Skip to main content

Resensi Buku: Serupa Panggung Kehidupan

Judul buku : Kemarau Kemarin
Penulis : Aditya Surya Nugraha
Kategori : Kumpulan Puisi
Penerbit : FAM Publishing
ISBN : 978-602-18971-2-6
Terbit : Oktober 2012
Cetakan : 1
Tebal : 88 halaman
Harga : Rp 29.800,-


Adakalanya ketika permasalahan rumit datang, seseorang akan larut di dalamnya. Ibarat kata selembar kertas yang tertiup angin, ia pasrah akan apa yang terjadi padanya tanpa mendorong hati dengan keyakinan yang kuat untuk bangkit. Ia tak peduli lagi bahwa angin dapat menyimpan berbagai kemungkinan terburuk. Bisa jadi ia akan lenyap begitu saja setelah hembusan terhenti dan waktu seakan tak sudi ikut campur, tepat saat tubuh berada di atas sebuah sumur usang tanpa air. Ia pun jatuh berdebam dan terperangkap di dalam kegelapan abadi, lalu mati. Atau bisa jadi aliran sungai deraslah yang akan jadi pilihan bagi sang angin dalam mengakhiri waktunya. Air bening yang sejatinya menjadi penyejuk dahaga, menjelma menjadi pembunuh berdarah dingin. Tubuh kertas dilumat habis, hingga segala yang tertulis di sana akan luntur, mati.

Rasa pesimis selalu menutup segala dugaan positif, membuat jalan keluar seakan kabur. Menangis pun menjadi satu-satunya pilihan--yang dengan sadar ataupun tidak--dianggap sebagai solusi terbaik. Padahal, bukankah setiap manusia itu mendapat ujian yang tidak melebihi batas kemampuannya?

Buku kumpulan puisi "Kemarau Kemarin" ini dikemas secara berani dengan penyampaian abstrak yang khas--begitu saya menyebutnya--sekaligus berbobot. Ada sebuah kebebasan dalam menggores setiap bait. Kita akan merasakan jiwa penulis seolah terbang ke berbagai arah tanpa mau berkompromi pada apa pun, pada siapa pun. Namun tidaklah semua itu keluar dari benang merahnya sendiri--atau dalam kata lain--tetap berpegang teguh pada prinsip. Ada perenungan panjang dan penghayatan akan apa yang terjadi dalam hidup; tentang sebab-akibat sebuah permasalahan. Juga tersembunyi sebaris lamunan yang tidak "tanpa makna"; meledak-ledak, mengentak alam bawah sadar, lalu serasa menghipnotis, kita pun merasai darah turut bergejolak pada pesan yang tersamar.

Pilihan diksi dalam buku ini membuat pembaca enggan berhenti menjelajah setiap lembarnya. Betapa tidak demikian? Mereka saling bergandeng satu sama lain. Di satu bagian kita akan mengerutkan kening, berpikir cukup lama demi menelaah keadaan dari apa yang terbentuk. Sedang di bagian lain, kita terbawa pada sebuah jalan cerita yang membangun gambaran kecil dalam kepala, tentang tragedi besar dan kecil yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam "Bapak Lelaki Berkarung Tanya" (halaman 48), kita merasakan betapa pedihnya perjuangan keras yang seringkali tak diimbangi oleh hasil yang memuaskan. Sementara di belahan bumi lain, ketidakseimbangan malah jarang terjadi pada mereka yang enggan berupaya dan hanya mengandalkan cara curang. Maka, terbenamlah seluruh kebenaran itu, hingga membeku inti perjuangan, berganti menjadi pertaruhan harga diri sarat caci maki.

"Matahari dalam Pelukan" (halaman 24) menggambarkan kedamaian hati, tentang rasa syukur pada Sang Pencipta. Memang, sudah sepatutnya bagi kita untuk selalu bersyukur. Pahit manis peristiwa yang dijalani, akan terasa nikmat jika tak sedikit pun tercemar oleh pikiran negatif--seperti pesimis, berprasangka buruk kepada hidup, serta ketidakyakinan pada diri sendiri. Selayaknyalah bagi manusia untuk selalu berpikir positif. Karena pada dasarnya, pemberian Tuhan adalah yang terbaik.

Sementara itu, "Hujan" (halaman 36) menyajikan sebuah kesedihan mendalam yang seolah sukar diredam. Tangisan tiada berujung, hati berlarut dalam rumitnya jalan di depan, serta tak ada penjernihan dalam kepala bahwa apa yang terjadi adalah pembelajaran untuk memperbaiki diri. Lemahnya iman membuat diri semakin terpuruk. Keadaan seperti ini yang mesti kita hindari. Menenggelamkan diri pada ketidakberdayaan, sama artinya dengan mengubur dalam-dalam kesempatan membangun masa depan yang lebih baik.

Secara keseluruhan, dari tujuh puluh lebih judul puisi yang ada di buku ini, cukup mewakili makna kemarau yang memang tak dapat terpisahkan dari segala sisi kehidupan. Namun ada beberapa kekurangan yang saya temukan. Pertama dari segi EYD. Ada beberapa yang tidak sesuai aturan. Salah satu contoh terdapat di halaman 53, yakni pada puisi berjudul "Rembulan Merah". Bunyi bait pertama seperti ini:

Rembulan merah
Berulah gerah
Meriah
Dan sepertinya kami menangis
Akan menangis
Mengais-kais

Harusnya 'mengais-kais' ditulis 'mengais-ngais'. Kemudian contoh lain ada pada judul "Sandal Jepit" (halaman 30), di bait kedua, yang berbunyi

Mudah perkaranya sudah
Perkara mudah
Dijepit dihimpit
Ditengah digapit

Seperti yang telah kita tahu, kata 'tengah' adalah sebuah keterangan tempat. Partikel 'di-' tidak bisa menyatu bersamanya. Harusnya 'ditengah' ditulis 'di tengah' (terpisah).

Kesalahan juga ada pada seluruh judul puisi yang ditulis dengan huruf kapital. Baiknya mengikuti kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan benar, yakni penggunaan huruf kapital pada judul, hanya ada di awal kata, kecuali pada kata 'untuk', 'dari', 'antara', 'si', 'di', 'sebagai', 'adalah', dan lain-lain. Selain itu, kesalahan ada dalam setiap baris penyusun baitnya, yang selalu ditutup dengan tanda titik. Dalam sebuah baris puisi, tidak perlu mencantumkan tanda titik di bagian akhirnya.

Pada daftar isi tampak kurang rapi. Banyak sekali judul yang tertulis secara tidak konsisten. Ada sebagian judul yang tertulis dengan benar ("Sajak Tertinggal", "Surat Purnama", "Tanpa Titik", "Tuna Basi", dll), namun ada pula yang tidak benar ("Syair antara dua", "Rokok si tuan tanah", "Perkusi tak bertulang", "Sembilan liang udara", dll). Ini mengesankan rasa "terburu-buru" dalam mempublikasikan karya tanpa mengoreksi terlebih dulu, hingga sebuah keindahan pada buku tak dapat seutuhnya dinikmati pembaca. Meski pada dasarnya daftar isi hanyalah sebuah daftar, bukan berarti ditulis "apa adanya". Kerapian adalah hal penting yang tak dapat diabaikan.

Kedua, kekurangan ada pada sampul buku ini. Desain yang kurang menarik membuat buku ini terlihat monoton di luar. Memang, menilai sesuatu tidak sepantasnya hanya dari tampilan luarnya saja. Namun pada kenyataannya sampul adalah sesuatu yang penting bagi sebuah buku. Itulah fakta yang tak dapat disangkal. Pembaca mana pun akan menyentuh buku setelah tertarik dengan sampulnya. Siapa pun setuju akan hal itu, dengan beberapa pengecualian--seperti terbitnya sebuah karya tertentu yang telah lama dinanti. Yang seperti ini sudah tentu tanpa sampul yang menarik sekalipun sudah akan menculik minat pembaca. Intinya, dengan sampul yang memikat, besar kemungkinan seluruh jerih payah penulis di sela lembar-lembar buku akan dengan mudah tersampaikan ke banyak orang. Bagaimana mungkin sebuah buku akan dibaca sedangkan dewasa ini sampul seolah dijadikan ujung tombak dalam menembus hati pembaca? Keengganan untuk "melirik" semacam ini amatlah disayangkan. Padahal menurut saya, puisi-puisi karya Aditya Surya Nugraha cukup bagus.

Namun, dapatlah saya katakan pada buku ini, bahwa pepatah "Jangan menilai sesuatu dari sampulnya!" sangatlah cocok. Buku ini meski dari segi tampilan kurang, namun patut direkomendasikan kepada para pecinta sastra. Kesederhanaan variasi diksi dengan tingkat penalaran rasa yang cukup tinggi, memberi nilai tersendiri dalam tiap judulnya. Ada ciri khas yang tak lepas darinya. Kekhasan yang "berani" inilah yang membuat makna yang terselip amatlah dalam. Kita akan dapat meresapi setiap bait yang seakan tumbuh dari kedalaman pola pikir sang pujangga. Atau kadang pula ada sesuatu yang sulit diterka hingga membuat kita tenggelam untuk menjelajah maksud. Kita juga dapat menjadikan kemarau--yang selalu dianggap simbol derita--sebagai teman akrab. Atau mungkin dapat memeluknya setiap waktu dikala suka maupun duka menari-nari bergantian di depan mata. Bahkan kemarau bisa jadi akan menangis mendapati dirinya telah kita tertawakan. Kita pun bisa mengecap manisnya kemarau sembari bersantai dengan secangkir teh.

Atas dasar itu, saya simpulkan bahwa penulis telah berhasil mengangkat apa yang hendak ia sampaikan melalui refleksi dan makna tentang kemarau itu sendiri. Kemarau laiknya sebuah panggung, di mana para pemerannya adalah seluruh umat manusia, dengan jalan cerita berupa kendala dengan berbagai macam bentuk. Dari situlah dibutuhkan kematangan berpikir tokoh-tokoh yang bertarung dengan berbagai rintangan, bahkan dengan diri sendiri, untuk dapat meluaskan daya jangkau pencarian solusi. Dengan begitu, kehidupan akan terasa lebih baik.

Buku ini dapat dijadikan pelengkap koleksi bacaan Anda di rumah. Bentuk dan ukurannya yang praktis membuatnya dapat dengan mudah menemani perjalanan Anda ke luar kota.

Oleh: Ken Hanggara
E-mail: kenzohang@yahoo.co.id
Twitter: @kenzohang.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri