pulih, kulihat Ibu sedang tergopoh-gopoh seperti tengah sibuk mengerjakan sesuatu. Segera aku menghambur ke kamar Nenek. Seseorang lalu menyuruhku membantu Paman. Katanya Nenek akan dibawa ke rumah sakit sore itu juga. Ketika tubuh Nenek kami angkat, ada sesuatu yang membuatku tersentak, ada sesuatu yang beda tapi tak tahu apa.

Senja mengantar cahaya langit ke sisi barat, lalu memantulkan sebagian kuningnya ke ujung pepohonan randu, membentuk bayang-bayang kelabu. Kupandangi wajah Nenek di teras rumah kami sebelum orang-orang membuka pintu mobil. Tak ada kesedihan di sana, tak ada derita di sana, di wajah Nenek. Yang kulihat hanya putih, seputih ketulusan yang selama ini tersimpan dengan rapi di balik sepinya. Itulah saat terakhir aku melihat wajah Nenek semasa hidup. Aku melihatnya kembali beberapa saat setelah nyawa terangkat dari tubuh lemahnya.

Sepi seketika melanda sekujur tubuhku. Kepergian Nenek adalah sesuatu yang tak terduga. Begitulah kematian berlaku, tidak pernah ada yang tahu. Betapapun menyakitkannya sore itu, aku berdoa agar beliau bahagia dan mendapat tempat terbaik di sisiNya.

Aku membangkitkan diri dari kesedihan dengan menulis kembali. Kulanjutkan cerpen ketiga setelah 'meliburkan' diri selama beberapa waktu. Bulan Ramadhan tahun itu kemudian tiba tanpa kehadiran Nenek di tengah-tengah kami. Cerpen-cerpen yang seharusnya kutulis menjadi terbengkalai. Buku itu kembali tertunda.

Selama tiga bulan berikutnya aku menulis hanya untuk diikutsertakan dalam beberapa perlombaan. Aku berkunjung ke Pulau Bali untuk suatu urusan. Di sana inspirasi baru menyergapku. Aku mulai sadar, buku kumpulan cerpen tadi harus benar-benar kuselesaikan. Bersama dengan inspirasi baru tadi, aku menemukan cara demi menghindarkan diri dari kejenuhan menulis. Aku menulis puisi ketika bosan dengan cerpen. Sedang jika bosan dengan puisi, aku pun menulis cerpen. Begitu seterusnya.

Selama kurang lebih 40 hari--dari Oktober hingga November 2012--sebuah buku puisi berhasil kuselesaikan. Buku puisi ini didasari atas ide ketika aku singgah di Pantai Sanur, di Bali. Dua hari kemudian, buku cerpen tentang sosok inspiratif tadi, menyusul kurampungkan. Sungguh sesuatu yang tak dapat kupercaya tapi benar terjadi. Aku benar-benar menulis buku. Alhamdulillah.

Buku cerpen ini sendiri terinspirasi oleh beberapa kejadian dan tokoh yang hidup di dunia nyata. Namun ada pula cerita yang berasal dari gambar di dalam kepala yang sering orang sebut 'imajinasi'. Awalnya "Kupu-Kupu Hitam" kupilih sebagai judul dari buku ini. Namun karena berbagai pertimbangan, pada akhirnya kuganti judulnya menjadi "Jalan Setapak Aisyah". Seluruhnya terbingkai dalam enam belas kisah kehidupan kaum pinggiran yang terbalut oleh cinta, kesepian, perjuangan, kebutaan, dan ketidakberdayaan.

Pahitnya hidup terkadang membuat manusia lupa untuk bersyukur. Kadang manusia menganggap pilihan tidak selalu ada untuk dirinya. Padahal Tuhan telah menyediakan jalan untuk masing-masing. Setiap jalan itu adalah yang terbaik ketika manusia berani untuk melaluinya. Sementara mereka yang menolak melaluinya, sudah pasti akan merugi.

Kini, kukatakan dalam hati, “Buku ini kupersembahkan untuk mereka dan untukmu, Nenek ….”

Oleh: Ken Hanggara, FAM801M-Sby
Penulis buku “Dermaga Batu” & “Jalan Setapak Aisyah”
 Keterangan Foto: kover buku kumpulan cerpen Jalan Setapak Aisyah.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri