Skip to main content

Buku Cerita & Mimpi Jadi Penulis



Sejak kecil aku menyukai buku cerita. Mungkin gara-gara komik berwarna milik Kakak. Komik itu kutemukan di dalam tumpukan barang lama yang sudah tidak terpakai. Maka, komik itulah temuan pertamaku. Ia lebih tua dariku dan demi menyadari semua itu, aku senang tak kepalang.


Lalu aku mulai bertanya-tanya. Apa saja kutanyakan, mulai dari siapa pemilik asli komik itu, siapa pengarangnya, belinya di mana, berapa harganya, dan bagaimana mungkin seseorang membiarkannya terpenjara bersama debu? Bukankah buku komik itu sesuatu yang hebat? Maklum, waktu itu aku masih sangat kecil. Mungkin karena inilah kemudian aku mulai beranggapan bahwa buku adalah mainan terajaib dari yang paling ajaib.

Seiring berjalannya waktu, kecintaanku pada buku semakin bertambah. Ini karena Ibu selalu membelikanku buku anak-anak bahkan tanpa kuminta. Ibu seolah tahu seleraku. Aku senang ketika mendapati ada buku baru di kantung belanjaan Ibu. Satu yang paling berkesan adalah bau khas dari sampul buku baru. Baunya selalu membuatku tak nyenyak tidur, takut terjadi sesuatu yang buruk dengan buku itu.

Buku-buku yang kumiliki berisi tentang banyak hal. Yang kala itu menjadi favoritku adalah buku yang berisi informasi tentang dunia binatang. Anak kecil mana yang tak tertarik? Anak kecil mana yang tak merasa penasaran, memikirkan nama-nama aneh seperti trenggiling, rakun, tapir, biawak, yak, dan beberapa jenis hewan lain yang seumur-umur tak pernah dikenal?

Buku itu pun menjadi sesuatu yang wajib dan tak boleh kulewatkan. Kalau sehari tak memegang buku itu, sama halnya dengan hampa. Maka, hampa adalah musuh yang paling menjengkelkan setelah jarum suntik. Setidaknya bagiku seperti itu. Kau tahu, sejak dulu aku itu sangat membenci jarum suntik!

Tapi lepas dari apa pun, percaya atau tidak, dari buku dunia binatang itulah kemudian aku bisa membedakan antara kambing dan rusa. Atau antara cicak dan kadal. Atau kadang-kadang antara kerbau dan banteng. Bahkan tak jarang pula aku bisa membedakan antara burung unta dan unta sungguhan!

Kemudian buku yang berada di urutan kedua teratas, berisi tentang kegiatan seorang anak SD. Menariknya, sampul buku ini dihiasi oleh benda plastik berbentuk seperti jam dinding yang jarumnya dapat kita putar sesuka hati. Buku itu berisi gambar-gambar yang sangat menarik. Tentunya dilengkapi dengan paragraf-paragraf pendek yang menggambarkan suasana di dalam gambar. Hebat, bukan? Tulisan yang menggambarkan gambar! Oh, belum pernah kujumpai tulisan yang bisa menggambar!

Belum lagi isinya yang mengisahkan tentang keseharian seorang anak yang patuh kepada kedua orangtua, rajin belajar, dan tidak lupa minum susu. Ingin rasanya aku menemui penulisnya dan memeluk lalu mengucap beribu terima kasih padanya, karena telah menulis buku itu. Sungguh sebuah buku yang menggetarkan hati dan layak dibaca siapa saja di usia dini. Sangat bermanfaat untuk perkembangan kepribadian bocah-bocah lugu sepertiku kala itu. Di sana dicontohkan bagaimana berbuat hal-hal baik serta apa yang seharusnya kita lakukan agar tidak berbuat kesalahan.

Buku lain yang sering kubaca adalah sebuah kumpulan cerpen. Tapi jangan salah. Buku ini bukan buku sembarangan. Buku ini teramat istimewa karena ditulis tidak oleh seorang penulis saja, melainkan banyak. Bahkan buku ini tidak bersampul dan kertasnya terbuat dari kertas yang biasa kita temui pada buku tulis kebanyakan.

Ya, buku kumpulan cerpen ini sebenarnya adalah buku tulis milik salah seorang kakak sepupuku. Kakak sepupuku itu mungkin pelanggan setia majalah dan koran tertentu, hingga setiap kali menemukan cerpen yang menarik dan menginspirasi, disimpanlah halaman tersebut, digunting rapi, lalu ditempel pada lembar-lembar buku tulis kosongnya. Sampai sekarang, belasan tahun setelahnya, buku hebat itu masih kusimpan dengan baik. Cerpen-cerpen favoritku yang ada di situ adalah "Pemanah Ulung", "Sahabat Pena", "Rakus", "Untung Mobilnya Butut", "Si Bagong", "Sandal Butut", "Mau Menang Sendiri", dan "Kisah Seekor Burung".

Dari buku-buku di atas--ditambah banyak lagi buku lain dan majalah anak-anak yang kubaca--kemudian sedikit banyak menumbuhkan minatku kepada dunia cerita dan dongeng. Aku pernah mencoba menulis cerita sendiri, sebuah dongeng, tapi selalu gagal. Oh, sungguh menulis itu tidaklah mudah, begitu hatiku terus berucap. Aku tak pernah bisa menuntaskan kalimat ketiga, bahkan sering kali pada kalimat kedua aku berhenti. Mungkin karena belum terlalu mahir memegang pensil, tulisanku selalu buruk. Aku selalu berpikiran seperti itu.

Lalu, apakah karena huruf-huruf yang kuukir ini begitu buruk, sampai-sampai aku tak pernah menuntaskan cerita yang meluap-luap dalam kepala? Apakah itu berpengaruh? Namun pada kenyataannya, setelah duduk di kelas satu SD nanti aku sadar, bahwa tulisan tanganku tak pernah bagus. Orang menyebutnya 'cakar ayam'. Lebih dari itu, aku juga sadar bahwa seburuk apa pun tulisan tangan, tidak akan berpengaruh kepada apa yang akan tertulis. Kau tahu maksudku? Buktinya temanku yang tulisan tangannya buruk minta ampun, tapi ia selalu mendapat nilai seratus.

"Berarti sebuah tujuan bukanlah bergantung pada apa yang kita peluk, melainkan apa yang kita kejar," begitu kira-kira bahasa dewasanya untuk apa yang kala itu kurasakan.

Tapi kesukaran yang kuhadapi ketika mencoba menulis apa yang ada dalam kepala tak membuatku lantas membenci buku. Aku tetap mencintai buku seperti aku mencintai ibuku. Bahkan kadang aku berpikir kalau buku itu hidup. Aku akan meminta izin pada Ibu untuk mengangkatnya sebagai adikku. Maklum, aku masih terlalu kecil dan beranggapan bahwa menjadi kakak adalah suatu hal yang keren.

Pernah di waktu senja aku menangis. Entah berapa tahun usiaku kala itu. Dalam kepalaku terus terbayang-bayang sebuah buku yang dijual di sebuah kios di pinggir jalan. Aku masih ingat warna sampul buku itu. Bahkan aku masih ingat betul wajah penjualnya. Buku itu adalah buku Wiro Sableng. Kau tahu, 'kan, Wiro Sableng? Wiro Sableng adalah tokoh fiksi asli Nusantara yang hebat bukan main, hasil kreatifitas seorang pria bernama Bastian Tito. Wiro Sableng adalah pendekar yang agak terganggu kewarasannya, yang sempat membuat kampungku gempar gara-gara ulahnya yang kocak. Bukan, bukan karena Wiro Sableng dalam buku itu keluar dari buku seperti dalam film-film fantasi lalu memporak-porandakan kampung, melainkan ada seorang yang terjebak dalam alam pikirannya sendiri, alias gila. Ia berkelana di jalanan kampung, menggoda ibu-ibu dan anak-anak kecil sampai lari terbirit-birit. Kami semua memanggilnya Wiro Sableng meski kami sendiri tak pernah tahu nama aslinya.

"Kapan-kapan saja beli. Jangan sekarang ...," begitu suara seseorang memenggal harapanku untuk memiliki buku itu. Mungkin karena dia tahu bahwa nyaris setiap hari aku bertemu Wiro Sableng.

Lalu pada kesempatan yang lain aku berkenalan dengan lelaki yang bertubuh kurus kering. Karena sepanjang hidup tak pernah sekali pun aku mendengar seseorang mendongeng, maka aku tak 'kan pernah melupakan apa yang terjadi hari itu. Orang kurus itu membuatku dan beberapa orang teman duduk melingkar, membuka mulut kami sendiri tanpa sadar--bahkan jika lalat masuk pun mungkin kami tak tahu--karena saking asyiknya menikmati kemampuan mendongengnya yang luar biasa.

Kami terkesima, terhipnotis oleh gayanya membawakan cerita, seperti misalnya ketika ia membongkar kisah asal-usul daun tembakau. Atau pernah juga ia bercerita tentang Wali Songo--sembilan wali penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Yang paling kuingat dari kisah ini adalah perjalanan Sunan Kalijaga atau Raden Said. Atau kalau sedang punya banyak waktu, ia akan bercerita tentang dunia wayang yang selama ini masih sedikit kami kenal. Ia tak 'kan berhenti kalau tidak kami sendiri yang meminta. Jadilah jika sebelumnya aku mengenal wayang hanya dari TVRI, maka mulai hari itu aku mengenal wayang dari wayangnya langsung! Tak semua orang seberuntung diriku.

Sejak pertemuan dengan orang kurus itu, minatku pada buku dan tulisan semakin bertambah. Lebih menjadi-jadi ketika pada suatu waktu aku berjabat tangan dengan seorang berusia sekitar 30-an tahun. Waktu itu aku masih SD. Kau tahu siapa dia? Dialah Rambo.

Eh, tapi tunggu dulu. Aku bukan sedang berimajinasi. Orang ini benar-benar hidup di dunia nyata. Ia adalah Rambo yang kuat dan hebat. Wajahnya selalu tenang, seperti pecundang tak punya teman. Tapi kalau sudah beraksi, jangankan musuh, dukun sunat pun tak ada yang berani!

Rambo ini gemar membagi pengalamannya ketika berperang di Vietnam. Kami terkagum-kagum ketika ia mengisahkan tentang perjuangan menelan sebutir nasi di medan perang. Sungguh tak terbayang betapa mengerikan hidup ini kadang-kadang. Kami dibuatnya berkeringat dingin ketika ia membuka seluruh bajunya. Dan, di sana, detik itu pula, kami tahu bahwa Rambo itu kini sedang menjalani pola hidup baru: menjadi vegetarian yang mencintai sapi dan kambing apa adanya. Bahkan karena alasan itulah kemudian ia tak lagi berperang seperti dahulu kala.

"Aku sekarang sudah pensiun ...," begitu katanya.

Ada satu rahasia tentang Rambo itu yang selama ini kusimpan. Tak ada siapa pun yang tahu bahwa dia sebenarnya adalah orang yang ajaib. Ajaibnya itu disebabkan oleh kebiasaannya berganti profesi. Katakanlah hari ini dia menjadi Jackie Chan, besok dia menjadi Raul Gonzales, besok lusa dia menjadi Valentino Rossi, dan besoknya besok lusa dia menjadi Michael Jackson. Tak hanya itu, saking ajaibnya, besok lusanya besok lusa, dia menjadi Si Buta dari Gua Hantu! Sungguh membingungkan.

Sejak itulah kami tahu bahwa sebenarnya perwujudan orang-orang terkenal nan hebat itu hanyalah khayalan kosong dari seorang tukang cerita. Ia memang suka berpikir kacau. Dan ketika kami mencoba meluruskan, jangan harap pulang ke rumah dengan selamat. Ia akan mengamuk dan mengira semua orang telah meremehkan, menganggapnya tak becus. Maka kami hanya diam. Dikatakanlah bahwa ia telah banyak makan asam garam, padahal kami tahu kalau sebenarnya ia senang sekali memakan soto. Kau tentu tahu maksudku. Dia adalah Wiro Sableng kedua di kampung kami. Yang kadang membuatku bergidik ngeri sampai sekarang adalah: dulu kami sempat percaya padanya bahwa ia pernah menginjak bulan.

Tapi dari seluruh pertemuan dengan buku dan para pendongeng itu, kemudian aku memiliki semacam laci khusus dalam kepala. Aku menyimpan banyak sekali cerita-cerita aneh, seru, lucu, penuh misteri, dan mara bahaya di dalam sana. Aku seperti bocah yang tak sengaja kejatuhan durian, dan durian itu adalah inspirasi tak terbatas. Maka kuanggap diriku ini seorang kolektor. Bedanya, koleksiku tak dapat dilihat siapa pun selain diriku sendiri dan Tuhan.

Namun oleh karena laci itu ukurannya terlalu kecil, sementara segala yang terlihat adalah yang selalu tersimpan, tak ayal pada suatu hari sebagian besar dari cerita-cerita tadi tumpah berserakan tertiup angin. Aku kaget. Aku cemas dan berusaha sedapat mungkin memunguti mereka satu per satu. Sayangnya aku terlalu kecil. Aku tak berdaya. Banyak dari hal-hal yang menarik dan menunggu untuk kutulis dengan caraku sendiri itu, tak lagi dapat kutemukan. Mereka menjauh, hilang dariku.

Lama sekali aku hanyut. Aku menyebut diriku ini hanyut meski sebenarnya berada di atas perahu. Ini karena perahu itu bukanlah milikku. Aku tak memiliki perahuku sendiri. Aku hanya menikmati setiap hentakan gelombang samudra sebagai penumpang yang duduk manis di pojokan, tanpa seorang pun yang peduli. Aku kadang merasa bagai penonton yang tak mempunyai daya upaya untuk mengubah pertunjukan yang tengah berlangsung. Aku tak memiliki wewenang hingga akan ada seseorang yang mengusirku kalau-kalau aku nekat masuk melalui pintu yang bertuliskan "Selain yang Berkepentingan Dilarang Masuk!". Aku hanyalah bagian kecil dari sejuta butir bagian lain yang terkadang tak nampak.

Kau tahu alasan semua itu terjadi? Hanya satu: "tak satu pun tulisan yang benar-benar kutuntaskan".

Yang paling menyedihkan dari kisahku ini adalah bahwa sesungguhnya sejak lama aku menyukai buku. Aksaraku belum ingin berjumpa pada hati. Pun tintaku, hanya rela menguap di antara keinginan gersang yang kejam tak terkira. Mungkin ini yang disebut pahit. Rasa pahit itu ada karena ketidaksesuaian isi hati menari-nari dalam nyata, bukan bunga tidur. Seluruh gundah itu berakhir ketika seseorang mengajariku menulis puisi. Ya, dialah yang pertama kali mengajariku merangkai kata demi kata. Tak hanya satu baris saja, melainkan berbait-bait puisi telah kutulis dan berhasil kuselesaikan.

Dia bukanlah guru yang memberiku teori-teori sastra atau apa pun yang berkaitan dengan puisi. Aku tak pernah mengenal teori, hanya menulis saja sesuai isi hati. Dia adalah seorang yang datang secara tiba-tiba pada suatu pagi yang agak menyebalkan, lalu dengan keseharian kami yang hampa--nyaris tanpa bicara--ia menunjukiku makna cinta. Kurasa kaupaham maksudku. Aku hanya sedang tak berdaya disergap monyet, cinta monyet lebih tepatnya.

Sejak saat itu, puluhan atau mungkin ratusan puisi telah kutulis. Puisi-puisi itu adalah bagian dari hari-hariku. Puisi-puisi itu adalah kejujuranku. Maka mereka dengan tulus memberiku semangat baru bahwa sebagai seorang anak muda yang punya banyak mimpi, kumpulan aksara ini kemudian mendorongku untuk berbuat lebih baik dari hari sekarang.

Salah satu caraku adalah ketika seorang teman memanggilku di suatu siang yang panas. Kami memang sering berkumpul dan menyewa studio musik untuk latihan nge-band. Kala itu aku berpikir bahwa apa yang kami lakukan ini bukan tanpa arti--bahkan bukan tanpa hasil. Kami percaya pada apa yang kami kerjakan. Kepercayaan itu semakin bertambah ketika lagu pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya berhasil kuciptakan dari puisi-puisiku, meski sebenarnya sedikit orang yang tahu dan menurutku laguku itu tidaklah terlalu bagus. Namun aku menyimpannya baik-baik untuk band kami, karena siapa tahu suatu saat nanti ada produser yang tertarik, memberi kami kontrak tujuh album yang kami rindukan! Tak masuk akal memang, tapi biarlah. Namanya juga bermimpi. Betapa indahnya jika itu terjadi. Aku tak pernah menduga. Dari kecintaan pada buku dan membaca, aku mendaki bersama puisi-puisi sederhana, lalu sampai pada puncaknya: menciptakan sebuah lagu.

Hampir setiap hari aku memasuki sebuah ruangan sejuk berbau plastik. Ruangan itulah studio tempat kami biasa berlatih. Ketika bermain musik, aku selalu senang karena berpikir tengah tampil di depan ribuan penonton. Padahal, kau tahu siapa yang menonton? Penonton kami adalah omelan si pemilik studio gara-gara drummer-ku yang masih belajar tapi keras kepala. Jadilah symbal merk nomor satu sejagat raya itu sering dibuat retak atau kadang pecah oleh aksi sok tahu sang penabuh drum.

Pernah kami sedikit beruntung. Ada beberapa musisi senior seperti Iwan Fals, Ian Antono, dan Ahmad Dhani yang bersedia menonton kami. Sewaktu kutanyakan bagaimana penampilan kami tadi, mereka hanya tersenyum. Lalu kutanyakan kembali apa sajakah kekurangan kami, karena dengan begitu kami akan dapat memperbaiki. Namun lagi-lagi mereka tersenyum. Aku agak jengkel melihat sikap mereka yang selalu saja tersenyum tanpa mau berkomentar apa pun. Apa susahnya sih memberi satu-dua patah petuah untuk kami?!

Sering karena kejengkelan itu, kubabat habis senar gitarku, seperti gitaris lagu-lagu metal, padahal kami sedang membawakan lagu nuansa romantis yang mellow. Dan untuk kali ketiga ketika akan bertanya, barulah aku sadar bahwa mereka hanyalah poster.

"Pantas terus-terusan tersenyum," begitu kata hatiku.

Aku mulai kerepotan ketika seorang teman lain mengajakku bergabung di band yang ia bentuk. Aku bersedia dan mencoba membagi waktu. Aku harus disiplin agar tak terlambat karena punya dua band sekaligus. Ini terus terjadi sampai orang yang baru saja kukenal di suatu tempat berbuat hal serupa--mengajak bergabung di band-nya. Ya, ini adalah titik di mana aku menjadi gitaris di mana-mana! Tiga band berturut-turut!

Dengan demikian, jika sebelumnya aku adalah "peserta lomba lari maraton", maka hari itu aku mendadak jadi "maling jemuran"--lari tunggang langgang dikejar orang sekampung!

Terjadilah benturan demi benturan jadwal antara satu band dengan band yang lain. Semua itu pada akhirnya berujung pada bubarnya band kami, tak tersisa. Kami tetap bersahabat tapi kami tak lagi punya band.

Lalu, apa yang terjadi dengan puisi-puisiku tadi? Beberapa judul dari mereka telah menjadi lagu. Namun perlahan dan pasti lagu-lagu itu terlupakan. Aku menyimpan puisi-puisi lainnya dengan baik dalam lembaran kertas dan handphone, karena aku tak punya komputer. Aku menjaganya dengan baik dan berharap suatu saat nanti dibaca oleh orang banyak. Agaknya telah jelas apa yang selama ini tersimpan dalam hati. Aku ingin menjadi musisi sekaligus penulis. Hari ini, aku sadar bahwa sebenarnya harapan terbesar di antara keduanya adalah mimpi menjadi penulis.

"Tapi apa yang telah kau lakukan?"

Sebuah suara mengejutkanku. Aku tersadar dari tidurku yang melelahkan, terkantuk-kantuk oleh angin malam kota Jakarta yang tak kenal ampun. Sebagian besar puisi-puisi dalam handphone-ku tadi hilang dalam waktu kurang dari 24 jam!

Kau tahu siapa pelakunya? Ia tak lain adalah pemuda berkulit hitam yang belakangan menjadi "sesepuh" sekaligus sahabat kami. Kawan, kala itu aku menjadi bagian dari para perantau, hidup bersama sekumpulan anak-anak muda hebat yang menggenggam erat mimpi-mimpi mereka di dalam hati. Aku berpikir mereka itu hebat, bukan berpikir tentang diriku karena aku bukanlah siapa-siapa. Mereka hebat karena dari merekalah aku belajar tentang tetes darah penghabisan. Nah, pemuda hitam itu agaknya tengah dilanda musibah. Maka kami tak keberatan ketika ia meminta untuk bergabung, tidur bersama di tenda yang kami bangun selama beberapa bulan pertama tinggal di Jakarta.

Handphone itu ia pinjam karena ada sebuah pekerjaan mendadak di Bogor. Dengan sebuah tas berisi pakaian seadanya--dan beberapa lembar uang dari para sahabatku--ia pergi meninggalkan kami dengan janji akan kembali.

"Empat hari lagi aku pulang ...."

Hari kelima tak ada kabar. Dan pada hari ke tiga puluh lima, aku tahu, bahwa ia tak 'kan pernah kembali dan puisi-puisiku itu hilang ditelan angin. Seorang teman membesarkan hatiku dengan mengajakku pergi ke suatu tempat. Mungkin karena memang kami ini senang belajar sesuatu yang baru, maka kami ingin mencari pekerjaan kedua sebagai pengisi waktu luang ketika kami sedang berlibur. Rencana itu semakin kuat ketika pada suatu malam kubulatkan tekad untuk segera menulis dan menerbitkan buku karya tunggalku, apa pun yang terjadi! Maka, tak perlu berpanjang rencana. Kami segera bergerak. Seketika aku tahu alasanku terus menerus menabung, bekerja apa saja yang halal. Semua itu demi membeli sebuah laptop.

Sepanjang semua itu belum terwujud, aku menulis dengan komputer yang kusewa per jam, di warnet yang berisik, gelap, pengap, tua, berdebu, dan dikhianati waktu. Aku terus menulis. Aku pernah berhenti sekali waktu ketika seseorang menganggap bahwa apa yang kulakukan itu sia-sia. Namun sekali aku bangkit, aku sadar bahwa kecintaan pada buku yang telah kupelihara sejak kecil dulu, adalah untuk hari ini. Bukankah aku ingin menjadi penulis? Kalau demikian, mengapa aku berhenti menulis?

Aku mulai memandang diriku bukan sebagai penonton. Kini, aku adalah diriku sendiri yang menantang hujan dan panas matahari sejauh berkilometer hanya untuk mengetik beberapa lembar tulisan sederhana. Aku mengikuti bermacam lomba menulis. Aku ingat kegagalan pertama begitu menyakitkan, tapi aku tak ingin berhenti untuk kedua kalinya. Maka, sejak itu kujumpai banyak sekali manusia dengan ragam warna, berbeda-beda. Ada yang baik, ada pula yang jahat. Ada yang membantu, ada pula yang menipu. Secara keseluruhan, apa yang kulakukan selama berbulan-bulan mengetik di warnet itu, adalah sebuah kemajuan yang membuatku tercengang. Betapa tidak? Rasanya tak pernah aku bersemangat segila itu. Aku seperti melihat sosok baru dalam diriku.

Dan pada suatu pagi yang indah, di pantai yang menawarkan keindahan, aku termenung. Aku teringat betapa buku, bagaimanapun itu, akan selalu memberi pengaruh pada orang yang membacanya. Pengaruh itu bisa besar, bisa juga kecil, tergantung bagaimana orang menangkap dan menyikapinya. Aku menulis kembali, menekuni berlembar kertas harapan itu. Sampai lunaslah apa yang selama bertahun-tahun menjadi tanda tanya dalam benak. Aku menyelesaikan buku pertamaku.

Kini, aku terus menulis, apa pun yang terjadi. Karena bagiku menulis adalah cara bicara yang 'abadi', tak lekang oleh waktu. Sebuah tulisan tak 'kan mati kecuali ketika kehidupan fana ini berakhir. Menulis bagiku dapat memberi ketenangan hati, karena lewat tulisan yang baik, seseorang dapat berbagi hal-hal baik ke seluruh dunia. Tidak ada hal yang lebih indah selain membuat orang lain tersenyum. Bukan begitu? Salah satu caranya adalah dengan menulis. Aku mengerti jawaban ini karena sejak dulu aku telah membaca, mencintai buku seperti sahabatku, hingga merasa menjadi seorang yang paling beruntung di muka bumi.

Mari cerahkan dunia lewat buku dan tulisan.

Oleh: Ken Hanggara, penulis buku "Jalan Setapak Aisyah" & "Dermaga Batu"

 Keterangan foto: Puisi-puisi lama dan kumpulan lagu saya.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri