Skip to main content

Harapan di Balik Nama


Nama pena mungkin sudah tidak asing di telinga kita. Nama pena adalah nama yang dipakai penulis dalam setiap karya-karyanya, yang tentunya bukan merupakan nama asli. Setiap kali aku mendengar seseorang menyebut nama pena, aku selalu berpikir tentang penulis. Ah, penulis! Sungguh sebutan, profesi, julukan, atau apa pun itu, bagi mereka para pemikir hebat yang tak lekang oleh waktu, yang berjuang dengan kostum laiknya superhero dalam film dan komik. Kostumnya adalah nama pena itu sendiri.
Karya-karya mereka akan selalu hidup meski penciptanya telah mati. Dan karena itulah kemudian apa-apa yang tertulis menjadi sesuatu yang bersemayam dalam sebuah sarkofagus waktu: terjaga "abadi". Begitulah kira-kira penerjemahan hatiku tentang siapa itu penulis. Maka, bagiku menjadi penulis itu indah.

Dulu aku bercita-cita menjadi penulis. Dan hari ini, aku berusaha mengejarnya. Aku tahu bahwa bagaimanapun bentuk mimpi, akan selalu layak untuk diperjuangkan. Jadilah yang pertama kupahami dari kisah pengejaran ini adalah semangat.

Ya. Semangat. Cuma itu yang pertama kali kupikirkan. Aku tak berpikir tentang apa pun, seperti misalnya ketika seseorang bertanya-tanya "tulisan macam apa yang akan kaubuat?". Atau ketika seseorang mencemooh: "tulisanmu ini lebih baik dibuang!". Aku tak lagi peduli hal itu, karena aku hanya ingin menulis.

Mereka, orang-orang sukses, selalu bilang bahwa langkah awal tak boleh setengah-setengah, apalagi sekali tersandung langsung berhenti. Kalau sampai itu terjadi, maka aku adalah patung, tak berdaya, diam di tempat, lalu keropos dimakan waktu. Aku pernah kehilangan semangat dan tak yakin pada diriku sendiri. Namun dari sana kemudian aku belajar, bahwa sekeras apa pun kita bermimpi, apabila tak memiliki keyakinan akan sia-sia saja. Tak hanya keyakinan, tetapi juga komitmen. Aku terlalu berharap pada mimpi, namun tak yakin pada diriku sendiri. Ini adalah tindakan yang aneh, tak masuk akal, dan selalu menumbuhkan diri menjadi pribadi yang setengah-setengah. Sedikit-sedikit semangat, sedikit-sedikit malas, pesimis!

Oh, tidak! Tidak seharusnya aku tenggelam dalam banjir yang kubuat sendiri. Bukankah jika mimpi berteman dengan komitmen yang kuat, segalanya akan terasa lurus? Maksudku, kalau kita punya mimpi, cara terbaik untuk meraihnya adalah dengan komitmen pada mimpi itu sendiri dan yakin. Itu saja. Sedangkan semangat adalah kendaraan yang membantu kita mencapai tujuan: mimpi yang terwujud nyata. Kucatat rumus ini, kusimpan dalam saku, dan kujaga baik-baik. Sejak menemukan rumus mengejar mimpi itu, aku menjadi semakin gila seolah aku hidup seribu tahun lagi. Ya, aku berbuat seperti seorang yang bekerja dengan penuh keyakinan. Bukankah seluruh sikap menerima pekerjaan yang baik memang begitu?

Aku mulai mengerti tentang hitam dan putih dalam proses pengejaran mimpi. Kadang waktu dapat menjadi sahabat, kadang pula tidak. Wajar karena hidup memang seperti itu. Maka tak ada lagi kata menyerah dalam kamus hidupku. Bila ibarat kata seseorang berucap: "Tulisan macam apa ini?! Dijual per kilo di pasar loak saja belum tentu laku!" Kubalas saja dengan ucapan, "Aku yakin, meski tidaklah terlalu bagus, tulisanku ini bernasib baik. Tinggal menunggu waktu."

Aku mulai optimis mengejar mimpi. Inilah mimpi. Rumit tapi simpel, bebal tapi mengasyikkan, tak masuk akal tapi nyata. Aku menulis dan terus menulis, sesempit apa pun waktu dan keadaan. Sampai seseorang kemudian bertanya tentang siapa diriku. Sungguh sebuah pertanyaan yang berarti. Tak pernah sebelumnya ada yang bertanya sedemikian jauh tentang diriku. "Siapa dirimu?" ... oh, indah sekali di telinga, teduh dan nyaman. Kujawab bahwa aku adalah penulis--maksudnya ingin menjadi penulis. Kemudian pertanyaan kedua muncul: "Apa yang sudah kautulis?"

Mulai menarik. Kujawab lagi kalau aku biasa menulis puisi dan baru-baru saja mencoba menulis cerpen. Ah, satu lagi: artikel! Dan dari semua itu, yang terbanyak adalah puisi. Belum puas dengan jawabanku, dia bertanya kembali, "Sudah punya berapa buku?"

"Oh, kalau buku banyak sekali. Aku punya buku-buku karangan penulis-penulis hebat seperti ... "

"Emmm ... maksudku buku karyamu sendiri?" dia memotong.

"Buku karya sendiri?"

"Ya. Kau 'kan penulis. Bagaimana mungkin tidak punya buku karya sendiri?"

Aku tersentak. Agak susah menjawabnya, karena memang kala itu belum satu pun buku yang kutulis. Maka kujawab saja kalau aku belum punya buku karya sendiri. Dan, pada detik itu, di tempat kami berdiri, kusadari bahwa buku impian yang telah lama terhenti harus segera kulanjutkan. Bukankah bila seorang penulis telah menulis dan menerbitkan sebuah buku, sama halnya dengan mengukir satu jejak kehidupan yang tak 'kan mati sampai kiamat terjadi? Dan bukankah bila setiap jejak itu bertambah, maka akan banyak kebaikan/manfaat yang dapat terabadikan untuk anak-cucu kita kelak di masa yang akan datang? Tentunya yang demikian itu ada apabila yang tertulis mengandung kebaikan.

Menebar kebaikan dan melawan ketidakbenaran lewat tulisan adalah misiku sejak pertama kali kudengungkan mimpi menjadi penulis di dalam kepala dan hati. Maka, mulai saat itu aku kembali menulis, menuntaskan sesuatu yang lama tertunda: sebuah buku karya sendiri. Aku ingin menjadi bagian dari jejak-jejak mereka yang "abadi" bersama tulisan. Aku ingin mengukir sejarahku.

Seiring berjalannya waktu, lahirlah tulisan-tulisan sederhanaku. Belum banyak yang membaca, tapi aku senang karena telah melunasi hasrat hati untuk menulis. Kemudian perlahan kusadari bahwa mungkin suatu saat nanti aku membutuhkan nama pena, meski aku sendiri tak terlalu memusingkan hal itu. Aku sering merasa heran, bingung lebih tepatnya, ketika dulu sekali ada teman bertanya padaku tentang nama pena. Selama ini, yang kutahu, nama pena adalah nama kedua, bukan nama asli, yang sengaja dipakai seorang penulis untuk karya-karya yang ia tulis. Namun tak sedikit mereka yang memilih tidak memakai nama pena, karena nama asli sudah baik dan tidak perlu diganti--atau "disembunyikan". Sebenarnya keputusan menggunakan nama pena atau nama kedua sendiri ada di tangan penulis, dan itu sah-sah saja.

Kadang nama pena tidak ada sangkut pautnya dengan orang yang menyandangnya, karena mungkin terinspirasi oleh sesuatu yang lain. Maksudnya begini, katakanlah penulis itu orang Indonesia tulen, nama yang diberi bapaknya pun sangat Indonesia. Namun bila ditanya tentang nama pena, jawaban yang keluar sama sekali tidak Indonesia. Kadang pula nama pena itu dibuat dengan spontan atau berwaktu lamanya karena cukup lama berpikir, mencari, menimbang, dan menelaah nama mana yang sesuai dengan sang penulis. Karena nama tersebut haruslah cocok dan mewakili seratus persen dirinya. Dengan kata lain, penulis itu menamai dirinya dengan nama yang ia buat sendiri, sesuka hati. Atau kadang ada juga nama pena yang dibuat sesuai dengan kejadian, momen, peristiwa, hari, dan hal-hal lain yang spesial, tak dapat dilupakan. Nah, dalam kasusku, yang terakhir inilah yang terjadi.

Momen itu tak 'kan pernah kulupakan ketika sepupuku mengenalkanku pada permainan modern: video game. Waktu itu masih jarang sekali bocah seumuranku yang bermain dengan benda ajaib semacam itu. Permainan pada umumnya yang kami tahu adalah permainan tradisional. Melihat video game, berulang kali aku menghela napas, takjub, terheran-heran. Maka bila kami bermain dalam sandiwara mesin waktu, sepupuku itu adalah ilmuwan masa depan yang tersasar di sebuah kampung suku pedalaman paling terpencil, dan kepala sukunya adalah aku.

Aku terkagum-kagum dengan permainan ini. Ia mempunyai remote yang terikat dengan sebuah kabel. Kabel itu terhubung pada sebuah benda kotak, seperti peti rahasia yang kembali terhubung oleh kabel ke televisi. Di sana, di televisi itulah kami bermain, bermain apa saja. Kami seolah menonton film kartun tapi justru kami sendiri yang menjadi sutradaranya. Ah, bahkan kamilah pembuat skenarionya! Hebat, bukan? Aku menjadi semakin ketagihan dan menganggap video game adalah mainan dari luar angkasa. Maklum, aku masih terlalu kecil.

Aku senang ketika kami bermain membidik sasaran dengan sebuah pistol berkabel. Sasaran itu bergerak-gerak di layar kaca dan tugas kami harus menembaknya agar terjatuh. Aku bertambah senang ketika kami bermain petualangan tukang ledeng bersaudara, Mario dan Luigi, mengalahkan musuh-musuh jahat demi menyelamatkan tuan putri. Dan aku lebih senang lagi ketika kami terjun ke jalanan, bergabung bersama belasan karakter petarung dengan kelebihannya masing-masing: Street Fighter!

Bagiku, Street Fighter adalah permainan yang paling hebat di antara yang lain, karena hanya dialah yang menyajikan suguhan paling berbeda. Aku menyukainya bukan karena pertarungannya, melainkan bermacam karakternya dengan warna dan gaya yang berbeda-beda. Oleh karena sejak kecil aku suka menggambar, maka Street Fighter memberiku semacam surga untuk menikmati gambar-gambar kartun yang hebat dan keren bukan main.

Aku masih ingat, ketika pertama kali melihat, aku langsung menyukai Blanka. Kau tahu, 'kan? Blanka adalah tentara baik yang diubah oleh penjahat utama, Bison, menjadi monster yang mengerikan. Tubuhnya hijau seperti Hulk, tapi rambutnya merah menyala-nyala bak api, persis hantu Banaspati! Maka kukira Blanka adalah pilihan tepat ketika melawan sepupuku yang lebih memilih Ryu, pemuda berbaju karate itu. Kukira Ryu akan lari terbirit-birit ketika akan menghadapi monster menakutkan macam Blanka. Namun nyatanya aku salah besar, karena dua kali berturut-turut Blanka-ku ditekuk tak berdaya oleh pemuda kurus itu.

Tak habis ide, aku memilih karakter lain. Kali ini, seorang tentara yang gagah berani, Guile. Rambutnya yang kaku dan mirip sapu ijuk, menurutku sangat pas untuk melawan Ryu. Karena aku ingin menyapunya keluar arena. Namun, lagi-lagi aku keliru.

Kembali aku memilih karakter lain. Honda adalah pilihan yang kuambil dengan keyakinan yang hampir sama ketika memilih Blanka. Karena Honda adalah sumo bertubuh besar dan dapat terbang--seperti peluru, maka aku yakin akan menang melawan Ryu. Akan tetapi, lagi-lagi aku gagal. Aku tak ingin memakai Bison, Vega, atau Zangief, karena mereka adalah penjahat. Maka dengan terpaksa kupilih Dhalsim yang kurus sepertiku, sebagai pengganti. Namun tubuhnya yang lentur dan lunak tidaklah cukup mengatasi serangan Ryu.

Sepupuku tertawa penuh kemenangan ketika satu per satu karakterku berhasil ia kalahkan. Sementara aku bingung. Tak ada karakter lain yang menarik hati dan punya ciri khas seperti karakter-karakter sebelumnya. Namun, ketika kuperhatikan dengan lebih seksama, oh, baru aku sadar. Di sana, ya, di sana ... ada sosok yang selama ini kucari-cari. Kukira hanya dia satu-satunya lawan Ryu yang seimbang, karena pakaian mereka nyaris serupa, hanya beda warna. Ken, dialah karater terakhir pilihanku. Ken adalah pemuda berambut pirang, teman atau saudara seperguruan Ryu. Penampilannya biasa saja, tidak semenarik yang lain, namun dengan dialah akhirnya aku menang. Ternyata penampilan luar tidak sepenuhnya menjamin kehebatan diri. Aku belajar dari sini. Sejak saat itu, Street Fighter menjadi game favoritku. Dan bila seseorang bertanya siapakah tokoh yang paling kusukai, aku menjawab: Blanka, Guile, dan Ken.

Bertahun setelah momen itu berlalu, aku melihat sebuah berita di televisi. Berita dari kota dan sepertinya sudah terlalu sering terjadi: anak kecil korban kekerasan. Aku miris ketika mendengar kalimat demi kalimat yang menggambarkan betapa hidup ini tidak dapat dikatakan mudah bagi sebagian manusia. Sebagian di antara mereka itu adalah anak-anak yang masih di bawah umur. Yang menyakitkan dari fakta ini: pelaku penyiksaan--atau kadang pembunuhan--adalah orangtua kandung mereka sendiri!

Sungguh tak habis pikir aku dibuatnya. Bagaimana mungkin seseorang berbuat sekejam itu? Terhadap anak kandungnya sendiri pula. Aku merinding membayangkan jasad kecil mereka terbaring di bawah pusara sementara sang pelaku, yang tidak lain adalah ayah atau ibunya sendiri, masih bernapas bahkan sanggup menelan bersuap nasi demi mengenyangkan perutnya! Salah satu alasan klasik yang paling sering mendasari perbuatan keji ini adalah masalah ekonomi.

Sampai pada suatu siang aku melihat sebuah berita. Lagi-lagi, orangtua kandung menyiksa anaknya sendiri hingga meninggal. Aku tak ingat nama korban atau pelaku dalam berita itu. Namun kasus anak yang menjadi korban kekerasan orangtuanya sendiri ini membuat media tersebut membuka kembali cuplikan kasus lama yang cukup menggemparkan. Mungkin karena kasus lama tersebut menjadi tak pernah mati karena besarnya perhatian masyarakat.

Kasus lama itu tentang seorang anak berusia delapan tahun yang meninggal pada tahun 1984 karena dianiaya oleh orangtuanya. Siang itu, belasan tahun setelahnya, nama si korban terukir dalam benakku sebagai sebuah gambaran tentang pemberontakan, perjuangan, dan keberanian yang pahit. Bocah itu, Arie namanya, adalah korban dari ayah pengangguran yang tidak bertanggung jawab pada keluarganya. Masalah ekonomi adalah awal dari bagian tergelap dalam kisah ini. Hari demi hari, bapaknya mulai tak sabar setelah bercerai dengan sang ibu. Kemudian berulang kali Arie menerima siksaan fisik dikarenakan kenakalannya. Namun karena saking seringnya mendapat hukuman demikian, bocah ini menjadi "terbiasa" dan seperti meminta untuk dihukum.

Arie berbeda dengan teman-temannya karena ia tak lagi seperti dulu. Ia menjadi pendiam dan berontak pada apa yang menimpa keluarganya. Hukuman demi hukuman akhirnya membawanya pada satu titik di mana ia tak lagi mengaduh sakit. Sakit itu seakan tertelan oleh keringat dan darah. Mata Arie yang lebam kebiruan, memandang bapaknya dengan sangat tajam dan dingin, melawan dengan upaya yang tak pernah nyata baginya karena ia tak lebih dari seorang anak kecil. Mungkin karena jiwa anak ini sudah pasrah, tak berdaya di tangan ayahnya sendiri, maka tak ada tangisan, tak ada rintihan, tak ada apa pun yang keluar dari bibir kecilnya yang mengecup bentuk kematian. Satu jam sebelum kematiannya, dia berpesan kepada beberapa saudaranya bahwa ia akan pergi ke tempat yang jauh.

Ada penyesalan di hati sang ayah ketika ia tak menyadari usahanya membawa Arie ke rumah sakit sia-sia belaka. Arie sudah tiada. Arie, si anak malang yang tegar dan berani itu, meninggal di tangan ayahnya. Tak lama, koran-koran ibukota terbit, memberitakan kematian tragis bocah malang Arie Hanggara, bocah korban perceraian orangtuanya.

Dua kejadian di atas itulah kemudian yang memberiku sesuatu yang tak terlupa, lalu beralih menjadi semacam bisikan. Kau pasti memaklumi, ketika kukatakan bahwa kenangan yang terlalu kuat mengendap dalam hati, akan sangat sulit untuk dilepas. Begitulah rasanya ketika suatu hari kembali kutemui seseorang yang secara terang-terangan bertanya, "Siapa nama penamu?"

Oh, sebuah pertanyaan manis! Tak pernah kutunggu namun akan selalu kurindukan. Nama pena, adalah nama kedua yang akan berperan penting. Seperti kubilang: nama pena adalah kostum superhero. Atau kalau mau lebih hebat lagi, nama pena adalah penyamaran para agen rahasia!

Tanpa ragu, dengan penuh keyakinan dan sedikit menahan napas, kujawab: "Nama penaku: Ken Hanggara ...."

Tidaklah terlalu buruk. Enak didengar, langka, aneh, tapi keren. Ah, tapi ini sih menurutku. Bukankah pendapat setiap orang itu berbeda-beda? Dan kalau boleh kukatakan secara jujur, apabila nanti ada seseorang menyuruhku mengganti saja dengan nama pena yang lain, aku tetap bertahan pada dua nama itu, yang kudapat dari dua momen tak terlupakan dalam hidupku.

"Ken" dan "Hanggara", adalah sebuah doa dan harapan untuk mimpiku menjadi seorang penulis. "Ken", seperti halnya pelajaran moral yang kupetik, bahwa kita tidak dapat menilai seseorang dari tampilan luarnya saja. Lagi pula Ken adalah tokoh video game yang berkelana dalam dunia imajinasi tak terbatas. Jelaslah di sini tentang alasanku memilih Ken, yakni agar imajinasiku tak pernah berhenti bermain, menari, berlari, terbang bebas seperti burung. Selain itu juga karena kedalaman makna dapat digali dari kesederhanaan. Sedangkan "Hanggara" adalah sebentuk misi yang sejak awal kuukir dalam benak, bahwa aku ingin menulis pahit getir kehidupan yang "indah". "Hanggara" selalu memberiku pelajaran dalam hidup, bahwa dunia itu mati, tak abadi. Menulis adalah caraku bicara tentang kebenaran dan ketidakbenaran yang "abadi", meski pahit sekalipun.

Oleh: Ken Hanggara, penulis buku "Jalan Setapak Aisyah" dan "Dermaga Batu"

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri