Skip to main content

Resensi Buku: Beruntunglah Mereka yang Memelihara Cinta


Judul buku : Sabda Cinta di Atas Nama Tuhan
Penulis : Lina Saputri
Kategori : Novel
Penerbit : FAM Publishing
ISBN : 978-602-18971-6-4
Terbit : Oktober 2012
Cetakan : 1
Tebal : 142 halaman
Harga : Rp. 38.500,-

"Cinta adalah pemikat yang bisa membuat seseorang merasa terikat. Jika cinta mengenalkan duniamu pada kebahagiaan, maka kenalkanlah cinta kepada iman dan kebaikan."

Begitulah salah satu kutipan yang ada dalam novel ini. Dikisahkan ada seorang gadis bernama Zahra yang tengah merajut cinta dengan seorang pemuda tampan berandalan yang cukup terkenal di kampus, Irsyad. Status sosial mereka amatlah bertolak belakang. Zahra dibesarkan di sebuah desa dengan kesederhanaan yang membalut kehidupan keluarganya. Ayahnya adalah seorang ustad yang disegani, sedangkan sang ibu adalah guru di sebuah sekolah madrasah. Jauh berbeda dengan Irsyad yang berasal dari kalangan berada.

Oleh karena reputasi Irsyad yang seringkali berbuat onar, untuk sementara, Zahra tak hendak membiarkan siapa pun mencium kedekatan mereka. Mereka tak ingin hubungan yang terjalin menjadi bahan pembicaraan orang-orang di sekitarnya. Maka, seiring berdetaknya waktu, ikatan cinta antara sepasang kekasih ini pun hanya mereka dan Tuhan saja yang tahu. Mereka sengaja menjalin indahnya cinta secara diam-diam dan saling meneguhkan komitmen dalam sebuah janji atas nama Tuhan, bahwa tak ada satu pun yang dapat menjadi penghalang mereka selain kematian.

Namun manusia hanya sanggup berencana, sedang yang menentukan segala sesuatu yang terjadi adalah Tuhan. Zaskia, sahabat dekat Zahra sejak kecil, nyatanya menyimpan rasa yang sama. Ia menaruh hati pada Irsyad, yang telah tertambat dengan sendirinya di dermaga hati. Sementara itu, Irsyad hanyalah menganggap gadis itu sebagai sahabatnya, tak lebih. Kedekatan mereka pun menumbuhkan kepahitan dalam diri Zaskia, yang memendam cinta dalam sepi.

Zahra berada dalam dilema ketika menyadari apa yang selama ini menjadi ganjalan dalam hati sahabat dekatnya, Zaskia, yang juga telah ia anggap seperti saudara kandungnya sendiri. Ia merasa tertekan, mengetahui kenyataan bahwa sosok yang Zaskia cintai tak lain adalah kekasih yang ia rahasiakan. Padahal, hubungan cinta yang telah ia jalin bersama Irsyad mulai menyihir bunga-bunga di taman imajinasinya. Irsyad yang terkenal tak tahu aturan itu, perlahan berubah seratus delapan puluh derajat, menjadi pemuda yang baik dan tak lagi membuat kekacauan.

Satu pesatu masalah pun muncul ketika Zahra hendak mengenalkan Irsyad pada kedua orangtuanya. Keluarga agamis dan santun itu tak menaruh simpati sedikit pun, melihat penampilan Irsyad yang tak jauh seperti bocah-bocah perusak pada umumnya. Zahra yang berusaha meyakinkan ayah ibunya, mulai putus asa melihat tanda-tanda ketiadaan restu yang ditunjukkan dari sikap dingin keduanya kepada Irsyad. Semua itu semakin bertambah berat ketika ia mesti membuka segala rahasianya pada Zaskia. Jadilah, kedua sahabat itu menjauh untuk beberapa waktu. Zahra kembali menjalani hidup selagi berharap cinta yang terlanjur membengkak itu menjumpai titik balik terindahnya.

Menyadari respon yang tak mendukug dari kedua orangtuanya, Zahra memutuskan untuk berbohong pada kedua orangtuanya. Hal ini kemudian yang menyebabkan konflik terbesar dalam kisah cinta mereka. Ia mendatangi rumah Irsyad tanpa sepengetahuan siapa pun. Secara kebetulan, orangtua pemuda itu tengah berkunjung ke luar kota. Zahra yang tak ingin kehilangan Irsyad, memberanikan diri membuka sebagian penutup auratnya, dengan tujuan memperkokoh cinta mereka, agar tak ada lagi yang dapat memisahkan. Namun, dengan tegas Irsyad menolak. Di waktu yang hampir bersamaan, kedua orangtua Irsyad tiba. Mendapati gadis yang setengah tak berpakaian itu berada di dalam kamar anaknya, segala spekulasi buruk tentang perempuan yang berniat mengeruk harta orang kaya pun muncul. Sejak saat itu, intensitas pertemuan mereka berkurang. Kedua belah pihak keluarga terlibat perang dingin atas kesalapahaman yang terjadi. Zahra kembali jatuh.

Hingga sampailah di puncaknya ketika mereka berdua memutuskan menikah secara diam-diam. Mereka pun menjadi pasangan suami istri dengan tempat tinggal sederhana yang jauh dari rumah. Bersamaan dengan munculnya janin di perut Zahra, hubungan mereka mulai terbongkar. Irsyad dengan berat hati meninggalkan istri yang dinikahinya secara rahasia itu. Ia mesti melanjutkan pendidikannya di London.

Demi menutupi adanya fitnah karena bayi yang tengah dikandungnya, ibu Zahra memberi dua pilihan terberat baginya, yakni antara menggugurkan kandungan itu atau menikah dengan pemuda keturunan ulama nun di seberang pulau. Dengan terpaksa, ia mengingkari janjinya untuk menunggu Irsyad hingga merampungkan pendidikannya. Ia menerima pinangan lelaki yang sama sekali tak dicintainya. Rasyid, nama pemuda itu, dengan sabar menerima Zahra, meski setelah mengetahui masa lalu sang istri yang tenggelam bersama cinta yang berjalan tanpa restu. Mereka pun menyimpan dengan baik tentang siapa sebenarnya ayah kandung dari bayi yang ada dalam perut Zahra.

Secara keseluruhan, novel ini menyajikan kisah yang menggugah hati, tentang bagaimana cinta sejati mesti diperjuangkan. Kadang orang-orang dan lingkungan sekitar tiada sudi mendukung. Pun lika-liku kehidupan yang menanti tak jarang menyimpan sejuta kejutan terburuk yang ada. Selayaknya mendaki sebuah puncak gunung. Jerih payah tak jua terbayar ketika mendapati jalan di depan adalah puncak-puncak yang tak kalah menjulangnya, menunggu untuk kembali ditaklukkan, seolah derita tiada akhir. Membacanya, kita merasa seakan melihat dan merasakan tragedi yang sebenarnya. Sungguh tak terbayang, betapa pahitnya hidup seseorang yang demikian itu. Dengan kadar keimanan manusia yang berbeda-beda, tentunya tak semua orang sanggup menjalani hal serupa. Penulis berhasil menuangkan kisah haru yang sarat pesan moral, bahwa hidup itu hendaknya kita syukuri. Begitu banyak cobaan yang menerpa, akan tetapi tak satu pun yang didesain melebihi kapasitas tiap insan itu sendiri.

Namun ada beberapa kekurangan yang saya temukan dalam novel ini. Pertama dari segi EYD. Banyak sekali saya temukan kesalahan ketik pada kalimat-kalimat yang ada di dalamnya. Seperti penggunaan tanda titik (.), tanda tanya, dan koma (,) yang tidak pada tempatnya. Salah satu contohnya ada pada dialog: "Kau juga mengenalnya, Zaskia?" (halaman 31). Dalam hal ini, penggunaan tanda tanya sangat tidak tepat, karena kalimat yang diajukan bukanlah 'kalimat tanya', melainkan 'pernyataan'.

Juga pada dialog berikut ini. Perhatikan, betapa kalimat-kalimatnya tertulis dengan sangat jelas namun tidak tertata rapi, sehingga mengurangi kenyamanan dalam membaca.

"Aku telah merelakannya untukmu, karena dia sudah sepantasnya menjadi milikmu, sekarang kejarlah dia, sebelum kau menyesal karena juga kehilangannya. Bukankah selama ini kau telah mampu merubahnya menjadi pribadi yang jauh lebih baik, bahkan kudengar di pelarajan Matematika ulangan kemarin dia mendapat nilai terbaik tentunya itu berkat doronganmu, kamu adalah semangat hidupnya, sekarang kejarlah dia dan minta maaflah padanya." (halaman 62).

Penggunaan tanda koma (,) yang tidak seharusnya ada, justru dijadikan penghubung antar kalimat. Ini bukanlah masalah, dengan syarat, memang tepat dalam penggunaannya. Namun pada beberapa bagian mestinya menggunakan tanda titik (.). Bahkan ada juga yang harusnya memakai tanda tanya. Oleh sebab inilah, kalimat dialog tersebut menjadi terkesan berantakan dan tak teratur. Bagaimana mungkin seorang pembaca akan merasa nyaman jika tanda baca yang dipakai saja tidaklah sesuai? Saya menemukan banyak sekali kalimat yang ditulis seperti ini. Hal ini mengesankan bahwa penulis kurang teliti dalam mengoreksi kembali karyanya sebelum dipublikasikan.

Juga pada beberapa kata yang tidak sesuai dengan EYD. Saya ambil sedikit contoh saja, seperti 'sekedar' (harusnya ditulis 'sekadar'), 'merubah' (harusnya ditulis 'mengubah'), 'akupun' (harusnya ditulis 'aku pun'), 'apapun' (harusnya ditulis 'apa pun'), dan masih banyak lagi. Yang paling sering saya temui dan agak mengganggu adalah kata 'merubah'.

Kedua dari segi pencerminan karakter tokoh utama. Hal ini yang paling membuat saya bertanya-tanya. Lihatlah, siapa yang tak kenal Zahra? Dialah gadis cantik nan santun yang mendapat pendidikan agama yang sangat baik dari kedua orangtuanya. Jelaslah demikian. Ayahnya saja seorang ustad terpandang. Namun saya sungguh tak mengerti, bagaimana mungkin seorang Zahra yang sejak kecil hidup dalam lingkungan agama yang kuat, dengan entengnya memakai parfum yang harum semerbak dan mencolok di hadapan orang-orang yang bukan suami sahnya? Selain itu, bagaimana ia dapat dengan mudahnya berciuman, berpelukan, dan berpegangan tangan dengan Irysad yang menikah dengannya saja belum? Dalam beberapa dialog, terlihat Zahra amatlah rapuh dan lemah iman. Ia mudah berprasangka, menduga-duga, dan lebih sering berpikiran negatif. Lebih dari itu, ia bahkan nyaris mengorbankan kesuciaannya demi mengukuhkan cintanya pada Irsyad. Ini yang patut dipertanyakan. Zahra adalah gadis agamis, bukan gadis tidak baik yang berpikiran sempit. Menurut saya, penulis secara terang-terangan membunuh karakter tokoh yang ia ciptakan sendiri. Bukankah pendidikan agama yang kuat akan membuat seseorang lebih baik dari itu? Namun biar bagaimanapun, penulis punya hak penuh untuk menentukan bagaimana watak tokoh yang ia buat. Hanya saja, perlu penyesuaian agar tidak terlihat aneh.

Kekurangan ketiga ada pada penulisan nama tempat. Hal ini agaknya tidak terlalu penting namun wajib diperhatikan bagi penulis. Perhatikan potongan paragraf berikut ini.

"Air mata Zaskia mengalir bagai sungai Nil yang menyusuri panjangnya kota Mesir, dan hatinya seakan tertancap runcing bambu yang tajam dan begitu kuat menusuki gumpalan di dadanya yang berbentuk hati." (halaman 57).

Setahu kita, tidak ada kota yang namanya Mesir. Mesir itu nama negara, bukan kota. Kesalahan serupa juga ada pada halaman 107. Bunyi kalimatnya seperti ini:

"Lalu diperkenalkanlah ia kepada keluarga Kyai Haji Sahid Ahmad. Beliau adalah seorang ulama dari Bangil, Surabaya."

Ini sangat menggelitik bagi saya. Siapa yang tak tahu kota Bangil? Tempat itu bukanlah sesuatu yang asing untuk didengar. Terlebih bagi saya. Sayangnya penulis kurang memerhatikan. Bangil dan Surabaya itu letaknya sangat berjauhan. Jaraknya pun beberapa jam perjalanan darat. Jadi, mana yang benar? Bangil atau Surabaya?

Keempat ada pada pendeskripsian tempat. Diceritakan bahwa Zahra adalah keluarga kecil yang tinggal di kampung dengan rumah yang sangat sederhana. Bahkan sempat dikatakan oleh kedua orangtua Irsyad yang kaya raya itu, sebagai "separuh gudang rongsokan barang-barang bekas" di rumah mereka. Anehnya, tak jauh setelah penggambaran 'buruk' itu, ada satu adegan di mana ayah ibu Zahra mengobrol di dalam kamar yang dikelilingi "barang-barang mewah". Jadi, mana yang benar? Tempat yang serba buruk atau penuh dengan barang mewah? Agaknya penulis mesti memerhatikan detail ini. Mungkin juga tidak terlalu penting. Akan tetapi, gambaran awal yang pembaca tangkap tentang keluarga sederhana dan apa adanya itu jadi kabur, lantaran deskripsi singkat yang berbelok dan tidak konsisten.

Akan tetapi, lepas dari segala kekurangan itu, mari kita lihat sisi positifnya. Bukankah tidak ada sesuatu yang sempurna di muka bumi ini? Lagipula saya kira penulis telah berhasil meramu ide dan imajinasinya menjadi sebuah kisah agung tentang cinta yang amat jarang terpikirkan di benak setiap dari kita. Bukan tidak mungkin cinta yang seperti itu terjadi di dunia nyata. Bahkan mungkin saja banyak para pejuang cinta sejati yang mengalami hal serupa. Goresan tintanya sukses mengaduk-aduk perasaan dengan konflik rumit berujung penyelesaian yang indah dan tak terduga. Ada banyak pesan kehidupan yang bisa kita petik dan rasakan. Bahwa hidup itu akan selalu indah jika kita mensyukuri apa pun keadaannya, terlebih bagi cinta yang bernaung dalam ridhaNya.

Tampilan fisik buku ini sangat baik. Desain cover sederhana namun tidak 'murahan' menjadikan siapa pun akan tertarik untuk membacanya. Desain isi yang pas, memadukan antara jenis huruf dan kertas yang teduh, membuat mata tidak mudah lelah untuk membacanya. Novel ini direkomendasikan untuk mereka yang mencari makna cinta yang sebenarnya. Cinta tidaklah dapat terlihat wujudnya, melainkan dapat dirasa dari hati yang paling hampa sekalipun. Maka, beruntunglah mereka yang memelihara cinta dalam jiwanya.

Peresensi: Ken Hanggara, FAM801M-Sby

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri