Nama pena mungkin sudah tidak asing di telinga kita. Nama pena adalah nama yang dipakai penulis dalam setiap karya-karyanya, yang tentunya bukan merupakan nama asli. Setiap kali aku mendengar seseorang menyebut nama pena, aku selalu berpikir tentang penulis. Ah, penulis! Sungguh sebutan, profesi, julukan, atau apa pun itu, bagi mereka para pemikir hebat yang tak lekang oleh waktu, yang berjuang dengan kostum laiknya superhero dalam film dan komik. Kostumnya adalah nama pena itu sendiri.
Karya-karya mereka akan selalu hidup meski penciptanya telah mati. Dan karena itulah kemudian apa-apa yang tertulis menjadi sesuatu yang bersemayam dalam sebuah sarkofagus waktu: terjaga "abadi". Begitulah kira-kira penerjemahan hatiku tentang siapa itu penulis. Maka, bagiku menjadi penulis itu indah.
Dulu aku
bercita-cita menjadi penulis. Dan hari ini, aku berusaha mengejarnya. Aku tahu
bahwa bagaimanapun bentuk mimpi, akan selalu layak untuk diperjuangkan. Jadilah
yang pertama kupahami dari kisah pengejaran ini adalah semangat.
Ya. Semangat. Cuma itu yang pertama kali
kupikirkan. Aku tak berpikir tentang apa pun, seperti misalnya ketika seseorang
bertanya-tanya "tulisan macam apa yang akan kaubuat?". Atau ketika
seseorang mencemooh: "tulisanmu ini lebih baik dibuang!". Aku tak
lagi peduli hal itu, karena aku hanya ingin menulis.
Mereka, orang-orang sukses, selalu bilang bahwa
langkah awal tak boleh setengah-setengah, apalagi sekali tersandung langsung
berhenti. Kalau sampai itu terjadi, maka aku adalah patung, tak berdaya, diam
di tempat, lalu keropos dimakan waktu. Aku pernah kehilangan semangat dan tak
yakin pada diriku sendiri. Namun dari sana kemudian aku belajar, bahwa sekeras
apa pun kita bermimpi, apabila tak memiliki keyakinan akan sia-sia saja. Tak
hanya keyakinan, tetapi juga komitmen. Aku terlalu berharap pada mimpi, namun
tak yakin pada diriku sendiri. Ini adalah tindakan yang aneh, tak masuk akal,
dan selalu menumbuhkan diri menjadi pribadi yang setengah-setengah.
Sedikit-sedikit semangat, sedikit-sedikit malas, pesimis!
Oh, tidak! Tidak seharusnya aku tenggelam dalam
banjir yang kubuat sendiri. Bukankah jika mimpi berteman dengan komitmen yang
kuat, segalanya akan terasa lurus? Maksudku, kalau kita punya mimpi, cara
terbaik untuk meraihnya adalah dengan komitmen pada mimpi itu sendiri dan
yakin. Itu saja. Sedangkan semangat adalah kendaraan yang membantu kita
mencapai tujuan: mimpi yang terwujud nyata. Kucatat rumus ini, kusimpan dalam
saku, dan kujaga baik-baik. Sejak menemukan rumus mengejar mimpi itu, aku
menjadi semakin gila seolah aku hidup seribu tahun lagi. Ya, aku berbuat
seperti seorang yang bekerja dengan penuh keyakinan. Bukankah seluruh sikap
menerima pekerjaan yang baik memang begitu?
Aku mulai mengerti tentang hitam dan putih dalam
proses pengejaran mimpi. Kadang waktu dapat menjadi sahabat, kadang pula tidak.
Wajar karena hidup memang seperti itu. Maka tak ada lagi kata menyerah dalam
kamus hidupku. Bila ibarat kata seseorang berucap: "Tulisan macam apa
ini?! Dijual per kilo di pasar loak saja belum tentu laku!" Kubalas saja
dengan ucapan, "Aku yakin, meski tidaklah terlalu bagus, tulisanku ini
bernasib baik. Tinggal menunggu waktu."
Aku mulai optimis mengejar mimpi. Inilah mimpi.
Rumit tapi simpel, bebal tapi mengasyikkan, tak masuk akal tapi nyata. Aku
menulis dan terus menulis, sesempit apa pun waktu dan keadaan. Sampai seseorang
kemudian bertanya tentang siapa diriku. Sungguh sebuah pertanyaan yang berarti.
Tak pernah sebelumnya ada yang bertanya sedemikian jauh tentang diriku.
"Siapa dirimu?" ... oh, indah sekali di telinga, teduh dan nyaman.
Kujawab bahwa aku adalah penulis--maksudnya ingin menjadi penulis. Kemudian
pertanyaan kedua muncul: "Apa yang sudah kautulis?"
Mulai menarik. Kujawab lagi kalau aku biasa
menulis puisi dan baru-baru saja mencoba menulis cerpen. Ah, satu lagi:
artikel! Dan dari semua itu, yang terbanyak adalah puisi. Belum puas dengan
jawabanku, dia bertanya kembali, "Sudah punya berapa buku?"
"Oh, kalau buku banyak sekali. Aku punya
buku-buku karangan penulis-penulis hebat seperti ... "
"Emmm ... maksudku buku karyamu
sendiri?" dia memotong.
"Buku karya sendiri?"
"Ya. Kau 'kan penulis. Bagaimana mungkin
tidak punya buku karya sendiri?"
Aku tersentak. Agak susah menjawabnya, karena
memang kala itu belum satu pun buku yang kutulis. Maka kujawab saja kalau aku
belum punya buku karya sendiri. Dan, pada detik itu, di tempat kami berdiri,
kusadari bahwa buku impian yang telah lama terhenti harus segera kulanjutkan.
Bukankah bila seorang penulis telah menulis dan menerbitkan sebuah buku, sama
halnya dengan mengukir satu jejak kehidupan yang tak 'kan mati sampai kiamat
terjadi? Dan bukankah bila setiap jejak itu bertambah, maka akan banyak
kebaikan/manfaat yang dapat terabadikan untuk anak-cucu kita kelak di masa yang
akan datang? Tentunya yang demikian itu ada apabila yang tertulis mengandung
kebaikan.
Menebar kebaikan dan melawan ketidakbenaran lewat
tulisan adalah misiku sejak pertama kali kudengungkan mimpi menjadi penulis di
dalam kepala dan hati. Maka, mulai saat itu aku kembali menulis, menuntaskan
sesuatu yang lama tertunda: sebuah buku karya sendiri. Aku ingin menjadi bagian
dari jejak-jejak mereka yang "abadi" bersama tulisan. Aku ingin
mengukir sejarahku.
Seiring berjalannya waktu, lahirlah
tulisan-tulisan sederhanaku. Belum banyak yang membaca, tapi aku senang karena
telah melunasi hasrat hati untuk menulis. Kemudian perlahan kusadari bahwa
mungkin suatu saat nanti aku membutuhkan nama pena, meski aku sendiri tak
terlalu memusingkan hal itu. Aku sering merasa heran, bingung lebih tepatnya,
ketika dulu sekali ada teman bertanya padaku tentang nama pena. Selama ini,
yang kutahu, nama pena adalah nama kedua, bukan nama asli, yang sengaja dipakai
seorang penulis untuk karya-karya yang ia tulis. Namun tak sedikit mereka yang
memilih tidak memakai nama pena, karena nama asli sudah baik dan tidak perlu
diganti--atau "disembunyikan". Sebenarnya keputusan menggunakan nama
pena atau nama kedua sendiri ada di tangan penulis, dan itu sah-sah saja.
Kadang nama pena tidak ada sangkut pautnya dengan
orang yang menyandangnya, karena mungkin terinspirasi oleh sesuatu yang lain.
Maksudnya begini, katakanlah penulis itu orang Indonesia tulen, nama yang
diberi bapaknya pun sangat Indonesia. Namun bila ditanya tentang nama pena,
jawaban yang keluar sama sekali tidak Indonesia. Kadang pula nama pena itu
dibuat dengan spontan atau berwaktu lamanya karena cukup lama berpikir,
mencari, menimbang, dan menelaah nama mana yang sesuai dengan sang penulis.
Karena nama tersebut haruslah cocok dan mewakili seratus persen dirinya. Dengan
kata lain, penulis itu menamai dirinya dengan nama yang ia buat sendiri, sesuka
hati. Atau kadang ada juga nama pena yang dibuat sesuai dengan kejadian, momen,
peristiwa, hari, dan hal-hal lain yang spesial, tak dapat dilupakan. Nah, dalam
kasusku, yang terakhir inilah yang terjadi.
Momen itu tak 'kan pernah kulupakan ketika
sepupuku mengenalkanku pada permainan modern: video game. Waktu itu masih
jarang sekali bocah seumuranku yang bermain dengan benda ajaib semacam itu.
Permainan pada umumnya yang kami tahu adalah permainan tradisional. Melihat
video game, berulang kali aku menghela napas, takjub, terheran-heran. Maka bila
kami bermain dalam sandiwara mesin waktu, sepupuku itu adalah ilmuwan masa
depan yang tersasar di sebuah kampung suku pedalaman paling terpencil, dan
kepala sukunya adalah aku.
Aku terkagum-kagum dengan permainan ini. Ia
mempunyai remote yang terikat dengan sebuah kabel. Kabel itu terhubung pada
sebuah benda kotak, seperti peti rahasia yang kembali terhubung oleh kabel ke
televisi. Di sana, di televisi itulah kami bermain, bermain apa saja. Kami
seolah menonton film kartun tapi justru kami sendiri yang menjadi sutradaranya.
Ah, bahkan kamilah pembuat skenarionya! Hebat, bukan? Aku menjadi semakin
ketagihan dan menganggap video game adalah mainan dari luar angkasa. Maklum,
aku masih terlalu kecil.
Aku senang ketika kami bermain membidik sasaran
dengan sebuah pistol berkabel. Sasaran itu bergerak-gerak di layar kaca dan
tugas kami harus menembaknya agar terjatuh. Aku bertambah senang ketika kami
bermain petualangan tukang ledeng bersaudara, Mario dan Luigi, mengalahkan
musuh-musuh jahat demi menyelamatkan tuan putri. Dan aku lebih senang lagi ketika
kami terjun ke jalanan, bergabung bersama belasan karakter petarung dengan
kelebihannya masing-masing: Street Fighter!
Bagiku, Street Fighter adalah permainan yang
paling hebat di antara yang lain, karena hanya dialah yang menyajikan suguhan
paling berbeda. Aku menyukainya bukan karena pertarungannya, melainkan bermacam
karakternya dengan warna dan gaya yang berbeda-beda. Oleh karena sejak kecil
aku suka menggambar, maka Street Fighter memberiku semacam surga untuk
menikmati gambar-gambar kartun yang hebat dan keren bukan main.
Aku masih ingat, ketika pertama kali melihat, aku
langsung menyukai Blanka. Kau tahu, 'kan? Blanka adalah tentara baik yang
diubah oleh penjahat utama, Bison, menjadi monster yang mengerikan. Tubuhnya
hijau seperti Hulk, tapi rambutnya merah menyala-nyala bak api, persis hantu
Banaspati! Maka kukira Blanka adalah pilihan tepat ketika melawan sepupuku yang
lebih memilih Ryu, pemuda berbaju karate itu. Kukira Ryu akan lari
terbirit-birit ketika akan menghadapi monster menakutkan macam Blanka. Namun
nyatanya aku salah besar, karena dua kali berturut-turut Blanka-ku ditekuk tak
berdaya oleh pemuda kurus itu.
Tak habis ide, aku memilih karakter lain. Kali
ini, seorang tentara yang gagah berani, Guile. Rambutnya yang kaku dan mirip
sapu ijuk, menurutku sangat pas untuk melawan Ryu. Karena aku ingin menyapunya
keluar arena. Namun, lagi-lagi aku keliru.
Kembali aku memilih karakter lain. Honda adalah
pilihan yang kuambil dengan keyakinan yang hampir sama ketika memilih Blanka.
Karena Honda adalah sumo bertubuh besar dan dapat terbang--seperti peluru, maka
aku yakin akan menang melawan Ryu. Akan tetapi, lagi-lagi aku gagal. Aku tak
ingin memakai Bison, Vega,
atau Zangief, karena mereka adalah penjahat. Maka dengan terpaksa kupilih
Dhalsim yang kurus sepertiku, sebagai pengganti. Namun tubuhnya yang lentur dan
lunak tidaklah cukup mengatasi serangan Ryu.
Sepupuku tertawa penuh kemenangan ketika satu per
satu karakterku berhasil ia kalahkan. Sementara aku bingung. Tak ada karakter
lain yang menarik hati dan punya ciri khas seperti karakter-karakter
sebelumnya. Namun, ketika kuperhatikan dengan lebih seksama, oh, baru aku
sadar. Di sana, ya, di sana ... ada sosok yang selama ini kucari-cari. Kukira
hanya dia satu-satunya lawan Ryu yang seimbang, karena pakaian mereka nyaris
serupa, hanya beda warna. Ken, dialah karater terakhir pilihanku. Ken adalah
pemuda berambut pirang, teman atau saudara seperguruan Ryu. Penampilannya biasa
saja, tidak semenarik yang lain, namun dengan dialah akhirnya aku menang. Ternyata
penampilan luar tidak sepenuhnya menjamin kehebatan diri. Aku belajar dari
sini. Sejak saat itu, Street Fighter menjadi game favoritku. Dan bila seseorang
bertanya siapakah tokoh yang paling kusukai, aku menjawab: Blanka, Guile, dan
Ken.
Bertahun setelah momen itu berlalu, aku melihat
sebuah berita di televisi. Berita dari kota dan sepertinya sudah terlalu sering
terjadi: anak kecil korban kekerasan. Aku miris ketika mendengar kalimat demi
kalimat yang menggambarkan betapa hidup ini tidak dapat dikatakan mudah bagi
sebagian manusia. Sebagian di antara mereka itu adalah anak-anak yang masih di
bawah umur. Yang menyakitkan dari fakta ini: pelaku penyiksaan--atau kadang
pembunuhan--adalah orangtua kandung mereka sendiri!
Sungguh tak habis pikir aku dibuatnya. Bagaimana
mungkin seseorang berbuat sekejam itu? Terhadap anak kandungnya sendiri pula.
Aku merinding membayangkan jasad kecil mereka terbaring di bawah pusara
sementara sang pelaku, yang tidak lain adalah ayah atau ibunya sendiri, masih
bernapas bahkan sanggup menelan bersuap nasi demi mengenyangkan perutnya! Salah
satu alasan klasik yang paling sering mendasari perbuatan keji ini adalah
masalah ekonomi.
Sampai pada suatu siang aku melihat sebuah berita.
Lagi-lagi, orangtua kandung menyiksa anaknya sendiri hingga meninggal. Aku tak ingat nama korban atau pelaku
dalam berita itu. Namun kasus anak yang menjadi korban kekerasan orangtuanya
sendiri ini membuat media tersebut membuka kembali cuplikan kasus lama yang
cukup menggemparkan. Mungkin karena kasus lama tersebut menjadi tak pernah mati
karena besarnya perhatian masyarakat.
Kasus lama itu tentang seorang anak berusia
delapan tahun yang meninggal
pada tahun 1984 karena
dianiaya oleh orangtuanya. Siang
itu, belasan tahun setelahnya, nama si korban terukir dalam benakku sebagai sebuah gambaran tentang
pemberontakan, perjuangan, dan keberanian yang pahit. Bocah itu, Arie namanya,
adalah korban dari ayah pengangguran yang tidak bertanggung jawab pada
keluarganya. Masalah ekonomi adalah awal dari bagian tergelap dalam kisah ini.
Hari demi hari, bapaknya mulai tak sabar setelah bercerai dengan sang ibu.
Kemudian berulang kali Arie menerima siksaan fisik dikarenakan kenakalannya.
Namun karena saking seringnya mendapat hukuman demikian, bocah ini menjadi
"terbiasa" dan seperti meminta untuk dihukum.
Arie berbeda dengan teman-temannya karena ia tak
lagi seperti dulu. Ia menjadi pendiam dan berontak pada apa yang menimpa
keluarganya. Hukuman demi hukuman akhirnya membawanya pada satu titik di mana
ia tak lagi mengaduh sakit. Sakit itu seakan tertelan oleh keringat dan darah. Mata
Arie yang lebam kebiruan,
memandang bapaknya dengan sangat
tajam dan dingin, melawan dengan upaya yang tak pernah
nyata baginya karena ia tak lebih dari seorang anak kecil. Mungkin
karena jiwa anak ini sudah pasrah, tak berdaya di tangan
ayahnya sendiri, maka tak ada
tangisan, tak ada rintihan, tak ada apa pun yang keluar dari bibir
kecilnya yang mengecup bentuk kematian. Satu jam sebelum kematiannya, dia berpesan kepada beberapa
saudaranya bahwa ia akan pergi ke tempat yang jauh.
Ada penyesalan di hati sang ayah ketika ia tak
menyadari usahanya membawa Arie ke rumah sakit sia-sia belaka. Arie
sudah tiada. Arie, si anak malang yang tegar dan berani itu,
meninggal di tangan ayahnya. Tak
lama, koran-koran ibukota terbit, memberitakan kematian tragis bocah malang Arie Hanggara, bocah korban perceraian
orangtuanya.
Dua kejadian di atas itulah kemudian yang
memberiku sesuatu yang tak terlupa, lalu beralih menjadi semacam bisikan. Kau
pasti memaklumi, ketika kukatakan bahwa kenangan yang terlalu kuat mengendap
dalam hati, akan sangat sulit untuk dilepas. Begitulah rasanya ketika suatu
hari kembali kutemui seseorang yang secara terang-terangan bertanya,
"Siapa nama penamu?"
Oh, sebuah pertanyaan manis! Tak pernah kutunggu namun akan selalu
kurindukan. Nama pena, adalah nama kedua yang akan berperan penting. Seperti
kubilang: nama pena adalah kostum superhero. Atau kalau mau lebih hebat lagi,
nama pena adalah penyamaran para agen rahasia!
Tanpa ragu, dengan penuh keyakinan dan sedikit
menahan napas, kujawab: "Nama penaku: Ken Hanggara ...."
Tidaklah terlalu buruk. Enak didengar, langka,
aneh, tapi keren. Ah, tapi ini sih menurutku. Bukankah pendapat setiap orang
itu berbeda-beda? Dan kalau boleh kukatakan secara jujur, apabila nanti ada
seseorang menyuruhku mengganti saja dengan nama pena yang lain, aku tetap
bertahan pada dua nama itu, yang kudapat dari dua momen tak terlupakan dalam
hidupku.
"Ken" dan "Hanggara", adalah
sebuah doa dan harapan untuk mimpiku menjadi seorang penulis. "Ken",
seperti halnya pelajaran moral yang kupetik, bahwa kita tidak dapat menilai
seseorang dari tampilan luarnya saja. Lagi pula Ken adalah tokoh video game
yang berkelana dalam dunia imajinasi tak terbatas. Jelaslah di sini tentang
alasanku memilih Ken, yakni agar imajinasiku tak pernah berhenti bermain,
menari, berlari, terbang bebas seperti burung. Selain itu juga karena kedalaman
makna dapat digali dari kesederhanaan. Sedangkan "Hanggara" adalah
sebentuk misi yang sejak awal kuukir dalam benak, bahwa aku ingin menulis pahit
getir kehidupan yang "indah". "Hanggara" selalu memberiku
pelajaran dalam hidup, bahwa dunia itu mati, tak abadi. Menulis adalah caraku
bicara tentang kebenaran dan ketidakbenaran yang "abadi", meski pahit
sekalipun.
Oleh: Ken Hanggara, penulis buku "Jalan Setapak
Aisyah" dan "Dermaga Batu"
Comments
Post a Comment