Penulis : Zakiya Sabdosih, dkk.
Kategori : Kumpulan Cerita Pendek
Penerbit : FAM Publishing
ISBN : 978-602-7956-11-7
Terbit : April 2013
Cetakan : 1
Tebal : 195 halaman
Ujian memang tak pernah lepas dari setiap jejak
kehidupan manusia. Salah satu bentuk ujian yang seringkali membuat manusia
berputar haluan, bergerak mundur, atau bahkan menjauhi Tuhan adalah kemiskinan.
Tak dapat dipungkiri, kepahitan hidup bagi sebagian orang yang lemah iman akan
menjadi senjata makan tuan laiknya boomerang di tangan yang salah. Ia akan
melesat sekuat tenaga, berpura-pura mengejar lawan, namun secepat itu pula
membunuh pelemparnya sendiri.
Kemiskinan adalah suatu keadaan di mana manusia
berada di tengah dua pilihan; antara hitam dan putih. Apa yang diambil, akan
tergantung dari pola pikir dan cara pandang masing-masing individu. Rasa tak
menerima diri sendiri sebagai sosok yang ada di depan cermin, menjadikan benih
keterpurukan akan semakin tumbuh. Jalan buntu pun menyambut. Sebaliknya,
keikhlasan pada takdir dan berusaha untuk terus memperbaiki diri, adalah kunci
keselamatan.
Melalui buku kumpulan cerpen "Kunang-Kunang
di Sarang Tikus" ini, 20 penulis muda Indonesia berusaha merakit kacamata
hidup dalam memandang kemiskinan dan sebaik-baik cara menyikapinya. Miskin
harta, belum tentu miskin hati. Itulah yang terpatri dengan jelas di setiap
lembar kisah-kisah menakjubkan dalam buku ini. Anda akan terpana dan berpikir
bahwa hidup sejatinya adalah anugerah bagi siapa saja yang rela menerima.
Cerpen berjudul unik, "Tentang Bayangan
Sebuah Pohon yang Jatuh di Sungai Keruh dan Seseorang yang Ingin Menjadi
Bayangan Sebuah Pohon di Sungai Keruh" (halaman 8), ditulis oleh Zakiya
Sabdosih dengan penalaran tingkat tinggi. Penulis dengan cerdas melukiskan
bayangan sebuah pohon layaknya manusia yang punya kehidupan dan sudut pandang
sendiri. Tak peduli ia berdiri di tempat terburuk yang paling dijauhi, ia akan
tetap sama. Ia berpikiran terbuka dalam melihat hidupnya. Berada di satu
perputaran keruh tidaklah membosankan, karena pada dasarnya akan ada cahaya
yang menemani bayangan. Manusia yang kurang mensyukuri hidup, lalu hendak
menjatuhkan diri sendiri, bercengkrama bersama nasib di kubangan dosa. Semua
itu menjadikan bayangan adalah sesuatu yang berharga untuk dicontoh. Ide dasar
cerpen ini sederhana, namun gaya bahasa indah dalam analogi-analogi
menakjubkan, serta pilihan diksi yang matang, membuat cerita ini bermutu dan
sarat akan pelajaran hidup.
"Perempuan yang Tubuhnya Tergadai" oleh
Nimas Kinanthi (halaman 15), menceritakan tentang kepahitan hidup seorang gadis
desa. Di sini keimanan seseorang menjadi pertaruhan, apakah akan terus tersekap
dalam saku baju berlubang yang penuh tambalan di sana-sini, ataukah rela
disambar sekawanan burung pemakan bangkai di atas meja para bandar yang tak
lagi peduli pada dosa. Jebakan itu datang secara diam-diam ketika rupiah
menjadi salju di tengah gurun. Pada akhirnya, pekerjaan sebagai kupu-kupu malam
membawa tokoh utamanya pada derita tak berujung. Bahkan hela napasnya pun
menjadi tak berharga di mata orang terdekat.
Sementara, "Kunang-Kunang di Sarang
Tikus" oleh M.R.Andrianus (halaman 25), mengusung ide yang tak biasa.
Penulis mampu menyiratkan pesan betapa kejujuran adalah suatu hal yang penting.
Namun nyatanya kesejahteraan; entah itu kehidupan layak, jabatan menggiurkan,
keadilan yang aneh, kebenaran yang samar, atau bahkan kehormatan yang dungu pun--dapat
dibeli lewat akal tumpul manusia-manusia yang hanya mengejar kesenangan
duniawi. Mereka tak peduli pada imbasnya yang dapat merugikan orang lain. Yang
halal diabaikan, sedang yang haram menjadi santapan. Penulis cukup cerdas
mengambil kunang-kunang sebagai gambaran dari kejujuran itu sendiri, atau
mungkin kebenaran? Memang begitulah yang seringkali kita jumpai dalam hidup.
Kadang, mereka yang hidup di dalam kehangatan cangkang mewah, menjadi rabun dan
rakus pada dunia. Semestinya mereka membuka mata, mampu melihat dan malu, bahwa
di luar sana begitu banyak kaum pinggiran yang kerap kali menelan tanah demi
terlelapnya perut, namun tak pernah ingin menipu hati nurani--menolak
membohongi diri sendiri.
Arinny Fharahma dalam cerpen "Akulah Sang
Bintang" (halaman 97), mengisahkan tentang keadaan ekonomi yang tak
menentu di sebuah keluarga kecil. Kenyataan ini menjadikan sosok-sosok mulia
itu menguatkan diri mereka sendiri, belajar dari alam dan segala yang terselip
di sana. Betapa tidak? Tak sekalipun mereka mengecap bangku sekolah. Namun dari
genangan peluh mereka, serta perjuangan demi sesuap nasi dan sambungan episode
kehidupan fana, membuat siapa pun akan terkesiap dan berbisik pada hati kecil,
"Betapa aku menyesal mengutuk nasibku. Harusnya aku bersyukur!"
Maissi Ardha Roza dalam cerpen "Ikmal"
(halaman 108), berbicara tentang pola bersyukur yang sama dengan cerpen Arinny,
namun dengan pengemasan yang beda dan tak kalah menarik. Kehidupan jalanan yang
keras tak membuat cita-cita seorang bocah untuk bersekolah surut. Tekadnya
malah semakin bulat, tak peduli bermacam hinaan ia terima. Bahkan tak peduli
jika pendidikan adalah sesuatu yang mewah di negeri ini. Sungguh tak sejalan
dengan kalimat-kalimat yang sering sebagian orang ucapkan, bahwa semua berhak
mendapat itu. Tapi faktanya? Bagi bocah itu sendiri, sekolah adalah jalan untuk
mengubah hidup. Hati kecilnya menanam semua itu. Namun satu tragedi pahit
menutup mimpi untuk selamanya. Pembaca akan dibuat bertarung dengan air mata
dalam kisah ini.
"Equal" karya Irma Kurniasih (halaman
117), menuturkan secara gamblang tentang perjuangan seorang gadis pelari miskin
yang tak ingin putus sekolah. Kesedihan akan ujung jalan setapak bercabang,
sempat mengurungnya untuk sesaat. Namun di saat kebangkitan kembali, satu
peristiwa membuat tokoh utama kehilangan sebagian hidupnya. Kesabaran pun
membuahkan hasil akhir yang membahagiakan. Cerpen ini ditulis dengan cerdas. Di
beberapa bagian menyelipkan pilihan kata atau istilah yang tak umum, namun
mudah dimengerti.
Ada beberapa cerpen yang ditulis dengan cara unik
dan kreatif, yakni "Saklitinov" (Habsari Banyu Jenar), "Aku dan
Manusia-Manusia" (M. Imam Fatkhurrozi), dan "Gembel Piaraan"
(Winda Az Zahra). Lewat "Saklitinov" (halaman 48), penulis membawa
kita hanyut dalam suara hati seorang wanita yang dengan terpaksa menerima
ketidakadilan. Semua berawal dari pilihan berat meninggalkan kampung halaman
demi meraih kebahagiaan. Namun semua itu palsu, dengan kekejian yang
bertubi-tubi menimpanya. Dari gaya tulisan unik, cerpen ini seolah menjelma
menjadi bioskop kecil dalam kepala, lalu terbentuklah mozaik-mozaik derita itu
secara jelas, menjadi satu kisah haru yang seakan ditertawakan.
"Aku dan Manusia-Manusia" (halaman 53),
menyampaikan pesan positif bahwa hidup yang semestinya, adalah tidak hidup
untuk diri sendiri. Yang demikian itu adalah kebenaran. Lihatlah di sekitar
kita. Bertebaran manusia-manusia yang dianggap terbuang, lalu kemudian
tersisihkan, tak diterima dalam persaingan hidup manusia modern yang lebih beruntung.
Hidup mereka yang tak menentu membuat segalanya menjadi gelap, seperti lukisan
yang ditoreh lewat kuas tanpa bentuk yang pasti. Cerpen ini mengajak kita
menelusuri pemikiran sosok gadis yang meringkuk seorang diri di bawah langit
lepas. Hidup sebagai manusia 'terpilih', dengan lahan bumi yang kotor, membuat
masa depannya hancur secara pasti. Bahkan sebelum ia sempat merasakan manisnya
berharap.
Sedangkan dalam cerpen "Gembel Piaraan"
(halaman 171), kita akan menjumpai tokoh yang terlanjur tertipu waktu namun tak
sekalipun pernah bermimpi. Adakah mimpi itu hanya sebuah ilusi? Hal itu tampak
kabur baginya. Pertemuan dengan seorang yang bernasib nyaris serupa--namun
dirasa lebih 'maju'--membuatnya berpikir tentang kebusukan metropolitan.
Sayangnya, momen itu tak memaksanya bangkit. Seiring waktu berjalan, ia
menganggap bahwa hidup yang dijalani selayaknya ternak dalam pagar pembatas
sejauh jangkau memandang. Begitulah caranya melihat. Kemalasan lewat tadahan
telapak tangan, adalah pembunuh yang dipeliharanya secara tak sadar.
Secara keseluruhan, mulai dari ide cerita, gaya
bahasa, serta pengemasan cerpen dalam buku ini sangat baik. Kisah-kisah di
dalamnya ditulis dengan matang. Itu karena memang buku ini merupakan kumpulan
karya para pemenang sepuluh besar dari dua kategori dalam lomba Sayembara
Cerpen Tingkat Nasional--yang diadakan FAM Indonesia beberapa waktu yang lalu.
Tak ada kejanggalan dari segi cerita dan isi, semuanya terbingkai secara utuh
dan rapi. Hanya saja dari sisi tampilan buku, ada beberapa kekurangan yang saya
temukan.
Pertama dari EYD. Proses editing yang kurang
teliti, membuat beberapa kata dan penggunaan tanda baca menjadi tidak sesuai
dengan kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sebagian contohnya adalah
pada halaman 35, yakni "Al Quran" yang semestinya ditulis
"Alquran". Pada halaman 61, panggilan "bapak" dan
"nenek" harusnya diawali dengan huruf kapital; "Bapak" dan
"Nenek". "Separoh" (halaman 75), harusnya
"separuh". Ada pula kalimat yang tidak sesuai dengan salah satu kata
penyusunnya, yaitu pada halaman 84. Kata "naik" yang seharusnya
"baik", tidak diedit dengan benar. Oleh karena kesalahan ketik serta
kekurangtelitian editor, maka kalimat tersebut terdengar aneh. Berikut
kalimatnya: "Maka kupikir lebih 'naik' tak lagi membahas masalah
itu." Janggal bukan?
Kemudian kesalahan EYD juga ada pada halaman 111:
"Dedauan" seharusnya ditulis "dedaunan". Di halaman 122,
"Astaghfirullah" mestinya diketik dengan huruf miring (kesalahan
serupa juga ada di beberapa halaman lain), karena kalimat ini termasuk bahasa
asing (Arab). Kata "nggak", "ngasih", "berantem",
dan "ngerti" (halaman 133) sebaiknya juga ditulis dengan huruf miring
karena merupakan kata-kata gaul, bukan bahasa baku. Pada halaman 156, saya
menemukan kata yang seharusnya "orangtuaku", disingkat menjadi
"ortuku". Lalu pada halaman 167, "ntah" yang seharusnya
ditulis "entah". Halaman 172, "mangut-mangut" seharusnya
"manggut-manggut". Serta saya temukan kata "sekedar" di
beberapa halaman yang semestinya adalah "sekadar". Agaknya, proses
editing yang kurang sempurna membuat pembaca kurang nyaman. Namun beruntung
tidak sepenuhnya begitu, karena 'terselamatkan' oleh kualitas cerpen-cerpen di
dalamnya.
Kekurangan kedua adalah dari desain layout
buku ini. Bukan dari tatak letak, penomoran halaman, margin, atau jenis font
yang digunakan. Melainkan ada pada gambar yang terpajang di setiap halaman
pembuka per judul cerpennya. Di bagian atas halaman terdapat gambar
kunang-kunang. Saat pertama kali melihatnya, kesan yang timbul di benak saya
adalah buku ini menyerupai buku pelajaran Biologi atau novel fantasi. Baiknya
menggunakan ilustrasi yang lebih tepat dan lebih kontras lagi (tidak buram
seperti yang saya dapati). Atau bila tidak memungkinkan bisa menggunakan objek
lain selain kunang-kunang, yang tetap merefleksikan kemiskinan. Kalaupun
kunang-kunang dirasa paling tepat, setidaknya memakai ilusrasi lain yang lebih
'mewakili' tema dari buku.
Namun biar bagaimanapun, semua kekurangan itu
tidaklah mengurangi minat kita dalam menikmati paragraf demi paragraf yang
disajikan dengan begitu menyentuh. Betapa tidak? Kita akan dapat belajar arti
hidup dan bersyukur yang sebenarnya. Seperti halnya boomerang, hidup pun perlu
pemahaman. Hidup adalah senjata yang jika kita mampu memahami, maka akan memetik
banyak manfaat darinya. Namun lain cerita jika tanpa bekal pengetahuan apa pun
seseorang memegang senjata. Akan sangat berbahaya bagi keselamatan diri sendiri
dan orang lain.
Cetakan buku yang berkualitas dengan jenis kertas
yang halus, membuat mata tidak mudah suntuk atau perih ketika membaca. Dengan
begitu, kita akan benar-benar merasa nyaman membalik setiap lembarnya, lalu
tanpa ragu terjun ke dalam hikayat sejati melawan ketidakmungkinan, membantah
pesimisme, serta memerangi ketimpangan di segala sisi. Di sana kita akan
ditempatkan pada posisi sebagai tuan rumah, yang siap menerima ketukan di
ambang pintu, dari suara-suara hati yang tak pernah didengar bahkan terbuang.
Kesimpulan saya, para penulis sukses menoreh nilai kebenaran dari sebuah keadaan
pahit. Buku ini layak dibaca untuk semua orang. Oh, mungkin akan sangat tepat
jika dijadikan bingkisan spesial bagi mereka yang membenci rasa syukur. Agar
mereka tahu, betapa penderitaan hidup dan ketidakberpihakan waktu bukanlah
kutukan. Kemiskinan adalah anugerah Tuhan yang dikemas dalam bentuk lain, untuk
mereka: makhluk-makhluk yang dicintaiNya.
Peresensi: Ken Hanggara
E-mail: kenzohang@yahoo.co.id
Twitter: @kenzohang
Comments
Post a Comment