Skip to main content

Resensi Buku: Bagai Buku Harian yang Tertuang Lewat Syair Indah (oleh Hanum Anggraini)

Judul : Dermaga Batu
Jenis Buku : Kumpulan Pusi
Penulis : Ken hanggara
Penerbit : FAM Publishing
Tahun Terbit : Januari 2013
Cetakan : I
Tebal Buku : xvi+192 halaman
Harga: Rp 42.000,-



Puisi, ya.. Siapa yang tak kenal puisi? Sebagian besar yang muncul di benak masyarakat tentang puisi adalah kata-kata yang dirangkai dengan indah. Dan bukan rahasia umum lagi bahwa manusia memang memiliki fitrah yang cenderung menyukai keindahan. Pujangga-pujangga pun bermunculan silih berganti bersama karya-karyanya yang kan menjadi kenangan indah, mereka goreskan seiring dengan laju zaman. Sebut saja diantaranya Chairil Anwar, Khahlil Gibran, dan banyak lagi.

Ken Hanggara, salah satu bibit pujangga yang mulai muncul dan ikut bersama barisan-barisan pujangga yang menorehkan tintanya menjadi syair yang indah dan penuh makna. Walau namanya masih baru, tetapi karyanya tak kalah dengan karya-karya pujangga yang pernah ada sebelumnya.

Dia adalah penulis buku kumpulan puisi yang berjudul Dermaga Batu. Berbicara soal buku Dermaga Batu, ada banyak kejutan didalam buku ini yang disuguhkan untuk pembaca saat menikmati karyanya. Betapa tidak, puisi-puisi yang tertoreh tidak hanya menonjolkan keindahan rangkaian kata-katanya, tetapi juga kita seperti hanyut dalam sebuah kisah yang mengalir alami. Seperti sedang membaca sebuah buku harian. Pengalaman-pengalaman pribadi penulis yang sederhana tetapi menarik untuk dibaca ketika disusunnya menjadi sebuah puisi. Setelah membaca sebuah judul puisi berikut isinya, penulis melampirkan penjabaran di bawahnya, terkait dengan arti puisi tersebut, terinspirasi oleh apa, hingga harapan-harapan dari puisi itu. Hal itu yang membuat pembaca tidak perlu banyak mengerutkan dahi untuk mengerti apa maksud dari puisi itu. Cocok juga untuk pemula yang ingin belajar membuat puisi yang indah dan penuh makna.

Puisi-puisi di dalamnya pun berwarna, mulai dari tentang cinta, tentang asa, tentang keprihatinan pada negeri ini, hingga hal-hal yang kecil sekalipun, bisa menjadi sebuah syair yang indah. Salah satu contohnya adalah ketika penulis melihat dua gadis cantik di sebuah warnet yang sedang digoda oleh pemuda-pemuda, kedua gadis itu malah merespon mereka. Penulis pun menyayangkan sikap kedua gadis yang kurang bisa menjaga sikapnya. Akhirnya terlantunlah puisi indah dari kisah itu. Unik bukan?

Saya sendiri sebenarnya kurang suka dengan puisi. Padahal saya tak jarang juga sesekali membuat sebuah puisi. Namun setelah membaca buku Dermaga Batu, saya menjadi tertarik dengan puisi. Karena hal yang sederhana pun bisa menjadi sebuah puisi yang indah. Bisa mengungkapkan sebuah perasaan dan pikiran dengan bahasa yang lembut dan ironi.

Point terakhir dari segi cover, cukup menyejukkan jika dipandang. Gambarnya sesuai dengan judulnya, Dermaga Batu. Juga pewarnaannya pun menarik. Lalu dari segi lay out, cukup rapi dan teratur, sehingga pembaca tak mudah lelah ketika membacanya.

Oleh: Hanum Anggraini Azkawati, pembaca dari Sidoarjo.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri