Sejak kecil aku menyukai buku cerita. Mungkin
gara-gara komik berwarna milik Kakak. Komik itu kutemukan di dalam tumpukan
barang lama yang sudah tidak terpakai. Maka, komik itulah temuan pertamaku. Ia
lebih tua dariku dan demi menyadari semua itu, aku senang tak kepalang.
Lalu aku mulai bertanya-tanya. Apa saja
kutanyakan, mulai dari siapa pemilik asli komik itu, siapa pengarangnya,
belinya di mana, berapa harganya, dan bagaimana mungkin seseorang membiarkannya
terpenjara bersama debu? Bukankah buku komik itu sesuatu yang hebat? Maklum,
waktu itu aku masih sangat kecil. Mungkin karena inilah kemudian aku mulai
beranggapan bahwa buku adalah mainan terajaib dari yang paling ajaib.
Seiring berjalannya waktu, kecintaanku pada buku
semakin bertambah. Ini karena Ibu selalu membelikanku buku anak-anak bahkan
tanpa kuminta. Ibu seolah tahu seleraku. Aku senang ketika mendapati ada buku
baru di kantung belanjaan Ibu. Satu yang paling berkesan adalah bau khas dari
sampul buku baru. Baunya selalu membuatku tak nyenyak tidur, takut terjadi
sesuatu yang buruk dengan buku itu.
Buku-buku yang kumiliki berisi tentang banyak hal.
Yang kala itu menjadi favoritku adalah buku yang berisi informasi tentang dunia
binatang. Anak kecil mana yang tak tertarik? Anak kecil mana yang tak merasa
penasaran, memikirkan nama-nama aneh seperti trenggiling, rakun, tapir, biawak,
yak, dan beberapa jenis hewan lain yang seumur-umur tak pernah dikenal?
Buku itu pun menjadi sesuatu yang wajib dan tak
boleh kulewatkan. Kalau sehari tak memegang buku itu, sama halnya dengan hampa.
Maka, hampa adalah musuh yang paling menjengkelkan setelah jarum suntik.
Setidaknya bagiku seperti itu. Kau tahu, sejak dulu aku itu sangat membenci
jarum suntik!
Tapi lepas dari apa pun, percaya atau tidak, dari
buku dunia binatang itulah kemudian aku bisa membedakan antara kambing dan
rusa. Atau antara cicak dan kadal. Atau kadang-kadang antara kerbau dan
banteng. Bahkan tak jarang pula aku bisa membedakan antara burung unta dan unta
sungguhan!
Kemudian buku yang berada di urutan kedua teratas,
berisi tentang kegiatan seorang anak SD. Menariknya, sampul buku ini dihiasi
oleh benda plastik berbentuk seperti jam dinding yang jarumnya dapat kita putar
sesuka hati. Buku itu berisi gambar-gambar yang sangat menarik. Tentunya
dilengkapi dengan paragraf-paragraf pendek yang menggambarkan suasana di dalam
gambar. Hebat, bukan? Tulisan yang menggambarkan gambar! Oh, belum pernah
kujumpai tulisan yang bisa menggambar!
Belum lagi isinya yang mengisahkan tentang
keseharian seorang anak yang patuh kepada kedua orangtua, rajin belajar, dan
tidak lupa minum susu. Ingin rasanya aku menemui penulisnya dan memeluk lalu
mengucap beribu terima kasih padanya, karena telah menulis buku itu. Sungguh
sebuah buku yang menggetarkan hati dan layak dibaca siapa saja di usia dini.
Sangat bermanfaat untuk perkembangan kepribadian bocah-bocah lugu sepertiku
kala itu. Di sana dicontohkan bagaimana berbuat hal-hal baik serta apa yang
seharusnya kita lakukan agar tidak berbuat kesalahan.
Buku lain yang sering kubaca adalah sebuah
kumpulan cerpen. Tapi jangan salah. Buku ini bukan buku sembarangan. Buku ini
teramat istimewa karena ditulis tidak oleh seorang penulis saja, melainkan
banyak. Bahkan buku ini tidak bersampul dan kertasnya terbuat dari kertas yang
biasa kita temui pada buku tulis kebanyakan.
Ya, buku kumpulan cerpen ini sebenarnya adalah
buku tulis milik salah seorang kakak sepupuku. Kakak sepupuku itu mungkin
pelanggan setia majalah dan koran tertentu, hingga setiap kali menemukan cerpen
yang menarik dan menginspirasi, disimpanlah halaman tersebut, digunting rapi,
lalu ditempel pada lembar-lembar buku tulis kosongnya. Sampai sekarang, belasan
tahun setelahnya, buku hebat itu masih kusimpan dengan baik. Cerpen-cerpen
favoritku yang ada di situ adalah "Pemanah Ulung", "Sahabat
Pena", "Rakus", "Untung Mobilnya Butut", "Si
Bagong", "Sandal Butut", "Mau Menang Sendiri", dan "Kisah
Seekor Burung".
Dari buku-buku di atas--ditambah banyak lagi buku lain
dan majalah anak-anak yang kubaca--kemudian sedikit banyak menumbuhkan minatku
kepada dunia cerita dan dongeng. Aku pernah mencoba menulis cerita sendiri,
sebuah dongeng, tapi selalu gagal. Oh, sungguh menulis itu tidaklah mudah,
begitu hatiku terus berucap. Aku tak pernah bisa menuntaskan kalimat ketiga,
bahkan sering kali pada kalimat kedua aku berhenti. Mungkin karena belum
terlalu mahir memegang pensil, tulisanku selalu buruk. Aku selalu berpikiran
seperti itu.
Lalu, apakah karena huruf-huruf yang kuukir ini
begitu buruk, sampai-sampai aku tak pernah menuntaskan cerita yang meluap-luap
dalam kepala? Apakah itu berpengaruh? Namun pada kenyataannya, setelah duduk di
kelas satu SD nanti aku sadar, bahwa tulisan tanganku tak pernah bagus. Orang
menyebutnya 'cakar ayam'. Lebih dari itu, aku juga sadar bahwa seburuk apa pun
tulisan tangan, tidak akan berpengaruh kepada apa yang akan tertulis. Kau tahu
maksudku? Buktinya temanku yang tulisan tangannya buruk minta ampun, tapi ia
selalu mendapat nilai seratus.
"Berarti sebuah tujuan bukanlah bergantung
pada apa yang kita peluk, melainkan apa yang kita kejar," begitu kira-kira
bahasa dewasanya untuk apa yang kala itu kurasakan.
Tapi kesukaran yang kuhadapi ketika mencoba
menulis apa yang ada dalam kepala tak membuatku lantas membenci buku. Aku tetap
mencintai buku seperti aku mencintai ibuku. Bahkan kadang aku berpikir kalau
buku itu hidup. Aku akan meminta izin pada Ibu untuk mengangkatnya sebagai
adikku. Maklum, aku masih terlalu kecil dan beranggapan bahwa menjadi kakak
adalah suatu hal yang keren.
Pernah di waktu senja aku menangis. Entah berapa
tahun usiaku kala itu. Dalam kepalaku terus terbayang-bayang sebuah buku yang
dijual di sebuah kios di pinggir jalan. Aku masih ingat warna sampul buku itu.
Bahkan aku masih ingat betul wajah penjualnya. Buku itu adalah buku Wiro
Sableng. Kau tahu, 'kan, Wiro Sableng? Wiro Sableng adalah tokoh fiksi asli
Nusantara yang hebat bukan main, hasil kreatifitas seorang pria bernama Bastian
Tito. Wiro Sableng adalah pendekar yang agak terganggu kewarasannya, yang
sempat membuat kampungku gempar gara-gara ulahnya yang kocak. Bukan, bukan
karena Wiro Sableng dalam buku itu keluar dari buku seperti dalam film-film
fantasi lalu memporak-porandakan kampung, melainkan ada seorang yang terjebak
dalam alam pikirannya sendiri, alias gila. Ia berkelana di jalanan kampung,
menggoda ibu-ibu dan anak-anak kecil sampai lari terbirit-birit. Kami semua
memanggilnya Wiro Sableng meski kami sendiri tak pernah tahu nama aslinya.
"Kapan-kapan saja beli. Jangan sekarang
...," begitu suara seseorang memenggal harapanku untuk memiliki buku itu.
Mungkin karena dia tahu bahwa nyaris setiap hari aku bertemu Wiro Sableng.
Lalu pada kesempatan yang lain aku berkenalan
dengan lelaki yang bertubuh kurus kering. Karena sepanjang hidup tak pernah
sekali pun aku mendengar seseorang mendongeng, maka aku tak 'kan pernah
melupakan apa yang terjadi hari itu. Orang kurus itu membuatku dan beberapa
orang teman duduk melingkar, membuka mulut kami sendiri tanpa sadar--bahkan
jika lalat masuk pun mungkin kami tak tahu--karena saking asyiknya menikmati
kemampuan mendongengnya yang luar biasa.
Kami terkesima, terhipnotis oleh gayanya
membawakan cerita, seperti misalnya ketika ia membongkar kisah asal-usul daun
tembakau. Atau pernah juga ia bercerita tentang Wali Songo--sembilan wali
penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Yang paling kuingat dari kisah ini adalah
perjalanan Sunan Kalijaga atau Raden Said. Atau kalau sedang punya banyak
waktu, ia akan bercerita tentang dunia wayang yang selama ini masih sedikit
kami kenal. Ia tak 'kan berhenti kalau tidak kami sendiri yang meminta. Jadilah
jika sebelumnya aku mengenal wayang hanya dari TVRI, maka mulai hari itu aku
mengenal wayang dari wayangnya langsung! Tak semua orang seberuntung diriku.
Sejak pertemuan dengan orang kurus itu, minatku
pada buku dan tulisan semakin bertambah. Lebih menjadi-jadi ketika pada suatu
waktu aku berjabat tangan dengan seorang berusia sekitar 30-an tahun. Waktu itu
aku masih SD. Kau tahu siapa dia? Dialah Rambo.
Eh, tapi tunggu dulu. Aku bukan sedang
berimajinasi. Orang ini benar-benar hidup di dunia nyata. Ia adalah Rambo yang
kuat dan hebat. Wajahnya selalu tenang, seperti pecundang tak punya teman. Tapi
kalau sudah beraksi, jangankan musuh, dukun sunat pun tak ada yang berani!
Rambo ini gemar membagi pengalamannya ketika
berperang di Vietnam. Kami terkagum-kagum ketika ia mengisahkan tentang
perjuangan menelan sebutir nasi di medan perang. Sungguh tak terbayang betapa
mengerikan hidup ini kadang-kadang. Kami dibuatnya berkeringat dingin ketika ia
membuka seluruh bajunya. Dan, di sana, detik itu pula, kami tahu bahwa Rambo
itu kini sedang menjalani pola hidup baru: menjadi vegetarian yang mencintai
sapi dan kambing apa adanya. Bahkan karena alasan itulah kemudian ia tak lagi
berperang seperti dahulu kala.
"Aku sekarang sudah pensiun ...," begitu
katanya.
Ada satu rahasia tentang Rambo itu yang selama ini
kusimpan. Tak ada siapa pun yang tahu bahwa dia sebenarnya adalah orang yang
ajaib. Ajaibnya itu disebabkan oleh kebiasaannya berganti profesi. Katakanlah
hari ini dia menjadi Jackie Chan, besok dia menjadi Raul Gonzales, besok lusa
dia menjadi Valentino Rossi, dan besoknya besok lusa dia menjadi Michael
Jackson. Tak hanya itu, saking ajaibnya, besok lusanya besok lusa, dia menjadi
Si Buta dari Gua Hantu! Sungguh membingungkan.
Sejak itulah kami tahu bahwa sebenarnya perwujudan
orang-orang terkenal nan hebat itu hanyalah khayalan kosong dari seorang tukang
cerita. Ia memang suka berpikir kacau. Dan ketika kami mencoba meluruskan,
jangan harap pulang ke rumah dengan selamat. Ia akan mengamuk dan mengira semua
orang telah meremehkan, menganggapnya tak becus. Maka kami hanya diam.
Dikatakanlah bahwa ia telah banyak makan asam garam, padahal kami tahu kalau
sebenarnya ia senang sekali memakan soto. Kau tentu tahu maksudku. Dia adalah
Wiro Sableng kedua di kampung kami. Yang kadang membuatku bergidik ngeri sampai
sekarang adalah: dulu kami sempat percaya padanya bahwa ia pernah menginjak
bulan.
Tapi dari seluruh pertemuan dengan buku dan para
pendongeng itu, kemudian aku memiliki semacam laci khusus dalam kepala. Aku
menyimpan banyak sekali cerita-cerita aneh, seru, lucu, penuh misteri, dan mara
bahaya di dalam sana. Aku seperti bocah yang tak sengaja kejatuhan durian, dan
durian itu adalah inspirasi tak terbatas. Maka kuanggap diriku ini seorang
kolektor. Bedanya, koleksiku tak dapat dilihat siapa pun selain diriku sendiri
dan Tuhan.
Namun oleh karena laci itu ukurannya terlalu
kecil, sementara segala yang terlihat adalah yang selalu tersimpan, tak ayal
pada suatu hari sebagian besar dari cerita-cerita tadi tumpah berserakan
tertiup angin. Aku kaget. Aku cemas dan berusaha sedapat mungkin memunguti
mereka satu per satu. Sayangnya aku terlalu kecil. Aku tak berdaya. Banyak dari
hal-hal yang menarik dan menunggu untuk kutulis dengan caraku sendiri itu, tak
lagi dapat kutemukan. Mereka menjauh, hilang dariku.
Lama sekali aku hanyut. Aku menyebut diriku ini
hanyut meski sebenarnya berada di atas perahu. Ini karena perahu itu bukanlah
milikku. Aku tak memiliki perahuku sendiri. Aku hanya menikmati setiap hentakan
gelombang samudra sebagai penumpang yang duduk manis di pojokan, tanpa seorang
pun yang peduli. Aku kadang merasa bagai penonton yang tak mempunyai daya upaya
untuk mengubah pertunjukan yang tengah berlangsung. Aku tak memiliki wewenang
hingga akan ada seseorang yang mengusirku kalau-kalau aku nekat masuk melalui
pintu yang bertuliskan "Selain yang Berkepentingan Dilarang Masuk!".
Aku hanyalah bagian kecil dari sejuta butir bagian lain yang terkadang tak
nampak.
Kau tahu alasan semua itu terjadi? Hanya satu:
"tak satu pun tulisan yang benar-benar kutuntaskan".
Yang paling menyedihkan dari kisahku ini adalah
bahwa sesungguhnya sejak lama aku menyukai buku. Aksaraku belum ingin berjumpa
pada hati. Pun tintaku, hanya rela menguap di antara keinginan gersang yang
kejam tak terkira. Mungkin ini yang disebut pahit. Rasa pahit itu ada karena
ketidaksesuaian isi hati menari-nari dalam nyata, bukan bunga tidur. Seluruh
gundah itu berakhir ketika seseorang mengajariku menulis puisi. Ya, dialah yang
pertama kali mengajariku merangkai kata demi kata. Tak hanya satu baris saja,
melainkan berbait-bait puisi telah kutulis dan berhasil kuselesaikan.
Dia bukanlah guru yang memberiku teori-teori
sastra atau apa pun yang berkaitan dengan puisi. Aku tak pernah mengenal teori,
hanya menulis saja sesuai isi hati. Dia adalah seorang yang datang secara
tiba-tiba pada suatu pagi yang agak menyebalkan, lalu dengan keseharian kami
yang hampa--nyaris tanpa bicara--ia menunjukiku makna cinta. Kurasa kaupaham
maksudku. Aku hanya sedang tak berdaya disergap monyet, cinta monyet lebih
tepatnya.
Sejak saat itu, puluhan atau mungkin ratusan puisi
telah kutulis. Puisi-puisi itu adalah bagian dari hari-hariku. Puisi-puisi itu
adalah kejujuranku. Maka mereka dengan tulus memberiku semangat baru bahwa
sebagai seorang anak muda yang punya banyak mimpi, kumpulan aksara ini kemudian
mendorongku untuk berbuat lebih baik dari hari sekarang.
Salah satu caraku adalah ketika seorang teman
memanggilku di suatu siang yang panas. Kami memang sering berkumpul dan menyewa
studio musik untuk latihan nge-band. Kala itu aku berpikir bahwa apa yang kami
lakukan ini bukan tanpa arti--bahkan bukan tanpa hasil. Kami percaya pada apa
yang kami kerjakan. Kepercayaan itu semakin bertambah ketika lagu pertama,
kedua, ketiga, dan seterusnya berhasil kuciptakan dari puisi-puisiku, meski
sebenarnya sedikit orang yang tahu dan menurutku laguku itu tidaklah terlalu bagus.
Namun aku menyimpannya baik-baik untuk band kami, karena siapa tahu suatu saat
nanti ada produser yang tertarik, memberi kami kontrak tujuh album yang kami
rindukan! Tak masuk akal memang, tapi biarlah. Namanya juga bermimpi. Betapa
indahnya jika itu terjadi. Aku tak pernah menduga. Dari kecintaan pada buku dan
membaca, aku mendaki bersama puisi-puisi sederhana, lalu sampai pada puncaknya:
menciptakan sebuah lagu.
Hampir setiap hari aku memasuki sebuah ruangan
sejuk berbau plastik. Ruangan itulah studio tempat kami biasa berlatih. Ketika
bermain musik, aku selalu senang karena berpikir tengah tampil di depan ribuan
penonton. Padahal, kau tahu siapa yang menonton? Penonton kami adalah omelan si
pemilik studio gara-gara drummer-ku yang masih belajar tapi keras kepala.
Jadilah symbal merk nomor satu sejagat raya itu sering dibuat retak atau
kadang pecah oleh aksi sok tahu sang penabuh drum.
Pernah kami sedikit beruntung. Ada beberapa musisi
senior seperti Iwan Fals, Ian Antono, dan Ahmad Dhani yang bersedia menonton
kami. Sewaktu kutanyakan bagaimana penampilan kami tadi, mereka hanya
tersenyum. Lalu kutanyakan kembali apa sajakah kekurangan kami, karena dengan
begitu kami akan dapat memperbaiki. Namun lagi-lagi mereka tersenyum. Aku agak
jengkel melihat sikap mereka yang selalu saja tersenyum tanpa mau berkomentar
apa pun. Apa susahnya sih memberi satu-dua patah petuah untuk kami?!
Sering karena kejengkelan itu, kubabat habis senar
gitarku, seperti gitaris lagu-lagu metal, padahal kami sedang membawakan lagu
nuansa romantis yang mellow. Dan untuk kali ketiga ketika akan bertanya,
barulah aku sadar bahwa mereka hanyalah poster.
"Pantas terus-terusan tersenyum," begitu
kata hatiku.
Aku mulai kerepotan ketika seorang teman lain
mengajakku bergabung di band yang ia bentuk. Aku bersedia dan mencoba membagi
waktu. Aku harus disiplin agar tak terlambat karena punya dua band sekaligus.
Ini terus terjadi sampai orang yang baru saja kukenal di suatu tempat berbuat
hal serupa--mengajak bergabung di band-nya. Ya, ini adalah titik di mana aku
menjadi gitaris di mana-mana! Tiga band berturut-turut!
Dengan demikian, jika sebelumnya aku adalah
"peserta lomba lari maraton", maka hari itu aku mendadak jadi
"maling jemuran"--lari tunggang langgang dikejar orang sekampung!
Terjadilah benturan demi benturan jadwal antara
satu band dengan band yang lain. Semua itu pada akhirnya berujung pada bubarnya
band kami, tak tersisa. Kami tetap bersahabat tapi kami tak lagi punya band.
Lalu, apa yang terjadi dengan puisi-puisiku tadi?
Beberapa judul dari mereka telah menjadi lagu. Namun perlahan dan pasti
lagu-lagu itu terlupakan. Aku menyimpan puisi-puisi lainnya dengan baik dalam
lembaran kertas dan handphone, karena aku tak punya komputer. Aku menjaganya
dengan baik dan berharap suatu saat nanti dibaca oleh orang banyak. Agaknya
telah jelas apa yang selama ini tersimpan dalam hati. Aku ingin menjadi musisi
sekaligus penulis. Hari ini, aku sadar bahwa sebenarnya harapan terbesar di
antara keduanya adalah mimpi menjadi penulis.
"Tapi apa yang telah kau lakukan?"
Sebuah suara mengejutkanku. Aku tersadar dari
tidurku yang melelahkan, terkantuk-kantuk oleh angin malam kota Jakarta yang
tak kenal ampun. Sebagian besar puisi-puisi dalam handphone-ku tadi hilang
dalam waktu kurang dari 24 jam!
Kau tahu siapa pelakunya? Ia tak lain adalah
pemuda berkulit hitam yang belakangan menjadi "sesepuh" sekaligus
sahabat kami. Kawan, kala itu aku menjadi bagian dari para perantau, hidup
bersama sekumpulan anak-anak muda hebat yang menggenggam erat mimpi-mimpi
mereka di dalam hati. Aku berpikir mereka itu hebat, bukan berpikir tentang
diriku karena aku bukanlah siapa-siapa. Mereka hebat karena dari merekalah aku
belajar tentang tetes darah penghabisan. Nah, pemuda hitam itu agaknya tengah
dilanda musibah. Maka kami tak keberatan ketika ia meminta untuk bergabung,
tidur bersama di tenda yang kami bangun selama beberapa bulan pertama tinggal
di Jakarta.
Handphone itu ia pinjam karena ada sebuah
pekerjaan mendadak di Bogor. Dengan sebuah tas berisi pakaian seadanya--dan
beberapa lembar uang dari para sahabatku--ia pergi meninggalkan kami dengan
janji akan kembali.
"Empat hari lagi aku pulang ...."
Hari kelima tak ada kabar. Dan pada hari ke tiga
puluh lima, aku tahu, bahwa ia tak 'kan pernah kembali dan puisi-puisiku itu
hilang ditelan angin. Seorang teman membesarkan hatiku dengan mengajakku pergi
ke suatu tempat. Mungkin karena memang kami ini senang belajar sesuatu yang
baru, maka kami ingin mencari pekerjaan kedua sebagai pengisi waktu luang
ketika kami sedang berlibur. Rencana itu semakin kuat ketika pada suatu malam
kubulatkan tekad untuk segera menulis dan menerbitkan buku karya tunggalku, apa
pun yang terjadi! Maka, tak perlu berpanjang rencana. Kami segera bergerak.
Seketika aku tahu alasanku terus menerus menabung, bekerja apa saja yang halal.
Semua itu demi membeli sebuah laptop.
Sepanjang semua itu belum terwujud, aku menulis
dengan komputer yang kusewa per jam, di warnet yang berisik, gelap, pengap,
tua, berdebu, dan dikhianati waktu. Aku terus menulis. Aku pernah berhenti
sekali waktu ketika seseorang menganggap bahwa apa yang kulakukan itu sia-sia.
Namun sekali aku bangkit, aku sadar bahwa kecintaan pada buku yang telah
kupelihara sejak kecil dulu, adalah untuk hari ini. Bukankah aku ingin menjadi
penulis? Kalau demikian, mengapa aku berhenti menulis?
Aku mulai memandang diriku bukan sebagai penonton.
Kini, aku adalah diriku sendiri yang menantang hujan dan panas matahari sejauh
berkilometer hanya untuk mengetik beberapa lembar tulisan sederhana. Aku
mengikuti bermacam lomba menulis. Aku ingat kegagalan pertama begitu
menyakitkan, tapi aku tak ingin berhenti untuk kedua kalinya. Maka, sejak itu
kujumpai banyak sekali manusia dengan ragam warna, berbeda-beda. Ada yang baik,
ada pula yang jahat. Ada yang membantu, ada pula yang menipu. Secara
keseluruhan, apa yang kulakukan selama berbulan-bulan mengetik di warnet itu,
adalah sebuah kemajuan yang membuatku tercengang. Betapa tidak? Rasanya tak
pernah aku bersemangat segila itu. Aku seperti melihat sosok baru dalam diriku.
Dan pada suatu pagi yang indah, di pantai yang
menawarkan keindahan, aku termenung. Aku teringat betapa buku, bagaimanapun
itu, akan selalu memberi pengaruh pada orang yang membacanya. Pengaruh itu bisa
besar, bisa juga kecil, tergantung bagaimana orang menangkap dan menyikapinya.
Aku menulis kembali, menekuni berlembar kertas harapan itu. Sampai lunaslah apa
yang selama bertahun-tahun menjadi tanda tanya dalam benak. Aku menyelesaikan
buku pertamaku.
Kini, aku terus menulis, apa pun yang terjadi.
Karena bagiku menulis adalah cara bicara yang 'abadi', tak lekang oleh waktu.
Sebuah tulisan tak 'kan mati kecuali ketika kehidupan fana ini berakhir.
Menulis bagiku dapat memberi ketenangan hati, karena lewat tulisan yang baik,
seseorang dapat berbagi hal-hal baik ke seluruh dunia. Tidak ada hal yang lebih
indah selain membuat orang lain tersenyum. Bukan begitu? Salah satu caranya
adalah dengan menulis. Aku mengerti jawaban ini karena sejak dulu aku telah
membaca, mencintai buku seperti sahabatku, hingga merasa menjadi seorang yang
paling beruntung di muka bumi.
Mari cerahkan dunia lewat buku dan tulisan.
Oleh: Ken Hanggara, penulis buku "Jalan Setapak
Aisyah" & "Dermaga Batu"
Keterangan foto: Puisi-puisi lama dan kumpulan lagu saya.
Comments
Post a Comment