Skip to main content

Resensi Buku: Menapaki Jalan Hidup dengan Keikhlasan

Judul buku : Fesbuk
Penulis : Muhammad Subhan & Aliya Nurlela
Kategori : Kumpulan cerpen
Penerbit : FAM Publishing
ISBN : 978-602-17404-8-4
Terbit : Februari 2013
Cetakan : 1
Tebal : xi + 127 halaman
Harga : Rp.38.000,-


Seperti yang telah kita tahu dari sebuah jalan, di mana pun itu, pasti tak selamanya akan mulus. Ada dua jenis jalan yang kita tahu. Yang pertama adalah jalan yang membuat penggunanya merasa seolah raga melayang, nyaman, aman, damai, alam pikiran seperti terbawa mimpi indah, dan tak ada kesulitan sama sekali--saking sempurnanya konstruksi jalan yang dilaluinya. Jalan itu dibuat dari aspal terbaik yang pernah ada, dibangun dengan serius dan memerhatikan kelayakan. Segala ilmu yang berkaitan dengan daya tahan agar jalan tetap berada dalam kondisi baik hingga bertahun-tahun, dimanfaatkan semaksimal mungkin ketika membangun. Dan, jadilah sebuah jalan idaman. Siapa pun yang melihat dari kejauhan, akan tergoda untuk mendekat. Sedangkan yang pernah melalui, akan merasa ketagihan untuk mencobanya, lagi dan lagi, meski tak ada urusan yang begitu penting demi bermanja-manja dengan jalan halus itu.

Kedua, adalah jenis jalan yang menakutkan. Belum juga menyentuh bagian ujung jalan tersebut, orang akan bergidik ngeri, ragu akan melewatinya lantaran bentuk jalan yang tidak karuan. Aspalnya bergejolak di mana-mana, lubang berdesakan sesuka hati tanpa peduli akan mencelakai orang yang membutuhkan jalan tersebut, serta genangan air keruh yang berdiam diri serupa ranjau. Kalau tidak jatuh terjungkal karena lubang besar bersembunyi di sana, orang pasti akan mengeluh karena percikan air kotor tadi mengenai baju atau sepatu yang baru saja dibelinya. Maka, kebanyakan orang tak sudi menjadi pelanggan setia jalan semacam ini. Ia akan dibenci dan menjadi pilihan terakhir dalam keterpaksaan ketika siapa pun masuk dalam kondisi darurat. Jika sudah demikian, barulah orang akan melewatinya.

Melalui buku kolaborasi berjudul "Fesbuk", Muhammad Subhan dan Aliya Nurlela menyajikan kisah-kisah indah, menyentuh, dan sarat akan pesan kehidupan. Tema yang disajikan pun berbeda-beda, seperti jalan yang kadang halus tanpa hambatan, kadang pula penuh rintangan. Kita akan menemui banyak kejutan dan berpikir: "Oh, jadi begitu ya? Kenapa selama ini tak terpikirkan olehku?! Ternyata hidup tidaklah terlalu buruk!" Dan dalam hati pun terucap rasa syukur.

Akan kita temui keunikan penyampaian cerita dalam cerpen "Fesbuk" yang juga dijadikan judul buku ini. Aliya Nurlela selaku penulis menggiring kita pada keadaan sulit di mana ada sebuah alat komunikasi berada di antara dua kutub bertentangan. Situs jejaring sosial Facebook dilukiskan seperti sosok yang punya pemikiran tertentu tentang bermacam karakter manusia yang bergantung padanya. Entah itu baik atau jahat. Ia berharap kehadirannya tak hanya memberi kesenangan sesaat tetapi juga mengandung manfaat bagi semua orang.

Sementara itu, "Cerita Tentang Senja di Pantai Padang" yang ditulis oleh Muhammad Subhan, mengandung keindahan dalam setiap untaian kalimatnya. Senja yang berpadu dengan pantai dilukiskannya dengan lekukan pena yang menari gemulai serupa nyiur, bersenda gurau dengan semilir angin teduh. Digambarkannya secara detail situasi sore hari di sebuah pantai. Juga tentang sosok tua yang terkhianati cinta yang tak pernah lepas dari unsur-unsur pembentuk keindahan pantai itu sendiri. Mereka yang menyadari makna kesetiaan akan merasa tersentuh, bahkan menitikkan air mata setelah membaca cerpen ini.

Judul yang paling menarik adalah "Bells'Palsy", yang ditulis oleh Aliya Nurlela. Cerpen ini diangkat dari kisah nyata. Menceritakan tentang seorang perempuan yang terserang sebuah penyakit syaraf dengan gejala yang sulit terdeteksi. Ia yang tadinya menjadi sosok putri cantik di mata semua orang, mendadak mengurung diri karena penyakit tersebut mengubah penampilan fisik. Kecantikannya pudar dan membuat perempuan itu minder. Dengan keyakinan mendalam akan kekuasaanNya, tokoh bernama Aina itu tetap tegar menghadapi cobaan yang menimpa dirinya.

Ada lagi yang juga terinspirasi oleh kisah nyata. Kali ini Muhammad Subhan menulis tentang pengalaman pribadi seorang sahabat dalam "Tukang Cerita". Kisah ini menjabarkan secara gamblang tentang tragedi kehidupan seorang perempuan misterius. Bunuh diri hampir saja ia lakukan. Namun pertemuannya dengan seorang novelis lewat e-mail, membuatnya urung berbuat bodoh. Satu-persatu masalah yang ia hadapi dengan sabar, akhirnya dibalas manis dengan orang-orang yang hadir mencintainya.

Pesan kedamaian dapat kita petik dari cerpen "Darah, oh, Darah"-nya Muhammad Subhan. Penulis mengambil sudut pandang yang mungkin jarang sekali terbesit di benak kita. Pertumpahan darah yang tiada henti menggenangi bumi, membuat mereka yang terlibat di dalamnya saling menyalahkan satu sama lain. Seakan seluruh masalah hanya bisa diselesaikan dengan angkat senjata. Ini menujukkan betapa manusia hanya mementingkan nafsu belaka, tanpa berpikir lebih jauh untuk mengambil tindakan menghilangkan nyawa manusia lain, demi terwujudnya suatu tujuan.

Dalam "Rinai di Matamu, Aliya", penulis Aliya Nurlela membawa kita pada sebuah kisah cinta terpahit. Jika pada umumnya cinta yang semacam itu adalah yang terhalang oleh kasta, ketiadaan restu, perbedaan suku atau agama, serta jarak yang memisahkan, lain halnya dengan apa yang dialami kedua tokoh utama dalam cerita. Cinta mereka adalah sebuah cinta yang diam. Cinta mereka adalah sebuah rasa terpendam selama bertahun lamanya hingga berujung pada perpisahan. Ternyata kesetiaan tak cukup jika hanya dijaga dalam sebuah pot layaknya setangkai bunga. Semestinya anugerah cinta tertanam pada sebuah padang rumput yang luas serta berada di bawah naungan cahayaNya.

Cerpen-cerpen lain seperti "Nei", "Suatu Hari di Masjid Rumah Sakit", "Kupu-Kupu di Ruang Tamu", "Terpenjara Luka", "Selamanya Aishiteru", dan "Lelaki Majnun" juga tak kalah menarik. Kedua penulis menyelipkan pesan positif lewat "Nei" dan "Suatu Hari di Masjid Rumah Sakit", bahwa segala sesuatunya tak dapat kita nilai hanya dari tampilan luar. "Kupu-Kupu di Ruang Tamu" melukiskan kepolosan seorang bocah yang berpikir tentang kehadiran kupu-kupu dan nafsu buta manusia pada kekuasaan hingga menghalalkan segala cara.

Dari segi isi, cerpen-cerpen dalam buku ini sangat baik, nyaris mendekati sempurna. Namun sayang, ada kejanggalan yang saya temukan di judul "Terpenjara Luka". Dikisahkan ada seorang wanita bernama Aina yang menderita karena cintanya bertepuk sebelah tangan. Sejak lama, ia menyimpan perasaan pada seorang pria bernama Fadlan yang tampan, santun, cerdas, berwibawa, dan disukai banyak perempuan. Namun oleh karena segala kekurangan yang Aina miliki, ia hanya terdiam di balik tirai sunyi sampai sang pujaan hati menjalin hubungan cinta dengan sahabat dekatnya sendiri; Marisa. Maka, mulailah pergolakan batin. Seperti kisah perih serupa, Aina pun mulai pasrah. Beberapa tahun kemudian, ada sebuah surat yang ditulis oleh Fadlan. Dalam surat itu, ia mengatakan ingin meminang Aina secara pribadi. Kejanggalan masih belum terlihat di sini. Surat dari tokoh Fadlan ini masih berada dalam "area aman". Ini karena pembaca belum seutuhnya tahu hubungan cinta antara Marisa dan Fadlan--apakah "masih baik-baik saja" atau "sudah tidak lagi bersatu". Namun, ketika hari pertemuan antara Aina dan Fadlan tiba, kejanggalan mulai keluar secara perlahan. Fadlan yang santun, cerdas, berwibawa, dan baik itu mendadak membatalkan isi suratnya. Ia tak jadi meminang Aina karena ternyata Marisa yang selama ini masih dicintainya, juga batal menjalankan pernikahan dengan lelaki yang dijodohkan oleh keluarganya. Fadlan lalu meninggalkan Aina begitu saja, gadis cantik berjilbab yang pendiam, yang selama ini menjadi penggemar rahasianya.

Menurut saya hal ini tak masuk akal. Fadlan adalah seorang pria santun dan cerdas. Otomatis tak mungkin ia bisa berbuat sesuka hati seperti itu. Ia akan berpikir seribu atau mungkin berjuta kali untuk menulis surat itu pada Aina. Ia tak mungkin dapat dengan mudah memberi harapan palsu pada orang lain. Harapan palsu adalah sebuah torehan luka yang pastinya akan sulit diterima oleh siapa pun. Biasanya, harapan semacam ini berasal dari mereka yang gemar berdusta. Dalam cerita tampak jelas Fadlan bersandiwara dan dengan tega mempermainkan perasaan seorang wanita baik seperti Aina. Ia hanya menjadikan Aina sebagai pelampiasan cintanya. Dalam tenggat waktu yang tak terlalu lama, ia kemudian pergi meninggalkan Aina yang malang seolah sedang tidak terjadi apa-apa. Saya rasa ini sama sekali tidak mencerminkan karakter Fadlan yang telah dibentuk sejak awal. Ini jelas mengaburkan gambaran pembaca tentang sosok sopan penuh wibawa yang tampan itu. Padahal ketika membacanya sampai di bagian tengah, saya berpikir akan ada ending yang "halus" meski berbentuk kejutan dan berujung pada perpisahan. Fadlan adalah lelaki santun, bukan playboy. Namun, biar bagaimanapun ini hanyalah sebuah cerpen. Dan penulis berhak menentukan jalan ceritanya sendiri.

Secara keseluruhan, dari segi isi buku ini sangat bagus dan mampu memuaskan dahaga para pecinta sastra serta mereka yang haus akan pelajaran berharga dalam hidup. Kisah-kisah yang ada dalam buku ini mengajak para pembaca untuk berpikir. Kita akan dibuat terdiam, lalu merenungi makna mendalam dari setiap judul cerpennya. Kita akan menemukan bagaimana semestinya memaknai hidup. Hidup sendiri dapat kita analogikan seperti jalan. Di dalamnya akan selalu kita temui pola beragam dalam lingkaran yang tak lepas dari variasi warna. Kadang senang, kadang susah. Kadang pahit, kadang manis. Kadang baik, kadang buruk. Hitam dan putih pada dasarnya tak pernah lepas dari perputaran musim yang kita lalui. Namun semestinya kita tidak berputus asa dari ketidaksesuaian yang terbit, ketika keinginan kita menjauh dan lenyap tanpa mau menjadi kenyataan. Kita pun menjadi orang-orang yang tak berani menghadapi kenyataan. Seperti mereka yang menghindar dari jalan berliku yang penuh aral melintang di dalamnya. Kita akan mundur atau berhenti dikala menyadari jalan itu hanyalah sebuah jalur memuakkan yang menguras seluruh tenaga dan kesabaran, memupuk rasa kecewa mendalam, lalu membuang jiwa kita ke tempat terjauh yang sukar dijamah. Kita akan terpaksa melaluinya dengan terus-menerus mengeluh karena merasa tak ada lagi pilihan. Ini adalah contoh sebuah sikap yang salah. Alangkah baiknya jika kita tetap dengan seutas senyum melawan ketidakmungkinan yang ditawarkan jalan tersebut. Dengan begitu, kita akan dapat merasakan inti kehidupan yang sebenarnya. Hati kita akan merasa tenang dan teguh oleh keyakinan akan kuasaNya. Bukankah setelah kesulitan akan ada kemudahan? Dari sanalah kita diberi kesempatan olehNya untuk belajar memperbaiki diri, menyadari bahwa apa pun yang terjadi adalah garis yang telah ditentukanNya, serta bersyukur pada apa yang kita miliki.

Dari sebuah penderitaan, kebahagiaan, ketidakberdayaan, ketenaran, kepahitan, ketulusan, ketamakan, serta cinta--goresan pena dua penulis muda dengan ciri khas mereka masing-masing ini, berhasil mengangkat dan menembakkan nilai pencerahan, dengan cara bijak nan elegan, tepat mengenai hati para pembaca. Kisah sehari-hari dengan alur sederhana namun memikat akan membuat kita seolah masuk dan merasakan apa yang para tokoh dalam cerita rasakan. Kita akan dibuat menangis dan tersenyum. Pilihan diksi yang mudah dicerna, tak membuat kita mesti mengulang bagian-bagian tertentu sampai beberapa kali, demi memahami isi cerita.

Tampilan fisik buku ini pun baik. Perpaduan antara jenis kertas dan cetakan huruf yang lembut membuat mata tak mudah lelah ketika membacanya. Kecacatan hanya ada pada beberapa halaman. Salah satu contoh dari buku yang saya baca adalah antara halaman 77 dan 78. Kesalahan lay-out atau cetak, membuat dua halaman tersebut tak menyatu hingga menyisakan lembar kosong di tengah. Namun ini bukan hal yang berarti. Kita masih dapat menikmati isi dari buku tanpa merasa terganggu. Sampul bukunya yang cantik pun akan turut memperindah perpustakaan pribadi Anda. Atau mungkin cocok untuk Anda jadikan kado bagi orang terdekat?

Kesimpulan saya, kedua penulis berhasil menelurkan karya-karya hebat ini dengan gaya santun, tanpa terkesan menggurui, dan tidak mengabaikan pesan-pesan moral di dalamnya. Sungguh bermanfaat bagi mereka yang tak pernah melihat dunia dengan mata terbuka. Karena sepahit apa pun hidup, kita patut bersyukur. Tak ada yang sempurna di dunia ini. Tugas manusia adalah terus menapaki jalan yang membentang di depan dengan hati yang ikhlas. Bukan berhenti, berbalik arah, apalagi membencinya.


Oleh: Ken Hanggara -Surabaya
E-mail: kenzohang@yahoo.co.id
Twitter : @kenzohang

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri