Skip to main content

Resensi Buku: Tanpa Cinta, Hidup Tak Akan Hidup


Judul buku : Pesona Odapus
Penulis : 25 Penulis Cerpen Indonesia
Kategori : Kumpulan Cerita Pendek

Penerbit : FAM Publishing
ISBN : 978-602-18971-4-0
Terbit : Oktober 2012
Cetakan : 1
Tebal : 222 halaman
Harga : Rp 43.400,-

Benarlah sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa cinta adalah anugerah yang tiada ternilai harganya. Tanpa cinta, hidup tak akan hidup. Dengan cinta, segala yang tak mungkin menjadi semudah membalik telapak tangan. Anggaplah suatu pencapaian adalah sebuah puncak gunung dengan tebing terjal yang mengandung marabahaya. Maka, adakalanya kita merasa optimis berlebih, sanggup melawan kekejaman alam bahkan dengan tanpa bekal peralatan atau ilmu yang memadai. Tak peduli apa pun itu, langkah tetap bulat untuk mendaki. Namun ada saatnya pula tubuh kita akan terasa goyah, cemas, dan takut kalau-kalau pijakan yang tadinya setia mengantar tiba-tiba berkhianat. Jiwa mendadak diliputi kebimbangan hingga berpikir "Apakah aku sanggup?" Ini adalah ketidakstabilan yang terjadi secara wajar. Siapa pun pasti pernah mengalami pasang surut macam ini. Akan tetapi, dengan cinta, agaknya semangat yang terpupuk akan sukar dibodohi. Ia akan terus melaju sampai ke tahap di mana diri sendiri terpukau lantaran kekuatan yang terkandung di dalamnya. Ibarat kata, cinta mengandung sihir yang membuat seorang yang lemah dapat memindahkan gunung besar.

Dalam buku Kumpulan Cerpen "Pesona Odapus", 25 penulis muda Indonesia ini berusaha meracik serpihan cinta sarat makna, yang mereka tangkap dalam berbagai segi kehidupan, untuk dituangkan ke dalam lembar-lembar aksara dengan tidak mengabaikan nilai-nilai dakwah di dalamnya.

Lihatlah cerpen berjudul "Pesona Odapus" karya Dartia Utari, yang juga dijadikan judul buku ini. Cerpen ini mengisahkan tentang seorang pemuda yang menderita penyakit berat namun tetap tegar menikmati apa yang telah digariskan untuknya. Betapa cobaan tidaklah lepas dari hidup setiap anak manusia. Namun seberat apa pun diri memandang permasalahan, sungguhlah pasti akan ada jalan keluar. Tuhan tidaklah memberi ujian di luar batas kemampuan makhlukNya.

Sementara itu, "Ketika Dua Hati Terpisah" karya Putri Anggreni, melukiskan tentang cinta seorang anak pada ibu kandungnya tak pernah lepas dari hati, meski bertahun lamanya raga mereka terpisah. Begitu pun sebaliknya. Kondisi ekonomi yang tak menentu membuat mereka rela terpaut jarak demi masa depan sang anak. Namun, belum juga kerinduan terbayar, pertemuan kedua mereka tak pernah terwujud. Takdir merenggut nyawa salah satu darinya.

Ma'arifa Akasyah dalam cerpennya yang berjudul "Laring Pembela, Nyanyian Ruh Merkurius", melalui beberapa analogi cerdas dan menyentuh, menyuguhkan keindahan sebuah perjuangan seorang anak dalam dekapan kasih sayang ibunya. Entah penyakit apa yang membuatnya terus bertahan dalam ketidakmungkinan. Hingga akhirnya air mata pun menjadi ujung dari kisah mereka.

"Cermin Retak"-nya Emma Kaze menyampaikan pelajaran, bahwa kebahagiaan sejati tak pernah didapat dari kesenangan sesaat. Hancurnya rumah tangga sebuah keluarga kecil, berdampak pada hubungan gelap seorang wanita dengan lelaki misterius. Semua itu semata demi tujuan jaminan hidup orang-orang yang dicintai. Namun sayangnya, segala yang tak berdiri pada tempatnya memang tak pernah menang. Akhir yang pahit akan menjadi warna kelabu bagi para pelaku yang berani mempermainkan cinta.

Cerpen yang paling menarik adalah "Buncah Dakwah Dua Amanah" karya Nur Syamsudin. Penulis mengusung tema yang mungkin jarang terlintas di benak kita. Ini tentang amanah, sekecil apa pun itu, kelak pasti akan dipertanggungjawabkan. Politik yang kerap kali dibalut aroma busuk akan ketidakberpihakan pada rakyat kecil, terkadang membuat sebagian manusia buta. Sejatinya seorang pemimpin yang benar adalah mereka yang mampu merasakan air mata tanah yang dipijaknya. Saling berlomba merebut jabatan bukanlah sesuatu yang menyenangkan, karena dengan begitu, denting waktu pembuktian akan memeluk jiwa hingga kematian menjemput. Beruntunglah jika tindakan telah benar, namun akan sangat merugi jika hanya memasrahkan diri pada nafsu duniawi.

Kemudian cerpen "Jalan Cahaya" karya Moch. Satrio Welang, sungguh ditulis dengan sepenuh jiwa. Siapa pun yang membaca cerita ini dengan hati, maka akan dapat menyaring makna cinta yang sebenarnya. Kita akan dibuat menangis sekaligus bergidik. Ditulis dengan gaya sastra yang kental dengan balutan ragam tragedi dalam hidup seorang pemuda, penulis mampu membawa kita mengarungi kepahitan dan ketidakadilan yang tokoh utama alami. Hidup seakan dalam penjara yang tak pernah lepas dari jalan buntu. Itulah yang kita rasakan. Gaya bahasa dalam cerpen ini hampir mirip tulisan-tulisan fiksi karya jurnalis Libanon, Hanan al-Shaykh. Dengan sangat berani dan gamblang, penulis sukses mendeskripsikan satu persatu kegetiran dan keterpurukan, secara detail, menjadi sebuah pelajaran berharga yang dapat kita petik.

"Cinta di Langit Gaza" (Befaldo Angga), "Anak Sang Nelayan" (Rendra Pirani), dan "Demi Aku" (Abi Yazid Bastomi), menuturkan tentang cinta bertabur perjuangan dengan metode penyampaian sederhana namun memikat. Cerpen-cerpen lain pun tak kalah indahnya. Dari sebuah kata 'cinta', melalui 25 judul kisah ini, para penulis mampu menjangkau lingkaran dakwah yang cukup luas dan mengandung nilai-nilai pencerahan di dalamnya. Hanya saja, terdapat beberapa kekurangan dalam buku ini. Pertama, dari segi cerita dan pengemasan yang baik hingga menoreh kesan di hati pembaca. Seperti dalam cerpen "Maaf, Kita Harus Putus" (Arif Hifzul), "Cinta di Negeri Kangguru" (Hasan Asyhari), "Penjara Cinta" (Ahmad Saadillah), "Keputusan" (Salmizul Fitria), "Ukiran Namamu, Arina" (Najla Al-Faiq), dan "Senja yang Mengantar Impianku" (Wardatul Adawiyah). Penulis punya maksud dan ide yang hebat di balik penulisan cerpen-cerpen tersebut, namun kurang bisa menjadikannya sesuatu yang menggigit. Penulisan cerita yang terkesan datar dan apa adanya, tanpa naik-turunnya gelombang perasaan ataupun memerhatikan konflik yang tak biasa, membuat kisah-kisah mereka serasa hambar, kurang menggetarkan, dan sedikit membosankan. Namun, biar bagaimanapun, tidak ada yang sempurna di dunia ini dan karya-karya tersebut layak mendapat apresiasi karena tetap menyelipkan nilai dakwah di dalamnya.

Kekurangan kedua buku ini adalah dari segi EYD. Sebenarnya nyaris tak ada kesalahan pada EYD. Hanya ada beberapa saja dan itu masih dalam batas wajar. Di antaranya yang saya temukan adalah pada halaman 180 (cerpen "Jalan Peta Saksi Cinta" oleh Rahmat Herdiansyah), yakni pada dialog: "Ya, sangat perlu sekali Nak." Mestinya dialog tersebut tertulis dengan: "Ya, sangat perlu sekali, Nak." (perhatikan tanda koma). Juga pada halaman 135 (cerpen "Buah Hati" oleh Nadia Regina Martanti), yakni pada dialog yang 'terus bersambung' tanpa tanda titik (.) meski pada akhir kalimat sekalipun. Antara kalimat satu dan kalimat berikut di dalam sebuah dialog terhubung oleh tanda koma (,). Ini mengurangi kenyamanan membaca. Pada cerpen "Memori Sore Terindah" (Ken Hanggara) ditemukan beberapa kata yang terpotong menjadi dua, disebabkan oleh kesalahan editing atau layout, yakni "me-nyambar", "hi-dup", "ber-beda", dan "ber-korban". Serta pada halaman 169 (cerpen "Keputusan" oleh Salmizul Fitria), yaitu pada dialog percakapan via SMS yang tertulis dengan singkatan. Alangkah baiknya jika diketik sesuai dengan EYD agar tidak mengurangi keindahan cerpen.

Kekurangan ketiga adalah pada desain sampul yang kurang menarik, tidak kreatif, dan monoton. Kadang, pepatah yang benar tidaklah selalu benar dalam kenyataan yang ada. Memang, menilai sesuatu hanya dari tampilan luarnya saja tak dapat dijadikan patokan baik-buruknya kualitas yang tersimpan di sana. Hendaklah kita tak menilai sesuatu dari kulitnya. Namun, siapa pun pasti akan setuju jika dikatakan bahwa keindahan sampul sebuah buku dapat mengundang seseorang yang tadinya acuh menjadi ingin tahu, yang tadinya tak peduli menjadi penasaran, serta yang tadinya tak berminat menjadi ingin memiliki. Tak dapat dipungkiri, sampul bagaikan ujung tombak pertama bagi sebuah buku. Sampul adalah modal utama untuk mencuri hati. Seperti dalam formasi grup band, sampul laiknya sosok vokalis. Ialah yang pertama kali bersentuhan dengan publik. Tanpa daya tarik sampul, sangat kecil kemungkinan buku akan menuai perhatian banyak orang. Bagaimana seseorang ingin mengenal buku tersebut, sementara kesan yang ditawarkan ketika pandangan pertama sudah tak menarik hati? Hal semacam ini sangatlah disayangkan.

Namun, meski demikian, dengan segala kekurangan yang ada, buku ini tetaplah menjadi sesuatu yang istimewa. Menurut saya, secara keseluruhan, kisah-kisah yang ada dalam buku ini mewakili cinta sejati, sarat pesan moral, serta mengusung kasih sayang yang bukan pada umumnya. Di sanalah letak keindahan itu. Cinta yang sesungguhnya bukanlah berasal dari bualan tak masuk akal atau tebaran harta melimpah yang tiada henti. Melainkan tulus dari hati terdalam manusia yang tak mengharap balasan banyak namun ikhlas untuk memberi. Kita akan belajar, tentang bagaimana memaknai cinta serta apa inti dari cinta itu sendiri. Cinta bukanlah sesuatu yang dapat dibeli. Cinta adalah anugerah yang jika kita mampu menangkap, maka hujan badai akan terasa teduh dan panas terik pun akan menjelma sejuk.

Tampilan fisik buku ini pun baik. Perpaduan rapi antara jenis kertas dan huruf yang nyaman di mata, membuat pembaca tak mudah bosan menyelami indahnya energi cinta yang terselip di setiap lembarnya. Buku ini sangat direkomendasikan bagi Anda para pecinta sastra, serta dapat menjadi pelengkap perpustakaan pribadi atau kado untuk orang terdekat. Lebih dari itu, buku ini memberi warna tersendiri bagi dunia literasi, dengan penyampaian cinta bernilai dakwah. Sungguh bermanfaat, terlebih bagi mereka yang mencari jawaban dari pertanyaan: "Di manakah sisa-sisa cinta yang telah lenyap dari dalam jiwaku?"

Peresensi : Ken Hanggara, FAM801M-Sby

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri